Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG SYARAT GUGATAN, TEKNIK PENYUSUNAN GUGATAN

DAN TINDAKAN SEBELUM SIDANG


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah: Hukum Acara perdata
Dosen Pengampu : Muhammad Ulil Abshor, M.H.

Disusun oleh:

Laela Gusmiyati (33030170139)

Nur Intan Mega P (33030170077)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-nya, kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Syarat Gugatan, Teknik Penyusunan
Gugatan dan Tindakan Sebelum Sidang” meskipun banyak rintangan dan hambatan yang
kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya tepat pada
waktunya.

Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Acara Perdata”.
Tentunya juga memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca dan untuk membangun
wawasan ilmu pengetahuan. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Muhammad Ulil Abshor, M.H. selaku dosen pembimbing mata kuliah Hukum Acara Perdata
Institut Agama Islam Negri Salatiga

Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini kami dapat memberikan
pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Tentunya kami juga mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Salatiga, 09 Maret 2020

Tim Penyusun

i
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkara gugatan adalah perkara yang di ajukan ke pengadilan yang di
dalamnya terdapat konflik atau sengketa yang meminta hakim untuk mengadili dan
memutus siapa diantara pihak-pihak yang bersengketa atau berkonflik tersebut yang
benar. Perkara gugatan disini termasuk dalam lingkup perdata yang diatur sendiri oleh
hukum acara perdata. Serung kali pengertian gugatan disamakan dengan permohonan
oleh sebagian orang yang belum memahami secara menyeluruh mengenai hukum
acara perdata.
Pada dasarnya memamng gugatan dengan permohonan sama-sama perkara
yang di ajukan ke pengadilan dakam lingkup perdata, akan tetapi letak perbedaanya
pada gugatan didalamnya terdapat sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh
pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam makalah ini
akan memberikan sedikit gambaran tentang apa saja syarat-syarat gugatan dan
bagaimana penyusunan gugatan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan definisi dari gugatan ?
2. Apa saja yang menjadi syarat tentang gugatan ?
3. Bagaimana teknik penyusunan gugatan ?
4. Apa saja tindakan yang dilakukan sebelum persidangan ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi gugatan.
2. Mengetahui syarat-syarat gugatan.
3. Mengetahui teknik penyusunan gugatan.
4. Mengetahui tindakan sebelum persidangan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................ii
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................ii
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................ii
C. TUJUAN...................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
A. Definisi Gugatan......................................................................................................................2
B. Syarat-syarat gugatan.............................................................................................................2
C. Teknik pembuatan gugatan....................................................................................................3
D. Tindakan yang dilakukan sebelum persidangan...................................................................7
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................11

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Gugatan
Perkara contentiosa (gugatan), yaitu perkara yang didalamnya terdapat
sengketa dua pihak atau lebih, maka seseorang harus mengajukan tuntutan hukum
atau sering disebut gugatan perdata. Gugatan atas konflik tersebut harus diselesaikan
dan harus di putus pengadilan, apakah berakhir dengan kalah, menang atau damai
tergantung pada proses hukumnya. Misalnya hak milik,warisan dll.1
Surat gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguggat kepada ketua
pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara
dan pembuktian kebenaran suatu hak.2
B. Syarat-syarat gugatan
Ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/ pasal 142 RBG hanya mensyaratkan
bahwa gugatan harus diajukan dengan surat permohonan/permintaan kepada ketua
pengadilan negeri yang berwenang dan surat gugatan tersebut ditanda tangani oleh
penguggat atau wakil/kuasanya.
HIR/RBG tidak mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu gugatan dan
hanya mengatur tentang cara mengajukan gugatan melalui ketua pengadilan negeri
sedangkan tentang persyaratan mengenai isi dari gugatan, HIR/RBG tidak
mengaturnya
HIR tidakan mengatur perihal syarat-syarat suatu gugtan namun di dalam
praktik suatu gugatan harus memenuhi syarat formil dan syarat substansial.
Syarat formal dari suatu gugatan meliputi: tempat dan tanggal pembuatan surat
gugatan dan di bubuhi materai serta di tanda tangani atau dibubuhkn cap jempol.
Perihal adanya kewajiban membubuhkan materai di dalam gugatan tidak di temukan
dasar hukumya dan di dalam pasal 2 ayat (3) undang-undang nomor 13 tahun 1985
tentang bea materai telah ditentukan bahwa dokumen yang wajib di bubuhi materai
adalah dokumen yang akan di jadikan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan .
sedangkan syarat substansial dari suatu gugatan menurut pasal 8 nomor 3 RV meliputi
: identitas para pihak, posital fundamentum petendi dan petitum.3
1
Asikin zainal, hukum acara perdata indonesia, jakarta : paramedia grup, 2015. Hlm 15
2
H.A. Mukti Arto, praktek perkara perdata pada pengadilan agama,(yogykarta : pustaka pelajar, 2008)hlm 39
3
Sunarto, peran aktif hakim dalam perkara perdata, jakarta : paramedia grup ,2014. Hlm 95

2
C. Teknik pembuatan gugatan
Dalam praktik , tidak ada pedoman yang baku tentang teknik membuat gugtan.
Ada beberapa penyebabnya : pertama, persoalan yang menimbulkan perkara itu
bervariasi ; kedua , terdapat perbedaan selera dari para penggugat dalam membuat
gugatan , terutama soal membahasakanya . terlepas dari itu , ada sepuluh hal pokok
yang perlu di perhatikan dalam membuat gugatan :
1. Cara berfikir distinkif
2. Dasar hukum
3. Klasifikasi hukum
4. Penguasaan hukum material
5. Bahasa indonesia (membahasakanya)
6. Posita harus singkron dengan petitum
7. Berfikir taktis
8. Ketelitian
9. Singkat, padat tetapi mencakup
10. Hukum acara perdata
1. Cara berfikir distinkif
Berfikir distinkif dalam membuat gugatan sangatlah penting. Kata distinkif
berasal dari bahasa inggris distinc yang artunya terang ,jelas,nyata. Berfikir distikif
adalah berfikir secara terang,jelas tidk mengacaukan hal yang satu dengan hal yang
lainya, dan tidak membungungkan pembacanya. dalam hal menyusun gugatan , cara
berfikir distinkif sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu gugatan . gugatan
yang tidak mengindahkan cara berfikir distinkif sering kalin menjadikan gugatan tidak
dapat diterima oleh hakim. Contoh berfikir distinkif dalam membuat gugatan seperti
berikut : A misalnya mau menggugat B karena si B menempari anah milik si A secara
melawan hukum . dalam gugatanya , A harus jelas menyatakan tanahnya terletak
dimana, luasnya berapa, serta batas-batasnya dimana.4
2. Dasar Hukum
Dalam membuat suatu gugatan, bukan asal membuat atau menyusun gugatan
sekadar untuk cari perkara. Membuat gugatan kepada seseorang harus diketahui
terlebih dahulu dasar hukumnya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundang-
undangan. doktrin-doktrin, praktek peradilan, atau kebiasaan. Gugatan yang tidak ada
4
Lemek Jeremias, penuntun membuat gugatan, Yogyakarta : New Merah Putih,2010. Hal 14

3
dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim. Sebab, dalam memutuskan
suatu perkara secara baik. hakim akan berpegang pada tiga hal, yaitu: kepastian
hukum, manfaat. dan keadilan (Sudikno Mertokusumo, 1986: 130).
Kepastian dan keadilan merupakan inti dari hukum. lbarat jiwa dan badan
yang tidak dapat dipisahkan (Theo Huijbers, 19902277).
Keharusan adanya dasar hukum dalam gugatan mempunyai kaitan erat dengan
masalah pembuktian. Misalnya, A menggugat B karena B telah meminjam uang si A,
tetapi 8 tidak mau mengembalikannya.A tentu harus mempunyai dasar,yaitu adanya
perjanjian pinjam-meminjam uang secara tertulis. Atau ada perjanjian secara lisan
namun harus ada saksi yang mengetahui peristiwa perjanjian pinjam-meminjam itu.
Penguasaan dasar hukum ini penting bukan saja untuk mengajukan gugatan
tetapi juga dalam hal menjawab atau membantah jawaban lawan. Sebab, dalam
jawab-menjawab bukanlah sekadar membantah tetapi harus ada dasar hukumnya.
Pencantuman teori-teori dalam jawaban adalah sangatlah penting. Sebab hal itu dapat
membantu hakim menemukan hukum atau apa yang disebut 5
3. Klasifikasi Hukum
Sebelum membuat suatu gugatan,hal yang juga perlu diperhatikan adalah
masalah klasifikasi atau penggolongan hukum.K|asif1kasi ini penting, agar kita dapat
menentukan title gugatan, serta menemukan hukumnya (GW Paton, 1951: 206).
Apakah suatu gugatan itu dapat diklasif1kasikan sebagai gugatan perbuatan melawan
hukum. gugatan wanprestasi atau apakah masalah tersebutdapatdikategorikan sebagai
peristiwa Perdata atau Pidana, atau juga apakah kasus tersebut dapat digugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara dan sebagainyaMasalah penggolongan ini penting,
sebab tidak jarang, dalam praktiknya, suatu gugatan tidak dapat diterima hanya
disebabkan pengacaranya atau advokatnya tidak dapat mengklasifikasikan masalah
hukumnya. Gugatan itu hanya asal dibuat.
4. Penguasaan Hukum Materil
Hukum Acara Perdata (Hukum Formal) mempunyai tujuan untuk menegakkan
hukum material. Oleh karena itu dalam membuat gugatan, penguasaan hukum
material sangat menentukan apakah suatu gugatan dinyatakan, dikabulkan, atau
ditolakSebab yang diperdebatkan jika terjadi gugat-menggugat di pengadilan adalah
tentang hukum materialnya.Contoh:A mengatakan bahwa perjanjian tersebut batal
karena melanggar Pasal1320 KUH Perdata. Atau perjanjian tersebut sah karena
berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak yang
membuatnya (Subekti. 1982: 307). Ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH
Perdata tersebut merupakan ketentuan hukum material. Hukum material, bukan saja
peraturan perundang-undangan tetapi juga doktrin-doktrin, teori-teori, peraturan-
peraturan, atau kebiasaan6.
5. Bahasa Indonesia
Harus diakui secara jujur bahwa banyak di antara Sarjana Hukum, khususnya
para advokat, tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar di atas
5
Ibid. Hal 15
6
Ibid. Hal 16

4
kertas, terlebih dalam hal membuat gugatan. Atau juga dalam hal membuat legal draft
lainnya.KaIaupun ada yang baik.]umlah advokat itu dapat dihitung dengan jari saja.
Biasanya mereka selalu berkelit di balik pernyataan klise: bahasa hukum kan
punya ciri khusus. Mereka lupa bahwa bahasa hukum sebetulnya tunduk pada kaidah-
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Betul bahwa ada ciri~ciri khusus dalam
bahasa hukum. tetapi bukan berarti melupakan kaidah dasar bahasa Indonesia. Seperti
misalnya, susunan kalimat yang baik dan benar adalah terdiri dari subjek, predikat,
dan objek. Patuh pada kaidah bahasa Indonesia bukan berarti harus mengikuti bahasa
hukum yang disusun oleh orang yang awam hukumzkabur, cengeng,emosional,tidak
dikaitkan secara utuh dengan dokmatik hukum, sifatnya adhoc, dan tidak kontekstual
(Schuyt, Law as Communication, diterjemahkan oleh Nico Ngani, 1989: 9).
Faktor penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini sangat
menentukan sukses tidaknya suatu gugatan. Sebab kalau bahasa Indonesianya
kacau,orang yang membacanya tidak mudah mengerti apa maksud kita dalam gugatan
tersebut.Tidak terkecuali juga bagi hakim yang memeriksa perkara kita. Hakim tidak
mudah memahami maksud gugatan.?enggunaan bahasa Indonesia yang Baik dan
benar ini penting, sebab bahasa melambangkan jalan pikiran seseorang.ApaIagi
bahasa tertulis. yang sudah seharusnya tunduk pada hukum bahasa. hukum logika, dan
hukum ilmu hukum itu sendiri.7
6. Posita Harus Sinkron dengan Petitum
Posita artinya cerita tentang duduknya perkara atau masalah. Dalam hal
menyusun posita yang baik harus tunduk pada kaidahkaidah ilmiah yaitu sistematik,
logis dan objektif. Posita yang tidak sistematik, tidak tuntut, dan bertentangan satu
sama lainnya membuat gugatan dikualifikasikan sebagai gugatan obscuurlibel.
Sedangkan petitum adalah tuntutan yang harus diminta atau dimohonkan kepada
hakim.Petitum ini harus jelas dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau
bertentangan dengan posita gugatan. Gugatan yang posita-nya bertentangan dengan
petitum membuat gugatan kabur (Sudikno Mertokusumo. 1988: 36).
Posita harus sinkron dengan petitum. Maksudnya, kalau A menyatakan dalam
posita gugatannya bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah miliknya, maka dalam
petitum dia harus mengatakan: menyatakan menurut hukum bahwa tanah sengketa
adalah milik penggugat.
7. Berpikir Taktis
Berpikir taktis maksudnya adalah berhubungan dengan kelihaian seorang
pengacara atau advokat untuk menggali data dari kliennya dan bagaimana
menuangkannya dalam gugatan. Tidak semua yang diceritakan oleh kliennya harus
diungkapkan dalam gugatan. Walaupun cerita klien tersebut secara logika formal
benar, namun belum tentu benar menurut logika hukum.Misalnya, seorang klien
menceritakan pada advokatnya bahwa rumahnya ditempati oleh seseorang yang kaya
tanpa bayar sewa, hanya disuruh menempati saja sejak tahun 1950-an.
Kalau advokatnya tidak bisa berpikir taktis 8, maka cerita kliennya yang benar
itu akan dipercayainya dan advokat tersebut akan langsung membuat gugatan dengan
7
Ibid. Hal 17
8
Ibid. Hal 18

5
titel 'Gugatan Pengosongan Karena Penempatan Tanpa Hak'.’ Setelah masuk dalam
persidangan,orang yang menempati berdalih bahwa dia menempati rumah tersebut
sejak tahun 1950-an karena ada hubungan sewa-menyewa.Tetapi jika advokat
berpikirtaktis maka tidak akan membuat gugatan dengan titel'gugatan pengosongan:
tetapi "putus hubungan sewa-menyewa' atau 'wanprestasi'! Sebab tidak logis bahwa
seseorang yang kaya hanya menempati rumah orang tanpa sewa,walaupun
kenyataannya benar demikian.
Selain itu, cara berpikir taktis juga terungkap dalam hal mencantumkan dasar
hukum atau teori dalamgugatan misalnya saja, apakah perlu atau di mana atau kapan
harus dicantumkan,apakah dalam jawaban pertama, apakah dalam duplik. dalam
kesimpulan. atau dalam memori banding, ataukah dalam memori kasasi. Banyak
advokat yang dalam gugatannya sudah mencantumkan dasar hukum atau teori hukum,
tetapi dia lupa bahwa kalau terjadi kekeliruan maka akan berakibat fatal.Tetapi
advokat yang berpikir taktis, dalam gugatan atau jawaban pertama dia belum turunkan
atau mencantumkan dasar hukum/teori hukumnya,tetapi begitu saat duplik atau replik
barulah diturunkan semuanya.
8. Ketelitian
Ketelitian dalam hal membuat gugatan sangat diperlukan. Sebab salah kata,
salah istilah, salah kalimat akan mengubah pengertian dan akibatnya akan fatal, yaitu
gugatan dinyatakan ditolak dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim. Masalah
ketelitian ini menyangkut banyak hal. Misalnya, subjek gugatan, objek gugatan, dasar
hukum, teori-teori, penggunaan istilah-istilah, sistematika, penyebutan tahun, dan
sebagainya. 9
9. Singkat. PadamTetapi Mencakup
Bahasa orang hukum biasanya panjang-panjang dan bertele-tele. Lihat saja
bahasa dalam KUH Pidana atau dalam KUH Perdata.Tak mudah untuk dimengerti
atau dipahami. Dalam pembicaraan biasa banyak orang yang berkecimpung dalam
dunia hukum juga berbicara secara bertele-tele, tidak to the point. Begitu pula kalau
membahasakan sesuatu di atas kertas, pasti kalimatnya panjang-panjang dan berputar-
putar. Tak terkecuali juga para advokat dalam membuat gugatan atau dalam jawab-
menjawab saat berperkara di pengadilan. Masih terlalu sedikit advokat yang mampu
membuat gugatan secara singkat, padat tetapi mencakup. cekak aos atau
menggunakan istilah Nico Ngani'Kort maar bondig enhardig" (singkat tetapi berisi
dan menggigit).Membuat gugatan atau jawab-menjawab dalam perkara ibarat
bertinju. Bukan banyaknya pukulan yang harus kena di tubuh lawan yang akan
mempunyai nilai tinggi, tetapi biar satu pukulan namun kena pada sasaran, yang
nilainya tinggi. Misalnya pada bagian dagu yang akan membuat Knocked Out lawan.
Membuatgugatan seharusnya singkattetapi padat dan mudah dimengerti.
Singkat tidak berarti mengabaikan prinsip membuat gugatan sebagaimana diuraikan
di atas. Singkat maksudnya, kalimatnya terang, bahasa Indonesia dan logikanya baik
dan benar. Pembuatan gugatan yang singkat dan padat dapat dilakukan kalau kita
dapat menggolongkan cerita klien yang sifatnya abstrak dan umum ke dalam hal-ha|
yang konkret dan khusus.Tidak semua cerita dari klien mempunyai relevansi atau
9
Ibid. Hal 19

6
bernilai yuridis. Untuk itu dibutuhkan kepandaian dari advokatnya untuk
memilahmilahkan persoalan atau cerita yang sifatnya umum itu ke dalam hal yang
konkret. 10
10. Hukum Acara Perdata
Dalam membuat gugatan sudah barang tentu harus menguasai hukum acara
perdata. Penguasaan hukum acara perdata tersebut misalnya menyangkut kompetensi
pengadilan, di mana gugatan harus diajukan. Atau bagaimana harus mengajukan
gugatan intervensi, perlawanan, eksekusi, dan sebagainya. 11

D. Tindakan yang dilakukan sebelum persidangan


Pemeriksaan sebelum sidang
 Isi Gugatan
Isi tuntutan atau sistematika gugatan
 Tidak diatur dalam HIR maupun R.Bg
 Pasal 8 no 3 Rv menentukan sedikitnya 3 hal
 Identitas para pihak
 Dalil-dalil tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar seta
alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi/posita/dasar tuntutan)
 Tuntutan atau petitum
Sedangkan dalam rancangan undang-undang hukum acara perdata dalam pasal
8ada ditentukan bahwa surat gugat hendaklah memuat:
1. Nama, tempat tinggal dan pekerjaan kedua belah pihak yaitu penggugat
dan tergugat.
2. Hal-hal yang nyata atau peristiwa-peristiwa yang terjadi terutama dalam
hubungan antara penggugat dengan tergugat: hal-hal yang bersifat
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat
3. Hal-hal yang diminta oleh penggugat supaya hakim memberikan
putusanya
 Identitas para pihak
Jati diri atau ciri-ciri masing-masing pihak baik penggugat maupun
tergugat, umur, status perkawinan, pekerjaan serta tempat tinggal masing-
masing perlu pula dicantumkan

 Dasar-dasar tuntutan
Dasar-dasar tuntutan sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu:
1. Bagian yang menguraikan mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa
yang juga disebut dengan duduknya masalah, dan
2. Bagian yang menguraikan tentang hukum hubungan hukum baik antara
subyek dengan subyek, ataupun subyek dengan obyek atau hubungan
hukum dalam peristiwa tersebut
 Tuntutan (petitum)

10
Ibid. Hal 20
11
Ibid. Hal 21

7
Berupa permintaan atau tuntutan atau apa yang diminta oleh penggugat
bagaimana nantinya diputus oleh hakim yang setanya di lihat dalam amar
putusan.
Catatan: perumusan petitum harus memiliki korelasi dengan posita tuntutan
harus terlebih dahulu didasari dengan uraian posita, tanpa itu menyebabkan
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima bahkan juga bisa ditolak
 Pemeriksaan di muka sidang
Aturan proses pemeriksaan dalam sidang perdata:
1. Pembacaan gugatan
2. Upaya damai, tidak berhasil
3. Jawaban gugatan
4. Replik
5. Duplik
6. Pembuktiaan dari P dan T
7. Kesimpulan
8. Putusan hakim
 Mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses
Mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam R.Bg/HIR,
namun diatur dalam RV
 Alat bukti
Jenis alat bukti dalam hukum acara perdata sesuai dengan ketentuan pasal
284 R.Bg/164 HIR dalam hukum acara perdata dikenal dengan adanya lima
alat bukti yaitu:
1. Alat bukti tertulis (surat)
2. Alat bukti saksi
3. Alat bukti persangkaan
4. Alat bukti pengakuan
5. Alat bukti sumpah

Gugatan perwakilan kelompok


Sistematika materi:
1. Latar belakang
2. Pengertian
3. Pengaturan
4. Konsep gugatan class action
5. Karakteristik class action
6. Syarat pengajuan gugatan class action
Latar belakang:
a. Dewasa ini persoalan-persoalan yang merugikan masyarakat dalam jumlah
besar semakin banyak terjadi di masyarakat.
b. Tuntutan atas kerugian yang mrlibatkanmasyarakat dengan jumlah banyak
kemudian dikenal dengan, class action, dalam sistem hukum aglo saxon
c. Tidak ada diatur dalam hukum acara yang berlaku saat ini baik HIR/ R.Bg.

8
d. Banyak gugatan perwakilan kelompok yang dilakukan oleh masyarakat selalu
ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa hukum acara tidak mengatur tentang
hal tersebut.

Perkembangan pengaturan:
a. Akhirnya class action dimuat dalam beberapa peraturan prundang-undangan
di indonesia seperti UU lingkungan hidup, UU kehutanan, UU perlindungan
konsumen.
b. Namun masih sulit diterapkan karna dalam praktek pengadilan masih
mengacu pada HIR/R,Bg yang tidak mengenal gugatan perwakilan kelompok
Pengertian gugatan perwakilan.
a. Suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebihyang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok yang dimaksud (perma No.1 tahun 2002).

Gugatan class action


Pasal 3 perma No. 1 tahun 2002
1. Selain harus memenuhi persyartan formal surat gugatan dalam hukum acara
perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat:
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebutkan
nama anggota kelompok satu persatu
c. Keterangan tntang anggota kelompok yang diperlukan dengan kaitan
kewajiban melakukan pemberitahuan
d. Posita dari seluruh kelompok baik dari wakil kelompok maupun anggota
kelompok yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi yang dikemukakan
secara jelas
e. Dapat diklompokan beberapa bagian kelompok jika tuntutat tidak sama
berdasarkan sifat dan kerugian
f. Tuntutan tentang ganti rugi harus jelas dan rinci memuat usulan
mekanisme distribusi ganti rugi termasuk usulan pembentukan tim panel
Persyaratan gugatan class action
1. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak
2. Kesamaan fakta dan peristiwa
3. Kesamaan dasar hukum yang digunakan
4. Kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota
kelompok
5. Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan
melindungi kepentingan anghota kelompok yang diwakili
BAB III KESIMPULAN

9
Perkara contentiosa (gugatan), yaitu perkara yang didalamnya terdapat
sengketa dua pihak atau lebih, maka seseorang harus mengajukan tuntutan hukum
atau sering disebut gugatan perdata. Mengajukan gugatan harus memehuni
persyaratan yang sudah diatur dalam pasal 118 ayat (1) HIR/ pasal 142 RBG.
Gugatan bisa saja menang, kalah atau damai dalam persidangan tergantung
penyelesaiannya.
Ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/ pasal 142 RBG hanya mensyaratkan
bahwa gugatan harus diajukan dengan surat permohonan/permintaan kepada ketua
pengadilan negeri yang berwenang dan surat gugatan tersebut ditanda tangani oleh
penguggat atau wakil/kuasanya.
Ada sepuluh hal pokok yang perlu di perhatikan dalam membuat gugatan :Cara
berfikir distinkif, Dasar hukum, Klasifikasi hukum, Penguasaan hukum material,
Bahasa indonesia (membahasakanya), Posita harus singkron dengan petitum, Berfikir
taktis, Ketelitian , Singkat, padat tetapi mencakup, Hukum acara perdata.

DAFTAR PUSTAKA

10
Sunarto, peran aktif hakim dalam perkara perdata, (jakarta : paramedia grup ,2014.)

Lemek Jeremias, penuntun membuat gugatan, (Yogyakarta : New Merah Putih,2010)

Asikin zainal, hukum acara perdata indonesia, (jakarta : paramedia grup, 2015.)

H.A. Mukti Arto, praktek perkara perdata pada pengadilan agama,(yogykarta : pustaka
pelajar, 2008)

11

Anda mungkin juga menyukai