Anda di halaman 1dari 6

4.

Sebutkan dan jelaskan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam membuat
kontrak internasional. Jelaskan secara lengkap dan terperinci!
Jawab :
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat kontrak internasional adalah :
1. Konsep Perjanjian

Konsep perjanjiannya tiap-tiap bentuk/model perjanjian memiliki klausul

tersendiri berdasarkan best practices of law yang berlaku di dunia atau bagi negara
tertentu. Konsep perjanjian perlu dipahami dengan benar, karena kesalahan
memahami model kontrak tertentu, akan membuat keliru, misalnya dalamdistribution
agreement dan agency agreement. Kedua model perjanjian itu memiliki konsep
masing-masing yang harus diketahui. Selain itu tak jarang para pihak mengacu
pengertian suatu istilah tertentu pada standar kontrak yang telah dibuat oleh suatu
kelompok atau asosiasi dagang tertentu, misalnya International Chamber of
Commerce atau International Trade Centre.
Tiap-tiap bentuk/model perjanjian memiliki klausul tersendiri berdasarkan best
practices of law yang berlaku di dunia atau bagi negara tertentu. Maka haruslah
semestinya didudukkan terlebih dahulu bagi pembuat kontrak ataupun para pihak
untuk menentukan konsep perjanjian yang dibuat sebelum membuat kontrak, terutama
kontrak yang mengandung unsur HPI didalamnya.
2. Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Internasional
Perlu diketahui bahwa dalam kontrak internasional berlaku prinsip-prinsip
umum yang selama ini diakui. Prinsip freedom of contract, dimana para pihak berhak
menentukan isi perjanjian, di Indonesia terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
Prinsip good faith, dimana para pihak harus beritikad baik dalam menangani kontrak.
Apabila kita melakukan perjanjian dengan negara yang menganut sistem
common law, maka perlu dipahami bahwa itikad baik dalam pengertian mereka
ditempatkan setelah perjanjian ditandatangani, sehingga isi kontrak harus dipikirkan
dengan baik sebelum ditandatangani.
Selain itu prinsip pacta sunt servanda, dimana perjanjian harus ditepati dan
dipatuhi oleh para pihak. Ketiga prinsip ini harus diketahui selain prinsip-prinsip
lainnya yang berlaku. Prinsip-prinsip yang ada dalam kontrak perdata internasional
terap harus diperhatikan dalam penyusunan kontrak. Seperti lex loci contractus, Lex

loci solution, The proper law of the contract , dan Teori The Most characteristic
Connection
3. Governing law/Choice of law
Governing law/Choice of law adalah hukum yang berlaku dan mengikat pada
perjanjian tersebut. Teori choice of law atau pilihan hukum secara umum diterima di
semua negara-negara di dunia2 sehingga berlakunya teori ini secara universal.
Menurut teori ini, para pihak tidak mempunyai kewenangan untuk menciptakan
hukum bagi mereka dan para pihak hanya dapat memilih hukum mana yang mereka
kehendaki untuk diperlakukan terhadap kontrak yang mereka buat. Akan tetapi teori
choice of law atau pilihan hukum hanya dipakai dalam kontrak yang ada unsur
asingnya atau foreign element.Suatu perjanjian yang mengandung unsur asing atau
foreign element jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tunduk pada hukum
yang berbeda dengan pihak lainnya, dan atau adanya unsur asing karena substansi
perjanjian itu tunduk pada hukum negara lain. Misalnya jual beli apartemen yang
terletak di Singapura antara seorang Warganegara Indonesia dengan Warganegara
Indonesia lainnya.
Apabila para pihak dalam membuat kontrak bisnis- internasional telah
melakukan choice of law pada suatu sistim hukum tertentu, lalu timbul sengketa
dikemudian hari mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak
tersebut, maka hukum yang dipilih irulah yang berlaku. Misalnya mengenai
wanprestasi, maka hukum yang dipilih itulah yang menentukan syarat-syarat dan
kapan terjadi serta akibat hukum apa atas wanprestasi tersebut
.
(a). Pentingnya Klausula Choice of Law
Ada pendapat yang mengatakan bahwa klausula choice of law dalam
pembuatan kontrak bisnis internasional tidak penting karena para pihak menganggap
bahwa transaksi bisnis merupakan suatu masalah yang rutin dan tanpa choice of law
pun, setiap sistim hukum negara tertentu sudah memiliki pengaturan dalam hukum
perdata internasional yang menetapkan hukum apa yang akan diterapkan dalam
menyelesaikan sengketa bisnis internasional.
Namun banyak yang kurang sependapat dengan alasan seperti tersebut di atas,
sebab masing-masing negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistim hukum
perdata internasional yang berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan dapat terjadi

perbedaan tajam dalam menyelesaikan sengketa atas kasus yang sama. Lebih menarik
lagi ada pendapat yang mengibaratkan hukum mengenai "international sale of goods"
dengan aturan pertandingan badminton, yaitu apabila setiap negara memiliki aturan
permainan sendiri-sendiri maka bukan saja harus disediakan raket, bola, dan lapangan
yang berbeda, tetapi juga aturan yang berbeda pula. Akibatnya bukan saja mahal
tetapi bahkan pertandingan itu sendiri tidak bisa diselenggarakan.4 Oleh sebab itu
dalam banyak kontrak bisnis internasional dicantumkan klausula choice of law demi
adanya kepastian hukum.
Kecenderungan untuk memakai choice of law dalam kontrak-kontrak bisnis
internasional yang dilakukan oleh Pertamina dengan pihak asing, menurut Sudargo
Gautama hampir semua kontrak-kontrak tersebut terdapat choice of law5. Pada hal
kedudukan Pertamina dalam melakukan negosiasi dengan mitra asingnya lebih tinggi
(unter geordnet), disini Pertamina (Pemerintah) mempunyai bargaining power lebih
kuat dari mitranya, karena Pemerintah harus melindungi kepentingan umum. Oleh
sebab itu Pemerintah dapat memaksakan syarat-syarat yang lebih ketat bagi mitranya,
walaupun demikian Pemerintah memberikan tempat bagi choice of law karena pada
sisi lain Pemerintah sangat mengharapkan partisipasi asing dalam membangun
perekonomian di Indonesia.
Tradisi di beberapa negara berkembang lainnya seperti di Amerika Latin, di
mana transaksi bisnis internasional yang dilakukan antara pemerintah disatu pihak dan
swasta asing di pihak lainnya, pihak pemerintah selalu mensyaratkan pemakaian
hukum nasional pemerintah. Dalam menghadapi kondisi yang demikian, maka pihak
asing hanya dapat memilih "take it or leave it" karena tidak ada negoisasi dan tidak
ada bargaining position, dengan demikian tidak ada tempat bagi choice of law.
Berbicara tentang klausula choice of law, berarti ada suatu proses negosiasi
yang alot antara para pihak agar tercapai kesepakatan tentang klausula choice of law
tersebut, serta adanya bargaining position yang seimbang. Oleh sebab itu tidak semua
kontrak-kontrak bisnis internasional adalah penting untuk membicarakan choice of
law, seperti dalam transaksi-transaksi antar bank, di mana para pihak menganggap
cukup memakai International Uniformity yang disediakan oleh bank. Dengan
demikian tidak dibutuhkan negosiasi mengenai hukum nasional yang mana akan
dipakai jika timbul sengketa.
Demikian juga dalam kontrak-kontrak yang melibatkan banyak pihak serta
kontrak tersebut mempunyai syarat-syarat yang panjang, sehingga sulit untuk

melakukan negosiasi tentang choice of law, misalnya kerjasama mengenai eksploitasi


sumber perikanan.
Namun seberapa pentingnya klausula choice of law adalah berpulang kepada
para pihak itu sendiri yang membuat kontrak tersebut, sebab jika dalam bernegosiasi
tidak terdapat kesepakatan, maka dapat menjadi pemicu perselisihan yang tidak
penting dan merusak kesempatan berbisnis. Padahal tujuan utama yang ingin dicapai
para pihak dalam melakukan transaksi adalah prestasi.
(b) Pembatasan Choice of Law
Choice of law atau pilihan hukum harus dilakukan secara bonafide dan legal,
artinya memilih suatu sistim hukum tertentu tidak dimaksudkan untuk menyelundupi
peraturan-peraturan tertentu dan sebaiknya hukum yang dipilih adalah hukum yang
mempunyai hubungan tertentu dengan kontrak bersangkutan. Demikian pula, bila
pilihan hukum yang telah dinegosiasikan secara seksama oleh para pihak akan tetapi
jika hukum yang dipilih itu melanggar ketertiban umum (public policy) dari hukum
nasional hakim, maka kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh hakim karena
tidak sah.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ketertiban
umum ialah sendi-sendi azasi dari seluruh sistim hukum dan masyarakat Indonesia.
Konsep tentang ketertiban umum (public policy) berbeda dalam negara yang satu
dengan negara lainnya dan konsep tersebut dapat berubah sesuai dengan keadaan
sosial sebagaimana ide suatu negara tentang agama, moral, dan etika yang mengalami
modifikasi.
Sekelompok peraturan yang dinamakan mandatory rule atau dwingendrecht
yaitu peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa, misalnya peraturan tentang
persaingan, peraturan tentang moneter, peraturan tentang kontrak kerja, peraturan
tentang ekspor impor dan Iain-lain. Pada kelompok peraturan-peraturan seperti
tersebut di atas tidak dapat disimpangi oleh para pihak dalam membuat kontrak bisnis
internasional dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibat kontrak
itu dapat dibatalkan oleh hakim.
Dengan demikian suatu kontrak dapat dikatakan melanggar hukum (ilegal)
atau bertentangan dengan public policy suatu negara sehingga tidak dapat
diberlakukan, adalah tergantung pada kasus demi kasus.

4. Choice of Forum
Choice of forum adalah lembaga penyelesaian sengketa mana yang ditunjuk
untuk menyelesaikan sengketa. Ada waktu mengadakan transaksi bisnis internasional
para pihak dapat memilih forum tertentu sebagai tempat penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul dikemudian hari sehubungan dengan transaksi yang mereka buat.
Forum tersebut dapat berupa, forum pengadilan dan yang lainnya forum arbitrase.
Masalah tempat penyelesaian sengketa menjadi penting karena dalam suatu
kontrak bisnis internasional dapat terbuka kemungkinan timbulnya banyak yurisdiksi
yang dapat menyatakan sebagai forum yang berwcnang untuk menyelesaikan suatu
sengketa. Karena paia piliak yang terlibat dalam kontrak bisnis internasional berasal
dari negara yang berbeda, dan jika timbul sengketa maka terbuka kemungkinan bahwa
sengketa tersebut dapat diajukan pada pengadilan dari masing-masing pihak. Selain
itu pengadilan dari negara ke tiga dapat juga mempunyai kewenangan untuk
memeriksa suatu sengketa, jika tempat terjadinya kerugian berada dalam yurisdiksi
pengadilan dari negara tersebut. Pengadilan dari negara ke tiga dapat juga mempunyai
yurisdiksi atas suatu sengketa jika aset debitor terletak dalam negara itu. Adanya
kegiatan bisnis terus menerus di wilayah negara lain juga bisa berakibat ditunduknya
kita pada yurisdiksi negara itu.
Dengan demikian maka suatu kegiatan bisnis internasional dapat melibatkan
banyak yurisdiksi, dan masing-masing yurisdiksi ang terkait dalam kontrak bisnis
internasional tersebut dapat mengklaim yurisdiksinya sebagai yurisdiksi yang
berwenang atas sengketa itu, atau bahkan atas suatu sengketa dapat digugat pada lebih
dari satu pengadilan.
Maka untuk menghindari timbulnya banyak yurisdiksi dalam menangani suatu
sengketa bisnis internasional maka para pihak dalam merancangkan suatu kontrak
bisnis internasional dapat mencantumkan klausula pilihan forum atau choice of forum
clause. Dengan demikian jika timbul sengketa di kemudian hari mengenai kontrak
tersebut maka forum yang dipilih itulah yang berwenang untuk mengadili sengketa
tersebut.
Namun demikian dalam praktek tidak selalu klausula choice of forum atau
choice of forum clause dapat diterima sebagai supremacy dari partij automomie.
Karena pilihan forum harus dilakukan pada forum yang ada kaitannya dengan kontrak

tersebut. Di samping itu klausula choice of forum juga dapat diuji oleh doktrin forum
non convenience yang diterapkan di pengadilan Amerika.

Anda mungkin juga menyukai