Disusun oleh
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena, atas segala rahmat-Nya kita
semua masih diberikan kesehatan sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah
ini tepat pada waktunya. Tidak lupa saya mengucapkan terimah kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami sangat berharap, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Kelompok, 5
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase
B. Kaeuntungan Arbitrase Komersial
C. Peraturan Prosedur Arbitrase
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi
Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena
ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan
dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat
dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh
karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional terus
berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap peran
pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri
dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para
pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-
pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui
pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan
adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut
"keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat" (social
justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam
putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar
dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental "bau formalisme-
prosedural" ketimbang kedekatan pada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu,
sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat
terhadap institusi pengadilan.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku
ii
bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila
terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar
hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa bisnis
merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak
terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh
para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode
pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain
dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih
mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para
pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang
akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang
sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus
mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk
mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar
akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang
rigid.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengeartain dari Arbitrase?
2. Bagaiamana Keuntungan Arbitrase Komersaial?
3. Bagaimana Peraturan Prosedur Arbitrase?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari arbitrase!
2. Untuk mengetahui bagaimana keuntungan arbitrase komersial!
3. Untuk mengetahui bagaimana peraturan prosedur arbitrase!
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertiian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration
(inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau
wasit1pangertian arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak
terkait dengan dengan berbagai formalitas, cepat dan memberikan keputusan, karena
dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk melaksanakan karena akan di
taati para pihak.
Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih secara suka
rela setuju untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netraldi luar proses peradilan
yang normal. Logika dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat pujian bahwa proses
tersebut ditujukan untu manusiasejak abad permulaan. Untuk alasan yang sama pula
arbitrase secara luas diterimasebagai pelengkap dari hukum formildari orang-orang
romawi dan lebih di sukai sebagai alat penyelesaian perselisiahan komersil pada abad
pertengahan. Sementara itu, menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang
arbitarse dan alternatif penyelesaian senketa umum pasal 1 angka 1, arbitarse adalah:
“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada
perjanjian arbitraseyang dibuat secara tertulis oleh para puhak yang bersengketa.
Sementara itu pendapat lain menurut Priyatna Abdulrrasyid mengatakan
“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang
merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak
atau lebih menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya
dengan salah satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-
arbiter majlis)ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan
swasta yang akan menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama
oleh para pihak tersebut untuk sampai pada putusan yang final dan mengikat.”
Menurut H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan adalah:“suatau
peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agarperselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang
ii
tidak memihak,yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua
belah pihak
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkaury arbitrase adalah:“suatu proses yang
mudah dan simpel yang dipilih oleh para piahak secara suka rela yang ingin perkaranya
diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan
berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut secara final dan mengikat”.
Menurut R. Subekti, Arbitrase adalah:“penyelesaiain suatu perselisihan (perkara)
oleh seseorang atau beberapa orang wasit ( arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh
para pihak yang berperkara dengan tidak di selesaiakn lewat pengadilan. Berdasarkan
pendapat ke dua ahli tersebut, dapat di simpulkan pengertian arbitrase, yaitu: proses
penyelesaian diantara para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menunjukan
seseorang atua lebih sebagai arbiter dalam memutus perkara yang sifat putusannya adalah
final dan mengikat.”
B. Keuntungan Arbitrase Komersial
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah “cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Proses arbitrase akan
dipimpin oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter yang sebelumnya dipilih oleh para
pihak yang bersengketa. Dengan memilih bersengketa di luar pengadilan, tentunya
arbitrase memiliki banyak keuntungan, di antaranya:
1. Lebih fleksibel, tetapi masih masuk kedalam koridor hukum yang ada
Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui Arbitrase diatur dalam HIR dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, tetapi pada prakteknya Majelis Arbiter/ Arbiter Tunggal yang memimpin
jalannya proses arbitrase dalam menentukan agenda persidangan lebih fleksibel dengan
menyesuaikannya dengan kepentingan para pihak yang berperkara. Kelebihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah perihal jadwal sidang, dimana jadwal
sidang mampu dipastikan tepat waktu sebagaimana yang telah ditetapkan, tetapi apabila
terjadi penundaan, maka panitera akan segera menginformasikannya kepada para pihak
sebelum waktu sidang yang telah direncanakan sebelumnya.
ii
2. Arbiter telah mempelajari permohonan dan jawaban yang diajukan oleh para
pihak
Arbiter telah mempelajari permohonan dan jawaban serta seluruh dokumen yang
diajukan oleh para pihak, sehingga Arbiter telah memiliki gambaran awal atas
permasalahan yang terjadi. Sebelum proses persidangan, para pihak disyaratkan untuk
melakukan jawab menjawab terlebih dahulu sebelum persidangan dimulai, termasuk juga
dokumen pembuktian.
Selain itu, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf e UU Arbitrase dalam pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat dapat diangkatnya arbiter adalah memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa Arbiter sebelum membantu untuk
menyelesaikan perkara, Arbiter sudah memiliki dasar pengetahuan dan memahami kasus
yang akan diselesaikan.
3. Para Pihak masih dapat menjalin hubungan kerja sama dengan baik
Tujuan utama dari penyelesaian melalui Arbitrase adalah untuk mencari jalan
keluar yang menguntungkan bagi para pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, tujuan utama dari Arbitrase adalah mencari jalan
keluar atas permasalahan yang ada. Sehingga hubungan baik para pihak yang bersengketa
masih tetap berlanjut setelah adanya putusan karena tujuan dari penyelesaian sengketa
secara proses Arbitrase bukan untuk memutus kontrak yang ada.
ii
5. Prosedur persidangan yang fleksibel
Ketika membuat perjanjian bisnis, para pihak yang melakukan perjanjian harus
membuat klausul arbitrase. Klausul arbitrase disini membahas mengenai jenis hukum apa
yang akan dipakai untuk menyelesaikan perkara. Untuk itu, para pihak harus melihat
secara jeli sebelum menyusun kontrak kerja sama terutama dalam klausul arbitrase.
Arbitrase dipilih oleh para pihak yang bersengketa, tetapi arbiter yang dipilih oleh
para pihak tersebut tidak boleh ada keterikatan apapun oleh para pihak, sehingga sifat
dari seorang arbiter haruslah independen. Arbiter biasanya adalah orang yang ahli di
bidangnya. Selain arbiter, para pihak juga dapat mendatangkan saksi atau ahli untuk
membantu pengambilan keputusan yang tepat.
Keputusan dari persidangan arbitrase bersifat mengikat dan final, sehingga pihak
yang kalah dalam sidang arbitrase harus menjalankan kewajibannya secara sukarela.
ii
dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win
solution terhadap para pihak yang bersengketa.
Dalam proses awal arbitrase dengan adanya suatu perjanjian arbitrase dalam
bentuk tertulis, maka menghilangkan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Hal ini sebagamana tercantum dalam Pasal 11 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999, sebagai
berkut :
ii
“Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya
ke Pengadilan Negeri”.
Sedangkan dalam Pasal 11 ayat 2 UU NO.30 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah dtetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Dengan adanya Pasal 11 ayat 2 UU No,30 Tahun 1999 ni, maka pada intinya
Pengadilan Negeri wajib menolak dan menyatakan tidak akan ikut campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali hal-hal
tertentu yang ditetapkan UU No.30 Tahun 1999.
Segala macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi
syarat bahwa kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui
ii
arbitrase. Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan.
Persetujuan ini dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum
munculnya perselisihan maupun setelahnya.
Sebelum membahas lebih jauh terkait prosedur penyelesaian sengketa perdata
melalui arbitrase, perlu diketahui bahwa ada dua opsi dalam menyelesaikan sengketa
dengan arbitrase. Pihak-pihak yang bersengekata dalam klausula arbitrasenya juga harus
menyertakan, apakah penyelesaian kasus ini akan dilaksanakan secara lembaga
(institusional) atau ad hoc.
Lembaga Arbitrase
Sesuai namanya, jasa arbitrase ini didirikan dan bersifat melekat pada sebuah
lembaga tertentu. Umumnya, lembaga arbitrase institusional memiliki prosedur dan
tata cara dalam memeriksa kasus tersendiri. Arbiternya pun diangkat dan ditentukan
oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. Di Indonesia, ada dua lembaga
arbitrase yang dapat menjadi penengah kasus sengketa, yakni BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), dan
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia).
Ad Hoc
SIfat arbitrase ad hoc hanyalah sementara, artinya dibentuk setelah sebuah sengketa
terjadi dan akan berakhir setelah putusan dikeluarkan. Arbiternya dapat dipilih oleh
masing-masing pihak yang berselisih. Namun jika para pihak tidak menunjuk arbiter
sendiri, mereka dapat meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiter sebagai
pemeriksa dan pemutus kasus sengketa. Adapun syarat-syarat seorang arbiter juga
telah tertuang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.
ii
1. Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase
Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui
pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada
Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses arbitrase alias
Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan pembayaran biaya
pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan
perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).
Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan didaftarkan ke
dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan apakah
perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk melakukan
pemeriksaan sengketa tersebut.
2. Penunjukan arbiter
ii
Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,
pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan
ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam
jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum
arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal
ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter
tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.
3. Tanggapan termohon
ii
Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-
dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon
memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah
usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter,
maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas
waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat
tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk
menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan
yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.
4. Tuntutan balik
ii
selesai dilaksanakan—maka hanya tuntutan pokok yang akan dilanjutkan
penyelenggaraan pemeriksaannya.
5. Siding pemeriksaan
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup,
menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar
keterangan dari para pihak.
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait
dengan sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang
digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa
asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab
sengketa dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180
hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat
menjadi faktor Majelis atau arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:
Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya
persidangan. Sebelum memberi putusan akhir akhir dapat ditetapkan pada suatu
tanggal berikutnya.
ii
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebenarnya, arbitrase sudah ada sejak lama, tetapi baru lebih banyak dikenal
dan digunakan sejak dikeluarkannya UU Arbitrase. Penyelesaian sengketa
dagang menjadi lebih banyak menggunakan alternatif ini lantaran dinilai lebih
efektif. Putusan yang dihasilkan dari proses arbitrase bersifat final, independen, dan
mengikat, artinya setiap pihak baik pemohon maupun termohon wajib
memenuhinya. Sengketa perusahaan yang telah selesai ini tidak perlu lagi dibawa
ke meja pengadilan.
Dari segi waktu, pemeriksaaan kasus sengketa melalui arbitrase telah jelas
ditetapkan jangka waktunya. Sesuai dengan undang-undang, pemeriksaan sengketa
ii
melalui arbitrase paling lama diselesaikan dalam jangka waktu 180 hari. Jangka watu
ini bisa saja menjadi lebih lama apabila terdapat keadaan-keadaan khusus dan
kompleksnya sengketa yang harus diselesaikan. Akan tetapi, perpanjangan ini
dilakukan setelah diberikannya pemberitahuan kepada para pihak yang bersengketa.
Sementara itu dari segi biaya, menyelesaikan kasus sengketa melalui arbitrase
juga dinilai lebih hemat. Pihak-pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sengketa
dengan seadil-adilnya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menyewa
penasihat hukum. Keberadaan arbiter yang ahli dan objektif cukup menjadi penengah
dan pemutus perselisihan.
Di samping sisi waktu dan biaya, putusan yang dihasilkan proses arbitrase
juga tak kalah penting. Putusan ini bersifat mengikat, final, dan mandiri. Setiap pihak
harus melaksanakan putusan secara sukarela. Hal ini dipertegas dengan keharusan
diserahkan dan didaftarkannya putusan arbitrase kepada kepaniteraan pengadilan
negeri. Selain itu, putusan arbitrase juga merupakan putusan tingkat pertama
sekaligus terakhir.
Dengan demikian, Ketua Pengadilan Negeri juga tidak memiliki hak untuk
memeriksa alasan atau sekadar mempertimbangkan putusan arbitrase yang telah
dikeluarkan.
ii
Persetujuan Umum Tentang Tarif dan Perdagangan yang merupakan bagian dari
WTO menyebutkan bahwa salah satu hal yang termasuk dalam perlindungan HaKI
adalah merek.
Hal ini tentu berbeda dengan persidangan di pengadilan negeri yang terkesan
sangat kaku dan hanya bertukar dokumen sidang. Apabila tidak ada saksi yang
diajukan dalam perkara tersebut pun, pembuktian hanya sekadar menyerahkan
dokumen.
Kendati demikian, fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa tidak serta merta
hanya sekadar mendengar kesaksian, memeriksa bukti, dan menetapkan putusan
secara kaku. Majelis atau arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya perdamaian
antara kedua pihak yang tengah berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1
Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang berbunyi,
ii
persetujuan damai ini disepakati, maka Majelis atau arbiter menyiapkan sebuah
memorandum yang berisi persetujuan damai kedua belah pihak secara tertulis.
Memorandum ini memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak.
Namun apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak ada kesepakatan untuk damai
dari kedua belah pihak, maka prosedur pemeriksaan dan persidangan arbitrase tetap
dijalankan sebagaimana mestinya.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan masing-masing pihak yang akan
menyelenggarakan arbitrase adalah soal biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
melakukan proses arbitrase ditentukan berdasarkan besarnya tuntutan Pemohon yang
disertakan dalam berkas permohonan arbitrase. Apabila tuntutan bernilai kurang dari
Rp500.000.000,00 maka besarnya biaya administrasi adalah sebesar 10% dari nilai
tuntutan tersebut. Sementara itu, persentase maksimal biaya administrasi adalah 0,5%
apabila tuntutan yang diinginkan sebesar lebih dari Rp500.000.000.000,00 (untuk
biaya yang berada pada rentang Rp500.000.000,00 sampai Rp500.000.000.000,00
dapat dilihat pada tabel biaya yang ditetapkan BANI). Biaya ini tidak termasuk biaya
pendaftaran dan biaya lainnya (transportasi, persidangan, dll.).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ii
melakukan eksekusi putusan arbitrase dan eksekusi secara paksa dengan jurusita
pengadilan negeri yang di lakukan atas perintah ketua pengadilan negeri, pendaftaran
di lakukan untuk menjaga kemungkinan salah satu pihak tidak mempunyai itikad baik
untuk melaksanakan putusan arbitrase atau berpotensi tidan tunduk terhadap putusan,
terhadap pendaftaran tersebut sebagai control atau pengawasan terhadap putusan
arbitrase untuk menjaga kemungkinan terjadi pelanggaran hokum oleh lembaga
arbitrase yang merupakan lembaga non litigasi untuk mewujudkan system peradailan
terpadu dan pelaksanaan putusan arbitrase maka para pihak mendapatkan keadilan,
pihak yang menang mendapatkan haknya untuk pihak yang kalah memenuhi
kewajibanya.
DAFTAS PUSTAKA
Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999, Sinar
Grafika, Jakarta.
https://bplawyers.co.id/2017/08/04/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase-2/
ii
https://bplawyers.co.id/2022/03/31/keuntungan-menyelesaikan-sengketa-dengan-arbitrase/
http://eprints.umsida.ac.id/712/1/Makalah%20Arbitrase.pdf
ii
ii
ii
ii