Anda di halaman 1dari 25

Makalah

“KEUNTUNGAN ARBITRASE KOMERSIAL DAN PERATURAN PROSEDUR


ARBITRASE”

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Alternatif Penyelesaian


Sengketa yang diampuh oleh Ibu Zulfitri Zulkarnain Suleman, S.Ars., M.H

Disusun oleh

1. Mohamad Zulkifli S Daud (202012021)


2. Mohammad Fahrizal Saleh (202012023)
3. Ummul Syakinah Almahdali (202012014)
4. Sistri Winata Bantuha (202012001)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI GORONTALO
2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena, atas segala rahmat-Nya kita
semua masih diberikan kesehatan sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah
ini tepat pada waktunya. Tidak lupa saya mengucapkan terimah kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Kami sangat berharap, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”.

Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Gorontalo, 3 April 2023

Kelompok, 5

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase
B. Kaeuntungan Arbitrase Komersial
C. Peraturan Prosedur Arbitrase
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi
Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena
ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan
dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat
dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh
karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional terus
berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap peran
pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri
dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para
pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-
pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui
pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan
adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural
dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut
"keadilan hukum" (legal justice), tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat" (social
justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam
putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar
dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental "bau formalisme-
prosedural" ketimbang kedekatan pada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu,
sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat
terhadap institusi pengadilan.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku

ii
bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila
terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar
hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa bisnis
merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak
terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh
para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial.
Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode
pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain
dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih
mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para
pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang
akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang
sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus
mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk
mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar
akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang
rigid.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengeartain dari Arbitrase?
2. Bagaiamana Keuntungan Arbitrase Komersaial?
3. Bagaimana Peraturan Prosedur Arbitrase?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari arbitrase!
2. Untuk mengetahui bagaimana keuntungan arbitrase komersial!
3. Untuk mengetahui bagaimana peraturan prosedur arbitrase!

ii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertiian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration
(inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau
wasit1pangertian arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak
terkait dengan dengan berbagai formalitas, cepat dan memberikan keputusan, karena
dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk melaksanakan karena akan di
taati para pihak.
Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih secara suka
rela setuju untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netraldi luar proses peradilan
yang normal. Logika dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat pujian bahwa proses
tersebut ditujukan untu manusiasejak abad permulaan. Untuk alasan yang sama pula
arbitrase secara luas diterimasebagai pelengkap dari hukum formildari orang-orang
romawi dan lebih di sukai sebagai alat penyelesaian perselisiahan komersil pada abad
pertengahan. Sementara itu, menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang
arbitarse dan alternatif penyelesaian senketa umum pasal 1 angka 1, arbitarse adalah:
“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada
perjanjian arbitraseyang dibuat secara tertulis oleh para puhak yang bersengketa.
Sementara itu pendapat lain menurut Priyatna Abdulrrasyid mengatakan
“Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang
merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak
atau lebih menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya
dengan salah satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-
arbiter majlis)ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan
swasta yang akan menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama
oleh para pihak tersebut untuk sampai pada putusan yang final dan mengikat.”
Menurut H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan adalah:“suatau
peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agarperselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang

ii
tidak memihak,yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua
belah pihak
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkaury arbitrase adalah:“suatu proses yang
mudah dan simpel yang dipilih oleh para piahak secara suka rela yang ingin perkaranya
diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan
berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut secara final dan mengikat”.
Menurut R. Subekti, Arbitrase adalah:“penyelesaiain suatu perselisihan (perkara)
oleh seseorang atau beberapa orang wasit ( arbiter) yang bersama sama di tunjuk oleh
para pihak yang berperkara dengan tidak di selesaiakn lewat pengadilan. Berdasarkan
pendapat ke dua ahli tersebut, dapat di simpulkan pengertian arbitrase, yaitu: proses
penyelesaian diantara para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menunjukan
seseorang atua lebih sebagai arbiter dalam memutus perkara yang sifat putusannya adalah
final dan mengikat.”
B. Keuntungan Arbitrase Komersial
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah “cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Proses arbitrase akan
dipimpin oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter yang sebelumnya dipilih oleh para
pihak yang bersengketa. Dengan memilih bersengketa di luar pengadilan, tentunya
arbitrase memiliki banyak keuntungan, di antaranya:
1. Lebih fleksibel, tetapi masih masuk kedalam koridor hukum yang ada

Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui Arbitrase diatur dalam HIR dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, tetapi pada prakteknya Majelis Arbiter/ Arbiter Tunggal yang memimpin
jalannya proses arbitrase dalam menentukan agenda persidangan lebih fleksibel dengan
menyesuaikannya dengan kepentingan para pihak yang berperkara. Kelebihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah perihal jadwal sidang, dimana jadwal
sidang mampu dipastikan tepat waktu sebagaimana yang telah ditetapkan, tetapi apabila
terjadi penundaan, maka panitera akan segera menginformasikannya kepada para pihak
sebelum waktu sidang yang telah direncanakan sebelumnya.

ii
2. Arbiter telah mempelajari permohonan dan jawaban yang diajukan oleh para
pihak

Arbiter telah mempelajari permohonan dan jawaban serta seluruh dokumen yang
diajukan oleh para pihak, sehingga Arbiter telah memiliki gambaran awal atas
permasalahan yang terjadi. Sebelum proses persidangan, para pihak disyaratkan untuk
melakukan jawab menjawab terlebih dahulu sebelum persidangan dimulai, termasuk juga
dokumen pembuktian.

Selain itu, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf e UU Arbitrase dalam pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat dapat diangkatnya arbiter adalah memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa Arbiter sebelum membantu untuk
menyelesaikan perkara, Arbiter sudah memiliki dasar pengetahuan dan memahami kasus
yang akan diselesaikan.

3. Para Pihak masih dapat menjalin hubungan kerja sama dengan baik

Tujuan utama dari penyelesaian melalui Arbitrase adalah untuk mencari jalan
keluar yang menguntungkan bagi para pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, tujuan utama dari Arbitrase adalah mencari jalan
keluar atas permasalahan yang ada. Sehingga hubungan baik para pihak yang bersengketa
masih tetap berlanjut setelah adanya putusan karena tujuan dari penyelesaian sengketa
secara proses Arbitrase bukan untuk memutus kontrak yang ada.

4. Terjaganya kerahasiaan para pihak yang bersengketa

nyelesaian perkara melalui Arbitrase dilakukan secara tertutup, baik proses


persidangannya dan juga penyelesaian masalahnya, sehingga salah satu kelebihan dari
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah bersifat rahasia atau confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksud disini adalah dalam proses persidangan dan penyelesaian
sengketa tidak ada pihak lain yang terlibat selain arbiter dan para pihak yang bersengketa,
sehingga berdasarkan hal tersebut kerahasiaan dari para pihak yang bersengketa dapat
terjaga.

ii
5. Prosedur persidangan yang fleksibel

Prosedur persidangan dalam penyelesaian perkara melalui Arbitrase sangat fleksibel


dan tidak terlalu formal, dimana arbiter yang ditunjuk oleh para pihak akan menjadi pihak
yang menjembatani dan menyeimbangan keinginan apa yang ingin disepakati oleh kedua
belah pihak.

6. Mampu memilih jenis hukum apa yang akan diterapkan

Ketika membuat perjanjian bisnis, para pihak yang melakukan perjanjian harus
membuat klausul arbitrase. Klausul arbitrase disini membahas mengenai jenis hukum apa
yang akan dipakai untuk menyelesaikan perkara. Untuk itu, para pihak harus melihat
secara jeli sebelum menyusun kontrak kerja sama terutama dalam klausul arbitrase.

7. Kebebasan dalam menunjuk arbiter

Arbitrase dipilih oleh para pihak yang bersengketa, tetapi arbiter yang dipilih oleh
para pihak tersebut tidak boleh ada keterikatan apapun oleh para pihak, sehingga sifat
dari seorang arbiter haruslah independen. Arbiter biasanya adalah orang yang ahli di
bidangnya. Selain arbiter, para pihak juga dapat mendatangkan saksi atau ahli untuk
membantu pengambilan keputusan yang tepat.

8. Keputusan yang bersifat mengikat dan final

Keputusan dari persidangan arbitrase bersifat mengikat dan final, sehingga pihak
yang kalah dalam sidang arbitrase harus menjalankan kewajibannya secara sukarela.

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan


lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berkut :

Sidang Arbitrase adalah tertututp untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa


para pihak terjamin.Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif
dapat dihindari. Para pihak yang bersengketa dapat memilih wasit yang menurut
keyakinannya memiliki pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil, serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan. Sikap arbiter atau majelis arbiter

ii
dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win
solution terhadap para pihak yang bersengketa.

Pilihan hukum untuk menyelesaikan perselisihan serta proses dan tempat


penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak. Putusan arbitrase mengikat
para pihak (final and binding) dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun
langsung dapat dilaksanakan. suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi
batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok.

Dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan


perdamaian diantara para pihak yang bersengketa. Selain kelebihan-kelebihan tersebut
terdapat juga kelemahan dari arbitrase yaitu sebagai berikut :

Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan


keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Apabila pihak
yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka perlu perintah pengadilan
untuk melaksanakan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Pada prakteknya pengakuan
dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit. Pada umumnya
pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar, oleh
karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

Pengadilan mempunyai beberapa keterkaitan dengan arbitrase. Dalam halni, dapat


dilihat dari UU No.30 Tahun 1999 yang mencantumkan beberapa peranan pengadilan di
Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase dari awal proses arbitrase dimulai sampai
putusan arbitrase tersebut.

Dalam proses awal arbitrase dengan adanya suatu perjanjian arbitrase dalam
bentuk tertulis, maka menghilangkan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Hal ini sebagamana tercantum dalam Pasal 11 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999, sebagai
berkut :

ii
“Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya
ke Pengadilan Negeri”.
Sedangkan dalam Pasal 11 ayat 2 UU NO.30 Tahun 1999 menyatakan bahwa :

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah dtetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.

Dengan adanya Pasal 11 ayat 2 UU No,30 Tahun 1999 ni, maka pada intinya
Pengadilan Negeri wajib menolak dan menyatakan tidak akan ikut campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali hal-hal
tertentu yang ditetapkan UU No.30 Tahun 1999.

C. Peraturan Prosedur Arbitrase


Prosedur penyelesaian sengketa melalui Arbitrase
Dalam menyelesaikan sebuah sengketa di lingkup perdagangan khususnya, ada
sebuah alternatif yang disebut arbitrase. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Alternatif ini menjadi lebih banyak diminati pelaku bisnis karena beberapa hal,
antara lain karena lebih efisien (baik dari sisi waktu maupun biaya) dan menerapkan
prinsip win-win solution. Proses persidangan dan putusan arbitrase pun bersifat rahasia
sehingga tidak dipublikasikan, tetapi tetap bersifat final dan mengikat. DI samping itu,
arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara pun merupakan seorang yang ahli dalam
permasalahan yang tengah disengketakan sehingga dapat memberikan penilaian lebih
matang dan objektif.

Prosedur yang Harus Dilakukan dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Segala macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi
syarat bahwa kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui

ii
arbitrase. Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan.
Persetujuan ini dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum
munculnya perselisihan maupun setelahnya.
Sebelum membahas lebih jauh terkait prosedur penyelesaian sengketa perdata
melalui arbitrase, perlu diketahui bahwa ada dua opsi dalam menyelesaikan sengketa
dengan arbitrase. Pihak-pihak yang bersengekata dalam klausula arbitrasenya juga harus
menyertakan, apakah penyelesaian kasus ini akan dilaksanakan secara lembaga
(institusional) atau ad hoc.

 Lembaga Arbitrase
Sesuai namanya, jasa arbitrase ini didirikan dan bersifat melekat pada sebuah
lembaga tertentu. Umumnya, lembaga arbitrase institusional memiliki prosedur dan
tata cara dalam memeriksa kasus tersendiri. Arbiternya pun diangkat dan ditentukan
oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. Di Indonesia, ada dua lembaga
arbitrase yang dapat menjadi penengah kasus sengketa, yakni BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), dan
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia).
 Ad Hoc
SIfat arbitrase ad hoc hanyalah sementara, artinya dibentuk setelah sebuah sengketa
terjadi dan akan berakhir setelah putusan dikeluarkan. Arbiternya dapat dipilih oleh
masing-masing pihak yang berselisih. Namun jika para pihak tidak menunjuk arbiter
sendiri, mereka dapat meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiter sebagai
pemeriksa dan pemutus kasus sengketa. Adapun syarat-syarat seorang arbiter juga
telah tertuang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.

Pada prinsipnya, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui lembaga


institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang
harus dilakukan dalam menyelesaikan sengketa.

ii
1. Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase

Seperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa


melalui arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan
dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa
akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan
secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-
Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan alamat
lengkap Pemohon dan Termohon;

 Penunjuk klausula arbitrase yang berlaku;


 Perjanjian yang menjadi sengketa;
 Dasar tuntutan;
 Jumlah yang dituntut (apabila ada);
 Cara menyelesaikan sengketa yang dikehendaki;
 Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian
ini, Pemohon dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan
harus dalam jumlah yang ganjil.

Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui
pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada
Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses arbitrase alias
Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan pembayaran biaya
pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan
perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).
Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan didaftarkan ke
dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan apakah
perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk melakukan
pemeriksaan sengketa tersebut.

2. Penunjukan arbiter

ii
Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,
pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan
ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam
jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum
arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal
ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter
tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini.

 Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib


memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini. Pemohon mengusulkan
kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai arbiter
tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi
tidak mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan
pengangkatan arbiter tunggal.
 Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing
menunjuk seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang
ditunjuk oleh dua belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk
menjadi arbiter ketiga (akan menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun
waktu 14 hari belum mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan
Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari salah satu nama yang
diusulkan salah satu pihak.Sementara itu, apabila salah satu pihak tidak
dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang
mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima
surat, maka seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi
arbiter tunggal. Putusan arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah
pihak.

3. Tanggapan termohon

Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa


dan memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan
sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis
boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus.

ii
Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-
dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon
memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah
usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter,
maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas
waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat
tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk
menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan
yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.

4. Tuntutan balik

Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya


kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban
tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung
permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon
juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus
tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik
(rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan
pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya
pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan
tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu
saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur
permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari
Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk
memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini
dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila
tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik
akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok.
Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua belah pihak untuk
membayar biaya administrasi tuntutan balik—selama biaya tuntutan pokok telah

ii
selesai dilaksanakan—maka hanya tuntutan pokok yang akan dilanjutkan
penyelenggaraan pemeriksaannya.

5. Siding pemeriksaan

Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup,
menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar
keterangan dari para pihak.
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait
dengan sengketa yang dipersoalkan.Sementara itu, terkait dengan bahasa yang
digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa
asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab
sengketa dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia).Sebagaimana yang
termaktub dalam Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180
hari terhitung sejak Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat
menjadi faktor Majelis atau arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:

 salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus;


 merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya;
atau
 merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya;
atau, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-putusan
pendahuluan atau putusan-putusan parsial. Namun, bila dirasa diperlukannya
perpanjangan waktu untuk menetapkan putusan akhir menurut pertimbangan
Majelis atau arbiter, maka putusan dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter.

Putusan akhir paling lama ditetapkan dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya
persidangan. Sebelum memberi putusan akhir akhir dapat ditetapkan pada suatu
tanggal berikutnya.

ii
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sebenarnya, arbitrase sudah ada sejak lama, tetapi baru lebih banyak dikenal
dan digunakan sejak dikeluarkannya UU Arbitrase. Penyelesaian sengketa
dagang menjadi lebih banyak menggunakan alternatif ini lantaran dinilai lebih
efektif. Putusan yang dihasilkan dari proses arbitrase bersifat final, independen, dan
mengikat, artinya setiap pihak baik pemohon maupun termohon wajib
memenuhinya. Sengketa perusahaan yang telah selesai ini tidak perlu lagi dibawa
ke meja pengadilan.

Arbitrase juga kerap menjadi pilihan untuk menyelesaikan urusan


sengketa perusahaan karena sifatnya yang tertutup. Terutama bagi pelaku usaha
yang sudah besar dan memiliki nama di publik, adanya kasus tentu dapat
memengaruhi proses bisnis yang sudah berjalan baik. Menyelesaikan masalah melalui
arbitrase adalah pilihan yang bijak karena pemeriksaan dan persidangan tidak dibuka
untuk umum sehingga dapat menjaga kerahasiaan sengketa.

Keuntungan lainnya dalam menyelesaikan kasus dengan arbiter adalah dua


belah pihak telah mengetahui posisi dan sikap masing-masing sebelum sidang
dimulai. Seperti yang disampaikan sebelumnya, sidang merupakan prosedur yang
dilaksanakan setelah berkas permohonan disampaikan dan tanggapan pemohon
diterima. Daftar bukti untuk mendukung dalilnya pun telah disiapkan oleh masing-
masing pihak. Dengan demikian, setiap pihak lebih leluasa dalam menyampaikan
argumennya pada saat persidangan.

Efektivitas Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Arbitrase, penyelesaian sengketa


ranah bisnis banyak beralih menggunakan alternatif ini. Pasalnya, penyelesaian
sengketa dengan jalur arbitrase dinilai lebih efektif dibandingkan penyelesaian
sengketa melalui jalur ligitasi alias peradilan. Adapun dua hal utama terkait
efektivitas ini meliputi efektivitas dari segi waktu dan biaya.

Dari segi waktu, pemeriksaaan kasus sengketa melalui arbitrase telah jelas
ditetapkan jangka waktunya. Sesuai dengan undang-undang, pemeriksaan sengketa

ii
melalui arbitrase paling lama diselesaikan dalam jangka waktu 180 hari. Jangka watu
ini bisa saja menjadi lebih lama apabila terdapat keadaan-keadaan khusus dan
kompleksnya sengketa yang harus diselesaikan. Akan tetapi, perpanjangan ini
dilakukan setelah diberikannya pemberitahuan kepada para pihak yang bersengketa.

Sementara itu dari segi biaya, menyelesaikan kasus sengketa melalui arbitrase
juga dinilai lebih hemat. Pihak-pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sengketa
dengan seadil-adilnya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menyewa
penasihat hukum. Keberadaan arbiter yang ahli dan objektif cukup menjadi penengah
dan pemutus perselisihan.

Di samping sisi waktu dan biaya, putusan yang dihasilkan proses arbitrase
juga tak kalah penting. Putusan ini bersifat mengikat, final, dan mandiri. Setiap pihak
harus melaksanakan putusan secara sukarela. Hal ini dipertegas dengan keharusan
diserahkan dan didaftarkannya putusan arbitrase kepada kepaniteraan pengadilan
negeri. Selain itu, putusan arbitrase juga merupakan putusan tingkat pertama
sekaligus terakhir.

Dengan demikian, Ketua Pengadilan Negeri juga tidak memiliki hak untuk
memeriksa alasan atau sekadar mempertimbangkan putusan arbitrase yang telah
dikeluarkan.

Penyelesaian sengketa hak cipta

Jika diuraikan, kasus sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase ada


sangat banyak dan luas. Salah satunya adalah sengketa hak cipta yang sayangnya
masih belum terlalu banyak mendapat perhatian. Padahal, hak cipta merupakan hal
yang sangat penting, terutama dalam bidang seni. Dalam kaitannya dengan kasus
sengketa bisnis, sengketa merek merupakan polemik yang sebenarnya banyak terjadi.

Indonesia telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO) sejak


tahun 1994. Dengan demikian, Indonesia pun wajib menyesuaikan setiap regulasi
(undang-undang) yang berhubungan dengan HaKI (Hak Kekayaan Intelektual)
dengan standar Aspek Perdagangan Terkait Hak Kekayaan Intelektual. Salah satunya
adalah dengan mengamini norma-norma perlindungan HaKI yang dikeluarkan WTO.

ii
Persetujuan Umum Tentang Tarif dan Perdagangan yang merupakan bagian dari
WTO menyebutkan bahwa salah satu hal yang termasuk dalam perlindungan HaKI
adalah merek.

Sengketa perusahaan di Indonesia sendiri mengenai hak cipta ini telah


beberapa kali terjadi. Beberapa sengketa bisnis yang terjadi mulai dari sengketa
merek restoran, merek pakaian, merek kendaraan dan onderdilnya, bahkan hingga
merek nama sebuah hotel berbintang 5.

Fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa

Pada dasarnya, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih


fleksibel dibandingkan penyelesaian di meja pengadilan. Masing-masing pihak dapat
lebih dulu mempersiapkan diri untuk menyampaikan bukti-bukti dan keterangan
terkait sengketa yang diperkarakan ketika di persidangan. Mereka diberi hak untuk
mengutarakan argumen.

Hal ini tentu berbeda dengan persidangan di pengadilan negeri yang terkesan
sangat kaku dan hanya bertukar dokumen sidang. Apabila tidak ada saksi yang
diajukan dalam perkara tersebut pun, pembuktian hanya sekadar menyerahkan
dokumen.
Kendati demikian, fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa tidak serta merta
hanya sekadar mendengar kesaksian, memeriksa bukti, dan menetapkan putusan
secara kaku. Majelis atau arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya perdamaian
antara kedua pihak yang tengah berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1
Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang berbunyi,

“…penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi


itikad baik para pihak dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan
nonkonfrontatif.”

Pernyataan ini pun diperjelas pada pasal 20 mengenai Upaya Mencari


Penyelesaian Damai. Majelis atau arbiter wajib mengusahakan jalan damai bagi
kedua belah pihak, baik atas usaha sendiri atau dengan bantuan pihak ketiga. Jika

ii
persetujuan damai ini disepakati, maka Majelis atau arbiter menyiapkan sebuah
memorandum yang berisi persetujuan damai kedua belah pihak secara tertulis.

Memorandum ini memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak.
Namun apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak ada kesepakatan untuk damai
dari kedua belah pihak, maka prosedur pemeriksaan dan persidangan arbitrase tetap
dijalankan sebagaimana mestinya.

Dalam proses pemeriksaan, apabila Termohon tidak hadir tanpa memberikan


alasan yang sah pada hari yang ditentukan, Majelis atau arbiter akan sekali lagi
melakukan pemanggilan. Jika dalam kurun waktu paling lama 10 hari setelah
pemanggilan kedua, Termohon tetap juga tidak menghadap di muka persidangan
tanpa memberikan alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan sebagaimana
mestinya. Majelis atau arbiter akan mengabulkan tuntutan Pemohon seluruhnya
selama tuntutan tersebut beralasan dan sesuai dengan hukum yang berlaku

Salah satu hal yang perlu diperhatikan masing-masing pihak yang akan
menyelenggarakan arbitrase adalah soal biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
melakukan proses arbitrase ditentukan berdasarkan besarnya tuntutan Pemohon yang
disertakan dalam berkas permohonan arbitrase. Apabila tuntutan bernilai kurang dari
Rp500.000.000,00 maka besarnya biaya administrasi adalah sebesar 10% dari nilai
tuntutan tersebut. Sementara itu, persentase maksimal biaya administrasi adalah 0,5%
apabila tuntutan yang diinginkan sebesar lebih dari Rp500.000.000.000,00 (untuk
biaya yang berada pada rentang Rp500.000.000,00 sampai Rp500.000.000.000,00
dapat dilihat pada tabel biaya yang ditetapkan BANI). Biaya ini tidak termasuk biaya
pendaftaran dan biaya lainnya (transportasi, persidangan, dll.).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Arti penting pendaftaran putusan arbitrase ke pengadilan negeri dalam rangka


eksekusi adalah pemberian kewenangan kepada pengadilan negeri dengan adanya
pendaftaran putusan sehingga pengadilan negeri mempunyai kewenangan untuk

ii
melakukan eksekusi putusan arbitrase dan eksekusi secara paksa dengan jurusita
pengadilan negeri yang di lakukan atas perintah ketua pengadilan negeri, pendaftaran
di lakukan untuk menjaga kemungkinan salah satu pihak tidak mempunyai itikad baik
untuk melaksanakan putusan arbitrase atau berpotensi tidan tunduk terhadap putusan,
terhadap pendaftaran tersebut sebagai control atau pengawasan terhadap putusan
arbitrase untuk menjaga kemungkinan terjadi pelanggaran hokum oleh lembaga
arbitrase yang merupakan lembaga non litigasi untuk mewujudkan system peradailan
terpadu dan pelaksanaan putusan arbitrase maka para pihak mendapatkan keadilan,
pihak yang menang mendapatkan haknya untuk pihak yang kalah memenuhi
kewajibanya.

Kekuatan eksekusi dari putusan arbitrase dalam mewujudkan kepastian hokum


kepada para pihak adalah putusan arbitrase yamg dilaksanakan dengan itikad baik oleh
para pihak maka kepastian hokum dari putusan arbitrase itu sendiri tercapai atau telah
sejak putusan dijatuhkan, sedangkan terhadap putusan arbitrase yang telah di daftarkan
dan di tolak oleh pengadilan negeri maka putusan arbitrase tidak dapat di laksanakan
dan kepastian hokum dari putusan arbitrase mejadi gugur. Terhadap putusan arbitrase
yang didaftarkan dan diterimah oleh pengadilan negeri maka putusan arbitrase dapat
dieksekusi oleh jurusita pengadilan negeri dan kepastian hokum dari putusan tersebut
tercapai.

DAFTAS PUSTAKA

Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 tahun 1999, Sinar
Grafika, Jakarta.

https://bplawyers.co.id/2017/08/04/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase-2/

ii
https://bplawyers.co.id/2022/03/31/keuntungan-menyelesaikan-sengketa-dengan-arbitrase/

http://eprints.umsida.ac.id/712/1/Makalah%20Arbitrase.pdf

ii
ii
ii
ii

Anda mungkin juga menyukai