Anda di halaman 1dari 18

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Makalah ini Ditujukan


Dituj untuk Memenuhi TugasMata
Mata Kuliah
Hukum Internasional

Dosen Pengampu:
Dr. SUWANDI, M.H.

Oleh:
FRANDY ARGADINATA 14781007

MAGISTER AL-AHWAL
AL AL-SYAKHSHIYAH
SYAKHSHIYAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia Internasional, menjalin hubungan Internasional adalah suatu mutlak
yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara, hal ini sudah tertuang di dalam Konvensi
Montevideo 1933 yang menyatakan syarat dari terbentuknya negara salah satu poin yang
paling penting adalah mampu menjalin hubungan Internasional dengan negara lain,
tujuannya adalah adanya saling membutuhkan satu negara dengan negara lainnya, karena
tidak ada satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri tanpa bantuan
dari negara lain. Dengan seringnya negara menjalin hubungan Internasional dengan negara
lain banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain dampak positif
yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara terlibat suatu pertikaian
atau sengketa Internasional di antara kedua negara, banyak kasus yang sering
menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan banyak kasus yang terjadi
yang menyebabkan masalah di atas, misalkan kasus Sipadan dan Ligitan antara Indonesia
dan Malaysia, serta suatu Sengketa Kuil Preah vihear antara Thailand dan Kamboja dan
yang terakhir ini adalah sengketa yang terjadi di Indonesia yaitu konflik antara China
dengan Indonesia atas wilayah pulau Natuna.
Berbagai metode penyelesaian sengketa ini telah berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman. Dahulu. metode penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan kekerasa.
seperti perang. invasi. dan lainnya. Metode itu telah menjadi solusi bagi Negara sebagai
aktor utama dalam hukum internasional klasik. Seiring dengan perkembangan zaman.
cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut direkomendasikan untuk tidak digunakan
lagi semenjak lahirnya The Hague Pace Conference dan Covention on the Pacific
Settlement of International Disputes pada tahun 1899 dan 1907.
Akan tetapi. karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat.
konvensi tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap) untuk
melarang Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian sengketa
dengan kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2.
Oleh karena itu. Negara-negara yang terlibat dalam PD II membentuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengganti LBB. Terbentuknya PBB
diharapkan dapat menciptakan kedamaian di Dunia. Dalam praktik hubungan antarnegara
saat ini. PBB telah menjadi organisasi internasional. Piagam PBB telah dijadikan sebagai
1
landasan utama oleh banyak Negara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan
cara damai.
Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai dalam Piagam PBB memang
mutlak diperlukan. Hal itu disebabkan konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan
Fungsi) PBB itu sendiri. yaitu menjaga kedamaian dan kemanan dunia (Internasional).
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini, penulis memberikan rumusan masalah yaitu, apa
yang dimaksud sengketa Internasional dan bagaimana pembagiannya serta bagaimana
aplikasinya?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan
individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan
baik, tidak jarang dalam hubungan tersebut terjadi suatu sengketa.1
Sengketa Internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara
subjek-subjek hukum Internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan
atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.2
Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah,
lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan
terjadi karena:
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal;
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain;
3. Dua negara berselisih tentang suatu hal;
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional3
Dalam studi hukum Internasional publik, dikenal dua macam sengketa
internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik
(political or nonjusticiable disputes). Dalam praktiknya tidak terdapat kriteria pembedaan
jelas yang dapat digunakan untuk membedakan antara sengketa hukum dan sengketa
politik. Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan
sengketa politik, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai cara membedakan
sengketa hukum dan sengketa politik.
Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian
tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi
sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh
pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.
b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara,
seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.

1
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 1.
2
http://pkntrisna.wordpress.com/2010/06/16/pengertian-sengketa-internasional, diakses pada 2 April
2016.
3
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, II
(Banrdung: PT.Alumni, 2005), 193.

3
c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada
cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan
perkembangan progresif hubungan internasional.
d. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum
yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum
yang telah ada.4
Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa
hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika
para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut
adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak
membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal
pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta
tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara sengketa politik dan
hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa
tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Huala Adolf mengeluarkan pendapat
yang sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa antara dua negara, bentuk atau jenis
sengketa yang bersangkutan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Bagaimana kedua
negara memandang sengketa tersebut menjadi faktor penentu apakah sengketa yang terjadi
merupakan sengketa hukum atau politik.5
Dari pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembedaan jenis
sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan. Pembedaan dapat dilakukan dengan
melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut diselesaikan, apabila sengketa
terjadi karena pelanggaran terhadap hukum internasional maka sengketa tersebut menjadi
sengketa hukum, selain pelanggaran terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi
akibat adanya benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang
melibatkan kepentingan inilah yang dimaksud sengketa politik.
B. Metode Penyelesaian Sengketa Internasional
1. Penyelesaian Sengketa Internasional (public)
Menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional sedini mungkin, dengan cara yang
seadil-adilnya bagi para pihak yang telibat, merupakan tujuan hukum internasional sejak lama.
Kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang terkait sebagian merupakan kebiasaan praktek
dan sebagian lagi berupa sejumlah konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti

4
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 5.
5
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 6.

4
Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa
Internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco
tahun 1945. Salah satu tujuan pokok Charter tersebut adalah membentuk Organisasi
Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mempermudah penyelesaian secara damai
perselisihan-perselisihan antara negara-negara.
Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa internasional publik
digolongkan dalam dua kategori, yaitu penyelesaian secara damai dan secara paksa atau
dengan kekerasan.
a. Cara penyelesaian damai
Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Penyelesaian sengketa
secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam
PBB yang berbunyi:
All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of
force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any
other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini melarang negara anggota menggunakan
kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan
penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai telah merupakan
norma-norma imperatif dalam hubungan antar bangsa. Oleh karena itu hukum
internasional telah menyediakan berbagai cara penyelesaian sengketa internasional
secara damai demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya
hubungan antar bangsa yang serasi.
Metode penyelesaian sengketa-sengketa Internasional secara damai atau
bersahabat dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Pengklasifikasian ini tidak berarti
bahwa proses-proses ini secara kaku terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya
sesuai untuk memecahkan satu kelompok sengketa tertentu. Posisi ini tidak demikian
dalam praktek. Klasifikasi metode penyelesaian secara damai dapat dibagi menjadi:6
1) Negosiasi
Negoisasi adalah cara penyelesaian yang biasanya pertama kali ditempuh
manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua
bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan

6
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, X (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 646.

5
melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga
atau organisasi Internasional.7
2) Jasa-jasa baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan
bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga disini berupaya agar para pihak menyelesaikan
sengketanya dengan negosiasi. Jadi, fungsi utama jasa baik ini adalah
mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk
bersama, dan bernegosiasi.8
3) Pencarian fakta
Penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara
konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu
penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu
permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan
masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Di samping
itu, organisasi-organisasi internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian
sengketa melalui pencarian fakta ini. Negara-negara juga telah membentuk badan-
badan penyelidikan baik yang sifatnya ad hoc ataupun terlembaga. Pasal 50 Statuta
Mahkamah Internasional misalnya mengatakan bahwa Mahkamah dapat entrust any
individual body, bureau, commission or other organization that it may select, with
the task of carrying out an inquiry or giving an expert opinion.
The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes
tahun 1907 Pasal 35, dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian
fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja dan bukan merupakan
suatu keputusan.
4) Mediasi
Mediasi merupakan suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak
ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara,
organisasi internasional atau individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses
negosiasi. Biasanya dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berusaha
mendamaikan para pihak dengan memberikan sara penyelesaian sengketa. Jika
usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya
dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator

7
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 19.
8
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 671-672.

6
adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat
disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri
sengketa.9
5) Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga
(konsiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh
para pihak. Badan konsiliasi dapat merupakan badan yang telah terlembaga atau ad
hoc (sementara). Konsiliasi merupakan proses yang berupaya mendamaikan
pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan
penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan
hukum.
6) Arbitrase
Arbritase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang
telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang
belum terdapat batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Arbitrase menurut
Komisi Hukum Internasional (International Law Commisions) adalah a procedure
for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law
and as a result of an undertaking voluntaruly accepted.10
7) Penyelesaian secara yudisial
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dilakukan melalui suatu
pengadilan yudisial Internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan
memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Satu-satunya organ umum untuk
penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia dalam masyarakat Internasional
adalah International Court of Justice (ICJ) yang menggantikan dan melanjutkan
kontinuitas Permanent Court of International Justice. Pengukuhan kedudukan
dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal tersebut pendahulunya
yaitu Permanent Court of International Justice, dibubarkan oleh Majelis Liga
Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya. ICJ terbuka bagi negara-negara
(anggota-anggota atau bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa) peserta statuta
dan bagi negara-negara lain, dengan syarat-syarat yang ditentukan Dewan
Keamanan PBB tunduk pada ketentuan khusus yang dimuat dalam traktat-traktat
yang berlaku dan syarat tersebut tidak untuk menenpatkan para pihak dalam

9
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 671-673.
10
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 202.

7
kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah (Pasal 35 statuta ICJ). Yuridiksi
ICJ dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:11
a) Memutuskan perkara-perkara pertikaian (contentious case)
b) Memberikan opini-opini yang bersifat nasihat (advisory opinion)
b. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Kekerasan
Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai (bersahabat), maka salah
satu cara yang dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah
melalui jalur pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian sengketa Internasional dengan
menggunakan kekerasan secara garis besar dibagi menjadi:
1) Perang12
Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan
untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara yang
ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.Cara perang
untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan
sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan
kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai
aturan-aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring
dengan berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat
internasional menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya
masyarakat internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara
penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.
Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan
bersenjata dalam penyelesaian sengketa internasional. Dalam Pasal 2 ayat (3)
Piagam PBB menyebutkan All members shall settle their international disputes by
peaceful means in such a manner that international peace and security are not
endangered, Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB
diwajibkan untuk menempuh cara-cara penyelesian sengketa secara damai.
Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan dalam Piagam tercantum
dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan internasional,
semua negara harus menahan diri dalam menggunakan cara-cara kekerasan, All
members shall refrain in their international relations from the threat or use of force

11
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 655.
12
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 679.

8
against the territorial integrity or political independence of any state or in any
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.13
Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapat
dimungkinkan pada saat keadaan terdesak untuk melakukan pembelaan diri apabila
terlebih dahulu diserang oleh negara lain. Tindakan ini didasarkan pada Pasal 51
Piagam PBB yang menyatakan Nothing in the present Charter shall impair the
inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs
against a Member of the United Nations Measures taken by Members in the
exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security
Council.
Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu sengketa
internasional merupakan pilihan yang harus digunakan dalam situasi tertentu.
Penggunaan senjata sebagai media penyelesaian sengketa harus dilakukan untuk
alasan pertahanan diri dan bukan sebagai tindakan untuk menekan pihak lain.
2) Retorsi14
Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara
terhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut
dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya
pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan
ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif.
Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat
secara pasti ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Dalam
Pasal 2 paragraf 3 Piagam PBB ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa harus menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak
mengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan
retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.
3) Tindakan-tindakan pembalasan (reprasial)15
Reparsial adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan
tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak

13
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 12.
14
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 679-680.
15
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 680-682.

9
dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan adalah
mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai tindakan ilegal,
sedangkan retorsi meliputi tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.
Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang
terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap
seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila
negara yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan tindakan yang
sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat
sasaran reprisal merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional, negara
yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti kerugian yang muncul
akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan dengan proporsional dan
tidak berlebihan.
4) Blokade secara damai16
Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu
damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang
pelabuhannya diblokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan
blokade. Blokade secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang
diakui untuk memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan
blokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh
diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian dunia.
5) Intervensi17
Intervensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan
melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu.
Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk
turut campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2
ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut
campur dalam urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian
terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan
dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan tindakan
intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi
negara atas kedaulatan negara lain belum tentu erupakan suatu tindakan yang melanggar
hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi
dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

16
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 682-685.
17
J.G. Starke, Pengantar Hukum Intenasional, 136.

10
Tindakan tersebut adalah apabila:
a) Intervensi kolektif yang ditenytuka dalam piagam PBB;
b) Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di negara
lain;
c) Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas
hukum Internasional.
Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin terlebih
dahulu melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan
pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi
dan apakah tindakan intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.
2. Penyelesaian Sengketa Internasional (private)
Dalam suatu kegiatan Internasional baik negara maupun individu mengacu
kepada kaidah-kaidah hukum yang bersifat Internasional, baik ketentuan hukum publik
Internasional (public International law) maupun ketentuan hukum perdata Internasional
(private International law).18
Hukum Internasional privat adalah bagian hukum Internasional yang terkait
dengan hak dan kewajiban individu sebagai para pihak dan lembaga Internasional non
pemerintah dalam urusan Internasional yang mengacu pada kaidah prinsip-prinsip
hukum perjanjian atau kontrak Internasional dan konvensi Internasional.19 Perbedaan
acuan kaidah hukum tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam penyelesaian sengketa
Internasional publik dan privat. Di atas telah dijelaskan metode-metode penyelesaian
sengketa publik, sedangkan metode-metode penyelesaian sengketa privat yakni terletak
dalam kontrak kesepakatan yang telah dibuat sebelum melakukan kesepakatan apakah
ditempuh dengan menggunakan:
a. Pilihan hukum (choice of law)
Pada prinsipnya, para pihak diberikan kebebasan dalam menentukan hukum
mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak.
Kebebasan para pihak untuk menetukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian
sengketa. Kebebasan memilih ini harus dihormati oleh badan peradilan sebagai contoh

18
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2011), 18.
19
Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, 22.

11
yakni, Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial
Arbitration.20
Peran choice of law di sini adalah menentukan hukum yang akan digunakan
oleh badan peradilan (peradilan atau arbitrase) untuk:
1) Menentukan keabsahan suatu kontrak;
2) Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
3) Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi;
4) Menentukan akibat-akibat hukum dari adana pelanggaran terhadap kontrak.
b. Pilihan forum (choice of juridiction)
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak
dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang
bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar
pengadilan. Forum penyelesaian sengketa dalam hal ini pada prinsipnya juga sama
dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa Internasional pada
umumnya (negosiasi, penyelidikan fakta-fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrase) dan
penyelesaian melalui pengadilan atau cara-cara yang desepakati dan dipilih para
pihak.
Penyelesaian sengketa publik Internasional dan perdata Internasional tidak
memiliki perbedaan jauh, dalam praktik penyelesaian sengketa perdagangan
internasional keduanya senantiasa berjalan bersama tanpa terpisah satu sama lain.

20
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 198.

12
BAB III
ANALISIS KASUS
SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA INDONESIA DAN CHINA ATAS PULAU
NATUNA
A. Deskripsi Kasus
Pada hari Sabtu, 19 Maret 2016, terjadi insiden yaitu terpergoknya kapal Motor
Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas penangkapan ikan di
perairan Natuna. Kementerian Kelautan dan Perikanan mendeteksi kapal nelayan
Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di koordinat 5 derajat lintang utara dan
109 derajat bujur timur yang merupakan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya
penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal patroli
milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai (coast guard)
milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka juga
menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL.
Akibat Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah
perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kini
berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu. Tak sekadar memperketat
pengawasan, mereka bahkan berencana memperkuat posisi militer di perairan tersebut.
Langkah itu dilakukan demi menegakkan kedaulatan NKRI di lautan khususnya Natuna.
Sebagaimana dikutip viva.com, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
Luhut Binsar Pandjaitan, saat berkunjung ke kantor redaksi tvOne, Rabu malam, 23 Maret
2016 mengatakan bahwa Natuna harus jadi seperti kapal induk kita. Kita Jadikan basis
militer yang kuat, AL dan AU di sana. Dia menambahkan bahwa presiden Joko Widodo
bersikap tegas dan tidak kompromi mengenai persoalan tersebut.
Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah melayangkan
protes kepada Pemerintah China, terkait insiden pelanggaran kedaulatan di perairan laut
Natuna, Kepulauan Riau. Menlu sudah memanggil kuasa usaha sementara Kedutaan Besar
China di Jakarta. Menlu langsung menyampaikan tiga hal protes pemerintah Indonesia
atas tragedi di laut Natuna pada Minggu 20 Maret 2016 malam kemarin. Poin kedua dari
protes Indonesia ke negeri Tirai Bambu itu, mengenai upaya yang dilakukan oleh coast
guard China untuk mencegah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas
Indonesia di wilayah ZEE dan landas kontinen. Di mana, salah satu kapal coast guard

13
China tiba-tiba mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik Indonesia dan kapal
tangkapan KM Kway Fey 10078 China dengan kecepatan 25 knots. Kapal cost guard itu
justru menabrak kapal tangkapan hingga rusak. Akhirnya, petugas meninggalkan kapal
tangkapan tersebut demi keselamatan. Dan, yang ketiga adalah keberatan kita atau protes
kita terhadap pelanggaran kedaulatan laut teritorial Indonesia.21
Kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia yang paling utara di Selat
Karimata. Kepulauan Natuna terdiri dari pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung
dengan wilayah maritim tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan Vietnam.22 Kepulauan
Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia.
Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas
bumi 112.356.680 barel. Kawasan laut Natuna juga merupakan salah satu jalur Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) dan menjadi lintasan laut Internasional bagi kapal-kapal
yang datang dari Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut
tersebut dan juga menuju Samudera Pasifik.23 Akan tetapi, China selama ini mengklaim
kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Dalam hal wilayah, China
mengklaim 90% wilayah perairan Laut China Selatan seluas 3,6 juta kilometer persegi.
Klaim itu didasari pada peta kuno armada laut China pada abad kedua sebelum Masehi
pada masa dinasti Qin dan dinasti Han. Kemudian dari tahun 960 sampai 1368, orang-
orang China memperluas aktivitasnya ke perairanan pulau Zhongsha dan Nansha.
Aktivitasaktivitas China berlanjut terus sampai tahun 1911, dimana wilayah kegiatannya
sudah mencakup semua pulau di Laut China Selatan.24
B. Analisis Kasus berdasarkan Penyelesaian Sengketa Internasional
Mengenai kemelut yang terjadi di Laut China Selatan, sebenarnya Indonesia sejak
dahulu telah melakukan upaya diplomatik agar sengketa Laut China Selatan tidak meluas
di wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna. Pada saat itu, Menlu Indonesia Marty
Natalegawa dan Menlu China Yang Jiechi sepakat untuk mengadakan diplomasi dalam
menyelesaikan sengketa Laut China Selatan. Mengimplementasikan secara penuh dan
efektif dari Declaration on the conduct of Parties in the Shout China Sea (DOC), yaitu
membangun rasa saling percaya, meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan

21
http://sketsanews.com/555655/konflik-natuna-dalam-tinjauan-politik-dan-pertahanan/ diakses pada
tanggal 2 Maret 2016.
22
http://id.scribd.com, diakses pada tanggal 2 Maret 2016.
23
http://regional.kompasiana.com, diakses pada tanggal 2 Maret 2016.
24
http://idu.ac.id, diakses padatanggal 2 Maret 2016.

14
stabilitas di Laut China Selatan.25 Dalam menyelesaikan konflik di laut China Selatan,
pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai.
Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik
atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi diplomasi
Indonesia. Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of conduct, yaitu
menciptakan rasa saling percaya, mencegah insden, dan mengelola insiden jika insiden itu
terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-langkah konkrit yang mengatur kapal-
kapal perang untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden dan mengelola
insiden. Code of conduct yang diusulkan pada September 2012 tersebut telah disetujui
dalam pertemuan antara menteri luar ASEAN dan China Beijing pada Agustus 2013.26
Berdasarkan sedikit pemaparan tersebut, maka pendapat Menteri Luar Negeri
China jelas melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Yang pada akhirnya, dengan
melakukan negosiasi secara diplomatik dalam rangka menyelesaikan sengketa atas pulau
Natuna, China mengakui hak penuh Indonesia atas Pulau Natuna di Laut China Selatan.

25
Nurul Fitri Zainia Ariffien, Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap China Dalam Menyelesaikan
Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna Di Laut China Selatan, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014,
838.
26
Nurul Fitri Zainia Ariffien, Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap China Dalam Menyelesaikan
Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna Di Laut China Selatan, 838.

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran dalam pembahasan makalah ini, maka dapat diketahui
bahwa Sengketa Internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara
subjek-subjek hukum Internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan
atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.
Sedangkan pembagian penyelesaian sengketa Internasional adalah sebagai berikut ini.

SENGKETA INTERNASIONAL

PUBLIK PRIVAT

DAMAI KEKERASAN

Negoisasi Perang Choice of jurudicton


Jasa-jasa baik Retorsi Choice of law
Pencarian fakta Reprasial
Mediasi Blokade secara
Konsiliasi damai
Arbitrase intervensi
Yudisial

B. Penutup
Segala puji Bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada saya,
sehingga makalah ini dapat saya sampaikan. Semoga makalah yang singkat ini memberi
manfaat yang sebesar-besarnya. Saya juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
banyak kekurangan-kekurangan dari saya, untuk itu koreksi dan kritikan sangat saya
nantikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar


Grafika, 2004.
http://pkntrisna.wordpress.com/2010/06/16/pengertian-sengketa-
internasional.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. II. Banrdung: PT.Alumni, 2005.
Starke, J.G.. Pengantar Hukum Intenasional. X. Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 2011.
http://sketsanews.com/555655/konflik-natuna-dalam-tinjauan-politik-dan-
pertahanan
http://id.scribd.com
http://regional.kompasiana.com
http://idu.ac.id
Ariffien, Nurul Fitri Zainia. Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap China
Dalam Menyelesaikan Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna Di
Laut China Selatan. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai