Internasional
Hikmahanto Juwana
Atas pendapat diatas mungkin ada yang berargumen bahwa negara dengan
negara dapat melakukan transaksi di bidang perdagangan. Sebagai contoh, di
Indonesia suatu ketika Pemerintah Indonesia pernah membuat kesepakatan
dengan Pemerintah Thailand untuk melakukan imbal beli pesawat yang
diproduksi oleh Indonesia dengan 110.000 ton beras ketan yang diproduksi di
Thailand.
Namun contoh diatas bila ditelaah lebih mendalam ternyata bukan transaksi
perdagangan antar negara. Pertama, pesawat yang diproduksi di Indonesia
bukanlah hasil produksi dari pemerintah Indonesia, melainkan hasil produksi
badan hukum yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia (PT. Insdustri Pesawat
Terbang Nusantara/IPTN). Sementara beran ketan tidak diproduksi oleh
pemerintah Indonesia melainkan oleh para pelaku usaha di Thailand. Peran
kedua pemerintah dalam transaksi perdagangan yang dilakukan antar pelaku
usaha adalah memfasilitasi agar terjadi imbal beli.
Demikian pula jika contoh yang diberikan adalah pengadaan pesawat tempur
oleh Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Departemen Pertahanan dari
Amerika Serikat. Adalah benar bahwa Departemen Pertahanan merupakan
1
representasi dari Negara, namun pihak yang memproduksi pesawat tempur
bukanlah pemerintah Amerika Serikat, melainkan badan usaha yang berada di
Amerika Serikat. Perjanjian pengadaan semacam ini sering disebut sebagai
Government Contract. Kontrak dimana salah satu pihaknya adalah
Negara/Pemerintah. Negara disini harus dianggap sebagai subyek hukum
perdata, bukan sebagai subyek hukum dalam hukum publik.
Untuk memberi argumentasi yang lebih kuat atas apa yang disampaikan diatas,
ada baiknya untuk memahami subyek hukum dalam berbagai cabang ilmu
hukum.
Sebagaimana diketahui ilmu hukum dibagi menjadi dua kelompok yaitu hukum
perdata dan hukum publik. Dalam hukum publik terbagi lagi menjadi hukum
pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum
internasional.
Setiap cabang ilmu hukum memiliki teori, doktrin, bahkan subyek hukumnya
sendiri. Untuk hal terakhir, subyek hukum, ternyata para mahasiswa hukum
diberikan pemahaman yang kurang akurat. Subyek hukum dikuliahkan sebagai
terdiri hanya orang dan badan hukum.
Padahal siapa yang menjadi subyek hukum akan sangat bergantung dalam
cabang ilmu hukum apa. Subyek hukum perdata, misalnya, adalah orang dan
badan hukum. Sementara subyek hukum pidana adalah negara dan pelaku
tindak pidana yang dapat terdiri dari orang dan badan hukum. Negara sebagai
subyek hukum pidana karena negara yang menentukan apa yang dianggap
sebagai perbuatan ‘jahat’ dan negara pula yang menegakkan aturan-aturan
tersebut, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Sementara dalam hukum tata negara dan administrasi negara yang menjadi
subyek hukum adalah pemerintah (penguasa) dan rakyat. Pemerintah dalam
hukum tata negara dan administrasi negara terdiri dari lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, bahkan lembaga audit.
2
Hukum internasional memiliki subyek hukumnya sendiri yaitu Negara,
Organisasi Internsional, Palang Merah Internasional dan lain-lain, termasuk
individu yang melakukan kejahatan internasional.
Dalam hukum perdata internasional, berbagai isu yang muncul dibagi menjadi
dua katagori. Pertama adalah yang terkait dengan masalah keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, perwalian dan adopsi. Kedua adalah isu-isu yang terkati
dengan masalah transaksi bisnis. Untuk hal yang terakhir ini para penulis dan
perkuliahan di luar negeri dan perkuliahan di Indonesia menyebutnya sebagai
transaksi bisnis internasional (international business transaction).
Mispersepsi yang terakhir terkait dengan apa yang diatur dalam berbagai
perjanjian antar negara. Perjanjian antar negara ini tidak mengatur transaksi
yang dilakukan antar negara serupa dengan kontrak bisnis internasional.
Ada paling tidak tiga hal yang diatur dalam perjanjian antar negara dibidang
perdagangan. Pertama adalah kesepakatan antar negara untuk menghilangkan
berbagai hambatan (barriers) atas arus barang dan jasa. Kesepakatan ini yang
kemudian harus ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan
nasional di berbagai tingkatan sehingga kebijakan pemerintah dibidang
perdagangan akan tidak mendiskriminasi asal barang atau jasa.
3
pemerintahan dapat membuat kebijakan, bahkan dalam menafsirkan suatu
istilah atau konsep.
Padahal agar terjamin lalu lintas arus barang dan jasa diperlukan persamaan
persepsi antar negara. Melalui perjanjian internasional dibidang perdagangan
inilah persamaan persepsi tersebut dapat diwujudkan.