BAB III
A. Pengantar
Dalam Bab I buku ini, penulis mengikuti pendirian Houtte, Rafiqul Islam, dan
Booysen. Inti dari pendirian para sarjana terkemuka ini adalah bahwa ada keterkaitan erat
antara hukum perdagangan internasional dan hukum internasional.
Keterkaitan antara dua bidang hukum ini membawa konsekuensi bahwa sumber-
sumber hukum internasional yang dikenal dalm lapangan ini, yaitu:(1) perjanjian
internasional; (2) hukum kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum umum; dan
(4) putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin), juga
dapat diadopsi sebagai sumber-sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional.1
Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki peran ‘lebih’
dibandingkan ke-4 sumber hukum yang tersebut sebelumnya. peran dan diakuinya
hukum nasional sebagai sumber
1
Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Cf., Perlu dikemukakan di sini bahwa
dalam literatur hukum perdagangan internasional, apa yang menjadi sumber hukum
perdagangan internasional belum ada kesepakatan. Sarjana terkemuka hukum
perdagangan internasional Profesor Clive Schmitthoff hanya mengakui 2 (dua) sumber
hukum saja, yaitu (1) perjanjian internasional (istilah beliau: international legislation);
dan (2) hukum kebiasaan internasional (istilah beliau: international commercial custom).
(Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London:
Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22 et.seq.).
2
hukum perdagangan internasional tidaklah terelakan karena sejak awal atau tahap awal
suatu pihak akan memulai transaksi- transaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan
keterkaitannya pada hukum nasional negaranya.2
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum yang terpenting. Secara
umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral,
regional dan bilateral.
2
Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.
3
Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969).
Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2
(1) (1) Konvensi: “treaty” means an international agreement concluded between States
in written form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instrumetns and whatever its particular designation;
….
3
(negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok perjanjian ini adalah
perjanjian penghindaraan pajak berganda.4
4
Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995,
hlm. 3.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian internasional
(Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan internasional), lihat: Indira Carr and
Richard Kidner, Statutes and Convention on International Trade Law, London:
Cavendish, 1993, hlm. 263-446).
4
secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan
dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi tersebut didepositkan kepada suatu
badan yang berwenang, misalnya Sekjen PBB), suatu negara dapat saja mengikatkan
dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum
nasionalnya.
Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara
tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya,
RI tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Tetapi dalam UU
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama
dengan Konvensi Win 1969 tersebut.
Tetapi perlu pula diingat bahwa penundukan diri secara diam-diam ini tidak akan
berlaku apabila perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian.
Atau, apabila muatan perjanjian internasional tersebut memberikan hak-hak (konsesi)
tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada non- anggota. Negara-negara
non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada aturan
tersebut karenanya tidak akan efektif.
GATT, Misalnya, adalah suatu kesepakatan umum di bidang perdagangan dan
tarif. Siapa saja yang menjadi anggota harus terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-
negara anggota GATT mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia
dapat memanfaatkan ke-38 pasal GATT.
b. Isi Perjanjian
1) liberalisasi perdagangan
2) Integrasi ekonomi
3) Harmonisasi Hukum
Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik
temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada
(yang akan diharmonisasikan).6
4) Unifikasi Hukum
Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnyat idak terlepas dari
upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari
sulitnya bidang hukum yang akan
6
Lihat Bab I di atas.
7
Lihat Bab I di atas.
6
disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak
mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model
hukum atau legal guide, negara- negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model
hukum atau legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya.
Dengan (semakin) banyaknya negara yang mengadopsi model hukum atau legal
guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang
muatan model hukum atau legal guide tersebut.
Contoh terkenal Model Hukum seperti ini adalah UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 ini memuat
aturan-aturan model (acuan) bagi negara-negara di dunia dalam mengundangkan
peraturan perundangannya di bidang arbitrase komersial internasional. Dengan
diadopsinya model hukum arbitrase ini diharapkan akan tercipta pengaturan arbitrase
yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara
sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya.
Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up
International Contracts for the Construction of Industrial Works 1988. Legal Guide 1988
bertujuan terciptanya keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak
di bidang konstruksi.
7
c. Standar Internasional
Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau aturan dasar yang
semua negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan
internasional.8 Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjian-
perjanjian di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya Berne Convention
for the Protection of Literary and Artistic Works. Konvensi ini meletakkan persyaratan
standar minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya seni.9
8
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
9
RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran Negara
No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih lanjut: Anthony D’Amato
dan Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer,
1997, hlm. 241).
10
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
8
Peran klausul ini penting. Klausul ini menurut Houtte, memberikan suatu derajat
perlakuan sama (equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional. Dengan
klausul ini, hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang.11
Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting,
yaitu:
(a) reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan
oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya timbal balik; dan
(b) unconditional (tidak bersyarat), artinya negara anggota lainnya dalam suatu
perjanjain berhak atas perlakuan- perlakuan khusus yang diberikan kepada negara
ketiga.12
Equal treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya yang juga disyaratkan
harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, negara-negara
peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu
sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu negara
anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di negara anggota
lainnya.
Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam praktek perjanjian
antar negara.13 Memang, sulit untuk menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara
bagaimana pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga
negara asing. Adalah kewajiban suatu negara untuk mensejahterakan warga negaranya
(daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya).
11
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7.
12
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
13
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
9
14
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
10
yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum.
Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilai- nilai hukum yang
terdapat di dalamnya berpengaruh cukup luas terhadap aturan-aturan atau perjanjian-
perjanjian internasional yang lahir kemudian.15
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
15
Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga
sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini
logis karena memang para pedagang-lah yang mula-mula ‘menciptakan’ aturan hukum
yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Contoh (lembaga
hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan kembangkan adalah barter 17 dan
counter-trade.
(1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak
(praktek negara); dan
(2) Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitatis).
16
Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa hukum kebiasaan
internasional hanya memiliki peran yang terbatas (misalnya Zamora atau Heutte, dalam
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10). Houtte berpendapat bahwa “… international
customary law has a role (albeit a limited one) to play in international and finance law”.
Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: “Because of the frequency
of contact between states in international trade, customary law is and should be very
relevant.” (Hercules Booysen, op.cit., hlm. 58).
17
Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 6.
12
Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini
adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya. Seperti dapat dimaklumi, bagi para
pedagang atau pelaku perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah
sulit bagi mereka. Mereka secara sukarelah menaati dan melaksanakan serta
memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya.
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” (Huruf
miring oleh penulis).
Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus untuk
kebiasaan internasional, banyak negara yang mengambil jarak. Bahkan untuk kebiasaan
dagang internasional seperti ini, pengadilan tidak jarang masih mempertanyakan
keabsahannya.
13
18
Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan
negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27.
19
Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental menganut
aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai
dengan konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal,
misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak
mengikat. Uraian lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase
Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
14
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum belum ada
pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari
sistem hukum nasional maupun hukum internasional.
Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip
itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi.21 Ketiga prinsip ini
terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, 22 dan terdapat pula
dalam hukum (perdagangan) internasional.
20
Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal,
1999, hlm 58.
21
Sanson, op.cit., hlm. 6.
22
Sanson, op.cit., hlm. 6.
15
Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti
halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hukum ini akan memainkan perannya
apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas
suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional).
“Adopted panel reports ... are often considered by subsequent panels. They create
legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should be taken
into account where they are relevant to any dispute.”23 [Huruf miring oleh
penulis].
23
Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October 1996, hlm. 15;
terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.
16
tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan
internasional.25
17
25
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.
18
5. Kontrak
Dapat pula kita sadari bahwa para pelaku perdagangan (pedagang) atau stake-
holders dalam hukum perdagangan internasional dalam melakukan transaksi-transaksi
perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis
(kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial. Karena itu kontrak berperan
sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting
dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.
Meskipun kebebasan para pihak sangatlah esensial, namun kebebasan tersebut ada
batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya. Pertama,
pembatasan yang utama adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan kesopanan.
Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam
perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur
asingnya.27 Artinya, kontrak tersebut,
26
Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
27
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976 (Gautama
menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak yang terdapat unsur asing
atau foreign element).
19
meskipun di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh
hukum nasional (suatu negara tertentu).28
Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para
pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau ‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya
dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat kesepakatan-kesepakatan
sebelumnya ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya sebagai
berikut:
“In addition to the contractual terms agreed by the parties, the course of past
dealings between traders may result in terms becoming part of an agreement
between them. These past dealings, or trade ‘usages’ between the parties, may
apply to the contractual relationship despite their not being incorporated into it in
written form.”29
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte, op.cit., hlm. 12 (Houtte
29
menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para pedagang, tetapi kontrak-kontrak
20
6. Hukum Nasional
Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak
dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi
(kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila
tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat.
Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang
internasional, atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini maka hukum nasional
yang dibuat suatu negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenaga-
kerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HAKI
(intellectual property rights), hingga perizinan ekspor-impor suatu produk.
Kewenangan suatu negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam
wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat
untuk diperjual-belikan. Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-
produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan,
produk tiruan, dll.
23
C. Penutup
Kedua, kontrak sebagai salah satu sumber dari hukum perdagangan internasional
mencerminkan saling keterkaitan antara bidang hukum perdagangan internasional dengan
bidang hukum lain, khususnya hukum kontrak internasional di samping hukum
internasional, hukum ekonomi internasional, hukum penanaman modal, dll.
24
DAFTAR PUSTAKA
Booysen, Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria:
Interlegal, 1999.
Carr, Indira and Richard Kidner, Statutes and Convention on
International Trade Law, London: Cavendish, 1993.
D’Amato, Anthnoy, dan Doris Estelle Long, International
Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney:
Cavendish, 2002.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic
Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976.