Anda di halaman 1dari 24

1

BAB III

SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar

Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari


sumber hukum inilah kita dapat menemukan hukum tersebut untuk dapat diterapkan
kepada suatu fakta tertentu dalam perdagangan internasional.

Dalam Bab I buku ini, penulis mengikuti pendirian Houtte, Rafiqul Islam, dan
Booysen. Inti dari pendirian para sarjana terkemuka ini adalah bahwa ada keterkaitan erat
antara hukum perdagangan internasional dan hukum internasional.

Keterkaitan antara dua bidang hukum ini membawa konsekuensi bahwa sumber-
sumber hukum internasional yang dikenal dalm lapangan ini, yaitu:(1) perjanjian
internasional; (2) hukum kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum umum; dan
(4) putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin), juga
dapat diadopsi sebagai sumber-sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional.1

Namun demikian, di samping keempat sumber hukum tersebut, khusus dalam


bidang hukum perdagangan internasional, terdapat satu bidang hukum lainnya yang juga
berperan penting dalam mengatur transaksi perdagangan internasional. Hukum ‘kelima’
ini adalah hukum nsional.

Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki peran ‘lebih’
dibandingkan ke-4 sumber hukum yang tersebut sebelumnya. peran dan diakuinya
hukum nasional sebagai sumber

1
Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Cf., Perlu dikemukakan di sini bahwa
dalam literatur hukum perdagangan internasional, apa yang menjadi sumber hukum
perdagangan internasional belum ada kesepakatan. Sarjana terkemuka hukum
perdagangan internasional Profesor Clive Schmitthoff hanya mengakui 2 (dua) sumber
hukum saja, yaitu (1) perjanjian internasional (istilah beliau: international legislation);
dan (2) hukum kebiasaan internasional (istilah beliau: international commercial custom).
(Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London:
Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22 et.seq.).
2

hukum perdagangan internasional tidaklah terelakan karena sejak awal atau tahap awal
suatu pihak akan memulai transaksi- transaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan
keterkaitannya pada hukum nasional negaranya.2

B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional

1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum yang terpenting. Secara
umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral,
regional dan bilateral.

Perjanjian internasional atau multilateral adalah kesepakatan tertulis yang


mengikat lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional. 3
Beberapa perjanjian internasional membentuk suatu pengaturan perdagangan yang
sifatnya umum di antara para pihak. Ada juga perjanjian internasional yang memberikan
kekuasaan tertentu di bidang perdagangan atau keuangan kepada suatu organisasi
internasional. Perjanjian internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu
pengaturan yang seragam guna mempercepat transaksi perdagangan.

Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan


internasional yang dibuat oleh negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu
regional tertentu. Di Asia Tenggara misalnya, perjanjian-perjanjian seperti ini adalah
perjanjian pembentukan AFTA.

Suatu perjanjian adalah bilateral manakala perjanjian tersebut hanya mengikat


hanya dua subyek hukum internasional

2
Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.
3
Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969).
Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2
(1) (1) Konvensi: “treaty” means an international agreement concluded between States
in written form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instrumetns and whatever its particular designation;
….
3

(negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok perjanjian ini adalah
perjanjian penghindaraan pajak berganda.4

Dalam perjanjian persahabatan bilateral, kedua negara memberikan beberapa


preferensi atau perlakuan khusus tertentu berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua
negara. Perjanjian ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship,
Navigation and Commerce).5

a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan) Internasional

Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan


para pihak yang membuatnya. Karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional
pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu
negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya.
Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah kewajiban negara
tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian
internasional yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum
nasional negara tersebut.
Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu negara untuk tidak
menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian
internasional. Atau sebaliknya, suatu perjanjian internaisonal tidak mengijinkan adanya
pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak menghendaki adanya
pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian WTO mensyaratkan pemberlakuan
keseluruhan pasal-pasalnya.
Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian
internasional adalah melalui penundukan

4
Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995,
hlm. 3.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian internasional
(Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan internasional), lihat: Indira Carr and
Richard Kidner, Statutes and Convention on International Trade Law, London:
Cavendish, 1993, hlm. 263-446).
4

secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan
dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi tersebut didepositkan kepada suatu
badan yang berwenang, misalnya Sekjen PBB), suatu negara dapat saja mengikatkan
dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum
nasionalnya.
Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara
tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya,
RI tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Tetapi dalam UU
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama
dengan Konvensi Win 1969 tersebut.
Tetapi perlu pula diingat bahwa penundukan diri secara diam-diam ini tidak akan
berlaku apabila perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian.
Atau, apabila muatan perjanjian internasional tersebut memberikan hak-hak (konsesi)
tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada non- anggota. Negara-negara
non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada aturan
tersebut karenanya tidak akan efektif.
GATT, Misalnya, adalah suatu kesepakatan umum di bidang perdagangan dan
tarif. Siapa saja yang menjadi anggota harus terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-
negara anggota GATT mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia
dapat memanfaatkan ke-38 pasal GATT.

b. Isi Perjanjian

Dari muatan yang terkandung di dalamnya, perjanjian perdagangan internasional


pada umumnya memuat hal-hal berikut:

1) liberalisasi perdagangan

Perjanjian yang memuat liberalisasi perdagangan adalah meliberalisasi


perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota suatu perjanjian internasional
berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (negara) yang
dapat
5

menghambat atau mengganggu kelancaran transaksi perdaganagn


internasional.

2) Integrasi ekonomi

Perjanjian seperti ini berkembang belum begitu lama. Negara-negara anggota


dalam suatu perjanjian internasional berupaya mencapai suatu integrasi ekonomi melalui
pencapaian kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas
(free trade zone), atau bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian
seperti ini biasanya memberi kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna
mencapai tujuan integrasi ekonomi ini.

3) Harmonisasi Hukum

Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik
temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada
(yang akan diharmonisasikan).6

4) Unifikasi Hukum

Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian


suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.7 Contohnya adalah pemberlakuan
Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang
mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain
industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-
aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.

5) Model Hukum dan Legal Guide

Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnyat idak terlepas dari
upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari
sulitnya bidang hukum yang akan

6
Lihat Bab I di atas.
7
Lihat Bab I di atas.
6

disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak
mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model
hukum atau legal guide, negara- negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model
hukum atau legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya.

Dengan (semakin) banyaknya negara yang mengadopsi model hukum atau legal
guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang
muatan model hukum atau legal guide tersebut.

Contoh terkenal Model Hukum seperti ini adalah UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 ini memuat
aturan-aturan model (acuan) bagi negara-negara di dunia dalam mengundangkan
peraturan perundangannya di bidang arbitrase komersial internasional. Dengan
diadopsinya model hukum arbitrase ini diharapkan akan tercipta pengaturan arbitrase
yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara
sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya.

Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up
International Contracts for the Construction of Industrial Works 1988. Legal Guide 1988
bertujuan terciptanya keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak
di bidang konstruksi.
7

c. Standar Internasional

Standar internasional adalh norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam


perjanjian internasional, yang merupakan syarat penting di dalam tata ekonomi
internasional, serta syarat suatu negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi
internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah: i. Minimum- standard or equitable
treatment; ii. Most-favoured nation clause;
i. Equal Treatment; dan iv. Preferential Treatment.

ad. i. Minimum-standard atau equitable treatment

Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau aturan dasar yang
semua negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan
internasional.8 Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjian-
perjanjian di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya Berne Convention
for the Protection of Literary and Artistic Works. Konvensi ini meletakkan persyaratan
standar minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya seni.9

ad. ii. Most-Favoured Nation Clause

Klausul Most-Favoured Nation (MFN) adalah klausul yang mensyaratkan


perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Perlakuan ini
diberikan karena masing-masing negara terikat dalam suatu perjanjian internasional.
Berdasarkan klausul ini salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus atau
preferensi kepada suatu negara, maka perlakuan tersebut harus juga diberikan kepada
negara-negara lainnya yang tergabung dalam suatu perjanjian.10

8
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
9
RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran Negara
No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih lanjut: Anthony D’Amato
dan Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer,
1997, hlm. 241).
10
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
8

Peran klausul ini penting. Klausul ini menurut Houtte, memberikan suatu derajat
perlakuan sama (equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional. Dengan
klausul ini, hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang.11

Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting,
yaitu:

(a) reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan
oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya timbal balik; dan

(b) unconditional (tidak bersyarat), artinya negara anggota lainnya dalam suatu
perjanjain berhak atas perlakuan- perlakuan khusus yang diberikan kepada negara
ketiga.12

Ad. iii. Equal treatment

Equal treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya yang juga disyaratkan
harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, negara-negara
peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu
sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu negara
anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di negara anggota
lainnya.

Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam praktek perjanjian
antar negara.13 Memang, sulit untuk menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara
bagaimana pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga
negara asing. Adalah kewajiban suatu negara untuk mensejahterakan warga negaranya
(daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya).

Namun demikian klausul ini tampak nyata dalam kesepakatan- kesepakatan


hukum internasional di bidang penyelesaian sengketa,

11
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7.
12
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
13
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
9

misalnya arbitrase internasional. Misalnya pasal 18 UNCITRAL Model Law on


International Commercial Arbitration. Pasal 18 ini yang berada di bawah judul ‘Equal
Treatment of Parties’, menyebutkan: “The parties shall be treated with equality and each
party shall be given a full opportunity of presenting his case.”

Pasal 18 ini menggambarkan prinsip universal mengenai perlakuan sama di depan


hukum. Pasal ini mensyaratkan perlakuan sama terhadap para pihak yang bersengketa.
Mereka pun harus diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan
badan arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada ketentuan yang dapat
mengenyampingkan prinsip ini.

Ad. iv. Preferential Treatment

Prinsip ini sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip non-diskriminasi.


Prinsip ini biasanya diterapkan di antara negara-negara yang memiliki hubungan politis
atau ekonomis. Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat saja memberikan perlakuan
khusus yang lebih menguntungkan (preferential treatment) kepada suatu negara daripada
kepada negara lainnya.14

Biasanya perlakuan demikian diberikan kepada negara-negara yang sedang


berkembang atau miskin. Perlakuan berbeda dan khusus biasa juga diberikan kepada
negara-negara yang memiliki keterkaitan sejarah sebelumnya. Misalnya, negara-negara
eks jajahan atau eks-koloninya.

d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional

Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali pula mengeluarkan


keputusan-keputusan berupa resolusi-resolusi yang sifatnya tidaklah mengikat. Daya
mengikat resolusi-resolusi seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law. Karena
memang negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan

14
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
10

yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum.

Tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadang


kala juga mengikat. Salah satu contoh instrumen terkenal yang dipandang soft-law oleh
negara-negara (maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah Piagam Hak-hak
dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (Charter on the Economic Rights and Duties of
States atau CERDS). Sepertiga bagian (11 pasal) dari dari keseluruhan pasal Piagam ini
mengatur mengenai perdagangan internasional.

Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilai- nilai hukum yang
terdapat di dalamnya berpengaruh cukup luas terhadap aturan-aturan atau perjanjian-
perjanjian internasional yang lahir kemudian.15

Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
15

Rajawali Pers, cet. 3, 2003.


11

2. Hukum Kebiasaan Internasional

Sebagai suatu sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber


hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam
hukum perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan
hukum perdagangan internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para pedagang
yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang berulang-ulang
dengan waktu yang relatif lama tersebut menjadi mengikat.16

Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga
sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini
logis karena memang para pedagang-lah yang mula-mula ‘menciptakan’ aturan hukum
yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Contoh (lembaga
hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan kembangkan adalah barter 17 dan
counter-trade.

Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi


hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat
berikut:

(1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak
(praktek negara); dan

(2) Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitatis).

Ketentuan Lex Mercatoria dapat ditemukan antara lain di dalam kebiasaan-


kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam

16
Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa hukum kebiasaan
internasional hanya memiliki peran yang terbatas (misalnya Zamora atau Heutte, dalam
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10). Houtte berpendapat bahwa “… international
customary law has a role (albeit a limited one) to play in international and finance law”.
Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: “Because of the frequency
of contact between states in international trade, customary law is and should be very
relevant.” (Hercules Booysen, op.cit., hlm. 58).
17
Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 6.
12

kontrak-kontrak perdagangan internasional, misalnya berupa klausul-klausul kontrak


standar (baku), atau kontrak-kontrak di bidang pengangkutan (maritim).

Kontrak-kontrak atau klausul kontrak perdagangan yang biasanya dirancang oleh


asosiasi atau organisasi perdagangan tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti
oleh anggota dari organisasi atau asosiasi tersebut.

Kebiasaan-kebiasaan perdagangan memiliki peran yang sangat penting di dalam


sesuatu transaksi perdagangan internasional. Misalnya, kebiasaan tersebut terkodifikasi
dalam kontrak konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll.

Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini
adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya. Seperti dapat dimaklumi, bagi para
pedagang atau pelaku perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah
sulit bagi mereka. Mereka secara sukarelah menaati dan melaksanakan serta
memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya.

Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini sebenarnya juga


diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah sulit menemukan hukum nasional
mengakui kekuatan hukum adanya praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya
mengakui praktek kebiasaan ini. Pasal 1339 tentang akibat suatu perjanjian misalnya
menyatakan:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” (Huruf
miring oleh penulis).

Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus untuk
kebiasaan internasional, banyak negara yang mengambil jarak. Bahkan untuk kebiasaan
dagang internasional seperti ini, pengadilan tidak jarang masih mempertanyakan
keabsahannya.
13

Pendirian ini antara lain disebabkan karena kebiasaan perdagangan internasional,


meskipun terkodifikasi oleh upaya lembaga-lembaga internasional seperti ICC atau
Kamar Dagang Internasional, UNCITRAL, dll., bukanlah bersifat perjanjian
internasional. Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC menurut badan
pengadilan dapat digolongkan soft-law. Aturannya tidak mengikat. Misalnya, ICC
merumuskan UCP 500 untuk Letter of Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi
oleh negara-negara untuk mengikat.18 Karena sifatnya itu pula, UCP tidak pernah
meletakkan kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya.19

18
Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan
negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27.
19
Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental menganut
aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai
dengan konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal,
misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak
mengikat. Uraian lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase
Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
14

3. Prinsip-prinsip Hukum Umum

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum belum ada
pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari
sistem hukum nasional maupun hukum internasional.

Sumber hukum ini akan mulai berfungsi manakala hukum perjanjian


(internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberi jawaban atas sesuatu
persoalan. Karena itu prinsip- prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum
penting dalam upaya mengembangkan hukum,20 termasuk sudah barang tentu hukum
perdagangan internasional.

Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip
itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi.21 Ketiga prinsip ini
terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, 22 dan terdapat pula
dalam hukum (perdagangan) internasional.

20
Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal,
1999, hlm 58.
21
Sanson, op.cit., hlm. 6.
22
Sanson, op.cit., hlm. 6.
15

4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan Doktrin

Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti
halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hukum ini akan memainkan perannya
apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas
suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional).

Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak


memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common
Law (Anglo Saxon). Statusnya sedikit banyak sama seperti yang kita kenal dalam sistem
hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk
dipertimbangkan. Jadi ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan
pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam
sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional).

Sifat putusan pengadilan ini ditegaskan dalam sengketa Japan-Taxes on Alcoholic


Beverages yang diputus oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement
Body) WTO. Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara lain
menyatakan:

“Adopted panel reports ... are often considered by subsequent panels. They create
legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should be taken
into account where they are relevant to any dispute.”23 [Huruf miring oleh
penulis].

Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana


terkemuka (dalam hal ini di bidang hukum perdagangan internasional). Peran dan
fungsinya cukup penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional.
Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum.24 Doktrin ini penting
manakala sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata juga

23
Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October 1996, hlm. 15;
terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.
16

tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan
internasional.25
17

25
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.
18

5. Kontrak

Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber


utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang
sendiri. Seperti kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-undang’ bagi para
pihak yang membuatnya.26

Dapat pula kita sadari bahwa para pelaku perdagangan (pedagang) atau stake-
holders dalam hukum perdagangan internasional dalam melakukan transaksi-transaksi
perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis
(kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial. Karena itu kontrak berperan
sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting
dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.

Dalam hukum kontrak, kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap


prinsip konsensus dan kebebasan para pihak (party autonomy). Syarat-syarat
perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para
pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian.

Meskipun kebebasan para pihak sangatlah esensial, namun kebebasan tersebut ada
batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya. Pertama,
pembatasan yang utama adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan kesopanan.

Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam
perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur
asingnya.27 Artinya, kontrak tersebut,

26
Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
27
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976 (Gautama
menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak yang terdapat unsur asing
atau foreign element).
19

meskipun di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh
hukum nasional (suatu negara tertentu).28

Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para
pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau ‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya
dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat kesepakatan-kesepakatan
sebelumnya ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya sebagai
berikut:

“In addition to the contractual terms agreed by the parties, the course of past
dealings between traders may result in terms becoming part of an agreement
between them. These past dealings, or trade ‘usages’ between the parties, may
apply to the contractual relationship despite their not being incorporated into it in
written form.”29

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.


28

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte, op.cit., hlm. 12 (Houtte
29

menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para pedagang, tetapi kontrak-kontrak
20

negara (state contracts).


21

6. Hukum Nasional

Signifikansi hukum nasional sebagai sumber hukum dalam hukum perdagangan


internasional tampak dalam uraian mengenai kontrak sebagai sumber hukum
perdagangan internasional di atas. Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir
manakala timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Dalam hal demikian ini
maka pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan melihat klausul pilihan hukum
dalam kontrak untuk menentukan hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan
sengketanya.

Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak
dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi
(kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila
tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat.

Jurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk


mengatur segala (a) peristiwa hukum, (b) subyek hukum, dan (c) benda yang berada di
dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik
yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat).

Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang
internasional, atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini maka hukum nasional
yang dibuat suatu negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenaga-
kerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HAKI
(intellectual property rights), hingga perizinan ekspor-impor suatu produk.

Kewenangan atas subyek hukum (pelaku atau stake-holders) dalam perdagangan


internasional, mencakup kewenangan negara dalam membuat dan meletakkan syarat-
syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-
syaratnya, hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal perusahaan pailit, dsb).
22

Kewenangan suatu negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam
wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat
untuk diperjual-belikan. Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-
produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan,
produk tiruan, dll.
23

C. Penutup

Sumber-sumber hukum perdagangan internasional adalah materi bahasan yang


penting. Dari sumber-sumber inilah kita dapat menemukan hukum perdagangan
internasional. Dari sumber-sumber inilah kita dapat mengomentari, menganalisis dan
menilai sesuatu persoalan dalam hukum perdagangan internasional.

Dibanding dengan sumber-sumber hukum konvensional yang terdapat dalam


hukum internasional, dalam hukum perdagangan internasional dapat ditemui sumber-
sumber yang dibuat secara khusus oleh para pihak (aktor) dalam perdagangan
internasional. Sumber hukum ini yaitu kontrak (dan kebiasaan-kebiasaan dagang)
memang sesungguhnya adalah hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Pengakuan terhadap kontrak sebagai salah satu sumber dalam hukum


perdagangan internasional mencerminkan dua hal berikut. Pertama, kontrak sebagai salah
satu sumber hukum perdagangan internasional merefleksikan unsur private law nature
dari hukum perdagangan internasional.

Kedua, kontrak sebagai salah satu sumber dari hukum perdagangan internasional
mencerminkan saling keterkaitan antara bidang hukum perdagangan internasional dengan
bidang hukum lain, khususnya hukum kontrak internasional di samping hukum
internasional, hukum ekonomi internasional, hukum penanaman modal, dll.
24

DAFTAR PUSTAKA

Booysen, Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria:
Interlegal, 1999.
Carr, Indira and Richard Kidner, Statutes and Convention on
International Trade Law, London: Cavendish, 1993.
D’Amato, Anthnoy, dan Doris Estelle Long, International
Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney:
Cavendish, 2002.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic
Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976.

Anda mungkin juga menyukai