Anda di halaman 1dari 19

PAPER HUKUM INTRNASINAL

“PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL”

Dosen Pengampu:

Jasman Nazar, S.H., M.H.

Di Susun Oleh :

Lara Berlianti (22150102)

Dylla Melisa (22150030)

Syifa Khairunnisa ( 22150086 )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

SUMATERA BARAT

2022/2023
PEMBAHASAN

A. Sengketa Internasional
Kata dispute mengandung pengertian pertikaian atau sengketa.
John G. Merrills memahami suatu persengketaan sebagai terjadinya
perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh
pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Oleh karena
itu, sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif
melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.
Persoalan yang timbul adalah apa yang bisa dijadikan sebagai subjek
persengketaan. Menurut John G. Merrills subyek dari persengketaan dapat
bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara
sampai persoalan perbatasan John G. Merrills (2003: 529).1
Sedangkan Menurut Mahkamah Internasional, sengketa
internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai
pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.6 Sengketa
internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah,
lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia
yang berlainan terjadi karena kesalahpahaman tentang suatu hal, salah satu
pihak sengaja melanggar hak atau kepentingan negara lain, dua negara
berselisih pendirian tentang suatu hal, dan pelanggaran hukum atau
perjanjian internasional. 2
Sengketa internasional yang dikenal dalam studi hukum
internasional ada dua macam, yaitu:
1. Sengketa politik
Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan
tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar
politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum
ini penyelesaiannya dilakukan secara politik. Keputusan yang diambil
dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak
mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan
kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada
ketentuan hukum yang diambil
2. Sengketa hukum Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara
mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum
internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa
secara hukum punya sifat yang memaksa terhadap kedaulatan negara

1
Ridwan, 2012, Pemaparan Sengketa Internsional, Jakarta, Vol. 17 No. 3, h. 6
2
Boer Mauna, 2005, Pengertian, Peranan dan Fungsi Hukum Internasional Dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, hlm. 193.
yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya
berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional. 3
Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah
sengketa hukum dan sengketa politik, namun para ahli memberikan
penjelasan mengenai cara membedakan antara sengketa hukum dan
sengketa politik. Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk
membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya terlihat
pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal
berikut:
a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu
diselesaikan pengadilan dengan menerapkan hukum yang telah
ada dan pasti.
b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya mempengaruhi
kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah, dan
kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerepan hukum
internasional yang ada cukup untuk menghasilkan keputusan
yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan
progresif hubungan internasional.
d. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan
persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan
yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang
telah ada.4
Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai
suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para
pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya
sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum.
Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan
patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal
pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik5
Dari pendapat pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pembedaan jenis sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan
dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut
diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran terhadap hukum
internasional maka sengketa tersebut menjadi sengketa hukum, selain
pelanggaran terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi akibat
3
Ibid, 2005, Memorial Institute Of Intenational Studies, h. 188-189.
4
Huala Adolf, op. cit., hlm. 4, dikutip dari Wolfgang Friedmann et. al., 1969, International Law:
Cases and Materials, St. Paul Minn, West Publishing, hlm. 243.
5
Ibid., hlm. 5, dikutip dari David Davies, 1966, “Report of A Study Group on The Peaceful
Settlement of International Disputes”, Memorial Institute of International Studies, hlm. 5.
adanya benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara,
sengketa yang melibatkan kepentingan inilah yang dimaksud sengketa
politik

B. Cara- cara Penyelesaian Sengketa Internasional


Upaya-upaya penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian
penting di masyarakat internasional sejak abad ke-20. Upaya-upaya ini
ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik
berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Peranan
hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah
memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangannya,
hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian
secara damai dan militer (kekerasan). Dengan semakin berkembangnya
kekuatan militer serta senjata pemusnah massal, masyarakat internasional
semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang. Karenanya
dilakukan upaya untuk menghilangkan atau sedikitnya membatasi
penggunaan penyelesaian sengketa dengan menggunakan kekerasan.6 Pada
umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke dalam
dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara
penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan(Saraswati, 2007).7
1. Penyesaian Sengketa Secara Damai
Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan
apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat. J.G. Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian
sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat.8 Dalam
penyesaian sengketa secara damai memiliki dasar hukum yaitu :
a) Hague Convention for the Pacific Settlement of Disputes of 1899
and 1907 U.N.G.A.Resolutions 2627 (XXV) 24 okt 1970
b) U.N.G.A.Resolutions 2744 (XXV) 16 Des 1970
c) U.N.G.A.Resolutions 2625 (XXV) On Declaration Of Priciples Of
International Law Concering Friendly Relation and Cooperation
States in Accordance with The Charter of The United Nations.

6
Huala Adolf, op. cit., hlm. 1, dikutip dari Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes Between
States: History and Prospects, dalam Macdonald R. St. J. et. al., 1986, The Structure and Process
of International Law: Essayss in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, hlm.
1095.
7
Saraswati, 2007, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu
8
(J.G. Starke, 2007, Penerapan Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 646
Menurut U.N.G.A. Resolutions 2625 (XXV) mengatur sebagai berikut :
1) Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasanyang
bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik
suatu negara, atau tidak sesuai dengantujuan PBB
2) Prinsip non interfensi dalam urusan dalam dan luar negeri suatu
negara
3) Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagisetiap
bangsa
4) Prinsip persamaan kedaulatan negara
5) Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan,kedaulatan
dan integritas teritorial.
6) Prinsip itekad baik dalam HI
7) Prinsip keadilan dan hukum internasional9

a. Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan ( Negotiation)


Perudingan/Negosiasi adalah upaya untuk mempelajari dan
merujuki mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai
suatu hasil yang dapat diterima oloeh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian melalui “perudingan”yang merupakan cara penyelesaian
sengketa yangsudah diterima secara umum, disebut juga conditio sine
quanon bagi para pihak sebelum memilih untuk menyelesaikan dengan
cara lain. Meskipun dalam prakteknya, perundingan sering lebih
menguntungkan salah satu pihak.
b. Penyelesaian Sengketa Melalui Penyelidikan ( Enquiry) Jika dalam
sengketa internasional terdapat perbedaan pendapat dari suatu
kenyataan yang ada, maka pihak-pihak yang bertikai dapat menyetujui
untuk memprakarsai Enquiry atau penyelidikan. Enquiry dilakukan
oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta
dan penyelidikan yang merupakan cara efektif untuk mengurangi
ketegangan serta mencegah timbulnya pertikaian internasional.
Penunjukkan pihak ketiga ini didasarkan atas reputasi mereka yang
tinggi dalam percaturan internasional dan mempunyai akses yang luas
dalam masyarakatinternasional.hal ini dapat dicontohkan dalam alam
perang Iran-Iraq (1980 an), DK PBBmengirim komisi penyelidik
(commision on Enquiry) yang dipimpin sekjen PBB kala itu1987
untuk menjajagi, konsultasi dengankedua negara. Tahun 1975 DK
PBB mengutus Mr. Gucciardisebagai wakil khusus untuk melakukan
penyelidikan di Timur Timur.

9
J.G. Starke, 2007, Penerapan Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 646
c. Penyelesaian Sengketa Melalui Jasa-Jasa Yang Baik ( Good Office )
Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensisuatu negara ketiga yang
merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang
terjadi antara dua negara. Prosedur jasa-jasa baik ini dapat diminta
olehs alah satu dari kedua negara yang bersengketa atau oleh kedua-
duannya. Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa baiknya tidak
ikut secara langsung dalam perundingan, tetapi hanya menyiapkan dan
mengambil langkah-langkah yang perlu agar negara-negara yang
bersengketa bertemu dan merundingkan sengketanya. Contohnya
peselisihan antara Indonesia-Portugal mengenais status wilayah
timtim.PBB menawarkan jasa-jasa baiknya dalampembicaraan segitiga
(Tripartite Talks) antaramenlu Indonesia dengan Menlu portugal
yangkemudian menghasilkan penyelesaian TIMTIMs ecara adil ,
menyeluruh dan diterimja secara internasional melalui persertujuan
New York Mei 1999.
d. Penyesaian Sengketa Melalui Mediasi (Mediation)
Penyelesaian melalui mediasi juga melibatkancampur tangan pihak
ketiga dengan tujuanuntuk mengadakan rujukan (rekonsiliasi) terhadap
tuntutan-tuntutan dari para pihaky ang bersengketa agar berkompromi.
Dalam hal mediasi, pihak ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan
agar negara-negara yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga
mengusulkan dasar-dasar perundingan dan ikut serta secara aktif dalam
perundingan. Contohnya Mediasi Komisi Tiga Negara (Australia,
Belgiadan Amerika Serikat) yang dibentuk PBB pada Agustus 1947,
menyelesaikan sengketa Indonesia – belanda, dan bahkan juga ikut
membantu perumusan perjanjian Renville Mediasi Presiden Jimmy
Carter dalam upaya penyelesaian sengketa Arab-Israel. Ia berhasil
mempertemukan Presiden Anwar Sadat (Mesir) dan PM Israel
Menachim Begin untuk berunding di AS pada 5 September 1978 yang
dikenal dengan peristiwa Camp David Accords.10
e. Penyelesaian Sengketa Melalui Konsiliasi (Consiliation)
Cara ini merupakan kombinasi dari unsur-unsurenquiry dan mediasi.
Konsilisasi merupakan suatu proses dari usulanresmi yang dimajukan
mengenai penyelesaian setelah melalui suatu penyelidikan namun
parapihak dapat menerima atau menolak usulan rekomendasi yang
telah dirumuskan. Penyelidikan dilakukan oleh badan independen,
bukan pihak ketiga dan para pihak dapat menyetujui untuk
menyerahkan pertikaiannya untuk menyelidiki aspek-aspek
pertikaiannya.
10
Saraswati, 2010, Sengketa Internasional, Jakarta: Publisher h.23
Contoh : dalam penyelesaian krisis di Somalia,DK PBB pernah
meminta Sekjen PBB untuk mengupayakan konsiliasi atau perujukan
diantara golongan-gologan yang bersengketa (Resolusi DK-PBB 794
1992). Maka Sekjen PBB bekerjasama denganorganisasi-organisasi
regional seperti Liga Arab, Organisasi Persatuan Afrika dan Organisasi
Konferensi Islam untuk prosesrekonsiliasi ini.
f. Penyesaian Sengketa Melalui Arbitasi (Arbitation)
Arbitasi merupakan penyelesaian sengketa yang dbentuk atas
kesepakatan bersama pihak bersengketa dengan menunjuk abritator
yang dipilihs endiri. Proses Arbitasi ini menghasilkan keputusan yang
mengikat dibandingkan cara-cara yang sebelumnya hanya
rekomendatif. Arbitrasi tetap menggunakan pihak ketigayang ditunjuk
sebagai arbitrator tunggal atauwasit untuk membentuk pengadilan
arbitrasi yang biasanya 3 – 5 arbitrator (selalu ganjil). Contoh:
Konvensi Den Haag (1899 dan 1907) menyatakan bahwa Arbitrasi
internasional merupakan penyelesaian sengketa antara negara dengan
hakim-hakimnya yang dipilih oleh para pihak yang bersangkutan
g. Penyelesaian Sengketa Melalui Secara Hukum (International Court of
Justice)
udicial statement merupakan penyelesaiansengketa dengan cara hukum
dimana parapihak dapat mengajukan pertikaian mereka kepada
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang
dibentuk PBB sejak 1946. Lembaga ini mengeluarkan putusan final
tidakdapat diajukkan “appeal” dan mengikat para pihak. Hal-hal yang
di tangani oleh ICJ : Masalah-masalah yang berkaitan dengan
kedaulatan terhadap wilayah-wilayah tertentu dan pertikaian mengenai
perbatasan. Masalah mengenai delimitasi maritim dan masalah
hukumlainnya yang berhubungan dengan perselisihan laut. Semua
permasalahan hukum yang berkaitan denganperlindungan diplomatik
bagi warga negara di luar negeri yang muncul. Masalah yang timbul
akibat terjadinya penggunaan kekerasan. Berbagai kasus lainnya yang
melibatkan pelaksanaan kontrak dan pelanggaran terhadap asas-asas
hukum kebiasan internasional.11
h. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengaturan atau Badan Regional
(Arrangement or Regional Agencies)
Upaya penyelesaian melalui cara ini akan melibatkan pengaturan atau
lembaga atauorganisasi regional yang ada baik sebelum maupun

11
Rusma, 2012, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu
sesudah PBB berdiri. Contoh melalui ASEAN, UNI EROPA, Liga
Arab dsb.12

2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Kekerasan


Metode kekerasan dalam menyelesaikan sengketa internasional terdiri
atas cara-cara seperti berikut.
a. Pertikaian Bersenjata
Pertikaian bersenjata adalah pertentangan yang disertai
penggunaan kekerasan angkatan bersenjata tiap-tiap pihak dengan
tujuan menundukkan lawan, dan menetapkan persyaratan perdamaian
secara sepihak atau melalui perang. Keseluruhan tujuan dari perang
adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan
syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara yang ditaklukan
tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Cara perang
untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan
di praktikkan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai
alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-
hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum
internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan
berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat
internasional menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang,
karenanya masyarakat internasional sekarang ini tengah berupaya
untuk menghilangkan cara penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi
penggunaannya.13
Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan
kekerasan bersenjata dalam penyelesaian sengketa internasional.
Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyebutkan ‘All members shall
settle their international disputes by peaceful means in such a manner
that international peace and security are not endangered’, Pasal
tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan
untuk menempuh cara-cara penyelesian sengketa secara damai.
Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan dalam
Piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa
dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri
dalam menggunakan cara-cara kekerasan, ‘All members shall refrain in
their international relations from the threat or use of force against the

12
J.G. Starke, 2007, Penerapan Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 646
13
J.G. Starke, 2007, Penerapan Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 670
territorial integrity or political independence of any state or in any
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.’
Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapat
dimungkinkan pada saat keadaan terdesak untuk melakukan pembelaan
diri apabila terlebih dahulu diserang oleh negara lain. Tindakan ini
didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan: “Nothing in
the present Charter shall impair the inherent right of individual or
collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of
the United Nation Measures taken by Members in the exercise of this
right of self-defence shall be immediately reported to the Security
Counci”. Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu
sengketa internasional merupakan pilihan yang harus digunakan dalam
situasi tertentu. Penggunaan senjata sebagai media penyelesaian
sengketa harus dilakukan untuk alasan pertahanan diri dan bukan
sebagai tindakan untuk menekan pihak lain.
b. Retorsi
Retorsi adalah pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
tindakan yang tidak pantas dari negara lain. Perbuatan retorsi adalah
perbuatan sah, tetapi tidak bersahabat. Retorsi merupakan istilah untuk
melakukan pembalasan oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan
tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam
bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya
pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa,
penghentian bantuan ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif.
Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum
dapat secara pasti ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat
beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf 3 Piagam PBB ditetapkan
bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan
retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan
piagam tersebut. Contoh retorsi antara lain retorsi mengenai
pengetatan hubungan diplomatik, penghapusan hak istimewa
diplomatik, dan penarikan kembali konsensi pajak atau tarif.14
c. Reprasial
Reprasial adalah pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap tindakan yang melanggar hukum dari negara lawan dalam
suatu sengketa. Reprasial dapat dilakukan pada masa damai maupun di
antara pihak yang bersengketa. Reprasial pada masa damai antara lain
14
Efendi,2011, Pengantar Hukum, Jakarta: Pustaka Merdeka
pemboikotan barang, embargo, dan unjuk kekuatan (show of force).
Reprisal juga diartikan sebagi upaya paksa untuk memperoleh jaminan
ganti rugi, akan tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda.
Pembalasan merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan
yang tidak dibenarkan.
Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan
adalah mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan
sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan balas
dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat
dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang terhadap suatu
negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap
seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya
dibenarkan apabila negara yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah
karena melakukan tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran
internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran reprisal
merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional, negara
yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti
kerugian yang muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus
dilakukan dengan proporsional dan tidak berlebihan.
d. Blokade Damai
Blokade adalah suatu pengepungan wilayah, misalnya pengepungan
suatu kota atau pelabuhan dengan tujuan untuk memutuskan hubungan
wilayah itu dengan pihak luar. Ada dua macam blokade, yaitu blokade
pada masa perang dan damai.15 Blokade secara damai dapat dipandang
sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk memperlancar
penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan blokade
disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh
diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian
dunia.
e. Intervensi
Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa
internasional dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap
kemerdekaan politik negara tertentu. Hukum internasional pada
prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk turut
campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas
dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang
negara anggota untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri negara
15
Winarti, 2017, Hukum Internasional 1, Yogyakarta: Pustaka Jaya
lain dalam bentuk apapun. Pengecualian terhadap hal ini diberikan
kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan dengan
pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan
tindakan intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan
bahwa tindakan intervensi negara atas kedaulatan negara lain belum
tentu erupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat
bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat
dibenarkan menurut hukum internasional. Tindakan tersebut adalah
apabila
1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;
2) Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan
warga negaranya di negara lain
3) Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan
pelanggaran berat atas hukum internasional.
Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan
izin terlebih dahulu melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk
rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap
keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah tindakan
intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.16

Contoh Kasus

1. Kasus Yurisdiksi Dalam Hukum Internasional Perdata


ICC adalah pengadilan permanen dan independen yang mampu melakukan
penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran
berat terhadap kejahatan internasional. Hukum pidana internasional
memiliki sumber utama yaitu Statuta Roma. Statuta Roma 1998 tentang
pendirian International Criminal Court, Mahkamah Pidana Inernasional
yang bersifat permanen merupakan dasar hukum bagi pembentukan dan
keberlakuan dari Pengadilan Pidana Internasional atau International
Criminal Court (ICC). Sejak disahkan tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma
telah mengalami perubahan melalui review conference yang diadakan di
Kampala dari tanggal 21 Mei-11 Juni 2010. Genosida yang diartikan
sebagai pembunuhan dengan sengaja, penghancuran atau pemusnahan
kelompok atau anggota kelompok tersebut, pertama kali dipertimbangkan
sebagai subkatagori dari kejahatan terhadap kemanusiaan (Effendi, 2014).
Data dari Amnesty International 2011-2017, setelah konflik ini mulai
berkecamuk, orang-orang Rohingnya telah mengalami penderitaan yang
16
Effendy, 2014, Analisis Hukum Perdata, Semarang, vol. 2, No.2 h. 12
cukup panjang akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan
oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan bergerak orang Rohingnya
sangat terbatas, mereka juga mengalami berbagai bentuk pemerasan dan
dikenakan pajak secara sewenang-wenang, perampasan tanah, pengusiran
paksa, dan penghancuran rumah dan pengenaan biaya administrasi yang
tinggi pada pernikahan. Sebenarnya perselisihan antara etnis Rohingnya
dan pemerintah Myanmar bukanlah konflik tentang agama, yakni
berdasarkan Pasal 3 Burma Citizenship Law tahun 1982 menyatakan
bahwa rohingnya hanya merupakan warga pendatang yang ditempatkan
oleh kolonial Inggris dari Bhanglades hal tersebut ditegaskan kembali oleh
pernyataan Menteri Luar Negeri Myanmar pada 21 Februari 1992. Etnis
muslim rohingnya merupakan imigran gelap dan belum mendapat status
kewarganegaraan dari pemerintah. Myanmar. Oleh karena hal tersebut
sehingga pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi terhadap etnis
muslim rohingnya tersebut. Penyelesaian sengketa internasional
merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi negara-negara yang sedang bersengketa. Secara umum
penyelesaian sengketa yang sudah kita ketahui bersama antara lain
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan atau
litigasi dan non litigasi. Dalam hal ini upaya Penyelesaian sengketa
internasional merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi negara-negara yang sedang bersengketa. Secara
umum penyelesaian sengketa yang sudah kita ketahui bersama antara lain
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan atau
litigasi dan non litigasi. 17
Analsisi :
Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan merupakan penyelesaian
sengketa yang dilakukan tidak didepan hakim melainkan di depan
mediator atau orang ketiga yang sudah ditunjuk sebelumnya, penyelesaian
sengketa di luar pengadilan meliputi :
a. Negosiasi,
merupakancara penyelesaian sengketa yang paling dasar yang
digunakan oleh masyarakat, banyak sengketa yang diselesaikan setiap
harinya dengan cara ini alasan utamanya yaitu bahwa dengan cara ini,
para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan
setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan dari
kedua belah pihak (Winarwati, 2017)18

17
Effendy, 2014, Analisis Hukum Perdata, Semarang, vol. 2, No.2 h. 12
18
Winarti, 2017, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 21
b. Mediasi, adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga atau
seorang mediator. Mediator tersebut bisa berasal dari Negara,
organisasi internasional seperti PBB, politikus, ahli hukum, dan
seorang ilmuan. Mediator tersebut ikut serta secara aktif dalam proses
mediasi tersebut, biasanya seorang mediator dengan kapasitasnya
sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan
memberikan saran untuk menyelesaikan sengketa tersebut
c. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih
formal disbanding mediasi. konsiliasi merupakan suatu cara
penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang
dibentuk oleh para pihak, komisi ini disebut komisi konsiliasi. komisi
ini berfungsi untuk menetapkanpersyaratan penyelesaian sengketa
yang diterima oleh para pihak, tetapi putusannya tidak mengikat kedua
belah pihak (Winarwati, 2017)..19 Pada tahun 1994, Majelis Umum
PBB memutuskan untuk berusaha mewujudkan berdirinya Mahkamah
Pidana Internasional, dengan membawa rancangan statuta dari Komisi
Hukum Internasional sebagai sebuah dasar rancangan tersebut dibahas
di Komisi Ad Hoc yang bertemu sebanyak dua kali sepanjang tahun
1995 (Effendi, 2014)20. Setelah rancangan tersebut selesai dibahas oleh
Komisi Ad Hoc, Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusi Majelis
Umum nomor 5216 (LII) yang diadopsi tahun 1996 dan 1997
membentuk Komisi Persiapan untuk menindaklanjuti hasil dari Komisi
Ad Hoc. Pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1998 diadakan suatu
konfrensi diplomatik yang diadakan di Roma dan dihadiri oleh wakil
dari Negara- negara di dunia, organisasi-organisasi pemerintah, dan
organisasi-organisasi non- pemerintah. Setelah naskah berhasil
dipersiapkan dari tahun 1994 oleh Komisi Hukum Internasional,
kemudian diserahkan kepada Majelis Umum PBB dan ditahun yang
sama Majelis Umum membentuk Komisi ad hoc untuk meninjau
aspek-aspek substantif, administratif, dan prosedural (Parthiana,
2015).21 Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional
harus diselesaikan melalui badan peradilan apabila secara perdamaian
tidak bisa menyelesaikannya. Kejahatan-kejahatan seperti genosida,
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
agresi yang menyangkut maslah internasional secara keseluruhan,
dapat dihukum. Dengan demikian pendirian Mahkamah Pidana
Internasional yang permanen dinilai penting bagi penuntutan kejahatan
internasional di masa yang akan datang (Iswadi, 2014). Pengaturan
19
Winarti, 2017, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu, h. 29
20
Effendi, Analisis Hukum Perdata, Semarang, vol. 2, No.2 h. 19
21
Pathiana, 2015, Hukum Pidana, Jakarta: Putaka Merdeka, h. 45
Mahkamah Pidana Internasional di dalam Statuta Roma yaitu
tertuang pada Pasal 125 ayat 2 dan 3, Pasal 126 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,
Pasal 4
ayat 2, Pasal 3 ayat 2 Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi
terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat
memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana
internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya (Effendi, 2014).22
Dalam sengketa ini cara diluar jalur hukum, seperti mediasi, konsiliasi,
dan negosiasi sudah pernah dipakai untuk upaya penyelesaian sengketa
namun belum juga menemukan titik terang dalam sengketa tersebut. Jika
dalam menggunakan cara diluar pengadilan sudah pernah digunakan oleh
Negara dalam mengakhiri sengketa yang terjadi, namun masih belum
menemukan titik temu, maka dalam kasus ini dapat diambil alih oleh
Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan menggunakan cara melalui
Mahkamah Pidana Internasional (Susanti, 2014 : 17). Didalam yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional terdapat empat yurisdiksi, yaitu :
a. Yurisdiksi Material : Mahkamah pidana internasional berwenang untuk
mengadili kejahatan-kejahatan yang diatur didalam Statuta Roma 1998
yaitu dalam Pasal 6 samapai dengan Pasal 8 antara lain, genosida,
kejahatan kemanusiaan, agresi, dan kejahatan perang (Parthiana, 2015 :
361). Berkaitan dengan kasus yang terjadi di Myanmar kejahatan yang
terjadi yaitu kejahatan genosida.
b. Yurisdiksi Personal : Dalam Pasal 25 Mahkamah Pidana Internasional
hanya mengadili individu tanpa memandang status sosial dari individu
tersebut, apakah seorang pejabat Negara atau sebagainya (Susanti, 2014 :
18). Berkaitan dengan kasus di Myanmar yang bertanggung jawab adalah
individu.
c. Yurisdiksi Teritorial : Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili
kasus- kasus yang terjadi di Negara peserta dimana menjadi atau
terjadinya kejahatan. Hal ini diatur dalam pasal 12 Statuta Roma 1998
(Effendi, 2014).
d. Yurisdiksi Temporal : Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) dan (2) Statuta
Roma 1998, bahwa Mahkamah Pidana Internasional hanya berwenang
untuk mengadili kejahatan-kejahatan yangterjadi setelah berlakunya
Mahkamah Pidana Internasional yakni pada 1 Juli 2002 Berkaitan dengan
kasus yang terjadi di Myanmar bahwa kejahatan tersebut sudah terjadi
setelah Mahkamah Pidana Internasional resmi berlaku,
2. Kasus Samsung vs. Apple
22
Efendi, Analisis Hukum Perdata, Semarang, vol. 2, No.2 h. 245
Kasus pelanggaran hukum perdata yang satu ini terjadi pada tahun 2012,
Samsung, perusahaan elektronik Korea Selatan, dan Apple, perusahaan
teknologi Amerika Serikat, terlibat dalam serangkaian gugatan paten di
berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Jerman, dan Australia. Kedua
perusahaan saling menuduh melanggar paten dalam desain dan teknologi
produk mereka. Kasus ini merupakan contoh pelanggaran hukum perdata
internasional dalam konteks pelanggaran hak kekayaan intelektual antara
perusahaan multinasional. Seorang hakim di AS mengatakan bahwa tablet
Samsung Galaxy Tab melanggar hak paten iPad milik Apple Inc, namun
juga Apple memiliki masalah terhadap validitas paten. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Hakim Distrik AS Lucy Koh pada Kamis di sidang
pengadilan atas permintaan Apple terhadap beberapa produk Galaxy yang
dijual di AS. Apple dan Samsung terlibat dalam konflik hukum yang berat
mencakup lebih dari 20 kasus di 10 negara sebagai persaingan untuk posisi
dua teratas di pasar smartphone dan komputer tablet. Sebelumnya, Kamis,
pengadilan Australia melakukan larangan penjualan sementara komputer
tablet terbaru Samsung di negara itu. Seperti dilansir Reuters, Apple
menggugat Samsung di Amerika Serikat pada bulan April, mengatakan
produk ponsel dan tablet Galaxy milik perusahaan Korea Selatan itu
meniru iPhone dan iPad, termasuk smartphone 4G Galaxy S dan Galaxy
Tab 10.1 tablet. Sementara itu, penyedia layanan ponsel, Verizon Wireless
dan T-Mobile USA telah menentang permintaan Apple, dan menyatakan
bahwa Apple harus menunjukkan bahwa Samsung melanggar hak paten
dan menunjukkan paten miliknya yang sah menurut hukum. Pengacara
Apple, Harold McElhinny mengatakan jika desain produk Apple jauh
lebih unggul dari produk sebelumnya, sehingga paten produk Apple yang
saat ini tidak membatalkan desain yang datang sebelumnya. "Itu hanya
perbedaan dari desain," kata McElhinny. Juru bicara Apple Huguet Kristen
mengatakan, bahwa bukan suatu kebetulan jika produk Samsung terbaru
mirip sekali dengan iPhone dan iPad, hal semacam ini adalah meniru
secara terang-terangan, dan Apple perlu untuk melindungi kekayaan
intelektualnya, agar perusahaan lain tidak mencuri ide-idenya.23
Analisis :
Pertikaian Apple versus Samsung ini mencerminkan persaingan
supremasi antara dua perusahaan besar yang memperebutkan hak paten,
yang ingin menguasai lebih dari separuh penjualan smartphone di seluruh
dunia. Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tinggi San
Jose, California, Amerika Serikat menyatakan bahwa Samsung telah
melanggar paten dari produk milik Apple. Namun hasil berbeda dengan
23
Surya, 2014, Analisis Hukum Hak Paten Teknologi, Vol.1, No. 2, h. 22
keputusan pengadilan di Korea Selatan, Jepang, Jerman, Belanda, Inggris,
dan Australia, justru Samsung memenangkan hak paten tersebut. Beberapa
negara mengklaim bahwa Samsung tidak terbukti bersalah dalam
pelanggaran hak paten Apple dengan menunjukan bukti-bukti yang
diperlihatkan di persidangan. Dapat ditarik kesimpulan dari kasus
pertikaian Apple dan Samsung ini, dimana ada beberapa hal yang
menyebabkan Apple mendapatkan kemenangan di Amerika Serikat,
sementara di negara-negara lain Apple dapat dikatakan bersalah. Atas
pengalaman persidangan di berbagai negara, saya menilai bahwa hal-hal
yang menyebabkan perbedaan pengadilan dalam memandang hak paten
antara Samsung dan Apple ini adalah sudut pandang masing-masing
pengadilan negara yang berbeda khususnya dalam melihat bukti-bukti
yang dihadirkan di persidangan. Masing-masing pengadilan cukup berbeda
dalam memandang bukti-bukti yang dihadirkan oleh kedua perusahaan,
seperti di Belanda, dimana menurut hak paten Belanda menilai bahwa
iPhones Apple dan komputer tablet dinilai melanggar hak cipta
komunikasi mobile generasi 3-3G dari pihak perusahaan Samsung,
ditengah proses mengakses dalam Internet. Hakim Den Haag menolak
hampir semua gugatan Apple terhadap Samsung, terkecuali terkait cara
melihat foto pada galeri. Persidangan yang terjadi di Belanda tersebut
sama halnya dengan negara-negara lain seperti Inggris, Australia, Jepang,
Jerman, yang memiliki sudut pandang hak paten yang berbeda pula,
dimana masing-masing pengadilan lebih memperkuat bukti-bukti yang
diajukan oleh Samsung dibandingkan Apple. Namun ternyata hal tersebut
nampaknya tidak terjadi di Korea Selatan, dimana persidangan di Korea
Selatan justru menyatakan bahwa kedua perusahaan raksasa tersebut
dinyatakan bersalah dengan diwajibkan mengganti kerugian dengan
jumlah kompensasi yang berbeda tiap perusahaan. 24
Maka dengan demikian, atas kasus pertikaian antara Apple dan
Samsung ini terdapat kesimpangsiuran dan bahkan lebih banyak
menghasilkan keputusan yang kurang kredibel atau lebih sarat akan pro
dan kontra. Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya hukum paten yang
terlembaga secara internasional dalam menentukan siapa dan apa yang
dipermasalahkan dalam kasus paten ini. Namun bukan berarti mekanisme
dari hukum itu sendiri yang salah, tapi pelaku disinilah yang merupakan
aktor sentral dalam membawa kasus ini secara internasional. Artinya
kedua belah pihak harus duduk bersama-sama untuk dapat menyelesaikan
kasus pertikaian ini dibawa ke forum internasional, agar keputusan mampu

24
Surya, 2014, Analisis Hukum Hak Paten Teknologi, Vol.1, No. 2, h. 26
diterima secara adil dan bijak. Hal ini bermaksud agar dunia internasional
dapat menilai mana yang baik dan mana yang tidak atas fenomena yang
terjadi di dunia teknologi saat ini.25
Atas kasus yang terjadi antara Apple dan Samsung, ada pelajaran yang
dapat dipetik dari kasus ini yaitu masyarakat internasional harus dapat
menghargai dan melindungi ketetapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
yang telah mengikat dalam aturan hukum. Jika individu atau masyarakat
melakukan plagiat, atau juga menjiplak hasil tiruan dari sebuah produk
teknologi, maka sanksi hukum akan segera menjerat subjek yang
melakukan pelanggaran tersebut. Setiap individu ataupun masyarakat
menemukan atau menciptakan suatu invensi, membuat merek, sebaiknya
didaftarkan agar diperoleh hak eksklusif dari negara untuk dapat
dimanfaatkan jika terjadi sengketa atau pelanggaran atas hak tersebut di
kemudian hari.

25
Surya, 2014, Analisis Hukum Hak Paten Teknologi, Vol 1, No. 2, h. 26
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Analisis Hukum Perdata, Semarang, vol. 2, No.2 h. 19


Boer Mauna, 2005, Pengertian, Peranan dan Fungsi Hukum Internasional
Dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, hlm. 193.
Huala Adolf, op. cit., hlm. 1, dikutip dari Ion Diaconu, Peaceful
Settlement of Disputes Between States: History and Prospects,
dalam Macdonald R. St. J. et. al., 1986, The Structure and Process
of International Law: Essayss in Legal Philosophy Doctrine and
Theory, Martinus Nijhoff, hlm. 1095.
Pathiana, 2015, Hukum Pidana, Jakarta: Putaka Merdeka, h. 45
Ridwan, 2012, Pemaparan Sengketa Internsional, Jakarta, Vol. 17 No. 3,
h. 6
Saraswati, 2007, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu
J.G. Starke, 2007, Penerapan Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu,
h.646
Rusma, 2012, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu
Surya, 2014, Analisis Hukum Hak Paten Teknologi, Vol.1, No. 2, h. 22
Winarti, 2017, Hukum Internasional, Jakarta: Gerai Ilmu

Anda mungkin juga menyukai