DISUSUN OLEH :
1. CANDRA WAIGUNA
2. M RAPIQ
3. ANGGI ROPIQ S
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan internasional adalah salah satu aktivitas ekonomi yang telah sangat tua
dan berperan penting dalam menjalankan roda kehidupan suatu negara. Nopirin menyatakan
bahwa perdagangan internasional mempunyai peranan yang cukup besar bagi pertumbuhan
ekonomi negara. Salvatore dalam Huala Adoulf (1994:19) menyatakan bahwa “perdagangan
dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan. Jika aktifitas perdagangan internasional adalah
ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi
sudah ada sejak lama, yaitu sejak adanya negara-negara dalam dalam arti modern. Perjuangan
negara lain. Negara menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk
sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah
menyepakati sebuah mekanisme atau aturan perdagangan yang dapat lancar dan efektif dan
bersifat global atau lintas negara, muncullah ide untuk membentuk aturan dalam bidang
perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang diterapkan
adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan bekerja lebih
berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan
dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT
merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur
Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam
salah satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan penuh kewajibannya
sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga memerlukan upaya, mekanisme dan
akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena itu permasalahan
dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan
internasional dilakukan?
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas membuat membuat penulis tertarik
untuk membahasnya dalam suatu karya ilmiah yang berjudul"Penyelesaian Sengketa dalam
B. Rumusan Masalah
berikut :
PEMBAHASAN
Bab II memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum perdagangan
internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dll. Dalam uraian berikut, para pihak
yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan
negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan
pun dibatasi hanya antara pedagang dan pedagang; dan Pedagang dan negara asing.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi.
Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai
cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum pengadilan apa yang akan
menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan
hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili
sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati
kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut
ada batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban
umum.
Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-
kontrak dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak
seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah
hukum internasional. Dengan adanya konsep imunitas inilah yang sedikit banyak
Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi
apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing.
semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna
(par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek
Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure
gestiones. Yang pertama adalah tindakan- tindakan negara di bidang publik dalam
kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu
tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.
atau dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan
layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian
arbitrase, dll.
peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa
bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones
sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan
atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar
apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini
sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini yang tertuang dalam (Cf . Pasal
a. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau
b. bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak.
Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula
Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh
untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on
arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini
penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak.
Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan
sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan
(arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini
termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa
Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28
ayat (1) dalam Huala Adolf (2005:196) UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration:
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law
as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of
the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as
directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral
dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus
mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility.
“When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by
natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may
obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available
to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus
terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959),
should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own
prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa
(inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan,
atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di
dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang
diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional RI yang dapat ditemukan dalam
pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia ( Gerald Cooke.,1997:200).
Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak semua forum
dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase.
Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak
1. Negosiasi
penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan”. Penyelesaian
melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap
hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi
atau konsensus para pihak. Senada dengan itu Kohona dalam Sudargo Gautama ( 2010
:37) mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating
to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah:
pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain
lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak
lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan
bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang
timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas
waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.
Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum
lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu
sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa
penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi
profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia
dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan
Usulan ini dibuat berdasarkan informasi- informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan
atas penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi
mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama
mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat
disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus
ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting
adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau
tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas
mediator.
berikut:
“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini
tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya
melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi.
masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan
pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit
untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens,
dalam Syahmin AK (2006:86) ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal
daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut
dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad
yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan
tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan
konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para
pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan
penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya
diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. (Syahmin
AK.,2006:86)
Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang
dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing,
yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31
Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus
pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum
Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago
diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak
:246)
4. Arbitrase.
Huala Adolf (2002 : 249) menyatakan Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara
sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga
atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan
menurut Hans Bagner dalam Micheal P.Todaro ( 2004 : 40) adalah sebagai berikut:
1. kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah
pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan
kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya
final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
2. Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat
3. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih
‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai
pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada
kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja
ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang
perbankan, dll.
4. Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter
melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup
arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New
b. Perjanjian Arbitrase
termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak.
Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang
istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of
forum berarti pilihan cara untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan
arbitrase.
tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa.” Tempat yang
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu
submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir.
Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat
esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat
utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU
Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi
kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani
sengketa.
c. Lembaga-lembaga Arbitrase
(ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).Di
samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau
aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on
di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya
ditempuh apabila cara- cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa
dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa
manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat untuk
pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini
misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani
sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu
pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara
perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'. Selama berdiri (sejak 1945)sampai tulisan
internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona
Sengketa The Barcelona Traction adalah sengketa terkenal. Dalam sengketa ini
sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun
1911. Perusahaan ini mengoperasilan pembangunan dan pengadaan tenaga listrik di Spanyol.
(Gerald Cooke.,1997:210-211)
Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut.
Pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi
kepentingan warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata pemegang saham
mayoritas dalam perusahaan tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar 88 %.
Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan
menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum
yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dalam putusannya, Mahkamah
F.A. Mann dalam Huala Adolf (2005:212) menyatakan 'hasil kerja' Mahkamah
Internasional ini 'suram', pada dasarnya karena dua alasan. Pertama, kurang adanya
kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan
2005:212)
dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama
dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi
perdagangan internasional.
kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel
GATT/WTO.
kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus
seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua,
adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan
PENUTUP
A. Kesimpulan
kebebasan dan peluang yang cukup besar kepada para pihak untuk menyelesaikan
kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa. Untuk
kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya.
Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak
menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah
kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap
hukum tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan pendekatan yang diterapkan
badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu
menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan
kemungkinan dapat atau tidak dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau
sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak berarti.
B. Saran
Makalah ini dalam penulisannya dan penyajiannya memang sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan sekali sebuah kritikan atau saran yang
Adolf, Huala. 1994 .Arbitrase Komersial Internasional, cet.2, Jakarta: Rajawali Pers.
Adolf, Huala. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, cet. 3, Jakarta: Rajawali
Pers.
Pers.
PT.Alumni.
Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji.2003. Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan Singkat .cet