Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ASPEK HUKUM DAN ETIKA PROFESI

MENGENAL ARBITRASE
DOSEN PENGAMPUH: SITI NURJANAH AHMAD

Oleh:

Hamida P3A119021

Ayu Indah Sari P3A119019

I Gede Santa Guntara P3A119023

PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI


JURUSAN D3 TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS HALU OLEO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang telah memberikan waktu,
kesehatan dan pemikiran yang baik sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Manajemen Keuangan Internasional ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan.
Makalah ini membahas tentang ABITRASE.

Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah
tersusun. Namun, hanya membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai
referensi. Semoga dengan makalah ini dapat memberikan tambahan pada materi yang
terkait dengan Abitrase.

Kami sebagai penyusun tidak lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam
penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu kami
mohon maaf atas segala kekurangannya.

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Nurjanah Ahmad sebagai pengajar
mata kuliah Aspek Hukum dan Etika Profesi yang telah memberikan arahan kepada
kami dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa pula kepada rekan-rekan yang telah
ikut berpartisipasi sehingga makalah ini selesai pada waktunya.

Kendari, 31 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……................................................................................
1
DAFTAR ISI.......................................................................................................
2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 . Latar belakang.................................................................................
3
1.2 . Rumusan Masalah...........................................................................
4
1.3 . Tujuan penulisan.............................................................................
4

BAB II. TEORI DASAR


2.1. Defenisi Arbitrase............................................................................
5
2.2. Karakteristik Arbitrase.....................................................................
7
2.3. Sejarah Arbitrase..............................................................................
7
2.4. Jenis-jenis Arbitrase.........................................................................
7
2.5. Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Hukum (pasal 618 ayat (1), (2)
dan (3) Rv) (Harahap, 2001:70) .....................................................
10
2.6. Keunggulan dan kelemahan Arbitrase.............................................
10
2.7. Prosedur Arbitrase............................................................................
11
2.8. Pelaksanaan Arbitrase......................................................................
10
2.9. Sebab batalnya perjanjian Arbitrase.................................................
13
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................
15
3.2. Saran ................................................................................................
16
Daftar Pustaka.................................................................................................
17
Lampiran..........................................................................................................
18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat


sistem perdagangan, perindustrian, ikut pula maju dengan pesat, baik dalam
hubungan nasional maupun hubungan internasional. Hal ini sering menjadi
pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku usaha dan bisnis, yang
mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur
pengadilan maupun jalur diluar  pengadilan, sehingga diharapkan tidak
menggangu iklim bisnis antara pihak yang bersengketa.

Maka Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemudahan


dengan proses yang cepat, murah dan diselesaikan sebaik-baiknya, salah
satunya melalui Arbitrase.. Pengertian arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.

Sedangkan definisi perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa


klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase berdasarkan akta
compromittendo dan akta kompromis. Di Dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang tercantum dalam pasal 1320 sebagai syarat sahnya suatu
perjanjian adalah : sepakat,cakap, hal, tertentu, sebab yang halal.

Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa


”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di
bidang   perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan
demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam
lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-
masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling
menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
mereka.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan


sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan
lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang
diberikan tersebut akanmenjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap
pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut
berarti pelanggaran terhadap perjanjian. Oleh karena itu tidak dapat
dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase
bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap)sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang timbul dari latar belakang tersebut adalah


sebagai berikut:

a. Apa sebenarnya defenisi dari arbitrase?


b. Bagaimana sejarah arbitrase?
c. Apa saja jenis dari arbitrase?
d. Bagaimana dengan keunggulan dan kelemahan dari arbitrase?
e. Apa kaitan arbitarase dengan pengadilan?
f. Bagaimana pelaksanaan putusan dari arbitarase?

1.3 Tujuan Penulisan 

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui tentang arbitrase, defenisi, sejarah, jenis arbitarase,


kelemahan dan kelebihan dari arbitrase, kaitan dengan pengadilan
dan pelaksanaan dari putusan arbitrase tersebut.
b. Mengetahui kasus dan dapat mengidentifikasi kasus arbitrase.
c. Dapat dengan handal mengidentifikasi kasus-kasus dunia bisnis
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Arbitrase

Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga
dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama,
seperti: perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau
schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan.

Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar


peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut
dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang
tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana
akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.

Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas


dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang
acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian
orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut
“arbiter”.

Dalam menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya paraarbiter


memutuskan sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal
ini sesuai dengan prinsip-prinsip umummengenai kontrak dalam hukum, yang
harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai denganketentuan pasal K.U.H
perdata. Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikankeputusan
sesuai dengan keadilan maka keputusan harus sesuai dengan peraturan yang
berlaku, mereka juga terikat memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka
danmemperhatikan peraturan-peraturan hukum.

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30


Tahun 1999.Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusanarbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri,
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asliatau salinan autentik
putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan
negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yangmempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri
tidak diperkenankanmemeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenanganmemeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan
Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formalterhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62
UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka,
Ketua Pengadilan Negeridapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap
penolakan itu tidak ada upaya hukumapapun.

Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar


perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur
kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiteratau majelis yang memeriksa
sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebasmenetukan acara
arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-
undang.

Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku,


kecuali dalamklausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan
kekuasaan kepada (para) arbiteruntuk memutus menurut kebijaksanaan (ex
aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus
menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikutamar putusan
nya, yang disertai dengan alasan- dan dasar pertimbangan yang
dipergunakan(para) arbiter dalam mengambil putusan, tanggal diambilnya
putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditnda tangani oleh (para)
arbiter. Dalam hal salah seorang arbitermenolak menandatangani putusan, hal
ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan
sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal632 jo
pasal 633 Rv)

Menurut Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau


pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang
diberikan oleh hakim yangmereka pilih.1

H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu


proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh

1
http://mhunja.blogspot.in/2012/03/arbitrase-pengertian-keunggulan-dan.html.
para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-
bukti yang diajukan oleh para pihak.2

H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase


yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak
bersepakat agar  perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi keduabelah
pihak.3

Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin


penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur
Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau
standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk
khusus untuk kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai
“hakim” dalam mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun
hanya untuk kasus yang sedang ditangani.

Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase


adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua)
bentuk, yaitu:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis


yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo).
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa (Akta Kompromis)

Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam


pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan
pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar

2
https://coemix92.wordpress.com/2011/05/29/apa-itu-arbitrase/?
_e_pi_=7%2CE_ID10%2C3252387852.

3
https://coemix92.wordpress.com/2011/05/29/apa-ituarbitrase/?
_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C3252387852.
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap
diperbolehkan.

Dari beberapa pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa unsur


kesamaan, yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan sengketa-sengketa, baik yang akan


terjadi maupun yang saat itu terjadi, kepada seorang atau beberapa orang
pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.

2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang


menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya di sini
dalam bidang perdagangan industri dan keuangan

2.2 Karakteristik arbitrase


 Arbitrase adalah proses peradilan secara swasta, dimana sengketa
diputus oleh seorang hakim swasta (arbiter).
 Arbitrase dimulai dengan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak.
 Perjanjian arbitrase mengenyampingkan kewenangan pengadilan untuk
mengadili sengketa.
 Para pihak (berdasarkan perjanjian arbitrase) berhak menentukan sendiri
acara arbitrase (party autonomy).
 Sebagaimana halnya putusan pengadilan, putusan arbitrase mengikat
para pihak.

2.3 Sejarah Arbitrase di Indonesia

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai


meningkat sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase).
Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian
sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk
menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan
tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele
karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih
terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah
putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya
yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase
tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan- putusan arbitrase
asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia,
demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing
akan dapat dilaksanakan di luar negeri.

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa


sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase
diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op
deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini
diatur dalam pasal615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-
ketentuan tersebut sekarang inisudah tidak laku lagi dengan diundangkannya
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang
penting, karenaterhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan,
putusan tersebut harus didaftarkandi kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telahdiambil (pasal 634 ayat
(1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika
telahmemperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu
didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA” pada bagian atas dari
asli putusan arbitrase tersebut . selanjutnya putusan arbitrase yang telah
memperoleh irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKANKETUHANAN
YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tatacara yang biasa
berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
  Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok
Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam
penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan. 

2.4 Jenis-jenis Arbitrase


Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan terdapat dua macam arbitrase,
yaitu [a) Arbitrase Ad-Hoc; dan [b) Arbitrase Institusional' Menurut Ketentuan
UU No.30 Tahun 1999 baik Arbitrase Ad-Hoc maupun Arbitrase Institusional
dapat digunakan.4

1. Arbitrase Ad-Hoc.
4
Sutan Remy Sjahdeni. "penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase". lndonesia
Arbitrotion Quorterly Newsletter. Number 6 | 2OO9., diterbitkan oleh BANI Arbitrotion center.
Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter. Ketentuan
dalam Reglement Rechtvordering (Rv) mengenal adanya Arbitrase Ad-Hoc.
Pada Pasal 615 ayat (1) Rv. Arbitrase Ad-Hoc adalah Arbitrase yang
dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu,
atau dengan kata lain Arbitrase Ad-Hoc bersifat insidentil.5
Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa Arbitrase Ad-Hoc bersifat
sekali pakai (eenmalig ). Berarti, setelah para Wasit atau Arbiter
menjalankantu gasnya,m aka Arbiter atau MajelisA rbiter yang memeriksa
sengketa itu bubar. Para Arbiter dari Arbitrase Ad-Hoc dipilih sendiri oleh
para pihak yang bersengketa dan para Arbiter menyelesaikan sengketai tu
berdasarkanp eraturanp rosedury ang ditetapkans endiri oleh para pihak.6
Pasal 13 ayat [1) dan ayat (2) uu No.30 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa:
”Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat
mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk arbiter atau majelis arbitrase". Dalam suatu arbitrase
od-hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang
atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri"

Guna mengetahui dan menentukan Arbitrase jenis, Ad-Hoc atau


Institusional yang disepakati para pihak, dapat dilihat melalui rumusan
Klausula Arbitrase dalam akta perjanjian yang dibuat sebelum terjadi
sengketa. Akta perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa "acta von
compromis", yang menyatakan bahwa perselisihanakan diselesaikan oleh
Arbitrase. Apabila dalam Klausula Arbitrase menyebutkan bahwa arbitrase
yang akan menyelesaikan perselisihan adalah arbitra seperorangan jenis
arbitrase yang disepakati adalah Arbitrase Ad-Hoc Ciri pokok Arbitrase Ad-
Hoc adalah penunjukkan para arbiternya secara perorangan oleh masing-
masinpgi hak yang bersengketa Walaupun demikian, di antara salah satu dari
3 [tiga] arbiter harus ada arbiter yang netral yang tidak ditunjuk oleh para
pihak. Pada prinsipnya Arbiter Ad-Hoc tidak terikat atau terkait dengan
salah satu Lembaga atau Badan Arbitrase.
Jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan atau cara tersendiri mengenai
tata cara pemeriksaan sengketa seperti halnya Arbirase Institusional Akan
tetapi, dalam melaksanakan caranya sedapat mungkin mengacu kepada
undang-undang yang berlaku. Dalam praktek Arbitrase Ad-Hoc seringkali
menemui kesulitan antara lain:

5
A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino. Arbitrase dalam Perspektif dan Hukum Positif. Penerbit
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2O02, hlm. 79.
6
Sutan Remy Sjahdeni, lbid.
a. karena sukar untuk mengangkat arbiter, mengingat para pihak
seringkaltii dak menyetujui para arbiter ini secara bersama;
b. karena adanya kurang paham dari para pihak pada waktu merumuskan
Klausula Arbitrase.
Pasal 12 ayat [1) dan ayat (2) uu No.30 Tahun 1999 terdapat syarat-
syarat untuk dapat ditunjuk atau diangkat sebagai Arbiter, sebagai berikut:
 cakap melakukan tindakan hukum;
 berumur paling rendah 35 tahun;
 tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
 tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase; dan
 memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun.
 Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Berdasarkan ketentuan itu penunjukkan dan pengangkatan Arbiter tidak
dapat dilakukan sembarangan Arbiter yang ditunjuk oleh para pihak dalam
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase Ad-Hoc harus memenuhi
persyaratan penunjukkan dan pengangkatan Arbiter sebagaimana yang diatur
dalam UU No'30 Tahun 1999'
2. Arbitrase Institusional
Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa Arbitrase Institusional
merupakan suatu badan arbitrase permanen yang telah mempunyai peraturan
prosedur tersendiri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang diperiksanya.7
Menurut M. Yahya Harahap bahwa Arbitrase Institusional sengaja
didirikan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar pengadilan Arbitrase ini merupakan satu
wadah yang sengaia didirikan untuk menampung Perselisihan yang timbul
dari perjanjian. Suyud Margono sebagaimana dikutip pula oleh A. Rahmat
Rosyadi dan Ngatino mengatakan bahwa Arbitrase Institusional
(lnstitusional Arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang
bersifat permanen, sehingga disebut "Permanent Arbital BodY".8
Arbitrase Institusional bersifat permanen, ia tetap ada meskipun
perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sedangkan Arbitrase Ad-
Hoc bersifat insidentil, ia akan berakhir keberadaannya setelah sengketa
yang ditangani selesai diputus. Selain itu, dalam pendirian Arbitrase
Institusional sebagai lembaga atau badan yang bersifat permanen, di
dalamnya terdapat susunan organisasi serta ketentuan-ketentuan tentang tata

7
Sutan RemY Sjahdeini, lbid.
8
A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino, ,bt4 hlm'81'
cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan persengketaan secara
baku yang mengacup ada undang-undang yang berlaku.
Menurut Gunawan Widjaja bahwa faktor kesengaiaan dan permanen
ini merupakan ciri pembeda dengan Arbitrase Ad-Hoc' Selain itu Arbitrase
Institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan
Arbitrase Ad-Hoc yang baru dibentuk setelah perselisihan timbul. Selain itu
Arbitrase Institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun
perselisihan yang ditangani telah selesai. Arbitrase Institusional ini
menyediakan jasa administrasi arbitrase yang meliputi pengawasan terhadap
proses arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai prosedural bagi para pihak
dan pengangkatan para Arbiter.9

Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia


menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi
diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan
bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-
bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi,Hak Kekayaan
Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi,Pelayaran/maritim, Lingkungan
Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lainlain dalam lingkup peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Menyediakan jasa-jasa bagi
penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk
alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi
dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur
BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang
berkepentingan.

Adapun mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan–


ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing
(Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya
terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–
ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur
dalam Konvensi New York 1958.

2.5 Sifat Perjanjian Arbitrase Menurut Hukum (pasal 618 ayat (1), (2) dan (3)
Rv) (Harahap, 2001:70).

a. Nama dan alamat para pihak;


b. Penunjukkan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
9
A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino, ,bt4 hlm'81'
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut apabila ada;
e. Cara penyelesaian yang dikehendaki;
f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam
jumlah ganjil.

2.6 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum


UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.
Keunggulan itu adalah :

a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;


b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki
latar  belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya, para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
;
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak
melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga


memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia,
kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan
arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.

Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-


keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui
Arbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari
Arbitrase:

a) Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam,


maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
Sebaga icontoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui
keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, dan
lembaga lainnya. 
b) Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga
enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase.
Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan
diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c) Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan
melakukan eksekusi putusannya.
d) Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang
dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari
dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu,
perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e) Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Arbitrase hanya dapat
bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

2.7 Prosedur Arbitrase


Suatu prinsip penting dalam prosedur beracara arbitrase adalah bahwa
prosedur tersebut sederhana, cepat dan murah, yakni harus lebih sederhana,
lebih cepat dan lebih murah dari prosedur pengadilan biasa.

Pokok-pokok prosedur beracara diarbitrase adalah sebagai berikut:


1. Permohonan arbitrase oleh pemohon.
2. Pengangkatan arbiter.
3. Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon.
4. Penyampaian 1 (satu) salinan putusan kepada termohon.
5. Jawaban tertulis dari termohon diserahkan kepada arbiter.
6. Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter.
7. Perintah arbriter agar para pihak menghadap arbitrase.
8. Para pihak menghadap arbiter.
9. Tuntutan balasan dari pemohon.
10. Pemanggilan lagi jika termohon tidak menghadap tanpa alasan yang
jelas.
11. Jika termohon tidak datang juga menghadap sidang, pemeriksaan
diteruskan tanpa kehadiran termohon (verstek) dan tuntutan dikabulkan
jika cukup alasan untuk itu.
12. Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter.
13. Proses pembuktian.
14. Pemeriksaan selesai dan ditutup (maksimum 180 hari sejak arbitrase
terbentuk).
15. Pengucapan putusan.
16. Putusan diserahkan kepada para pihak.
17. Putusan diterima oleh para pihak.
18. Koreksi, tambahan, pengurangan terhadap putusan.
19. Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri yang
berwenang.
20. Permohonan eksekusi didaftarkan di panitera Pengadilan Negeri.
21. Putusan pelaksanaan dijatuhkan.
22. Perintah ketua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan.

2.8 Pelaksanaan Arbitrase


A. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU


No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan
secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya,
putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau
salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan
arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat. 

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat


(seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang
dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah
pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila
tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak  permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

B. Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia


didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda
yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa
Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di
New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi
Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober
1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York
1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

2.9 Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase


Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian
sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:
a. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
b. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan,
inovasi (pembaharuan utang), dan insolvensi;
c. Pewarisan;
d. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
e. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut;
f. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;

2.10 Keuntungan dan Kelemahan Aribitrase

a) Keuntungan Arbitrase

1. Ketidak percayaan pihak pada pengadilan negeri.

Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat


suatu gugatan melalui pengadilan, akan menghabiskan jangka waktu yang
relatif panjang. Haal ini disebabkan karena biasanya melalui pengadilan
umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, bahkan bisa sampai ke mahkamah agung. Apabila
memperoleh putusan dipengadilan negeri (tingkat pertama), pihak yang
merasa tidak puas dengan putusan itu akan naik banding dan kasasi
sehingga akan memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.

2. Prosesnya cepat

Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase sering kali


lebih cepat atau tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses
litigasi di pengadilan. Pada umunya prosedur arbitrase ditentukan dengan
memberikan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh menurut pasal 48
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pemeriksaan sengketa
harus diselesaikan dalam waktu 180 hari atau enam bulan sejak arbiter
atau majlis arbitrase terbentuk. Kemudian, dalam ayat (2) nya ditentukan
dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan arbiter ataupara
arbiter, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.

3. Dilakukan secara rahasia

Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk menyerahkan suatu


sengketa kepada badan atau majelis arbitrase adalah pemeriksaan maupun
pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan secara
tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para pihak terjaga
kerahasiaanya.

4. Bebas memilih arbiter


Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih arbiter yang
akan menyelesaikan persengketaan mereka. Jika dalam hal ini para pihak
tidak bersepakat dalam memilih arbiter, maka dalam pasal 13 (1) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut:
“Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter
atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, ketua pengadilan
negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.

5. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)

Menyelesaikan perselisihan dipengadilan kadangkala memerlukan


biaya tambahan. Hal ini dikarenakan sering kali dijumpai hakim kurang
mampu menangani kasus atau perselisihan yang bersifat teknis sehingga
memerlukan saksi ahli yang membutuhkan biaya. Dalam hal penyelesaian
melalui arbitrase, saksi ahli tidak mesti diperlukan karena para pihak yang
bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter, yang serba
mengetahui masalah yang dipersengketakan.

6. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)

Putusan arbitrase pada umunya dianggap final dan binding (tidak


ada upaya untuk banding). Namun, apabila ada hukum yang berlaku
dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan
arbitrase melalui pengadilan, pengadilan yang harus mengesahkanya dan
tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan tersebut.

7. Biaya lebih murah

Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya pendaftaran, biaya


adminstrasi dan biaya arbiter yang sudah ditentukan tarifnya. Prosedur
arbitrase dibuat sederhana mungkin dan tidak terlalu formal. Disamping
itu, para arbiter adalah ahli dan pratiksi dibidang atau pokok yang
dipersengketakan sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan
yang cepat dan obkektif. Hal itu ditentukan menghemat biaya jika
dibandingkan dengan melalui pengadilan.

8. Bebas memilih hukum yang diberlakukan

Para pihak dapat memilih hukum yang akan diberlakukan, yang


ditentukan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian. Khusus yang dalam
kaitanya dengan para pihak yang berbeda kewarganegaraan, para pihak
yang bebas memilih hukum ini, berkaitan dengan teori pilihan hukum
dalam hukum perdata internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing
negara mempunyai HPI tersendiri.17 Erman Rajagukguk mengatakan
bahwa kelebihan yang dimiliki lembaga arbitarse antara lain:
a. Karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan
setempat asing bagi mereka.
b. Pengusaha-pengusaha negara maju mengatakan hakim dari negara-
negara berkembang tidak menguasai sengketa dagang yang melibatkan
hubungan-hubungan niaga dan keuangan Internasional yang rumit.
c. Pengusaha negara naju beranggapan bahwa penyelesaian sengketa
melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang
besar.
d. Adanya anggapan bahwa pengadilan di Indonesia akan bersifat
subjektif kepada mereka karena hakim yang memeriksa dan memutus
sengketa bukan dari negara mereka.
e. Penyelesaian senketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan
siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang
antara mereka.
f. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat
melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh
kedua nelah pihak.1

b) Kelemahan Arbitrase

1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk


memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan
para pihak.

2. Apabial pihak yang salah tidak mau mau melaksanakan putusan arbitrase,
maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas
putusan tersebut.
3. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanakan keputusan arbitrase asing
masaih menjadi hal yang sulit.

4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-


perusahaan yang besar, oleh karena itu, untuk memepertemukan kehendak para
pihak yang bersenketa dan membawanya ke arbitrase tidaklah mudah.

5. Lembaga arbitrase tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi perkara


arbitrase.

6. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaiain yang


dicapai dalam arbitrase sehingga sering kali mengingkari dengan berbagai
cara.

7. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suati mekanisme Ekstra
Judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu pada etika bisnis.

2.11 Objek arbitarse

Objek perjanjian arbitarse (sengketa yang akan diselesaikan di liaur


pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaiain
sengketa lainya) menurut pasal 5 ayat (1), Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999tentang arbitarse dan alternatif penyelesaiain sengketa, hanyalah sengketa
di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.
Adapun kegitan dalam dunia perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak milik intelektual.
Sementara itu pasal 5 ayat (2), undang-undang nomor 30 tahun 1999, tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaiain sengketa, menjelaskan bahwa sengketa-
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitarse adalah sengketa yang
menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagai mana
diatur dalam KUHPerdata buku III bab ke 18 pasal 1851 s/d 1854.

2.12. Faktor – Faktor Yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan


Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa

Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu
metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat
ini berkembang di masyarakat. Masyarakat juga memikirkan kelanjutan
hubungan sosial kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal
yang mereka inginkan menyangkut hubungan baik dan kompromis tersebut
tidak bisa mereka dapatkan melalui sebuah penyelesaian sengketa yang
terstruktur melalui cara litigasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan.
Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan
lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki
kekuatan financial atau kekuatan politik, cara – cara negosiasi dan mediasi
tidaklah akan berjalan efektif, karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa
dengan cara dan dalam forum apapun dapat memenangkan sengketa.

Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan setelah terbukti banyak


menimbulkan ketidak puasan pada para pihak-pihak yang bersengketa maupun
masyarakat luas. Ketidak puasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk
pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan
karena dianggap tidak memanusiawikan pihak – pihak yang bersengketa,
menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya
perdagangan putusan hakim, dan lainlain hujatan yang ditujukan kepada
lembaga peradilan.Seperti halnya dengan negosiasi dan mediasi, arbitrase lebih
dipilih karena para pihak cenderung tidak mempercayai lembaga peradilan
tersebut.Para pihak yang bersengketa tidak memiliki kemampuan untuk
mengetahui siapa yang menang ataupun kalah dalam suatu proses penyelesaian
sengketa litigasi, para pihak akan mengeluarkan biaya besar yang dikeluarkan
para pihak tersebut dapat diminimalisir sehingga para pihak pun lebih memilih
arbitrase dari pada proses penyelesaian secara litigasi. Dengan kata lain
penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan cara yang efektif dari segi
financial karena biayanya yang terjangkau. Sama halnya dengan biaya, para
pihak juga tidak ingin membuang waktu hanya untuk berperkara di pengadilan
saja, masih banyak kepentingan dan urusan lain yang harus mereka selesaikan
disamping sengketa yang tengah mereka hadapi. Agar penyelesaian sengketa
menjadi lebih hemat waktu, para pihak sengketa tertarik untuk memilih
penyelesaian sengketa malalui arbitrase. Selain putusan bisa didapat dengan
cepat, putusan arbitrase ini bersifat final. Faktor lain mendorong para pihak
sengketa melakukan arbitrase adalah karena arbitrase memberikan kebebasan
yang sebenar-benarnya kepada para pihak dalam menentukan arbiter, pilihan
hukum, proses, serta tempat penyelenggaraan arbitrase. Namun tetap pada
akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh terhadap putusan arbitrase
yang mengikat mereka tersebut. Dari faktor-faktor yang telah diuraikan diatas,
dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase
merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
memiliki manfaat serta kemudahan – kemudahan yang sangat besar sehingga
mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase
dalam menyelesaiakan sengketa. Untuk mengetahui dan menentukan apakah
arbitrase yang disepakati oleh para pihak adalah jenis ad hoc, dapat dilihat dari
rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromitendo atau acta
compromise menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang
berdiri sendiri di luar arbitrase institusional. Atau dengan kata lain, apabila
klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri atas
arbiter perseorangan, arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc.
Ciri pokoknya penunjukan para arbiternya secara perseorangan.31 Pada
prinsinya Arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan
arbitrase. Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan
kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan
salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki
aturan tatacara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun
mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk
sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-
undangan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:

Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga
dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama,
seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage
atauschiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikena
ldengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa
tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.

Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin)
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saatini
walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.

Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya


Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula
Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of derechtvordering.
Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak digunakan lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.

Keunggulan Arbitrase Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum


tidak mengetahu itentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.

Kelemahan Arbitrase, Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh


masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis
sendiri.
3.2 Saran

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,


misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak
untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase
berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis
arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3) ) dan dalam
hal pelaksanaan putusan arbitrase nasiona lmaupun internasional yang harus
dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan
tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase
internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan
seharusnya lembaga arbitrase sudah dapat berdiri sendiri, demi menjunjung
keIndependenan lembaga ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Sutan Remy Sjahdeini. "Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui
Arbitrase",BANI,2009.
A.Rahmat Rosyadi dan Ngatino.”Arbitrase dalam Perspektif dan Hukum Positif”.
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2002.

Internet:
http://mhunja.blogspot.in/2012/03/arbitrase-pengertian-keunggulan-dan.html.
https://coemix92.wordpress.com/2011/05/29/apa-itu-arbitrase/?
epi_=7%2CPAGE_ID10%2C3252387852.

Anda mungkin juga menyukai