Anda di halaman 1dari 21

PEMERIKSAAN PERKARA DALAM HUKUM ACARA PERDATA

MAKALAH
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata Semester VII

Disusun Oleh:
M. Charisul Asbachi 1591014072
Ach Rizal Mutawakkil 1591014052
M. Rizki Syahrul Ramadhan 1491014079

Dosen Pengampu:
MOCHAMMAD FAHD AKBAR, S.HI, M.H.

PRODI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HASYIM
ASY’ARI TEBUIRENG
JOMBANG
2018
1

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan


nikmat belajar kepada kita semua. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk. Amma ba’du.

Makalah ini merupakan tugas kuliah Hukum Acara Peradilan Perdata


semester VII Prodi Hukum Keluarga Fakultas Agama Islam di Universitas
Hasyim Asy’ari (UNHASY) Tebuireng Jombang. Penyusunan makalah ini sebisa
mungkin didasarkan pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan dan
mengikuti standar karya tulis ilmiah.

Terima kasih kami ucapkan kepada segenap civitas akademik UNHASY


yang telah membantu penyusunan makalah ini. Terutama kepada dosen pengampu
mata kuliah, Mochammad Fahd Akbar, S.HI., M.H. yang telah menuntun kami
dengan baik. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan satu
kelas yang sudi mengoreksi makalah ini dan mendiskusikan isinya dengan penuh
semangat.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Masih banyak


kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, masukan dan kritikan dari segenap
pihak akan kami hargai dan kami apresiasi. Akhirul kalam, semoga makalah ini
dapat menjadi wasilah datangnya manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Tebuireng, 18 Desember 2018,


PENYUSUN
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................2

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4

BAB II: PEMBAHASAN


A. Pengertian Perkara Perdata...........................................................................5
B. Asas-asas Pemeriksaan Perkara Perdata.......................................................6
C. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata.............................................................6
1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan.........................................................7
a. Perubahan Gugatan...............................................................................8
b. Penambahan Gugatan...........................................................................8
c. Pengurangan Gugatan...........................................................................8
d. Pencabutan Gugatan.............................................................................9
2. Perdamaian................................................................................................9
3. Pembacaan Gugatan..................................................................................10
4. Jawaban Gugatan......................................................................................11
5. Tahapan Replik-Duplik.............................................................................14
6. Gugatan Balik...........................................................................................15
7. Tahap Konklusi.........................................................................................17

BAB III: KESIMPULAN


Kesimpulan........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di antara


masyarakat adalah dengan perantara kekuasaan kehakiman. Orang yang
merasa dirugikan hak atau kepentingannya dapat menggugat orang yang
dianggap merugikannya di muka pengadilan yang berwenang.

Tujuan para pencari keadilan mengajukan perkara di muka pengadilan


adalah untuk mendapatkan keputusan yang adil guna menyelesaikan
perkaranya, sehingga hak-hak maupun kepentingan-kepentingan yang
dilindungi oleh hukum materiil, baik berupa hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dapat diwujudkan lewat pengadilan. Tentu saja para pencari keadilan
tersebut, terutama pihak yang mengajukan gugatan (Penggugat), mempunyai
keinginan agar perkaranya dapat cepat selesai.

Keperluan ini, mereka harus menaati ketentuan peraturan perundangan


yang mengatur cara-cara penyelesaian perkara melalui pengadilan yang
berlaku. Peradilan yang bersifat cepat, sederhana, biaya murah, dan dengan
kata-kata sederhana seringkali mengalami realita yang justru sebaliknya.
Kalau kita perhatikan, suatu perkara perdata yang diajukan ke muka
pengadilan diselesaikan dalam waktu yang relatif lama. Ini bisa dikarenakan
oleh para pihak yang berperkara sendiri, hakim yang memeriksa perkaranya,
saksi-saksi, atau mungkin juga hukum acara yang dipakai tidak memadai.

Penyelesaian suatu perkara, para pihak dapat menggunakan upaya yang


diberikan oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan (upaya hukum). Salah
satu upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh tergugat dalam sidang
pemeriksaan perkara adalah upaya melawan gugatan yang berupa eksepsi dan
rekonveksi, di samping jawaban atas pokok perkaranya (verweer ten
prinsipaal). Penggugat juga diberi hak untuk membantah atas jawaban
tergugat dalam bentuk replik, sebagaimana tergugat juga berkesempatan
4

mengajukan duplik atas jawaban yang disampaikan oleh penggugat. Replik-


duplik ini bisa terjadi berulang kali selama itu diperlukan.

Faktor lain yang menyebabkan persidangan menjadi lama adalah adanya


interfensi dari pihak lain yang biasa disebut sebagai pihak ketiga. Pihak
ketiga ini bisa saja mendukung penggugat untuk memenangkan tuntutannya
atau berpihak kepada tergugat agar lepas dari segala tuntutan. Bahkan, pihak
ketiga boleh mengajukan dirinya sendiri untuk masuk dalam proses acara
persidangan tanpa membela siapapun.

Dari gambaran di atas, makalah ini akan membahas bagaimana


pemeriksaan perkara dalam hukum acara persidangan perdata. Juga akan
mencoba membahas beberapa hal yang berhubungan dengan tema tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai


berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perkara perdata?
2. Bagaimana asas-asas pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata?
3. Bagaimana tahap pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata?
5

BAB II
PEMBAHASA
N

A. PENGERTIAN PERKARA PERDATA

Perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dalam hubungan keperdataan. Hubungan antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya apabila terjadi sengketa yang tidak
dapat diselesaikan oleh para pihak yang sedang berperkara umumnya
diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapatkan keadilan yang seadil-
adilnya. Perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan pada dasarnya tidak
hanya terhadap perkara-perkara perdata yang mengandung sengketa yang
dihadapi oleh para pihak, tetapi dalam hal-hal tertentu yang sifatnya hanya
merupakan suatu permohonan penetapan ke pengadilan untuk ditetapkan
adanya hak-hak keperdataan yang dipunyai oleh pihak yang berkepentingan
agar hak-hak keperdataannya mendapatkan keabsahan. Umumnya dalam
permohonan penetapan tentang hak-hak keperdataan yang diajukan oleh
pihak yang berkepentingan tidak mengandung sengketa karena
permohonannya dimaksudkan untuk mendapatkan pengesahan dari pihak
yang berwajib.

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara


perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung
sengketa, sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit
adalah perkara-perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan
mengandung sengketa.

Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunnya Hukum


Acara Perdata Indonesia menyatakan bahwa pengertian perkara perdata
adalah meliputi perkara yang mengandung sengketa (contentius) dan yang
tidak mengandung sengketa (voluntair).1

1
Sarwono, Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).
6

B. ASAS-ASAS PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Bagi semua pengadilan, tidak hanya dalam pemeriksaan perkara perdata,


Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 13
menyebutkan bahwa:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,


kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan ini dijamin
kemungkinan adanya social controle atas pekerjaan para hakim.

Peraturan di atas pada umumnya dapat dianggap sebagai pokok asas bagi
pemeriksaan perkara perdata, bahwa hakim, untuk dapat mengambil putusan
yang tepat, sebaiknya mendengarkan kedua belah pihak. Akan tetapi tidak
mungkin ditentukan, bahwa pendengaran kedua belah pihak ini harus
dilakukan, sebab adalah sukar memaksa para pihak untuk datang menghadap
di muka hakim. Ini juga sesuai dengan sifat hukum perdata, yang
pelaksanaannya pada umumnya diserahkan kepada kemauan yang
berkepentingan sendiri, maka cukuplah apabila dalam peraturan hukum acara
perdata kepada kedua belah pihak diberi kesempatan penuh untuk untuk
menjelaskan sendiri kepada hakim segala sesuatu yang mereka anggap perlu
supaya diketahui oleh hakim, sebelum suatu putusan dijatuhkan. Pemberian
kesempatan ini berwujud memanggil kedua belah pihak supaya datang
menghadap di muka hakim pada waktu yang ditentukan oleh hakim.2

C. PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA

Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui tahap-tahap dalam


hukum, Adapun tahap-tahap pemeriksaan tersebut ialah:
1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan.

2
Astin Fajar Setiani, Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo dalam
Praktik (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2011), 14-15.
7

2) Tahap Perdamaian.
3) Pembacaan Gugatan.
4) Jawaban gugatan.
5) Replik dan Duplik
6) Gugatan Rekovensi
7) Konklusi

Pada sidang upaya perdamaian, maka inisiatif perdamaian dapat timbul


dari hakim, penggugat, ataupun tergugat. Hakim harus secara aktif dan
sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya
damai tidak berhasil, maka sidang dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan
gugatan.

1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan


oleh penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang
ditentukan para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka
salah satu pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak
penggugat adalah, apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada
perubahan lagi? Jika penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak
ada perubahan, maka tergugat diberi kesempatan untuk memberikan
jawaban terhadap gugatan tersebut.3

Masalahnya adalah jika penggugat menyatakan bahwa gugatan


tersebut terdapat perubahan. Apakah diperkenankan perubahan tersebut?
Hal-hal apa saja yang diperkenankan dalam masalah perubahan gugatan
tersebut?

3
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
52.
8

a. Perubahan Gugatan

HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Yang


mengatur adalah RV. Pasal 127 RV ditentukan bahwa perubahan gugatan
sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak mengubah dan
menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis) akan tetapi
di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar
dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
tuntutan.4 Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa batasan perubahan
gugutan yang bersumber dari praktik peradilan:5

1. Tidak boleh mengubah materi pokok acara


2. Perubahan gugatan yang tidak prinsipil dapat dibenarkan.
3. Perubahan nomor surat keputusan
4. Tidak mengubah posita gugatan.
5. Pengurangan gugatan tidak boleh merugikan tergugat.

b. Penambahan Gugatan

Penambahan gugatan misalnya, oleh karena semula tidak semua ahli


waris diikutsertakan, lalu ditambah agar mereka yang belum
diikutsertakan ditarik pula sebagai tergugat atau turut tergugat atau
misalnya dalam halk lupa dimohonkan/dicantumkan dalam petitum
(tuntutan pokok) menyatakansah dan berharga suatu sita jaminan
kemudian dimohonkan agar petitum itu ditambahakan, diperkenankan.
Juga apabila mohon agar gugatan ditambah dengan petitum agar putusan
dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad), dapat
diluluskan.

c. Pengurangan Gugatan

Pengurangan gugatan senantiasa akan diperkenankan oleh hakim.


Misalnya semula digugat untuk menyerahkan 4 bidang sawah, kemudian

4
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009)
52.
5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 81.
9

penggugat merasa keliru bahwa sesungguhnya sawah yang dikuasai oleh


tergugat itu bukan 4 bidang, akan tetapi hanya 2 bidang saja, maka ia
diperkenankan untuk mengurangi gugat dan hanya hanya menggugat
sawah yang 2 bidang yang dikuasai tergugat itu.

d. Pencabutan Gugatan

Menyangkut pencabutan gugatan dalam HIR/RBg juga tidak diatur.


Yang mengatur hal ini adalah Pasal 271 RV yang menetukan bahwa
gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergfugat memberikan
jawaban. Bilamana tyergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan
tidak boleh dicabut atau ditarik kembali kecuali disetujui oleh tergugat.6

2. Perdamaian

Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara


penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien. Pasal 130 HIR
maupun pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian
sengketa melalui cara damai. Maka hakim mempunyai peranan aktif
mengusahakan penyelesaian dengan cara perdamaian terhadap peristiwa
perdata yang diperiksanya.

Dalam kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian,


menanamkan kesadaran terhadap pihak-pihak yang beroperkara, bahwa
penyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan cara penyelesaian
yang terbaik daripada harus diselesaikan dengan putusan pengadilan.
Apabila tercapai perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, maka
hasil tersebut kemudian disampaikan kepada hakim di persidangan yang
biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
Selanjutnya hakim menjatuhka putusan (acte van vergelijk). Yang isinya
menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi
perjanjian perdamaian tersebut.7

6
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
54-56.
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988), 83.
10

Putusan yang didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan


sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan
oleh hakim. Karenanya sudah sepantasnya apabila perjanjian perdamaian
tersebut dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak-pihak yang
berperkara. Dengan demikian hasil putusan dari kedua belah pihak tidak
dapat dimintakan pemeriksaan banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154
ayat 3 RBg).8

3. Pembacaan Gugatan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa gugatan yang diajukan


oleh penggugat setelah dipanggil oleh jurusita, maka pada tanggal yang
ditentukan para pihak datang ke pengadilan. Di ruang pengadilan, maka
salah satu pertanyaan yang dikemukakan oleh hakim terhadap pihak
penggugat adalah, apakah gugatan yang telah dibuat sudah tidak ada
perubahan lagi? Jika penggugat menjawab bahwa gugatan sudah tidak
ada perubahan, maka tergugat diberi kesempatan untuk memberikan
jawaban terhadap gugatan tersebut.9

Mengenai pembacaan surat gugatan ini diatur dalam pasal 131 HIR /
155 RBg pasal 1 yang berbunyi: “jika kedua belah pihak hadir, akan
tetapi mereka tidak dapat diperdamaian (hal ini harus disebutkan dalam
berita acara) maka surat gugatan dibaca dan jika salah satu pihak tidak
mengerti bahasa yang dipakai dalam surat itu, maka surat tersebut
diterjemahkan kedalam bahasa yang dimengerti oleh juru bahasa yang
ditunjuk oleh ketua.10

Surat gugatan selalu dibacakan oleh penggugat atau kuasa hukumnya


yang sah, kecuali jika penggugat buta huruf dan menyerahkannya kepada
panitera sidang. Usai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai

8
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000), 67.
9
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
52.
10
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005), 31.
11

dan kalau tidak tercapai maka majelis akan melanjutkan dengan


menanyakan kepada penggugat apakah ia akan menjawab secara lisan
atau tertulis, bila akan menjawab secara tertulis maka akan membutuhkan
waktu berapa lama untuk itu.

Hak bicara terakhir didepan sidang selalu pada tergugat jadi replik-
duplik belum akan berakhir di depan sidang selalu ada pada tergugat, jadi
proses replik-duplik belum akan selesai sepanjang tergugat masih ada
yang akan diutarakannya.11

4. Jawaban Gugatan

Setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil,


maka kepada tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban
atau gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sebagaimana penggugat
diperkenankan untuk mengajukan gugatan secara tertulis dan lisan, maka
tergugat pun diperkenankan untuk mengajukanjawaban secara tertulis
dan lisan. Jawaban tergugat dapat terdiri dari tiga macam yaitu:12

1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung


mengenai pokok perkara.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang
diajukan tergugat kepada penggugat.

Perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi para pihak


berperkara, maka dalam Undang-Undang tidak ditentukan mengenai
kewajiban tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam pasal
121 ayat 2 HIR hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik
secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat ini dapat berupa

11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : CV Rajawali, 1991), 96-97.
12
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
63.
12

pengakuan, referte (diam) dan dapat pula berupa bantahan atau


penyangkalan.13

Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan baik sebagian maupun


seluruhnya. Pengakuan harus dibedakan dari referte, keduanya
merupakan jawaban yang bersikap tidak membantah. Jikalau pengakuan
itu merupakan jawaban yang membenarkan isi gugatan, maka referte
berarti menyerahkan segala kebenaran gugatan kepada kebijaksanaan
hakim dengan tidak membantah maupun membenarkan isi gugatan.
Sedangkan bantahan atau sangkalan berarti menolak atau tidak
membenarkan isi gugatan penggugat. Dalam pasal 113 Reglement
Rechsvordering ditentukan bahwa bantahan harus disertai alasan-alasan
sehingga duduk perkara dan inti permasalahan menjadi jelas. Bantahan
yang tidak beralasan dapat dikesampingkan oleh hakim.

Hakikatnya bantahan bertujuan agar gugatan si penggugat ditolak.


Bantahan tergugat ini dapat terdiri dari sangkalan dan tangkisan atau
yang dikenal dengan sebutan eksepsi. Eksepsi ialah suatu bantahan dari
pihak tergugat terhadap gugatan yang tidak langsung mengenai pokok
perkara. Misalnya bantahan yang menyatakan bahwa hakim tidak
berkuasa memeriksa gugatan yang diajukan penggugat, atau bantahan
yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan oleh penggugat telah
diputus oleh hakim.14

Tentang eksepsi atau tangkisan, HIR hanya mengenal satu macam


eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim, yaitu eksepsi yang
menyangkut kekuasaaan relatif dan eksepsi yang menyangkut
kekuasaaan absolut. Kedua macam eksepsi ini disebut eksepsi prosesual.
Eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi diatur

13
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000), 68.
14
Soepomo R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: PT Pradnya Pramita,
1994), 48.
13

dalam Pasal 133 HIR/159 RBg. Eksepsi kewenangan absolut diatur


dalam Pasal 134 HIR/160 RBg. 15

Menurut pasal 136 HIR/ pasal 162 RBg maka jawaban yang berupa
eksepsi kecuali eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh
diajukan dan dipertimbangkan secara terpisah, tapi diperiksa dan diputus
bersama pokok perkara. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro , pasal
ini hanya berarti anjuran saja seberapa dapat tergugat mengumpulkan
segala sesuatu yang ingin diajukan dalam jawabannya saat permulaan
pemeriksaan perkara. Sedangkan menurut Soepomo, pasal ini tidak lain
bertujuan untuk menghindarkan kelambatan yang tidak perlu.

Lain halnya dengan penyangkalan. Penyangkalan atau bantahan


ialah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang
digugat terhadap tergugat. Jika tergugat mengajukan bantahan, maka
bantahan itu harus disertai dengan alasan-alasan. 16 Jawaban (sangkalan)
tergugat yang mengenai pokok perkara, tidak harus diajukan pada
permulaan sidang, akan tetapi dapat diajukan selama proses pemeriksaan
bahkan dapat diajukan dalam tingkat banding asal tidak bertentangan
dengan jawaban saat pemeriksaan tingkat pertama.

Selanjutnya, jika suatu bantahan dibenarkan oleh hakim maka


dengan sendirinya perkara telah selesai dengan putusan akhir pada
tingkat pertama dimana eksepsi yang diajukan itu diterima dan berarti
gugatan penggugat tidak dapat dikabulkan . Jika penggugat tidak puas,
maka dapat mengajukan permohonan banding. Dan apabila eksepsi tidak
dibenarkan, maka pengadilan yang bersangkutan berwenang melanjutkan
proses pemeriksaan gugatan tersebut sekaligus memuat perintah agar
pihak yang berperkara melanjutkan perkaranya.

15
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
63-64.
16
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
66.
14

5. Tahapan Replik-Duplik

Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan


perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat
terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat
diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh
penggugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-
alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

Setelah penggugat mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan


selanjutnya ialah Duplik , yaitu jawaban tergugat terhadap Replik yang
diajukan penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik inipun juga dapat
diajukan dalam bentuka tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat
untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap
gugatan penggugat.17

Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang


biasanya proses Replik dan Duplik antara penggugat dan tergugat
diajukan dengan bentuk tulisan, sehingga untuk menyiapkan segala
kebutuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara
menunda sidang selama beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan
dapat melanjutkan persidangan.18

Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai
berikut:

1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir

2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah,


hanya menanyakan yang berkaitan dengan hukum, begitupula
Replik-Duplik yang diajukan oleh penggugat dan tergugat.

17
M. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009),
68.
18
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), 72.
15

3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari
hakim harus melalui izin dari ketua majlis.

4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat


umum selalu oleh ketua majlis.

Jawaban atau pertanyaan yang relevan dan terarah misalnya dalam


perkara gugatan pelanggaran ta’liq talaq, tentunya hal-hal yang berkaitan
dengan kapan kedua belah pihak kawin, dimana melangsungkan
perkawinan, dimana kutipan akta nikahnya, apakah pihak suami
mengucapkan ta’liq talaq pada saat akad nikah, bagaimana bunyi lafaz
ta’liq talaq yang diucapkan, mana syarat ta’liq yang telah dilanggar oleh
suami. Hal-hal yang di luar itu mungkin tidak relevan atau kurang
penting untuk dipertanyakan.

Kemudian ketika perkara waris misalnya, maka pertanyaan yang


relevan tentunya tentang siapa yang wafat, kapan wafatnya, dimana
wafatnya, ketika wafat apakah dalam kondisi Islam atau tidak, siapa
sajakah keluarga si mayyit yang terdekat yang ada dan hidup ketika si
mayyit wafat. Apa sajakah harta peninggalan si mayyit ketika wafat, apa
ada biaya penguburan si mayyit yang perlu dibayarkan dari harta
peninggalan, apakah ada utang si mayyit yang belum terbayar baik
sesama manusia maupun kepada Allah, apakah ada wasiat yang
disampaikan oleh mayyit, kalau ada apa wasiatnya, apakah tidak
melampaui sepertiga harta peninggalan. Apakah wasiat itu kepada ahli
waris sendiri atau kepada orang lain. Apakah harta yang dimiliki mayyit
itu harta individual ataukah perserikatan.

6. Gugatan Balik (Gugat Rekovensi)

Dalam pasal 132 a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan


rekovensi ialah gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat
konvensi sebagai gugatan balasan atas gugatan penggugat kepadanya
pada saat proses pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini seseorang yang
awalnya berkedudukan sebagai penggugat dalam konvensi menjadi
16

tergugat dalam rekonvensi, sedangkan tergugat dalam konvensi


kedudukannya merangkap sebagai penggugat dalam gugat rekonvensi.

Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk


mempermudah prosedur karena gugat konvensi dan rekonvensi ini
diperiksa dan diputus bersama dalam satu proses dan dituangkan dalam
satu putusan. Selain itu juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi
pihak yang berperkara, serta dapat terhindar dari kemungkinan adanya
putusan yang saling bertentangan.19

Pada dasarnya, gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam berbagai


hal, kecuali 3 hal yang disebut dalam pasal 132a HIR, yaitu sebagai
berikut:

1. Dalam gugatan konvensi bertindak bukan untuk diri sendiri (sebagai


wali), sedangkan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri
sendiri

2. Apabila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak


berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugatan rekonvensi

3. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara


tuntutan penggugat konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki
hubungan yang erat. Tuntutan rekonvensi dapat berdiri sendiri
(zelfstandig) yang oleh tergugat dapat diajukan kepada hakim didalam
proses tersendiri. Namun dalam prakteknya seringkali dikaitkan bahwa
dasar tuntutan rekonvensi harus mempunyai hubungan dengan tuntutan
konvensi. Hal tersebut didasarkan agar tujuan gugat rekonvensi dapat
terealisasikan dengan baik, jadi sedapat mungkin harus ada konektifitas
antara keduanya sehingga dapat diselesaikan secara bersamaan.

Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban


tergugat baik tertulis maupun lisan. Jika jawab menjawab antara

19
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), 468-473.
17

penggugat dan tergugat telah selesai dan dimulai dengan pembuktian,


tergugat tidak diperbolehkan mengajukan gugatan rekonvensi.
Selanjutnya menurut pasal 132a ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya
jika gugatan rekonvensi dalam persidangan tingkat pertama tidak
diajukan, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.

Kedua gugatan tersebut dapat diselesaikan sekaligus dan dapat


diputus dalam satu putusan (pasal 132b HIR dan pasal 158 RBg). Akan
tetapi hakim berwenang untuk memisahkan keduanya jika ia berpendapat
bahwa suatu perkara dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada perkara
yang lain. Proses pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah
dan dijatuhkan dalam satu putusan jika antara konvensi dan rekonvensi
sama sekali tidak ada hubungan. Dan dapat pula dilakukan secara
terpisah dan diputus dalam putusan yang berbeda. Mengenai dasar
kebolehan tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang namun
diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.

Di sini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya


berlaku dalam perkara yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh
karena itu dalam permohonan (voluntria) penuh tidak berlaku gugat balik
(rekonvensi).

7. Tahap Konklusi

Sebelum hakim melakukan musyawarah kemudian dilanjutkan


dengan pengucapan keputusan akhir, masing-masing dari kedua belah
pihak diperkenankan untuk menyampaikan konklusi atau kesimpulan-
kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan. Karena
konklusi ini sifatnya hanya untuk membantu hakim dalam memutuskan
perkara, maka pada dasarnya hakim boleh meniadakan konklusi.
18

BAB III
KESIMPULAN

Pengertian perkara perdata dalam arti luas termasuk perkara-perkara perdata


baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa,
sedangkan pengertian perkara perdata dalam arti yang sempit adalah perkara-
perkara perdata yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung sengketa.

Tahap-tahap dalam pemeriksaan perkara dalam hukum acara perdata yaitu


diantaranya sebagai berikut:

1) Pencabutan dan Perubahan Gugatan


Pencabutan dan perubahan gugatan diatur dalam RV. Pasal 127 RV
bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan asal tidak
mengubah dan menambah petitum – tuntutan pokok (onderwerp van den eis)
akan tetapi di dalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga
dasar dari tuntutan (posita), termasuk peristiwa-peristiwa.

2) Tahap Perdamaian
Penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian merupakan cara
penyelesaian yang dianggap paling efektif dan efisien sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 130 HIR maupun pasal 154 RBg dan putusan yang
didasarkan pada penyelesaian perdamaian, bukan sebagai hasil pertimbangan
dan penerapan hukum positif yang dilakukan oleh hakim.

3) Pembacaan Gugatan
Yaitu pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil
gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam
surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan
tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang ternuat dalam surat gugatan.

4) Jawaban Gugatan
Yaitu pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela diri dan
mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.
19

5) Replik Penggugat
Yaitu respons Penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat untuk
meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

6) Duplik Tergugat
Yaitu jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat untuk
meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan
penggugat.

7) Konklusi
Kesimpulan-kesimpulan dari sidang menurut pihak yang bersangkutan
yang dibacakan oleh hakim.
20

DAFTAR PUSTAKA

Makarao, M. Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rineka


Cipta. 2009.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.


1988.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. 1991.

Syahrani, Riduan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti. 2000.

Sarwono. Hukum Acara Perdata, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

Setiani, Astin Fajar. Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata secara Prodeo
dalam Praktik. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2011.

Fauzan M. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah


di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 2005.

Soepomo R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: PT Pradnya


Pramita. 1994.

Anda mungkin juga menyukai