Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH :

1. CANDRA WAIGUNA

2. M RAPIQ

3. ANGGI ROPIQ S

4. NEVA IRAMA ARANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan internasional adalah salah satu aktivitas ekonomi yang telah sangat tua

dan berperan penting dalam menjalankan roda kehidupan suatu negara. Nopirin menyatakan

bahwa perdagangan internasional mempunyai peranan yang cukup besar bagi pertumbuhan

ekonomi negara. Salvatore dalam Huala Adoulf (1994:19) menyatakan bahwa “perdagangan

dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan. Jika aktifitas perdagangan internasional adalah

ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi

motor penggerak bagi pertumbuhan.”

Perkembangan ekonomi setiap negara dapat diwujudkan dengan adanya hubungan

perdagangan internasional dengan negara lain. Hubungan perdagangan internasional ini

sudah ada sejak lama, yaitu sejak adanya negara-negara dalam dalam arti modern. Perjuangan

negara-negara untuk mendapatkan pengawasan dan kemandirian terhadap perekonomian

internasional, memaksa mereka untuk melakukan hubungan kerjasama perdagangan dengan

negara lain. Negara menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk

pembangunan ekonomi mereka.

Perkembangan dunia perdagangan internasional saat ini mengalami kemajuan yang

sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah

menyepakati sebuah mekanisme atau aturan perdagangan yang dapat lancar dan efektif dan

bersifat global atau lintas negara, muncullah ide untuk membentuk aturan dalam bidang

perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang diterapkan

adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan bekerja lebih

efektif dan menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan

berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan
dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT

merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur

perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam

perdagangan internasional.(Huala Adoulf.2005:34).

Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam

perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).

Transaksi perdagangan internasional menimbulkan potensi sengketa dagang apabila

salah satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan penuh kewajibannya

sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga memerlukan upaya, mekanisme dan

aturan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

Transaksi perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa

perdagangan internasional membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian yang disepakati

akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena itu permasalahan

dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan

internasional dilakukan?

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas membuat membuat penulis tertarik

untuk membahasnya dalam suatu karya ilmiah yang berjudul"Penyelesaian Sengketa dalam

Perdagangan Internasional” dengan rumusan masalah sebagai berikut :

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai

berikut :

a. Apa pengertian perdangan Internasional?

b. Siapa pihak yang berada dalam sengketa perdangangan Internasional?

c. Bagaimana prinsip- prisip penyelesaian sengketa perdagangan Internasional?

d. Forum apa saja yang ada dalam sengketa perdagangan Internasional?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Para Pihak dalam Sengketa

Bab II memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum perdagangan

internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dll. Dalam uraian berikut, para pihak

yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan

negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan

pun dibatasi hanya antara pedagang dan pedagang; dan Pedagang dan negara asing.

1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.

Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi.

Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai

cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.

Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum pengadilan apa yang akan

menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan

hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili

sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati

kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut

ada batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban

umum.

2. Sengketa antara pedagang dan negara asing

Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-

kontrak dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak

seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah

kontrak-kontrak pembangunan (development contracts). Misalnya, kontrak di bidang


pertambangan.yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas negara yang diakui

hukum internasional. Dengan adanya konsep imunitas inilah yang sedikit banyak

berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan penyelesain sengketanya.

Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi

apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing.

Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak

semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna

(par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek

hukum internasional terbatas.

Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure

gestiones. Yang pertama adalah tindakan- tindakan negara di bidang publik dalam

kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu

tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.

Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di bidang keperdataan

atau dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan

negara dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga

tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana

layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian

menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum,

arbitrase, dll.

Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa suatu badan

peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa

bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones

ini ( Huala Adolf,2002:255).


B. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa

Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip

mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian

sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan

atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar

apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini

sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang

para pihak sepakati.

Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini yang tertuang dalam (Cf . Pasal

1338 KUH Perdata Indonesia) adalah:

a. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau

menyesatkan pihak lainnya;

b. bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak.

Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula

berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh

untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan

(principle of free choice of means).

Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian

arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini

penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak.
Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan

para pihak untuk memilihnya.(Hoala Adolf., 2005:196).

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan

sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan

(arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini

termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).

Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.

Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28

ayat (1) dalam Huala Adolf (2005:196) UNCITRAL Model Law on International

Commercial Arbitration:

“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law

as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of

the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as

directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral

dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik

dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.Nopirin (2000:163) mengemukakan dalam

penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.

Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang

dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara.


Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan

sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum

(perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau

cara- cara pilihan para pihak lainnya.

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum

kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini,

Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus

mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility.

Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut:

“When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by

an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether

natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may

nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the

obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available

to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not

possible, an equivalent treatment.”(Dikutip dari D.J Haris .,1998:617).

Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para

pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah

penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus

terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959),

Mahkamah Internasional menegaskan dalam buku Huala Adolf ( 2002:276).


"Before resort may be had to an international court... the state where the violation occured

should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own

domestic legal system."

C. Forum Penyelesaian Sengketa

Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada

prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa

(internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta

(inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan,

atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.

Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di

dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang

diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam

pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia ( Gerald Cooke.,1997:200).

Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak semua forum

dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase.

Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak

termasuk dalam bahasan.

1. Negosiasi

Soerjano Soekanto( 2003:181) menyatakan bahwa “Negosiasi adalah cara

penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan”. Penyelesaian

melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap

hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi

prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan

atau konsensus para pihak. Senada dengan itu Kohona dalam Sudargo Gautama ( 2010

:37) mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating

to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the

wishes of all the disputants."

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah:

pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain

lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak

lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan

sengketanya di antara mereka.

Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan

bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang

timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas

waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.

Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.

Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.

Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu

dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum

lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu

sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa

oleh para pihak (dalam arti negosiasi).


2. Mediasi

Soerjano Soekanto( 2003:185) menyatakan bahwa “mediasi adalah suatu cara

penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi

profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia

dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan

memberikan saran penyelesaian sengketa.”

Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal).

Usulan ini dibuat berdasarkan informasi- informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan

atas penyelidikannya.

Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi

mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama

mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat

disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.

Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus

ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting

adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau

tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas

mediator.

Gerald Cooke (1997:200) menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai

berikut:

“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective

result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other

alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.”

Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini

tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya
melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui

mediasi.

Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka

masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu

pengadilan atau arbitrase.

3. Konsiliasi

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan

pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit

untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens,

dalam Syahmin AK (2006:86) ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal

daripada mediasi.

Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut

dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad

hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan- persyaratan penyelesaian

yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan

tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan

konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para

pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan

menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan

penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya

diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. (Syahmin

AK.,2006:86)
Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang

dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing,

yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31

Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.

Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus

pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum

badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.

Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago

diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak

sepakat untukmenerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.(Huala Adolf., 2002

:246)

4. Arbitrase.

a. Mengapa Arbitrase Dipilih?

Huala Adolf (2002 : 249) menyatakan Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara

sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga

atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa

ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang

nasional maupun internasional.

Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan

menurut Hans Bagner dalam Micheal P.Todaro ( 2004 : 40) adalah sebagai berikut:

1. kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah

penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui

pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan
kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya

final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.

2. Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat

kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan.

3. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih

‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai

pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada

kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja

ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang

lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli

perbankan, dll.

4. Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter

untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila

memang para pihak menghendakinya).

5. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat

dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan

melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup

arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New

York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

b. Perjanjian Arbitrase

Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu,

termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak.

Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang

istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of

forum berarti pilihan cara untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan

arbitrase.

Istilah choice of jurisdiction, menurut Gerald Cooke (1997:208) “berarti pilihan

tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa.” Tempat yang

dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu

submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir.

Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian

sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).

Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat

esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat

utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU

Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam

instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.

Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi

arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk

menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam

kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani

sengketa.

c. Lembaga-lembaga Arbitrase

Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional

terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International


Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce

(ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).Di

samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau

aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on

International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the UnitedNations Commission on

International Trade Law (UNCITRAL) (Gerald Cooke.,1997:209)

5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut

di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya

ditempuh apabila cara- cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.

Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan

manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa

dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa

manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat untuk

menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.

Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan

pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini

misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani

sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu

pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara

lain anggota WTO yang merugikannya.

Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court

Pof Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil

pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.


Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the International Court of

Justice). Peranan Mahkamah dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk

perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945)sampai tulisan

ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili 2 kasus di bidang ekonomi

internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona

Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.

Sengketa The Barcelona Traction adalah sengketa terkenal. Dalam sengketa ini

sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun

1911. Perusahaan ini mengoperasilan pembangunan dan pengadaan tenaga listrik di Spanyol.

(Gerald Cooke.,1997:210-211)

Pada tahun 1968, pengadilan Spanyol memutuskan perusahaan tersebut pailit.

Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut.

Pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi

kepentingan warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham

mayoritas dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar 88 %.

Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan

pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Spanyol

menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum

yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dalam putusannya, Mahkamah

Internasional setuju dengan Spanyol.

F.A. Mann dalam Huala Adolf (2005:212) menyatakan 'hasil kerja' Mahkamah

Internasional ini 'suram', pada dasarnya karena dua alasan. Pertama, kurang adanya

penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya. Kedua, kurangnya

keahlian atau kemampuan Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum)

ekonomi atau perdagangan internasional.


Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini juga jurisdiksinya

kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan

kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan

subyek-subyek hukum perdagangan internasional non-negara juga penting. (Huala Adolf.,

2005:212)

Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan

dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama

dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi

cukup penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian

perdagangan internasional.

Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam

kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel

yang menyelesaikan sengketa- sengketa ekonomi internasional antar negara-negara anggota

GATT/WTO.

Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanya

kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus

seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua,

adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan

peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa

dalam bidang perdagangan internasional.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi

kebebasan dan peluang yang cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan

sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula

kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk

kedua hal ini badan peradilan harus menghormatinya.

Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing memiliki

kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya.

Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak

menyelesaikan sengketanya.

Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah

kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap

hukum tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang diterapkan

badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu

menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan

badan peradilan di negara lainnya.

Pertimbangan penting lainnya yang justru sangat esensial adalah pertimbangan

kemungkinan dapat atau tidak dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau

kealpaan untuk mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian

sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak berarti.
B. Saran

Makalah ini dalam penulisannya dan penyajiannya memang sangat jauh dari

kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan sekali sebuah kritikan atau saran yang

sekiranya membangun guna perbaikan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 1994 .Arbitrase Komersial Internasional, cet.2, Jakarta: Rajawali Pers.

Adolf, Huala. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, cet. 3, Jakarta: Rajawali

Pers.

Adolf,Huala. 2005. Hukum Perdangan Internasional.cet 3. Jakarta :Rajawali Pers.

Ak,Syahmin.2006.Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka Studi Analisis.Jakarta: Rajawali

Pers.

Cooke,Gerald.1997.Disputes resolution in International Trading”dalam Jonathan Reuvid(ed.),The

Strategic Guide to InternationalTrade.London: Kogan Page

Gautama,Sudargo.2010.Hukum dagang Internasional.Bandung : PT.Alumni.

Nopirin,2010.Ekonomi Internasional.ed.3 .Yogyakarta BPE-UGM

Pandika,Rusli.2010.Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem HukumWTO.Bandung :

PT.Alumni.

Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji.2003. Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan Singkat .cet

7.ed.1.Jakarta :PT.Raja Grapindo.Persada.

Tidaro,Micheal P.dan Stephan C.Smith. 2004.Perkembangan Ekonomi diDunia Ketiga

2.Terjemahan Haris Munandar .Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai