Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM DAGANG

ARBITRASE

Disusun Oleh :
Wahyu Meiyana Ndalu (191010201041)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2021
ABSTRAK

Di Indonesia menurut proses penyelesaian sengketa para pihak ada beberapa


cara yang biasanya bisa dipilih seperti: melalui prosedur jalur litigasi (pengadilan)
atau melalui non-line litigasi (mediasi, konsiliasi, negoisation, konsultasi, valuasi
ahli, dan arbitrase). Berkaitan dengan arbitrase atau arbitrase lembaga, sebenarnya itu
sudah ada dan telah dipraktikkan selama berabad-abad. Di negeri ini, arbitrase juga
telah sudah dikenal sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa publik melalui
non-litigasi. Arbitrase diciptakan dari klausul yang mereka diambil dalam kontrak
yang mereka sudah setuju. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam poin
kontrak dapat diselesaikan dengan menggunakan metode sengketa. Oleh karena itu,
artikel ini akan membahas sesuai pilihan mengenai penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dalam hukum/sistem hukum di Indonesia.

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
BAB 1 ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
C. Tujuan............................................................................................................ 3
BAB II...................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 4
A. Pengertian Arbitrase ....................................................................................... 4
B. Sejarah Perkembangan Arbitrase Di Indonesia ............................................... 5
C. Ruang Lingkup Arbitrase ............................................................................... 8
D. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) .................................................. 8
E. Proses Penyelesaian Sengketa Arbitrase ......................................................... 9
F. Kekurangan dan Kelebihan Arbitrase ........................................................... 10
BAB III .................................................................................................................. 12
PENUTUPAN ........................................................................................................ 12
A. Kesimpulan .................................................................................................. 12
B. Saran ............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 13

ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat bimbingan
serta petunjuk-Nya saya bisa menyelesaikan makalah ini. Adapun pembahasan
makalah ini yakni Ruang Lingkup Arbitrase. Saya menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Pembimbing dalam mata kuliah
Hukum Dagang.

Meskipun pembuatan makalah ini telah selesai, namun kami menyadari


bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu kami masih mengharapkan bimbingan dari Dosen Pembimbing, serta
kritik dan saran dari teman – teman sekalian.

Penyusun

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi
yang makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa.
Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri
untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting
karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa
komersial yang terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase merupakan salah
satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana
penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini
sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan
efisien.

Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha


nasional terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah
berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat
menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu memenuhi
tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam
soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis
menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan
negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah
cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut
"keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat"
(social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang
berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering
disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih
menunjukkan lebih kental "bau formalisme-prosedural" ketimbang kedekatan

1
pada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila
semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap
institusi pengadilan.

Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses


pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para
pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak
mereka apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar
pengadilan negeri.

Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas


dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan
sengketasengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat
pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur
lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian,
bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu
melahirkan keadilan substansial.

Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan


metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung
satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan
arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif.
Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di
hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena
itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan
tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan
kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan
meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi
masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu arbitrase?


2. Bagaimana sejarah perkembangan arbitrase di indonesia?
3. Apa saja yang ada di dalam ruang lingkup arbitrase?
4. Apa itu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)?
5. Bagaimana proses penyelesaian sengketa arbitrase?
6. Apa saja kelebihan dan kekurangan dalam penyelesaian sengketa melalui
arbitrase?

C. Tujuan

1. Mengetahui apa itu arbitrase.


2. Memahami sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia.
3. Mengetahui ruang lingkup arrbitrase.
4. Memahami apa itu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
5. Mengetahui proses penyelesaian sengketa arbitrase
6. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda),


arbitration (inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh
arbiter atau wasit1pangertian arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim
partikulir yang tidak terkait dengan dengan berbagai formalitas, cepat dan
memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang
mudah untuk melaksanakan karena akan di taati para pihak.

Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih
secara suka rela setuju untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netral di luar
proses peradilan yang normal. Logika dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat
pujian bahwa proses tersebut ditujukan untu manusiasejak abad permulaan. Untuk
alasan yang sama pula arbitrase secara luas diterimasebagai pelengkap dari
hukum formildari orang-orang romawi dan lebih di sukai sebagai alat
penyelesaian perselisiahan komersil pada abad pertengahan. sementara itu,
menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse dan alternatif
penyelesaian senketa umum pasal 1 angka 1, arbitrase adalah: “cara penyelesaian
suatu sengketa di luar perdilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Sementara itu pendapat lain menurut Priyatna Abdulrrasyid mengatakan:

“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa


yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang
di mana satu pihak atau lebih menyerahkan sengketannya,
ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah satu pihak

4
lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter
majlis)ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau
peradilan swasta yang akan menerapkantata cara hukum perdamaian yang
telah disrpakati bersama oleh para pihak tersebut untuk sampai pada
putusan yang final dan mengikat.”

Menurut H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan


adalah:“suatau peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat
agarperselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak,yang ditunjuk
oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah pihak.”

Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkaury arbitrase adalah: “suatu proses
yang mudah dan simpel yang dipilih oleh para piahak secara suka rela yang ingin
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka
dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut secara final dan
mengikat”

Menurut R. Subekti arbitrase adalah:“penyelesaiain suatu perselisihan


(perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit ( arbiter) yang bersama sama
di tunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak di selesaiakn lewat
pengadilan. Berdasarkan pendapat ke dua ahli tersebut, dapat di simpulkan
pengertian arbitrase, yaitu: proses penyelesaian diantara para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk menunjukan seseorang atua lebih sebagai arbiter
dalam memutus perkara yang sifat putusannya adalah final dan mengikat.”

B. Sejarah Perkembangan Arbitrase Di Indonesia

Perkembangan sejarah pemberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif


penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut:

5
1) Zaman Hindia Belanda

Pada zaman ini, Indonesia dikelompokkan dalam tiga golongan, antara


lain :

a) Golongan eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negara


Belanda (Hukum Barat) dengan badan peradilan Raad van Justitie dan
Residentie-gerecht dengan hukum acara yang dipakai bersumber kepada
hukum yang termuat dalam Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering
(B.Rv atau Rv).
b) Golongan bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya
masing-masing. Namun bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat jika
ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Badan
peradilan yang digunakan adalah Landraad dan beberapa peradilan
lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik, dan sebagainya. Dengan
hukum acara yang dipakai bersumber pada Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa dan sekitarnya. Dan bersumber
pada Rechtsrgelement Buitengewesten (Rbg).
c) Golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan
dengan hukum Barat dengan beberapa pengecualian.

Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada masa itu


dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal 377 HIR atau
pasal 705 Rbg seperti yang sudah penulis paparkan diatas. Dari pasal tersebut,
menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda Arbitrase sudah diatur
dalam tata hukum Indonesia di masa itu.

Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan 651 Rv
yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn fungsi
arbitrase. Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu

6
itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada
seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya arbiter yang
dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang diserahkan kepadanya
menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang diinginkan para pihak yang
terlibat dalam sengketa tersebut.

Ada tiga arbitrase yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu:

a. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.


b. Badan arbitrase tentang kebakaran.
c. Badan arbitrase asuransi kecelakaan.
2) Zaman Pemerintahan Jepang

Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht


diharuskan. Jepang membentuk satu macam yang berlaku bagi semua orang
yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan
kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan
RBg. Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih memberlakukan aturan
arbitrase Belanda dengan didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara
Jepang, isinya : “Semua badan pemerintah dan kekuasaan hukum dari
pemerintah dahulu tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer Jepang”.

3) Indonesia Merdeka

Untuk mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka


diberlakukanlah pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, isinya : “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini”. Dengan demikian maka aturan arbitrase zaman
Belanda masih dinyatakan berlaku.

7
Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis
arbitrase di Indonesia adalah:

a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan


Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
d. Pasal 615-651 Rv.
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.

C. Ruang Lingkup Arbitrase

Ruang lingkup arbitarse seperti yang tercantum dalam undang-undang


Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrasedan alternative penyelesaian sengketa
sebagai mana dikutip, ternyata cukuplah luas, yaitu semua jenis sengketa dibidang
keperdataan. Dalam hal ini tentunya yang bisa diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa-sengketa dibidang bisnis, sengketa-senketa di bidang perburuan/
ketenagakerjaan, sepanjang sengketa tersebut menyangkut hak pribadi yang
sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak. Adapun yang dimaksud dengan hak
pribadi adalah hak-hak yang untuk menegakanya tidak bersangkut paut dengan
ketertiban atau kepentingan umum, misalnya proses-proses mengenai perceraian,
status anak, pengakuan anak, penetapan wali, pengampuan, dan lain-lain

D. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang


berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada Tahun 1977 atas prakarsa tiga
pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono
Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi
oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh

8
masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan
di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak,
Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk


bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan,
BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu
di mana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan
dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada
saat ini BANI memiliki lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi,
30% diantaranya adalah asing.

E. Proses Penyelesaian Sengketa Arbitrase

Seperti hal nya persidangan di pengadilan umum, penyelesaian sengketa


melalui arbitrase juga melewati beberapa tahapan proses. Proses tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Surat permohonan

Seorang arbiter sebelum menempuh jalan arbitrase diharuskan untuk


mengajukan surat permohonan terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang
berwenang. Kelengkapan suatu surat tuntutan harus memuat persyaratan
sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1) nama lengkap dan tempat tinggal, 2)
uraian singkat tentang sengketa disertai lampiran bukti-bukti, dan 3) Isi tuntutan
harus jelas.

2. Jawaban atas surat permohonan


Selambat-lambatnya pada saat siding pertama dimulai termohon dapat
mengajukan tuntutan balasan. Pemohon selanjutnya diberikan kesempatan
untuk menanggapi tuntutan balasan yang diajukan oleh termohon tersebut.

9
Tuntutan balasan tersebut akan dan wajib untuk diperiksa dan diputus oleh
arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa.
3. Kehadiran para pihak di dalam sidang arbitrase
Jika pada hari yang dtentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase
berdasarkan pada surat perintah menghadap yang telah dikeluarkan, ternyata
pemohon tanpa suatu alas an yang sah tidak datang menghadap, sedangkan
sudah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas
arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai.
4. Perdamaian
5. Pemeriksaan pokok sengketa
6. Pencabutan surat permohonan
7. Saksi dan saksi ahli
8. Putusan arbittrase

F. Kekurangan dan Kelebihan Arbitrase

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan


dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:

1. Sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa


para pihak terjamin.
2. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif dapat
dihindari.
3. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil, serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
4. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase
didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap para
pihak yang bersengketa.

10
5. Pilihan umum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.
6. Putusan arbitrase mengikat para pihak (final and binding) dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.
7. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena
berakhir atau batalnya perjanjian pokok.
8. Didalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan
perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut diatas, terdapat juga


kelemahankelemahan dari arbitrase, yaitu sebagai berikut.

9. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk


memberikan keputusan yang memuaskan untuk melakukan rasa keadilan para
pihak.
10. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka
diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan
arbitrase tersebut.
11. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih
menjadi hal yang sulit.
12. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-
perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak
yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

11
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih
secara suka rela setuju untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netral di luar
proses peradilan yang normal.

BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang


berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.

Poses penyelesaian sengketa melalui berapa tahapan proses, yaitu:

1. Surat permohonan
2. Jawaban atas surat permohonan
3. Kehadiran para pihak dalam sidang arbitrase
4. Perdamaian
5. Pemeriksaan pokok sengketa
6. Pencabutan surat permohonan
7. Saksi dan saksi ahli
8. Putusan arbittrase

B. Saran
Adapun saran-saran yang mungkin dapat berguna bai pihak-pihak yang
berkepentingan maka penyusun memberikan masukan-masukan antara lain:

 Peraturan yang ada khususnya UU No. 30 tahun 1999 hendaknya dipegang


teguh oleh para hakim, pengacara/kuasa hukum, notaries dan juga pihak yang
bersengketa, demi terciptanya suatu kondisi yang kita kehendaki bersama.

12
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa No. 30. (1999).


Jakarta: Sinar Grafika.
Artadi, P. W. (n.d.). ARBITASE SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN
SENGKETA DI LUAR PENGADILAN DALAM SENGKETA HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL.
Entriani, A. (n.d.). ARBITRASE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA.
Fuady, M. (2000). Arbitrasi Nasional. Bandung: Sitra Aditya Bhakti.
Hutajulu, M. J. (2019). KAJIAN YURIDIS KLAUSULA ARBITRASE DALAM
PERKARA KEPAILITAN. Jurnal Ilmu Hukum Vol.3 No.2, 175-192.
Multazam, M. T. (n.d.). Arbitrase Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Indonesia.
Rachmadi, U. (2012). Pilihan Penyeleaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
Risma Indriyani, S. (2003). PELAKSANAAN KLAUSULA-KLAUSULA
ARBITRASE DALAM PERJANJIAN BISNIS.
Subekti. (1992). Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta.
Sutiarso, C. (2011). PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM SENGKETA
BISNIS. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia .
Tampongangoy, G. H. (2015). ARBITRASE MERUPAKAN UPAYA HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL.
Lex et Societatis, Vol. III No.1, 160-169.

13

Anda mungkin juga menyukai