Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan


ekonomi yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan
tenaga kerja antarnegara yang tidak lagi mengenal batasan teritorial (Adolf,
2004:2). Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Dengan
memanfaatkan keadaan perdagangan bebas yang terjadi, Negara-negara saling
berlomba untuk memajukan pembangunan ekonomi mereka dengan
mengadakan perdagangan luar negeri. Ada berbagai motif atau alasan mengapa
negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan
transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang terjadi adalah bahwa
perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Ketika suatu negara berusaha secara
maksimal mengendalikan pasar untuk kepentingannya, maka telah terjadi
hubungan antara politik dan ekonomi. Kegiatan politik ekonomi dalam
perdagangan internasional ini sangat rentan menimbulkan konflik.
Konflik atau sengketa dalam hubungan internasional sangat rentan
terjadi. Benturan kepentingan politik suatu negara dengan negara lain, serta
adanya pelanggaran terhadap perjanjian dalam lingkup multilateral maupun
billateral, dapat menjadi penyebab timbulnya suatu konflik atau sengketa
internasional. Dalam hukum internasional, terdapat berbagai cara yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional yang terjadi.
Penyelesaian sengketa dengan damai hingga penggunaan kekerasan, dapat
digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional oleh suatu negara.
Penggunaan penyelesaian sengketa dengan kekerasan, memang disarankan untuk
tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun
1899 dan 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak

1
mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk
melarang negara-negara menggunakan kekerasan sebagai metode penyelesaian
sengketa. Namun disisi lain penggunaan penyelesaian sengketa secara damai yang
banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa internasional, baik publik
ataupun privat banyak memiliki kekurangan atau kelemahan dalam
prosesnya.
Salah satunya penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama
adalah penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi di pengadilan. Proses
ligitasi mempunyai beberapa kelemahan seperti, (a) hanya menghasilkan
putusan yang bersifat menang-kalah, (b) memakan waktu yang banyak, (c)
juga tidak sedikit memakan biaya yang banyak. Proses-proses tersebut
pastinya banyak dihindari oleh negara-negara, organisasi internasional dan
aktor non-negara demi menghemat waktu, tenaga, biaya dan kemungkinan
sesuatu yang fatal terjadi kedepannya. Selain itu penggunaan skema negosiasi
dalam penyelesaian sengketa juga memiliki kelemahan dalam prosesnya salah
satunya adalah, negosiasi tidak pernah tercapai apabila salah satu pihak
berpendirian keras. Penggunaan negosiasi juga berarti menutup kemungkinan
keikutsertaan pihak ketiga, artinya apabila salah satu pihak berkedudukan
lemah tidak ada pihak yang membantunya (Adolf, 2004:16)
Keberadaan organisasi internasional yang secara khusus
menangani permasalahan penyelesaian sengketa, dapat digunakan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa. Dalam kasus sengketa perdagangan
internasional, salah satu contoh organisasi internasional yang mengatur
mengenai permasalahan ini adalah organisasi perdagangan dunia (World
Trade Organization) disingkat juga WTO. WTO adalah organisasi yang
berbasiskan aturan-aturan yang merupakan hasil perundingan. Pembentukan
WTO dilandasi untuk mengatur perdagangan pada tingkat internasional, yang
salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat
konflik atau sengketa yang timbul dari perdagangan internasional (Djani,
2002:47). Organisasi-organisasi seperti ini pada umumnya menyediakan panel
atau suatu badan yang bersifat sementara (ad hoc) yang dibentuk khusus

2
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Penyelesaian sengketa melalui
organisasi internasional banyak dilakukan oleh negara anggota, hingga negara
yang bukan merupakan anggota organisasi tersebut.Keputusan akhir yang
dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa dapat bersifat mengikat atapun hanya
sebatas masukan bagi negara-negara yang bersengketa (Brotosusilo, 1996:10)

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah skema pengaturan penyelesaian sengketa perdagangan
internasional?
2. Apakah embargo dapat digunakan sebagai skema penyelesaian
sengketa perdagangan internasional?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sengketa Internasional
Sengketa (dispute) diartikan sebagai pertikaian ataupun konflik. Sementara
itu, Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine
Concessions (Preliminary Objections) (1924) mendefinisikan pengertian sengketa
sebagai: disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or
interest between two persons”. Sedangkan sengketa hukum (conflict of laws)
dalam Black’s Law Dictionary adalah perbedaan antara hukum suatu negara yang
berbeda atau negara-negara dalam kasus di mana transaksi atau kejadian sentral
yang terjadi dalam kasus ini memiliki koneksi dua atau lebih yurisdiksi.
Berkenaan sengketa internasional dapat diamati sebagaimana diuraikan John G.
Merrills. Merrills mengamati bahwa suatu persengketaan sebagai terjadinya
perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh
pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Karena itu, sengketa
internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif melibatkan negara,
dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. Persoalan yang timbul
adalah apa yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Ia mengatakan pula
bahwa subyek dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa
mengenai kebijakan suatu negara, sengketa dagang sampai persoalan perbatasan
(G.Merrills, 1991:7)
Dengan demikian sengketa dapat terjadi diantara pihak individu-individu,
antara pihak individu dan negara dan sengketa di antara negara-negara atau
sengketa internasional. Sengketa diantara pihak individu-individu dan pihak
individu dengan negara dapat terjadi karena adanya pelanggaran kontrak atau
perjanjian oleh satu pihak. Selanjutnya, sengketa tersebut dapat pula menghadapi
berbagai kesulitan, yang meliputi hal pilihan hukum, persoalan lex loci contractus
(tempat dimana perjanjian dibuat), persoalan “the proper law of the contract”,
terutama yang dianut oleh common law system. Juga dapat menghadapi kesulitan

4
berkenaan dengan persoalan “the most characteristic connection”, atau yang
menyangkut “centre of gravity the most closely connection, and the most
substantially connection”
Padahal dengan adanya kontrak atau perjajian itu, maka para pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian tersebut harus mematuhi semua yang
diperjanjikan sebagaimana termuat dalam perjanjian. Para pihak harus
melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, kadangkala dalam
pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya
mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka buat. Bahkan, lebih berat lagi
dapat menimbulkan perselisihan atau konflik akibat tidak dapat dilaksanakannya
perjanjian itu oleh salah satu pihak

B. Cara penyelesaian sengketa perdagangan internasional


Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke
dalam dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara
penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan (A.A.S.P. Dian Saraswati,
2007:19). Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila
para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.
J.G. Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa
internasional secara damai atau bersahabat yaitu sebagai berikut (J.G. Starke,
2007: 646): arbitrase, penyelesaian yudisial (judicial settlement), negosiasi, jasa-
jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan (Inquiry), dan
penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB. Sementara itu, F. Sugeng Istanto
(1998:88), menyatakan bahwa penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui
beberapa cara yakni: rujuk, penyelesaian sengketa di bawah perlindungan PBB,
arbitrasi dan peradilan. Sedangkan apabila negara-negara tidak dapat mencapai
suatu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara damai
maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan
seperti perang dan tindakan bersenjata non perang, retorsi, tindakan-tindakan
pembalasan (Reprisal), blokade secara damai (Pacific Blockade), dan intervensi

5
a. Penyelesaian sengketa Internasional secara damai
1. Perundingan (Negotiation)
Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang paling
penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan sengketa
internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung
untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
sengketanya. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung
Antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa
melibatkan pihak ketiga.
2. Penyelidikan (Inquiry)
Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan independen
untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya
adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang
ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta demikian, diharapkan proses
penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat segera diselesaikan
3. Mediasi (Mediation)
Ketika para pihak yang bersengketa internasional tidak dapat
menyelesaikan sengketanya dengan cara negosiasi, intervensi ataupun campur
tangan dari pihak ketiga adalah cara yang mungkin untuk memecahkan kebuntuan
dan menghasilkan solusi yang dapat diterima. Mediasi merupakan suatu prosedur
penengahan di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk
berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas
sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab
utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.
Mediasi melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan
independen dalam suatu sengketa. Mediator bisa negara, individu, organisasi
internasional, dan lain-lain. Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk
pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses
penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya di sini tidak semata-mata
mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga terlibat dalam

6
perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan
penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para
pihak.
4. Konsiliasi (Conciliation)
Menurut J. G. Starke (1991:673), istilah konsiliasi mempunyai suatu arti
yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam
metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-
negara lain atau badan- badan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak
berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa
kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan
kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki
sifat mengikat.
5. Arbitrase (Arbitration)
Praktik penyelesaian perselisihan melalui pihak ketiga bukan merupakan
hal baru yang muncul bersamaan dengan munculnya pemerintahan-pemerintahan
modern, karena dalam sejarahnya yang panjang model penyelesaian arbitrase
ternyata sudah dipraktikkan oleh bangsa-bangsa yang hidup sejak jaman Yunani
Kuno.
Aristoteles, misalnya menganggap arbitrase sebagai alternative dari pengadilan
karena keadilan bagi filosof besar ini merupakan sesuatu yang berlaku lebih dari
sekedar hukum tertulis. Sangatlah adil kata Aristoteles memilih arbitrase
dibandingkan pengadilan umum, karena pandangan-pandangan arbiter selalu
bertumpu pada keadilan, sementara hakim hanya terfokus pada hukum. Alasan
menunjuk arbiter dalam penyelesaian perselisihan karena adanya jaminan
dipenuhinya rasa adil bagi para pihak.
6. Penyelesaian Menurut Hukum (Judicial Settlement)
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui
suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya
dengan memperlakukan dari suatu kaidah-kaidah hukum. Peradilan yudisial ini
menurut F. Sugeng Istanto juga dapat disamakan dengan suatu peradilan
internasional. Di dalam Peradilan Internasional penyelesaian masalah dilakukan

7
dengan menerapkan ketentuan hukum yang dibentuk secara teratur. Pengadilan
dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad
hoc atau pengadilan khusus. Pengadilan internasional permanen contohnya adalah
Mahkamah Internasional (ICJ). Menurut F. Sugeng Istanto (1998:94), peradilan
internasional berbeda dengan arbitrase internasional yakni ketentuan yang
dijadikan dasar pembuatan keputusan dan sifat acaranya.

b. Penyelesaian sengketa Internasional secara paksa


Bila terjadi sengketa dan ternyata para pihak tidak dapat menyelesaikan
sengketanya secara damai, kadang-kadang salah satu pihak terpaksa mengambil
tindakan sepihak. Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan sasaran untuk
mencapai tujuannya dengan menguntungkan pihaknya sendiri. Tindakan tersebut
berupa tindakan paksaan, yang berupa tekanan agar pihak lain merasa terpaksa
menerima kehendaknya. Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk
tindakan paksaan, dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu:
1. Retorsi
Tindakan kekerasan di sini yang paling lemah, pada hakikatnya ini
merupakan tindakan pembalasan, tindakan yang tak bersahabat dan tindakan
paksaan ini tidak bertentangan dengan hukum internasional publik. Tindakan-
tindakan retorsi ini dapat dimisalkan seperti pemutusan hubungan diplomatic,
pembatasan gerak-gerik perwakilan diplomatik negara lawan, penarikan kembali
exequatur bagi konsul negara lawan, penghapusan hak-hak istimewa warga
negara/ perusahaan milik negara lawan, penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas,
dan penolakan barang impor hasil negara lawan atau kenaikan bea masuk bagi
produk negara lawan. Jika diperhatikan maka retorsi tidak melanggar hukum
internasional. Sebaliknya bila dilihat dari kepentingan negara lawan, maka retorsi
ini melanggar haknya. Ciri khas dari retorsi ini adalah bahwa tindakan
pembalasan tidak bertentangan/melanggar hukum internasional.
2. Tindakan pembalasan (reprisals)
Tindakan pembalasan adalah suatu cara yang dipergunakan oleh suatu
negara untuk membela hak dan kepentingannya, dengan mendapatkan ganti rugi

8
atau pemulihan hak secara langsung ataupun tidak langsung bagi kerugian yang
dideritanya karena tindakan pihak lawan tidak bersedia untuk
menyelesaikannya/memperbaiki kesalahannya secara damai. Jika dibandingkan
dengan retorsi maka tindakan pembalasan ini adalah suatu tindakan yang dalam
keadaan normal bertentangan dengan hukum internasional. Atau dapat dikatakan
bahwa tindakan pembalasan ini adalah suatu tindakan melawan hukum yang
dalam keadaan tertentu/khusus dibolehkan oleh hukum internasional. Sedangkan
dalam retorsi maka tindakannya tidak melanggar hukum internasional.
3. Blokade secara damai (pacifil blockade)
Blokade secara damai lazim dipakai untuk memaksakan agar negara pihak
lawan menyetujui permintaan negara yang memblokir. Jika dibandingkan dengan
bentuk tindakan pembalasan maka blokade dengan damai adalah bentuk khusus
dari tindakan pembalasan. Blokade secara damai disebutkan dalam Pasal 42
piagam PBB yaitu sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan
Keamanan dalam menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahakan
perdamaian dan keamanan nasional.
4. Intervensi (Intervention)
Intervensi sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan sengketa Antara
pihak yang terlibat dalam konflik. Ini merupakan campur tangan pihak ketiga
dalam sengketa Antara para pihak yang terlibat dalam konflik yang bermaksud
untuk menyelesaikan sengketa mereka. Campur tangan pihak ketiga dalam
mencari penyelesaian Antara para pihak yang bersengketa harus dibedakan
dengan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa yang berupa good offices,
mediasi atau nasihat-nasihat pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian
sengketa. Dalam hal tertentu intervensi juga dapat dilakukan pihak ketiga setelah
pecah perang antara para pihak sebagai konsekuensi dari sengketa mereka.
5. Perang dan tindakan bersenjata non perang (war and amed conflict nonwar)
Perang adalah cara terakhir yang ditempuh pihak yang bersengketa dimana
salah satu pihak memaksakan pihak lain untuk menerima penyelesaian sengketa
yang dikehendakinya. Menurut Oppenheim Lauterpacht, perang adalah suatu
sengketa bersenjata antara dua negara atau lebih yang mempergunakan kekuatan

9
bersenjatanya dengan maksud mengadu kekuatan masing-masing untuk dapat
mencapai perdamaian setelah mendapatkan kemenangan.

C. Embargo perdagangan
Embargo perdagangan adalah larangan perdagangan dengan negara lain
atau kelompok negara. Pembatasan ini dapat di ekspor dan / atau impor, dan dapat
menjadi larangan total perdagangan atau terbatas pada produk tertentu. Embargo
dapat dinyatakan baik oleh satu negara, atau oleh sekelompok negara terhadap
negara tertentu untuk mengisolasi itu, pemerintah dan tekanan yang menyebabkan
itu untuk membalik kebijakan tertentu. Kadang-kadang embargo yang diterapkan
Negara terhadap perilaku yang telah dikutuk oleh masyarakat internasional.
Dalam perdagangan internasional, sebuah embargo adalah sanksi
dimandatkan pemerintah yang membatasi perdagangan dengan wilayah asing.
Embargo dapat membatasi impor, atau ekspor, atau keduanya. Rasional untuk
embargo adalah hukuman politik suatu negara. Sebagai contoh, krisis minyak
tahun 1973 yang mempengaruhi Amerika Serikat dihasilkan dari OPEC embargo
atas penjualan minyak ke AS pada pembalasan untuk menyediakan bantuan
militer kepada Israel. Embargo cenderung menyakiti industri dalam negeri
dipengaruhi oleh kebijakan dan untuk mengundang pembalasan. AS
menggunakan embargo dalam banyak konteks tertentu, terutama terhadap negara-
negara yang dianggap sebagai sponsor terorisme. Kurang ekstrim pembatasan
perdagangan bebas dari embargo, seperti tarif dan ekspor tugas ini bahkan lebih
sering. Istilah embargo adalah kadang-kadang disalahgunakan untuk diterapkan ke
boikot, yang umumnya merupakan gerakan akar rumput untuk berhenti membeli
dari sebuah bisnis, juga sebagai alat hukuman.
Dalam perniagaan dan politik internasional, embargo adalah pelarangan
perniagaan dan perdagangan dengan sebuah negara. Embargo umumnya
dideklarasikan oleh sekelompok negara terhadap negara lain untuk
mengisolasikannya dan menyebabkan pemerintah negara tersebut dalam keadaan
internal yang sulit. Keadaan yang sulit ini dapat terjadi akibat pengaruh dari
embargo yang menyebabkan ekonomi negara yang dilawan tersebut menderita

10
karenanya. Embargo biasanya digunakan sebagai hukuman/sanksi politik bagi
pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau kesepakatan. Salah satu contoh
embargo adalah yang pernah diterapkan Amerika Serikat terhadap Indonesia dari
tahun 1999 hingga 2005 dalam hal pengadaan senjata militer akibat pelanggaran
HAM yang dilakukan ABRI di Timor Timur.
Embargo dianggap langkah-langkah diplomatik kuat yang dipaksakan
dalam usaha, oleh embargo-mengesankan-negara, untuk memperoleh suatu hasil
kepentingan nasional dari negara di mana ia dikenakan. Embargo serupa dengan
sanksi ekonomi dan biasanya dianggap sebagai hambatan perdagangan hukum,
tidak boleh disamakan dengan blokade, yang sering dianggap sebagai tindakan
perang.

D. Para pihak yang bersengketa dalam perdagangan intenasional


1. Sengketa antara pedagang dan pedagang
Sengketa ini paling sering banyak terjadi dalam perdagangan internasional
Sengeketanya dapat diselesaikan melalui berbagai cara yakni bergantung pada
kebebasan dan kesepakatan para pihak salah satunya mengenai forum pengadilan
apa yang akan digunakan dan menentukan hukum mana yang diterapkan dalam
penyelesaian sengketa.
2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Yakni sengketa yang diakibatkan oleh pelanggaran kontrak yang dilanggar oleh
salah satu pihak dalam jumlah yang relatif besar misalnya kontrak dalam bidang
pembangunan dan pertambangan. Yang menjadi masalah dalam sengeketa ini
adalah adanya konsep imunitas negara yang diakui hukum internasional. Maka
dengan adanya konsep imunitas ini suatu negara dalam situasi apapun tidak akan
pernah dapat diadili dihadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian ,
hukum interasional ternyata fleksibel yakni dengan berkembangnya pengertian
jure imperii dan jure gestiones.
Jure imperii adalah tindakan negara dibidang publik dalam kapasitasnya sebagai
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu tindakan seperti itu tidak dapat diuji atau
diadili di hadapan badan peradilan.

11
Konsep kedua jure gestiones adalah tindakan negara di bidang keperdataan /
dagang. Oleh karena itu, tindakan seperti itu tidak lain adalah negara dalam
kapasitasnya adalah seperti orang perorangan ( pedagang atau privat ), sehingga
tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan sebagaimana
layaknya para pedagang biasa.

12
BAB III
PEMBAHASAN

A. Skema pengaturan penyelesaian sengketa perdagangan Internasional


Perkembangan dunia perdagangan internasional saat ini mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam
perdagangan internasional telah menyepakati sebuah mekanisme atau aturan
perdagangan yang dapat lancar dan efektif dan bersifat global atau lintas negara,
munculah ide untuk membentuk aturan dalam bidang perdagangan internasional
yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang diterapkan adalah sistem free
trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan bekerja lebih efektif dan
menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan
berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu
dan dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada
tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah
lembaga semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan
menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Hingga
pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam perdagangan
internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).
Transaksi perdagangan internasional menimbulkan potensi sengketa
dagang apabila salah satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan
penuh kewajibannya sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga
memerlukan upaya, mekanisme dan aturan mengenai penyelesaian sengketa
perdagangan internasional. Transaksi perdagangan internasional yang berpotensi
menimbulkan sengketa perdagangan internasional membutuhkan suatu
mekanisme penyelesaian yang disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak
yang bersengketa.

13
1. World Trade Organization (WTO)
WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi
perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk
mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian
mengenai tarif dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut
dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan
cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan
dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
a. Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif,
b. Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis
hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa
putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay
Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat
sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada
tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial
Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute
Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The
Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. (Adolf,
2004:40)

2. Penyelesaian sengketa dalam WTO


Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah
memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT
1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode
konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah
pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap mekanisme
penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai perjanjian
dan keputusan yang dibuat, yaitu:
1. The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII;

14
2. The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and
Surveillance, adopted on 28 November 1979;
3. The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29
November 1982;
4. The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme
penyelesaian sengketa adalah ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan
Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute
Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah
mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak dapat
menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak berhasil.
Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council. WTO kini
memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute
Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994.
Penyelesaian sengketa dalam WTO harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi
terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat
dapat meminta DSB untuk mendirikan sebuah Panel.
2. Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah
proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan
disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku
kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding.
3. Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang
dipilih secara acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan
merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh
Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4. Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)

15
Anggota yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30
hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan
kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka
kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal
ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin
kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan
atau bentuk lainnya.

3. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa dagang Internasional


1) Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Badan-badan peradilan termasuk (termasuk arbitrase) harus menghormati apa
yang para pihak sepakati, yaitu :
a. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu,
menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
b. bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua
belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2) Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Termuat dalam Psl 7 The Uncitral Model Law on International
Commercial Arbitration, Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian
arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase.
Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke
badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnya.
3) Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan
untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)
4) Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5) Prinsip Exhaustion of Local Remedies

16
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa
sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional,
maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh
hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
B. Embargo sebagai bentuk penyelesaian sengketa perdagangan
Internasional
Embargo adalah salah satu wujud dari reprisal. Reprisal merupakan
penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan upaya pembalasan oleh
suatu negara terhadap negara lain untuk memperoleh ganti rugi terbatas pada
penahanan orang dan barang. Reprisal berarti upaya pemaksaan yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul karena negara (yang dikenai reprisal) telah melakukan
tindakan yang ilegal atau tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Dalam perdagangan internasional embargo merupakan sanksi dimandatkan
pemerintah yang membatasi impor atau ekspor atau keduanya serta pelarangan
perniagaan dan perdagangan dengan sebuah negara. Embargo umumnya
dideklarasikan oleh sekelompok negara terhadap negara lain untuk
mengisolasikannya dan menyebabkan pemerintah negara tersebut dalam keadaan
yang menyebabkan ekonomi internal negara tersebut mengalami kesulitan.
Embargo umumnya digunakan dalam sengketa politik internasional bagi
pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau kesepakatan (M.Sood, 2011:18).
Embargo cenderung menyakiti industri dalam negeri dipengaruhi oleh
kebijakan dan untuk mengundang pembalasan. Amerika Serikat menggunakan
embargo dalam banyak konteks tertentu, terutama terhadap negara-negara yang
dianggap sebagai sponsor terorisme.Istilah embargo kadang disalahgunakan untuk
diterapkan ke boikot, yang umumnya merpakan gerakan akar rumput untuk
berhenti membeli dari sebuah bisnis juga sebagai alat hukuman.
Salah satu contoh tindakan embargo dalam sengketa politik adalah ketika
Uni Eropa (UE) pada tahun 2012 lalu, secara resmi mengembargo impor minyak
bumi dari Iran secara resmi yang terhitung secara efektif dimulai pada tanggal 1
Juli 2012. Kebijakan embargo yang dilakukan oleh UE ini, merupakan langkah

17
yang ditempuh atas gagalnya perundingan mengenai penutupan pengembangan
proyek nuklir yang dilakukan oleh Iran.

Dalam kasus tersebut UE memberikan sanksi embargo terhadap Iran untuk


memberikan keadaan yang menyebabkan Iran secara terpaksa mengikuti
keinginan UE. Tindakan embargo sering dilakukan karena tergolong efektif dalam
memaksakan suatu kebijkan tertentu terhadap suatu negara lain. Negara yang di
embargo tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kebijakan dari negara atau
kelompok yang melakukan embargo tersebut. Tindakan embargo merupakan
tindakan kekerasan terhadap negara lain sehingga pelaksanaannya sering
diragukan, namun tindakan ini dibenarkan sebagai upaya untuk mengatasi
tindakan illegal negara lain yang mengakibatkan kerugian negara yang melakukan
embargo.
Embargo dapat dilakukan dengan syarat :
a. Sasaran merupakan negara yang telah melakukan pelanggaran internasional;
b. Negara pelanggar sudah terlebih dahulu diminta untuk memenuhi ganti rugi
atas tindakannya;
c. Tindakan embargo harus dilaksanakan secara proporsional dan tidak
berlebihan;
d. Tujuan embargo adalah mencapai penyelesaian yang memuaskan.
Embargo dalam hubungan internasional umumnya digunakan dalam
penyelesaian sengketa yang disebabkan oleh adanya aturan atau perjanjian hukum
internasional yang dilanggar, penggunaan embargo dalam sengketa perdagangan
hanya pernah dilakukan Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap Rusia, setelah
sebelumnya Rusia terlebih dahulu mengumumkan embargo terhadap UE dan
Amerika.

18
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada umumnya pengaturan penyelesaian sengketa dalam perdagangan
internasional dalam WTO yang diatur dalam pasal XXII dan XXIII
mengedepankan penyelesaian secara damai, yakni negosiasi dan konsultasi sering
digunakan sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa dagang, apabila
cara ini gagal atau tidak berhasil barulah ditempuh dengan cara lain seperti
penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase. Langkah awal penyelesaian
sengketa dagang ini dilakukan melalui konsoliasi, negosiasi mediasi serta badan
organisasi yang terkait serta badan arbitrase. Penggunaan jalan damai ditetapkan
dan diimplementasikan dalam instrument-instrument hukum internasional sebagai
konsekuensi langsung dari Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB . Apabila dalam
penyelesaian dagang secara damai tidak dapat ditempuh dan dilaksanakan maka
senjata terakhir dalam penyelesaian sengketa dagang adalah tindakan secara paksa
yaitu embargo. Diharapkan dengan adaya penyelesaian dengan cara embargo
terhadap suatu negara dapat menyelesaikan suatu sengketa dalam perdagangan
internasional. Namun disisi lain embargo merupakan bentuk tindakan kekerasan
yang dapat merusak dan menekan perekonomian suatu Negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

Huala Adolf.2004.Hukum Perdagangan Internaional.Bandung:RajaGrafindo


Persada.

Brotosusilo agus.1996,Analisa Ekonomi Terhadap Penyelesian Sengketa Menurut


WTO.Jakarta:RajaGrafindo Persada.

Dian Triansjah, Djani.2002.Sekilas WTO (World Trade


Organization).Jakarta:Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departement Luar
Negeri Republik Indonesia.

Sood,Muhhamad.2011.Hukum Perdagangan Internasional.Jakarta.RajaGrafindo


Persada:Jakarta.

Huala Adolf.2003.Arbitrase Komersial Internasional.cet. 3.Jakarta:Rajagrafindo

F.Sugeng Istanto.2009.Hukum Internasional.Yogyakarta:Universitas Atma Jaya


Yogyakarta.

www.hukumonline.com (Diakses pada tanggal 27 Maret 2017 pukul 19.47)

http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2015/04/13.Kasmin
%20(04-27-15-04-38-35).pdf (Diakses pada tanggal 27 Maret 2017 pukul 20.04)

20
http://www.undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/HUKUM/HUKUM
%202011/JURNAL%20HI%20Vol.%20I%20No.%201%20Juli%202013.pdf
(Diakses pada tanggal 27 Maret 2017 pukul 20.15)

21

Anda mungkin juga menyukai