Anda di halaman 1dari 5

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

(Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional
yang dibimbing oleh: Ibu Dyan Franciska Dumaris Sitanggang, S.H., M.H./20160346)

Nama : Chindy Tuffahati H.


NPM : 2016200124
Kelas :B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

2018
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya
tugas ini dapat disusun hingga selesai. Tidak lupa penyusun ucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi, kepada Ibu Dyan Franciska Dumaris
Sitanggang, S.H., M.H. selaku dosen Hukum Perjanjian Internasional, yang telah
memberikan materi, juga kepada orang-orang yang membantu dalam menyusun tugas
ini. Harapan selaku penyusun, tugas ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca agar kedepannya dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya
terkait dengan Perjanjian Internasional.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penyusun yakin masih


banyak kekurangan dalam mengidentifikasi Perjanjian Internasional mengenai Konvensi
Hukum Laut PBB ini, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca.

Bandung, Desember 2018

Penyusun
Konvensi Hukum Laut PBB 1982

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB dengan pengesahan


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB Tentang
Hukum Laut Internasional. Dalam Konvensi Hukum Laut PBB ini akan dilakukan
indentifikasi terkait dengan pasal yang memuat reservasi, amandemen dan modifikasi,
penyelesaian sengketa, dan pengunduran diri. Reservasi merupakan salah satu
pensyaratan yang memungkinkan negara anggota menolak untuk menerima atau tidak
mau terikat pada salah satu atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau
beberapa ketentuan dari perjanjian. Dalam Pasal 19 Konvensi Wina 1969 disebutkan
bahwa suatu negara dapat mengajukan pensyaratan kecuali pensyaratan dilarang dalam
perjanjian1. Dalam Konvensi Hukum Laut ini reservasi dilarang sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 309 yang dirumuskan sebagai berikut: “No reservations or exceptions may
be made to this Convention unless expressly permitted by other articles of this
Convention.” Bahwa dalam pasal tersebut disebutkan tidak ada persyaratan atau
pengecualian yang dapat diajukan terhadap Konvensi ini kecuali secara tegas diijinkan
oleh pasal-pasal lain Konvensi ini.

Amandemen merupakan perubahan secara formal atas ketentuan suatu perjanjian


internasional baik secara menyeluruh ataupun sebagian yang menyangkut semua
negara peserta perjanjian. Dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 diatur secara tegas
tentang amandemen yaitu terumus di dalam Pasal 312 ayat 1:

“After the expiry of a period of 10 years from the date of entry into force of this
Convention, a State Party may, by written communication addressed to the Secretary-
General of the United Nations, propose specific amendments to this Convention, other
than those relating to activities in the Area, and request the convening of a conference to
consider such proposed amendments. The Secretary-General shall circulate such
communication to all States Parties. If, within 12 months from the date of the circulation
of the communication, not less than one half of the States Parties reply favourably to the
request, the Secretary-General shall convene the conference.”
Dari rumusan tersebut suatu negara peserta dapat mengajukan usul supaya dilakukan
amandemen yang secara khusus atau ketentuan konvensi, yang harus disampaikan
secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB dan yang selanjutnya memohon kepada

1
I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, hal 158
Sekretaris Jendral PBB untuk mengedarkan usul tersebut kepada semua negara peserta
lainnya.

Usul untuk melakukan amandemen dapat diajukan oleh negara yang menjadi
peserta dalam perjanjian yaitu ketika perjanjian sudah entry into force dan karena
Kovensi Hukum Laut PBB 1982 ini mengatur tersendiri, maka prosedurnya sesuai
dengan pengaturan pasal 312 ayat 1 tersebut yaitu amandemen dapat diusulkan setelah
10 tahun sejak berlakunya konvensi ini. Dalam pasal 40 Konvensi Wina 1969 disebutkan
bahwa usul untuk mengamandemen suatu perjanjian multilateral antara semua pihak
harus disampaikan kepada semua negara peserta, dimana setiap negara itu berhak
untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan atas usulan untuk mengadakan
amandemen tersebut, apakah negara setuju/atau tidak diadakan amandemen karena
perjanjian yang sudah diamandemen tidak secara otomatis dapat mengikat negara yang
telah menjadi pihak pada perjanjian lama2. Selanjutnya dapat dilakukan perundingan
untuk merumuskan naskah hasil amandemen sampai dengan persetujuan untuk terikat
pada naskah hasil amandemen tersebut. Dalam Konvensi Laut ini tidak diatur mengenai
modifikasi yang merupakan perubahan secara formal atas beberapa ketentuan tertentu
dari suatu perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan beberapa negara saja.

Penyelesaian sengketa diatur dalam pasal 279 Konvensi Laut PBB 1982 yang
mengatur kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai dirumuskan sebagai
berikut:
“States Parties shall settle any dispute between them concerning the interpretation
or application of this Convention by peaceful means in accordance with Article 2,
paragraph 3, of the Charter of the United Nations and, to this end, shall seek a solution
by the means indicated in Article 33, paragraph 1, of the Charter.”

Dalam pasal tersebut menghendaki agar negara-negara peserta konvensi


menyelesaikan setiap sengketa antara mereka mengenai interpretasi atau penerapan
Konvensi ini dengan penyelesaian secara damai sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Semua Anggota harus menyelesaikan persengketaan
internasional dengan jalan damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan

2
Ibid, hal 333
internasional, dan keadilan, tidak terancam) dan, untuk tujuan ini, harus mencari
penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB
tersebut (penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-
pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih sendiri).

Pengunduran diri/atau pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional dapat


terjadi karena alasan muncul jus cogens baru, pelanggaraan oleh salah satu pihak,
ketidakmungkinan untuk melaksanakan kewajiban, terjadinya perubahan keadaan yang
fundamental, putusnya hubungan diplomatik dan/ atau konsuler, pecahnya perang antara
para pihak, dan penarikan diri negara-negara pesertanya.3 Dalam konvensi ini tidak pasal
mengenai pengunduran diri.

DAFTAR PUSTAKA

I Wayan Parthiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1&2. Mandar Maju:
Bandung

wikipedia.org/ Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut

http://www.un.org/ Unclos Convention

3
Ibid, hal. 463-482

Anda mungkin juga menyukai