Anda di halaman 1dari 60

EFEKTIFITAS PEMBERIAN

DISPENSASI PERKAWINAN
OLEH PENGADILAN NEGERI
SINGARAJA TERHADAP
PERKAWINAN ANAK DI
BAWAH UMUR DESA
JAGARAGA
by I Putu Agus Satyawan B.m

Submission date: 18-Jul-2020 08:53PM (UTC+0700)


Submission ID: 1359002954
File name: agus_bm.docx (124.9K)
Word count: 10850
Character count: 68997
EFEKTIFITAS PEMBERIAN DISPENSASI PERKAWINAN OLEH PENCADILAN

NEC.ERI SINCARAJA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DESA

JAC.ARAC.A

OLEH :

I PUTU AC’US SATYAWAN B.M (1fi14101017)

PROC RAM STUDI ILMU HUKUM

JURUSAN HUKUM DAN KEWARCANE€JARAAN

FAKULTAS HUKUM DANILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN C.HANESA

SINCARAJA

2020
EFEKTIFITAS PEMBERIAN DISPENSASI PERKAWINAN OLEH PENCADILAN

NEC.ERI SINC.ARAJA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DESA

JACARACA

Oleh :

I Putu Agus Satyawan B.M, NIM 1614101017

Program Studi Ilmu Hukum

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana efektifitas Undang-U ndang
Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang Perkawinan dalam pemberian dispensasi perkawinan dibawah
umur di Desa Jagaraga dan faktor yang melatarbelakangi rnasyarakat Desa Jagaraga tidak meminta
surat dispensasi perkawinan dalam melaksanakan perkawinan dibawah umur. Penelitian ini
merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan menggunakan
jenis pendekatan deskriptif, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan data primer,
sekunder, dan terrier untuk mendapatkan kesimpulan yang relex’an dari permasalahan yang
dihadapi pada penelitian ini. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa , I ) Penerapan Aturan
dispensasi perkawinan bagi perkawinan di bawah umur yang terrnuat dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan belum efektif diterapkan di Desa Jagaraga.
Tidak Efektifn ya aturan tersebut dikarenakan oleh dua hal yaitu ditinjau dari segi aparatur yang
menerapkan aturan tersebut dan Kebudayaan Hukum di mas yarakat, 2) Faktor yang
melatarbelangi Masyarakat Desa Jagaraga Tidak Meminta Surat Dispensasi Perkawinan Dalam
Melaksanakan Perkawinan Dibawah IJ mur disebabkan oleh beberapa faktor yakni faktor
ekonomi, faktor budaya, faktor waktu , dan faktor aparatur yang terkesan lambat dan berat
sebelah.

Kata Kunci : Efektifitas, Dispensasi, Perkawinan di Bawah Umur


THE EFUECTIV I-NESS OF GIVIN G DISPEN SATION OF MARRIAGE- BY COUNTRY

COURT OF SINGARAJ A COU NTRIES ON MARRIAGE OF CHILDREN UNDER THE AGE

OF JAGARAGA V lLLAGE

By:

1 Putu Agus Satyawan B.M , NlM 1 61410 i 01 7

Legal Studies Program

ABSTRACT

This study aims to find out and understand how the effectiveness of Law N urnber 1 6 Year 2019
regarding Marriage in the granting of underage marriage dispensations in Jagaraga Village and the
factors underlying the Jagaraga Village community do not ask for marriage dispensation letters in
carrying out underage marriages. This research is a research that uses empirical legal research
methods using a descriptive approach, which is then analyzed using primary, secondary, and
tertiary data to obtain relex’ant conclusions from the problems faced in this study. The results
showed that, I ) The application of the marriage dispensation rules for underage marriages
contained in Article 7 of Law Number 1 of 1974 concerning marriages had not been effecti›’ely
applied in Jagaraga Village. The ineffectix’eness of the rule is due to two things, in terms of the
apparatus that applies the rule and t he legal culture in the community, 2) Factors underlying the
Jagaraga Village Community Do Not Request a Marriage Dispensation Letter in Implementing
Marriage Under Age due to several factors namely economic factors, factors culture, time factor,
and personnel factors that seem slow and biased.

Keywords: Effectiveness, Dispensation, U nderage Marriage


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah salah satu makhluk cipt aan tuhan yang paling sempurna. Sebagiamana

yang telah dikatakan oleh Aristoteles, bahwa manusia sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan yang

membutuhkan orang lain atau pasangan di dalam hidu pnya untuk bisa memiliki keturunan yang

diharapkan nantinya akan memiliki keluarga yang bahagia dan harmonic. Oleh karea itulah,

manusia akan melalu kan suatu tindakkan untuk tetap mempertahankan popul asinya yaitu dengan

cara melaksankan perkawinan.

Perkawinan merupakan hal yang sangat diminati oleh semua manusia di dunia ini.

Perkawinan adalah hubungan yang dilegalkan oleh hukum antara pria dan wanita yang dimana dua

orang saling menyetujuinya. Hal ini diatur sebagaiman dalam Pasal I Undang- Undang Nomor I

Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai sepasang suami istri yang dengan tujuan untuk menciptakan

keluarga atau ruinah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhaan Yang Maha Esa. Suatu

perkawinan dianggap sah apabila di dalamnya memenuhi syarat -syarat perkawinan dan di lakukan

menurut hukum adat atau agamanya masing-making serta dicatat menurut peraturan perundang-

undangan

Perkawinan merupakan masalah yang penting yang dimana didalam perkawinan bukan

hanya ikatan atau hubungan antara mempelai pria dengan mempelai wanita saja, tetapi juga ada

hubungan antar keluarga mempelai pria dan keluarga mempelai wanita, serta pernikahan ini

merupakan unsur atau kegiatan yang nantinya akan ada hubungan antara kedua mempelai dengan
masyarakat di sekitar mereka, dan juga terdapat hu bungan yang sangat sakral yang dimana di

dalam perkawinan ada hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diharapkan dengan adanya

hubungan antara manusia dengan Tuhan ini, maka perkawinan pada diri seseorang hanya akan

berlangsung sekali seurnur hidu pnya.

Hu bungan perkawinan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma

yang berlaku di masyarakat itu sendiri. Perkawinan yang ideal ialah suatu perkawinan yang terjadi

dan dikehendaki oleh kedua belah pihak, yaitu mempelai wanita dan mempelai pria serta

dikehendaki pula oleh masyarakat yang perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang matang

yang di mana tidak boleh menyimpang dengan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku di

mas yarakat. Sehingga semua acara perkawinan yang berlangsung merupakan rirrs br yn.t.tagr

yaitu upacara-upacara peralihan yang melambangkan sebuah perubahan status dari yang awalnya

kedua mempelai hidup secara terpisah dan setelah melaksanakan perkawinan keduanya

melaksanakan hidup bersama menyatukan batin dan raga yang disebut suami istri.

Dalam agarna Hindu, Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu tujuan utama perkawinan menurut huku m hindu

adalah untuk memperoleh keturunan (anak) yang dapat inenyel ainatkan arwah orang tuanya dari

penderitaan di neraka. Melaksanakan sebuah perkawinan adalah menjalankan sebuah tahapan

hidup yang sakral dan abadi sifatnya. Menurut hukum Hindu sejak peristiwa tersebut, seseorang

itu berada pada tahapan hid up yang disebut Grsh‹is‹i (Grivoh‹ist‹i) (Gede Puja, 1975:7 I ).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan Pasal 7 ayat I telah

ditetapkan bahwa pria dan wanita dizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun,

dan bila belum mencapai umur tersebut harus mendapatkan dispensasi dari pengadil an. Dalam

hubungan ini perlu dicatat, bahwa seorang wanita walaupun telah berusia cukup dewasa (rnisalnya
19 tahun lebih), namun orang bersangkutan tidak pernah datang bulan, dianggaplah tidak

memenuhi syarat untuk kawin. Bahkan tidak saja dinilai selaku seseorang yang kurang sehat

secara fisik, melainkan dianggap “letuh”, atau secara keagamaan dan karenanya dilarang untuk

kawin (Kaler, 1980:8).

Dalam masyarakat Bali, tidak ada u kuran pasti bagi orang yang dianggap pantas untuk

melangsungkan suatu perkawinan, karena ditempat satu dengan yang lainnya dipakai kreteria yang

berbeda. Adapun kreteria-kreteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk wanita apabila sudah pernah mengalami menstruasi satu kali.

2. Untuk laki-laki apabila sudah dianggap rnampu rnencari nafkah sendiri, atau sudah dapat

inengundang padi satu pikul atau sudah mampu melaksanakan ayahan (kewajiban) desa

atau sudah terjadi perubahan suara yang disebut ngembakin (Tim Peneliti Fakultas Huku m

Universitas Udayana, 1980/198 I :59).

Secara umum perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kek ul berdasarkan

Ketuhanan Yang Matta Esa. Untuk dapat melangsungkan perkawinan yang bahagia dan kekal,

menurut U ndang-undang perkawinan nomor I tahun 1974 pasal 2 ayat ( 1), “sah atau tidaknya

suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agarnanya dan kepercayaan masing-masing. Selain itu

di dalam Undang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan Pasal 7 ayat I telah dengan

tegas menentu kan umur seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan. Kenyataan dalam

masyarakat pedesaan sering dijumpai perkawinan di bawah umur. Biasanya pernikahan dibawah

umur (pernikahan dini) ini terjadi karena antara calon mempelai laki- laki dan calon mempelai

wanita telah terjadi hubungan badan, baik yang rnengakibatkan pihak wanita harnil maupun tidak

hamil. Atau sering disebut MBA, morird hv ‹i‹ ‹ ident, nikah karena kecelakaan.
Dengan dernikian, yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan

yang dilakukan di bawah batas perkawinan yang sudah ditetapkan oleh U ndang-U ndang Nomor

1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan I diatas. Umur ini penting untuk inelangsungkan perkawinan

karena dalam membina rumah tangga perlu adanya kesiapan biologis dan psikologis agar dapat

mewujudkan suatu perkawinan yang baik, kekal, dan bahagia.

Pada dasarnya perkawinan yang ada di Indonesia kini sudah banyak di pengaruhi oleh

hukum adat, hal ini dikarenakan beranekaragamnya ad at dan kebudayaan di Indonesia, dan salah

satu daerah yang terkenal akan adat dan kebudayaannya adalah Bali. Dimana runtutan acara dan

pelaksanaan upacara perkawinanya yang cukup banyak. Hal ini sebagaimana yang telah diketahui

bahwa perkawinan merupakan hal yang sakral atau rirr.t br yn.team.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam halnya perkawinan yang dilakukan secara adat, ada beberapa

corak yang harus di pahami menurut Bew‹i R‹ip‹i wine (Bewa Ragawino : 10- 13) :

1. Bercorak rrlr gins-mug is.

2. Bercorak komunal atau kemasyarakatan,

3. Bercorak demokrasi.

4. Bercorak konkrit.

Hu bungan yang terjadi adalah hubungan yang sedemikian rapatnya sehingga merupakan

satu kesatuan atau ketunggalan yang utu h. B ukti dari ketunggalan itu ialah :

1. Melepaskan satu nama yang biasanya mengikuti nama suaini.

2. Merupakan belahan jiwa bagi keduanya.

3. Adanya harta gono gini.

Di 1ndonesia, khususnya di Bali terdapat beberapa jenis perkawinan yang ada antara lain sebagai

berikut :
1. Perkawinana N yeburin.

Perkawinan nyeburin atau yang lebih sering dikenal di masyarakat Bali dengan istilah

nventono merupakan kebalikan dari perkawinan biasa, yang dimana pihak keluarga dari

perernpuanlah yang membaca atau yang merninang sang laki-laki unutk tinggal di rumah

sang perempuan dan melepaskan semua ikatan hokum antara laki-laki dan keluarganya.

2. Perkawinana Pade Gelahang.

Perkawinan pade gelahang ini merupakan bentuk perkawinan yang bisa dikatakan baru di

rnasyarakat, dimana perkawinan ini terdapat kesepakatan antara keluarga laki-laki dan

keluarga perempuan bahwa keduanya sama-sama tidak akan melepas hubungan huku m

terhadap keluarga masing-masing. Biasanya perkawinan pade gelahang ini terjadi terhadap

keluarga yang sama-sama memiliki satu anak. Dan keturunan dari laki-laki dan perempuan

ini akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai purusa dari keluarga laki-laki dan juga

pereinpaun.

Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng,

menurut informasi yang saya terima bahwa masih ada rnasyarakat di desa ini yang melakukan

perkawinan di bawah u mur tanpa dimintakannya surat dispensasi ke Pengadilan, padahal menurut

U ndang-U ndang Nomor 1 6 Tahun 2019 perkawinan di bawah u mur tanpa dimintakannya surat

dispensasi ke Pengadilan tidak dibenarkan (Partha, wawancara, 27-03-2020). Adapun data

perkawinan di bawah umur Desa Jagaraga tanpa diinintakannya surat dispensasi ke Pengadilan

sebagai yang berikut, yang penulis sajikan dalam bentu k tabel.

Tabel. 1.1 Data Perkawinan Desa Jagaraga di bawah Umur Tidak Meminta Surat

Dispensasi ke Pengadilan

No Ban,jar Jumlah Perkawinan


Triwangsa

2 Kangin Teben 16

3 Kauh Luan 41

4 Kangin Luan 17

Kau h Teben 36

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan,

yang menerapkan pembatasan umur untuk kawin, maka perkawinan anak-anak rilestinya sekarang

tidak dapat dilangsungkan lagi, namun dalam kenyataannya dirnasyarakat masih ada terjadi

perkawinan di bawah umur. Adapun yang menjadi alasan perkawinan di bawah umur, dengan

berlakunya undang-undang No.1 tahun 1974 masyarakat hendaknya menyesuaikan diri dengan

undang- undang tersebut. Oleh karena perkawinan anak-anak itu sampai batas umur 1 9 tahun bagi

pria dan wanita. Orang tua tidak boleh lagi melaksanakan perkawinan anak-anak yang rnasih

dibawah umur.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dengan ini tertarik melakukan penelitian

terhadap pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa Jagaraga dengan judul “Efektifitas

Pemberian Dispensasi Perkawinan Oleh Pengadilan Terhadap Perkawinan Aoak Di Bawah

Umur Desa J agaraga ”.

1d Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang sebagai

berikut :
I . Di Desa Jagaraga masih ban yak terjadinya pelaksanaan perkawinan di bawah u mur

tanpa dimintakannya surat dispensasi ke Pengadilan, hal ini sebagaimana tersebar di

setiap banjar.

2. Di Desa Jagaraga perkawinan di bawah umur tetap dilaksanakan menurut agama hindu

meskipun secara hukum nasional perkawinan di bawah umur tan pa dimintakannya surat

dispensasi ke Pengadilan.

1d Pembatasan Masalah

Untuk terarahn ya dalam penyusunan proposal ini maka peneliti mengarnbil batasan masalah

yang diteliti. Penelitian ini rnemfokuskan pada bagaimana efektifitas U ndang-Undang Nomor

16 Tahun 2019 tentang perkawinan dalam pemberian dispensasi perkawinan dibawah umur di

1 A Rumusan Masalah

I . Bagairnanakah efektifitas U ndang-U ndang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan

dalam pemberian dispensasi perkawinan dibawah u mur di Desa Jagaraga’?

2. Apakah faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa Jagaraga tidak meminta surat

dispensasi perkawinan dalam melaksanakan perkawinan dibawah umur‘?

1 Tu,juan Penelitian

I . Tujuan Umum.

Untuk mengetahui dan menarnbah wawasan di bidang keilmuan hukum perdata

kususnya mengenai yang mengatur tentang perkawinan di bawah umur di desa Jagaraga

dan Sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran secara ilmiah melalui penelitian ini.
2. Tujuan Khusus.

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini ialah :

I . Untuk mengetahui efektifitas Undang-U ndang N ornor 1 6 Tahun 2019

tentang perkawinan dalam pemberian dispensasi perkawinan dibawah umur di

Desa

2. Untuk rnengetahui faktor yang rnelatarbelakangi masyarakat Desa Jagaraga

tidak meminta surat dispensasi perkawinan dalam melaksanakan perkawinan

dibawah umur.

1.6 h4anfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan beberapa manfaat yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan pencerahan mengenai permasal ahan huku m yang

dihadapi sehingga menjadi dasar pemikiran yang teoritis, dan memberikan wawasan bagi

para pernbaca dan penulis tentang “Efektifitas Pemberian Dispensasi Perkawinan Oleh

Pengadilan Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Llmur Desa Jagaraga”.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Bagi penulis berrnanfaat seperti peningkatan keahlian dan keterampilan menulis,

sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan pengarnbilan

keputusan yuridis dan bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum.

b. Bagi Masyarakat

Sebagai sarana pengembangan pemi kiran bagi masyarakat bahwa pentingnya mernohon

surat dispensasi dalam melaksanakan perkawinan di bawah umur.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ka,jian Pustaka

2.1.1 Pengertian Perkawinan

2.1.1.1 Pengertian Hukum Perkawinan Indonesia

Di dalam pasal 2 I Undang- Undang No I Tahun 1974 dikatakan bahwa “

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan rnembentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang maha esa”. Jadi menurut

perundangan perkawinan itu ialah ‘ikatan antara seorang pria dengan seorang

wanita berarti perkawina sama dengan perikatan’. Menurut pasal 26 K UHPer data

dikatakan U ndang-U ndang rnemandang soal perkawinan hanya dalam hubungan

perdata’ dan dalam pasal SI K UHPerdata dikatakan bahwa ‘tidak ada upacara

keagamaan yang boleh di selenggarakan, sebelum kedua belah pihak membuktikan

kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai catalan sipil

telah berlangsung. Pasal 81 K U HPerdata ini di perkuat pula oleh pasal 530 ( 1)

K UHPidana (w rrr6r›rk van s trofre‹ ht (w ve ) ) yang menyatakan “seorang

petugas againa yang melakukan acara perkawinan, yang hanya dapat di

langsungkan di hadapan pejabat catalan sipil, sebelum di n yatakan kepadanya

bahwa pelangsungan
di hadapan pejabat itu sudah di laku kan, di ancam dengan pidana denda paling

banyak Rp 4.500”. kalimat “yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat

catatan sipil” tersebut menjunjukkan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi hukum

adat, yaitu orang-orang yag dahulu disebut pribumi dan timur asing tenentu, diluar

orang cina (Ragawino, 2008: 30).

Dengan demikian nampak jelas perbedaan pengertian tentang perkawinan

menurut KSH Perdata dan menurut Undang-U ndang No I Tahun 1974.

Perkawinan menurut KU H Per data hanya sebagai “perikatan perdata” sedangkan

perkawinan menurut U ndang-U ndang N o I Tahun 1974 tidak hanya sebagai

ikatan perdata tapi juga merupakan “perikatan keagamaan”. Hal mana dilihat dari

tujuan perkawinan yang dikernukakan dalam pasal Undang-undang No I Tahun

1974 bahwa perkawinan itu bertujuan untuk rnembentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kalimat demikian itu tidak ada

sama sekali di dalam K U HPedrata (BW) yang di urnuinkan dengan maklumat

tanggal 30 April 1847 (S.1847/23) dan berlaku di Indonesia sampai tahun 1974,

selama 1 27 Tahun dan sampai dengan buku K UHPedrata (BW) di tulis Tahun

1990 berarti sudah berlaku selama 143 tahun. Pengertian perkawinan sebagaimana

dinyatakan di dalam pasal I Undang-U ndang No I Tahun 1974 perlu di paharni

benar-benar oleh mas yarakat, oleh karena ia merupakan landasan pokok dari

aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-undang

No I Tahun 1974 maupun dalam U ndang-U ndang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang

Perkawinan.
Pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama di pandang

dari sudut ilrnu hayat (biologi). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum

yang di tiap-tiap Negara berlaku mengenai suatu hidu p bersama tertentu antara

seorang perempuan dan seorang laki-laki. Berhubungan dengan inilah maka,

dalam Bur pet li jk lVrr6r›rk yang masih berlaku di Indonesia tidaklah termuat

suatu penentuan arti (definisi) dari perkawinan, rnelainkan pasal 26 BW hanya

dikatakan, bahwa U ndang- Undang memandang perkawinan hanya dari sudut

perhubungannya dengan hukum perdata, artinya terlepas dari peraturan-peraturan

yang rnungkin tentang perkawinan diadakan oleh suatu agama tertentu. I ika

dipandang sepintas perkawinan merupakan suatu persetujuan belaka di dalam

masyarakat antara seorsang perempuan dan seorang laki-laki, seperti misalnya

persetujuan jual beli, tu kar menukar, sewa, dan lain-lain. Namun, tidak demikian

dalam persetujuan biasanya para pihak bebas untuk rnenentukan sendiri isi janji-

janji persetujuannya sesuka hati asalkan janji-janji tersebut tidak bertentangan

dengan Undang- Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum cina (Ragawino, 2008:

30).

Suatu perkawinan sernula ditentukan oleh hukum dari persetujuan antara suarni

dan istri itu. I ika perempuan dan laki-laki berkata sepakat untuk melaksanakan

perkawinan satu sama lain, berarti mereka saling berjanji akan menaati peraruran-

peraturan hu kum yang berlaku mengenai hak dan kewajiban masing-making pihak

selama hidup bersama dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak

keturunannya .

2.1 Syarat Suatu Perkawinan

Adapun syarat perkawinan menurut hukum perdata terdiri dari :


1. syarat inateriil.

Syarat materiil terbagi atas dua yaitu .

a. materiil absolut adalah syarat — syarat yang menyangkut pribadi

seseorang yang terdiri dari :

I . Monogami.

2. Persetujuan antara kedua calon suami istri.

3. Memehuhi syarat u mur minimal.

4. Perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus

mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu

dibu barkan.

5. Izin dari orang tertentu didalam perkawinan.

Demikian pula ketentuan batas u mur minimal ditegaskan “seseorang jajaka

yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sepertipun seorang gadis yang belu m

mencapai umur genap 15 tahun, tak diperbnlehkan mengikat dirinya dalam

perkawinan. Sementara itu, dalam hal adanya alasan-alasan yang penting presiden

berkuasa rneniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi” (pasal 29 BW).

Menurut ketentuan U ndang-U ndang U ndang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019

tentang perkawinan Pasal 7 ayat I jelaslah bahwa pria dan wanita diizinkan

melaksanakan perkawinan jika sudah mencapai umur 19 tahun. Dengan

memperhatikan pasal 34 K U HPerdata jelaslah bahwa seorang perempuan yang

pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengtidahkan waktu 300 hari setelah

perkawinan yang dahulu di bubarkan. Ketentuan pasal tersebut di dasarkan kepada

penerimaan bahwa 300 hari sebagai waktu paling lama seorang perempuan di
dalam keadaan mengandungi. Di camping itu ketentuan 300 hari memang penting

sekali di dalam menentukan ayah bagi anak yang dilahirkan tersebut. Apabila

memberi izin yang di perluka untuk kawin, maka harus di bedakan adanya dua

kelompok, :

1. Orang yang belum dewasa, yaitu belum mencapai umur 2 I tahun dan belu

m pernah kawin.

2. Orang yang sudah dewasa akan tetapi belum mencapai umur 30 tahun.

2. syarat formal.

Perkawinan juga memerlukan syarat-syarat formal yang terdiri dari :

a. Beberapa syarat yang harus di penu hi sebelum perkawinan di

langsungkan, yaitu :

1. Pemberitahuan maksud untuk kawin.

2. Penggurnuman maksud untuk kawin.

b. Syarat-syarat yang harus di penuhi bersamaan dengan perkawinan

tersebut dilaksanakan atau di langsungkan.

Undang-U ndang yang mengatur tentang syarat formal yang harus

dipenuhi bersamaan dengan perkawinan tersebut di langsungkan sebagai

berikut :

1. Sebelum melangsungkan perkawinan, pegawai catatan sipil harus meminta

supaya diperlihatkan kepadanya :

a. Akta kelahiran calon suami istri making-masing.

b. Akta yang di buat oleh seseorang pegawai catatan sipil dan di bu kukan

dalam register izin kawin atau sebuah akte otentik lain yang memuat
izin dari bapak ibu kakek nenek wali atau wali pengawas, ataupun izin

yang di peroleh dari hakim, dalam hal bilamana izin itu di perlukan.

Izin juga boleh di berikan dalam akta kawin sendiri.

c. Akta yang rnemperlihatkan adanya perantara pengadilan negri.

d. Dalam hal perkawinan untuk kedua kalin ya atau perkawinana

berikutnya, akta kematian suami atau istri yang dahulu, atau akta

perceraiaan atau pun turunan surat izin hakirn yang di berikan dalam

hal adanya ketakhadiran suami atau istri yang lainnya.

e. Akta kematian segala mereka yang sediannya yang harus memberikan

izin kawin.

f. Bukti bahwa pengurnuman kawin tanpa pencegahan telah berlangsung

di tempat, dimana pengumuman itu di perlukan menurut pasal 52 dan

berikutnya ataupun bukti bahwa pencegahan yag dilakukan telah di

gugurkan.

g. Dispensasi yang telah di berikan.

h. Izin bagi para per wira dan militer rendahan yang di perlukan untuk

kawin.

2. Beberapa ketentuan tersebut di dalam butir satu diataur secara otentik di

dalam pasal 7 I KBHPerdata sedangkan di dalam pasal 72 ditegaskan

bahwa “jika di antara kedua calon istir itu ada kiranya yang tak dapat

diperlihatkan akta kelahiran yag di perlukan menurut ayat pertama pasal

yang lalu, maka kekurangan yang demikian itu dapat di perbaiki dengan

akta kenal yang diberikan oleh kepala pemerintah daerah tempat kelahiran

atau tempat
tinggal si calon suami atau istri itu , atas keterangan dna saksi laki atau

perempuan, keluarga atau bukan keluarga.

Keterangan itu harus mernuat penyebutan tempat kelahiran si yang

berkepentingan dan saat kelahirann ya, beserta alasan-alasan yang mengahali

dalam menyatakan akta kelahiran.

Ketiadaan akte kelahiran dapat juga diperbaiki, baik dengan keterangan yang

demikian, namun diucapkan dibawah sumpah di depan pegawai catatan sipil,

yang berisi bahwa ia tak dapat memperoleh akta kelahiran atau akta kenal.

3. Jika pihak — pihak tidak dapat rnemperlihatkan akta kematian tersebut

dalam pasal 7 I nomor 5, maka kekurangan itu dapat diperbaiki dalam cara

yang sama seperti dalam hal termasuk dalam pasal yang lalu . Ketentuan ini

diatur dalam pasal 73 KUH perdata.


u
4. Adapun pasal 74 menetapkan bahwa : “jika pegawai catatan sipil menolak

rnelangsungkan suatu perkawinan berdasarkan atas kurang lengkapnya

surat —surat dan keterangan — keterangan yang ditentukan dalam pasal —

pasal yang lalu, maka pihak — pihak yang berkepentingan berhak

rnemajukan surat permintaan kepada pengadilan negeri, yang mana setelah

rnendengar jawaban kejaksaan sekiranya ada alasan untuk itu dan

inendengar pula akan pegawai catatan sipil, secara tingkat dan tanpa

keinungkinan banding, akan mengarnbil keputusannya tentang sudah atau

belum lengkapnya surat — surat itu.


5. Disamping itu menurut pasal 75 ditetapkan bahwa ; “perkawinan tak boleh

dilangsungkan sebelu h ahri kesepuluh setelah pengumurnannya, hari tak

boleh di perhitungkan.

6. Jiak ada alsan penting, maka kepala pemerintah daerah yang arnan dalam

daerahnya telah di lakukan pemberitahuan kawin, berkuasa memberikan

dispensasi dari pengumuman dan dari waktu tunggu yang di haruskan. Jika

ada pemberiaan dispensasi, maka berita tentang pemberit ahuaan itu harus

segera di tempelkan pada gedung termasuk dalam ayat pertama pasal 52.

Dalam beriuta temple itu harus di sebut juga saat bilamana perkawinan akan

atau telah dilangsungkan.

7. Perkawinan harus di 1angsungkan di muka umum, dalam gedung di mana

akta-akta catatan sipil harus di buat, di hadapan pegawai catatan sipil

tempat tinggal salah satu dari kedua beelah pihak dan dengan di hadiri oleh

dua orang saksi, baik keluarga maupun bu kan keluarga, yang telah

mencapai umur 21 tahun dan berdiam di 1ndonesia karena suatu rintangan

yang sah dan cukup terbukti (pasal 76 K UHPerdata).

8. Sedangkan pasal 77 K U HPerdata memebrikan alternative lain bahwa ;j ika

salah satu dari kedua belah pihak terhalang pergi ke gedung tersebut, maka

perkawinan boleh dilangsungkan dalam sebuah rumah istimewa yang

terletak dalam daerah pegawai catatan sipil yang bersangkutan”.

9. Menurut ketentuan pasal 75 ditegaskan bahwa :” untuk

inemperlangsungkan perkawinan, kedua calon suami istri harus

inengahadap sendiri di muka pegawai catatan sipil”.


10. Jika ada alasan yang penting, Presiden berkuasa mernebrikan izin kepada

pihak-pihak yang berkepentingan, memperlangsungkan perkawinan

mereka dengan seorang wakil yang dengan akta otentik terisitimewa

dikuasakan untuk itu. Sedangkan di dalam ayat 2 pasal 79 memuat adanya

kebebasan mengenai wakil.

Adapun syarat perkawinan menurut hukum adat ialah :

Dalam hal sahnya perkawinana menurut hukum adat, dalam Undang-

Undang perkawinan pasal 2 ayat I Undang-kl ndang Nomor I Tahun 1974 yang

menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut huku m

masing-making agamanya dan kepercayaannya. Jadi perkawinan di anggap sah

apabila sudah melaksanakan menurut agama dan kepercayaan dari kedua

mempelai. Menurut Arthayasa persyaratan untuk sahya perkawinan di bali

yaitu (Arthayasa, 2000:43) :

a. Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum

hindu.

b. Untuk upacara dalam pelaksanaan perkawinan harus dilakukan oleh

Pinandita.

c. Suatu perkawinan di anggap sah apabila kedua calon mempelai menganut

agama hindu. Dan jika salah satu dari calon mempelai tidak menganut

agama hindu maka perkawinan di anggap tidak sah. Dan apabila salah

satu mempelai ingin menjadi agama hindu dan agar perkawinannya bisa

di anggap sah maka harus menjalani upacara Sudhiwadani terlebih

dahulu.
Menurut Dirksen dalam Arthayasa perkawinan di u mat hindu sudah

dianggap sah apabila sudah dilaksanakan upacara Tri Saksi, yaitu (Arthayasa,

2000:43) :

1. Dewa Saksi, yaitu mengaturkan sesajen di sanggah keinulan.

2. Manusia Saksi, yang dimana perkawinan disaksikan oleh para

kerabat.

3. Bhuta Saksi, yaitu adannya sesajen yang diletakkan di tanah

(diletakkan di pertiwi)

2.1 Asas-Asas Perkawinan.

Asas-asas atau prinsip perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 adalah :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Ynag Maha Esa.

b. Perkawinana merupakan ikatan kahir batain, berdasarkan persatuan kedua

belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

c. Untuk sahnya perkawinana harus dilangsungkan berdasarkan agama dan

kepercayaan yang akan melangsungkan perkawinan.

d. Perkawinan ini harus dicatat sesuai dengan peraturan yang ada.

e. Kedudukan suami istri seimbang didalam rumah tangga dan juga

pergaulan hidu p bersama didalam mas yarakat, masing-making pihak

berhak melakukan perbuatan hokum.

f. Berdasarkan alasan serta syarat-syarat tertentu juga izin pengadilan

seorang pria boleh berisstri lebih dari satu, asas monogami.


Selain itu juga dalam U ndang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang

perkawinan dalam Pasal 7 ayat I dinyatakan:

“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun”

Menurut pasal 3 ayat ( I ) U ndang-undang N o I Tahun 1974 dikatakan bahwa

“pada asasnya dalam suatu perkawinana seorang pria hanya bnleh mempunyai seorang

istri. Seorang wanita hanya bnleh mempunyai seorang suami”. Isis pasal ini sama

dengan si pasal yang terdapat di dalam BW pasal 27 K UH Perdata yang berbun yi

“dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dibnlehkan mempunyai satu orang

perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanaya satu orang sebagai suaminya”.

2.4.1 Asas-asas perkawinan menurut hukum adat

Perkawinana ini bukan saja merupakan penyatuan kedua belah pihak antara

laki-laki dengan perempuan saja dalam hubungannya dengan hukin perdata, tetapi

juga ada hu bungannya dengan hokum adat di tempat mereka masing-masing,

sehingga dalam melaksanakan perkawinan mereka pula harus mengukuti asas-asas

yang berlaku di daerah mereka. Berikut asas-asas perkawinanan menurut hokum adat

ialah

a. Perkawinan bertujuan rnembentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan

kekal serta rnampu membangun dan meinbina hubungan kekerabatan yang

rukun dan damai.

b. Perkawinan tidak saja harus sah menurut hukum agama dan kepercayaan, tetapi

juga harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat.


c. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yng belum cukup umur,

namun harus mendapat izin dari orang tual keluarga dan kerabat.

d. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai

istri yang kedudu kannya making-masing ditentukan oleh huku m adat

setempat.

e. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan anat ar orang tua dan juga

kerabat, masyarakat adat rnenolak kedudukan suami istri yang tidak diakui oleh

masyarakat adat.

f. Perceraian antara suami-istri dapat berakitbat pecahnya hubungan kekerabatan

antara kedua belah pihak.

Keseiinbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan atas ketentuan

hokum yang berlaku di tiap-tiap hoku m adat. Larangan perkawinan dalam hoku m

adat.

2J Pengertian Dispensasi Perkawinan

U ndang-U ndang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang Perkawinan memuat aturan

perubahan mengenai dispensasi perkawinan yang diatur dalam Pasal 7, yang agak berbeda

rumusannya dari U ndang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dispensasi adalah

pemberian hak kepada seseorang untuk rnenikah meskipun usianya belum mencapai batas

minimal 19 tahun. Prinsipnya, seorang laki-laki dan seorang perempuan diizinkan menikah

jika mereka sudah berusia 19 tahun ke atas. Jika tern yata keadaan menghendaki, perkawinan

dapat dilangsungkan meskipun salah satu dari pasangan atau keduanya belum mencapai usia

dimaksud.
Artinya, para pihak dapat rnengesampingkan syarat minimal usia perkawinan.

Menurut US Perkawinan yang baru, penyimpangan hanya dapat dilakukan melalui pengajuan

permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak calon mempelai.

Bagi pasangan yang beragaina Islam, permohonan diajukan ke Pengadilan Agama. Bagi

pemeluk agama la in diajukan ke Pengadilan negeri.

Pasal 7 ayat (2) Undang-U ndang Perkawinan yang baru rnenegaskan bahwa

dispensasi perkawinan dapat diberikan atas alasan mendesak. Apa yang dimaksud ‘alasan

mendesak’? U U Perkawinan menjelaskan bahwa alasan mendesak adalah keadaan tidak ada

pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.

Alasan mendesak itu tak bisa sekadar klairn. Harus ada bukti-bukti pendukung yang

cukup. Menurut U U Perkawinan yang baru menjelaskan bukti-bukti pendukung yang cukup

adalah surat keterangan yang mernbuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan

undang- undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang rnendukung pernyataan

orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat rnendesak untuk dilaksanakan

(hukumonline.com).

Alat bu kti yang cukup itu termasuk keterangan saksi lain. Sekadar contoh adalah salah

satu permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada April 2010.

Seorang ibu rumah tangga berusia 39 tahun mengajukan dispensasi perkawinan untuk anak

laki-lakinya yang belu m genap usia 19 tahun. Calon pengantin perempuan kala itu sudah

melebihi usia 16 tahun, syarat minimal yang ditentukan U ndang-U ndang Perkawinan 1974.

Hakim meminta keterangan saksi-saksi yang menguatkan permohonan, dan rnendapat kan

fakta tentang alasan mendesak dilangsungkannya perkawinan. Ternyata, mempelai

perempuan sudah hamil enam bulan. “Hubungan mereka sudah sedemikian eratnya sehingga
orang tua mereka khawatir kalau tidak segera dinikahkan akan terjadi pelanggaran huku m

agama yang berkepanjangan serta menimbulkan kemudlaratan,” urai majelis hakirn (Tarnah,

Muh. Kailani dan Farchanah) dalam pertirnbangan perkara yang dikutip (huku monline.com).

U ndang-U ndang Perkawinan yang baru juga menegaskan bahwa pemberian

dispensasi oleh Pengadilan berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak,

pertirnbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak

yang ditirnbulkan. Berkaitan ini U ndang-U ndang Perkawinan yang baru mewajibkan

Pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan pernbinaan kepada masyarakat dalam rangka

mencegah perkawinan dini, bahaya seks bebas, dan mencegah perkawinan tidak tercatat.

2.6 Teori Sistem Hukum (Le#af Sy stem Theory)

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga elemen utama dari sistem hukum (legal

system), yaitu (Lawrence M. Friedman, 1984 : 5-6) :

1. SDuk+uzl1ukum Lepuf r›’u<rure}

3. Budaya Hukum (Lep‹il €’ulture).

Lawrence M. Friedman rnengernukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan

hukum suatu aturan huku m tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum I'*R^!

.srru‹ rare), substansi hukum (le pal .su6sronrej dan budaya hukum (Ie pal ‹ ulture ). Struktur

hukum rnenyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-

undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup ( livinp low ) yang dianut dalam

suatu masyarakat ( Friedman, 1984 : 5-6) .

1. Struktur Hukum (Legaf Structure )


Dalam teori yang dikernu kakan Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai

sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan

baik. Struktur hukum berdasarkan U U No. 8 Tahun 1981 meliputi; rnulai dari

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).

Kewenangan lembaga penegak hukum dijainin oleh undang-undang. Sehingga dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah dan penganih-pengaruh lain.

Dalam teori ini terdapat adagium yang menyatakan “/iri/ yo.v/i/iri cl ye rent

niunJu.s” rneskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan. Hukum tidak

dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas,

kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang -undangan

bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya

angan-angan semata. Lernahnya rnentalitas aparat penegak hukum rnengakibatkan

penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang

mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya adalah sepeni

lernahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan

lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan

peran penting dalam rnemfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi

kualitas penegak hukum rendah maka akan ada rnasalah. Demikian juga, apabila

peraturannya bunik sedangkan kualitas penegak hukum baik, kernungkinan

munculnya masalah masih terbuka (Putri dkk, 20 I 7:2).

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan (Friedman, 1984 : 5-6):


pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa),

dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Smiktur juga

berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang bnleh dan tidak boleh dilakukan

oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi smiktur

(legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk

menjalankan perangkat hukum yang ada (Putri dkk, 20 l7:2).

Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan

menurut ketentuan-ketentuan forrnalnya. Stru ktur ini menunjukkan bagaimana

pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan

dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kit a berbicara tentang struktur sistem huku m

Indonesia, maka terrnasu k di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan huku m

seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan ( Ali, 2002 : 8).

2. Substansi Hukum

Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut sebagai sistem substantial

yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berani

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup

keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga

mencakup hukum yang hidup (li ing lvi‹ ), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab

undang-undang (luw frank.t). Sebagai negara yang masih menganut sistem 6"i il Luw

Sistem atau sistem Eropa Kontinental (rneski sebagai an peraturan perundang-

undangan juga telah menganut C’ummun Lai‹ Sistem atau Anglo .i‹zrr›o) dikatakan
hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang

tidak tertulis bukan dinyatakan hukum (Putri dkk, 201 7: 2-3).

Sistem ini rnempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya

adalah adanya asas Legalitas dalam KU HP. Dalam Pasal 1 K.UHP ditentukan “tidak

ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang

mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum

apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan

perundang-undangan.

Substansi hukum menurut Friedman adalah (Friedman, 1984 : 5-6):

i.i r›D /@Dg /riw', Dr›/yu.v/ rule.s iD /riw' m›r›Lv”.


Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan

substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata rnanusia yang berada

dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang memiliki kekuatan yang rnengikat dan menjadi pedoman bagi

aparat penegak hukum (Putri dkk, 20 l7:3).

3. Budaya Hukum

Menurut Lawrence M. Friedman budaya hukum adalah sikap manusia terhadap

hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur

hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat

kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Sernakin tinggi kesadaran hukum

masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir

masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan


masyarakat terhadap hukum rnenipakan salah satu indikator berfungsinya hukum

( Friedman, 200 I :8).

Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti

pekerjaan rnekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang

dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau

siapa saja yang memutuskan untuk rnenghidupkan dan rnematikan mesin itu, serta

rnemutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dikaitkan dengan sistem hukum di

Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses

penegakan hukum di Indonesia. Polisi adalah bagian dari struktur bersama dengan

organ jaksa, hakirn, advokat, dan lernbaga permasyarakatan. lnteraksi antar komponen

pengabdi hukum ini menentukan kokoh nya struktur hukum. Walau demikian,

tegaknya hukum tidak hanya ditentukan oleh kokohnya struktur, tetapi juga terkait

dengan kultur hukum di dalam masyarakat. Namun demikian, hingga kini ketiga unsur

sebagaimana yang dikatakan oleh Friedman belum dapat terlaksana dengan baik,

khususnya dalam struktur hukum dan budaya hukum (Putri dkk, 20 l7: 3-4).

Mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat :

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia

(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem

hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum

yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat

maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif (Putri dkk, 20 l7:4).

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain

hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin

tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka

bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan,

rnelainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam

praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (low

enforcement ) yang baik (Fuady, 201 6 : 40). Jadi bekerjanya hukum bukan hanya

merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, rnalainkan aktifitas birokrasi

pelaksananya (Ali, 201 6 : 97).

Sependapat dengan M. Friedman, Sajtipto Rahardjo menyebutkan bahwa berbicara

soal hukum pada dasar nya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigrna hukum

yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental

hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum

meliputi substansi, stnlktur dan kultur hukum. Kesernuanya itu sangat berpenganih

terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita

artikan bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum

tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu benisaha untuk rnempertahankan dan

rnelindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Tingkat efektivitas hukum juga

ditentukan oleh beberapa tinggi tingkat kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan

hukum yang telah dibuat (Putri dkk, 20 l7:5)


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sebagaimana diketahui bahwa dalam penulisan suatu kar ya ilmiah, salah satu

komponen penentu sebagai suatu syarat metode yang dipergunakan untuk pencarian data karya

tulis ini adalah metode penelitian. Secara harfiah metode diartikan suatu jalan yang harus

diternpuh sebagai pen yelidikan atau penelitian berlangsung berdasarkan suatu rencana tertentu

(Ibrahim, 2016:26), sedangkan penelitian merupakan proses pencarian suatu pengetahuan yang

benar guna menjawab suatu pertanyaan atau ketidak tahuan tertentu (Sunggono, 20 l7:27).
Dengan demikian metr›de penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengernbangan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, yang bertujuan untu k mengungkapkan kebenaran

secara sistematis, metrxlelogis dan konsisten (Ali , 201 6: 17).

Menurut W inarmo, metode penelitian adalah “mengamati secara langsung atau

menyelidiki dari dekat kelapangan dengan membanding-bandingkan anata teori dan

prakteknya ” (Surachmad, 1970:56). Menurut Soetrisno Hadi yang dimaksud dengan metode

penelitian ialah suatu cara/metode untuk memberikan garis-garis yang cermat dan mengajukan

syarat-syarat yang keras, yang dimaksudnya ialah agar menjaga ilmu pengetahuan yang

dicapai dari suatu reo.term h dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi-tinggin ya (Hadi,

20 l7 : 4).

3J jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian proposal ini adalah jenis

penelitian Yuridis Ernpiris. Yang dimana yuridis art in ya hukum dilihat sebagai norma atau

aturan, karena didalam pembahasan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hu kum yang

tertulis maupun bahan- bahan hukum yang tidak tertulis. Sedangkan empiris artinya huku m

sebagai kenyataan di lapangan, ini dikarenakna dalam rilelaku kan penelitian menggunakan

data-data primer yang didapatkan melalui studi ke lapangan.

Jadi yuridis empiris adalah pemaduan atau penggabungan bahan-bahan huku m

(data skunder) dengan data primer yang didapatkan di lapangan.

3J jenis Pendekatan
Pendekatan merupakan cara pandang peneliti dalam memilih ruang bahasa yang diharap

mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya ilmiah. Berdasarkan pada

rumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang merupakan penelitian yuridis normatif, maka

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan

(suitur ‹if yro«h), dan pendekatan kasus (‹‹we ‹if yt oo‹ h) .

I . Pendekatan perundang-undangan (.trnrur oppr‹›a‹h) adalah pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pemasalahan (isu hu kum) yang sedang dihadapi. Dalam penelitian ini undang-undang

yang digunakan adalah Undang- Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Undang-U ndang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-

Undang Huku m Perdata

2. Pendekatan kasus (‹o.tr ‹ipp rem h ) adalah pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dihadapi yang

mana dalam hal ini adalah fenomena pelaksanaan perkawinan di bawah umur di desa

3.3 Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan proposal ini

bersumber dari sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. sumber

bahan hukum primer yang bersu mber dari penelitian langsung di lapangan, yaitu sumber

bahan hukum yang di peroleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari

responden maupun informan. Sumber bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam

penelitian hukum norinatif merupakan data sekunder yang diperoleh dari sumber

kepustakaan yang terdiri dari :


I . Bahan hukum primer merupakan bahan hokum yang mengikat atau yang

membuat orat-orang taat pada hoku m yang ada, seperti peraturan perundang-

undangan atau putusan hakim. Sedangkan dalam proposal ini bahan hoku m

yang penulis gunakan adalah Undang- Undang No. I Tahun 1974 tentang

perkawinan, awig-awig desa adat Jagaraga

2. Bahan hukum sekunder ineru pakan bahan hokum yang tidak mengikat tetapi

menjelaskan mengenai bahan hokum primer yang merupakan hasil olah

pemikiran atau pendapat para pakar hokum yang ahli dalam suatu bidang

tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana penelitian ini

akan mengarah. Bahan hokum sekunder ini bisa diperoleh dari buku-buku yang

berkaitan dengan hokum perkawinan, doktrin menegnai perkawinan, dan juga

internet.

3.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Teknik Observasi

Teknik observasi yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan

terhadap kondisi yang sebenarn ya yang terjadi di lapangan, peneliti tidak ikut

serta dalam pelaksanaan kinerja hanya saja mengamati secara langsung tanpa

mengambil tindakan apapun. Dalam tahap observasi ini peneliti melakukan

koordinasi dengan beberapa pihak diantaranya adalah dengan Din as

Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Aparatur Desa Jagaraga serta Pengadilan

Negeri Singaraja.

b. Teknik Wawancara
Adapun teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terbu ka yang

ditujukan untuk rnemperoleh informasi secara langsung ke narasumber dengan

mengajukan beberapa pertanyaan guna mendapat kan jawab an yang relevan

dengan masalah yang dihadapi peneliti. Dengan ini peneliti melakukan

wawancara dengan Bendesa Desa Jagaraga.

c. Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen ini dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan

pustaka yang relevan dengan penelitian ini, bahan-bahan yang du gunakan

beru pa buku-buku, peraturan desa jagaraga, jurnal-jurnal, tesis, serta tulisan-

tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.5 Teknik Azialisis Bahan I4ukum

Pengolahan data merupakan tahap dimana data dikerjakan dan di manfaat kan

sehingga berhasil mendapatkan kebenaran-kebenaran yang dapat digunakan untuk

menjawab permasalahan yang timbul dalam proposal ini. Pengolahan data dilakukan

dengan modelanalisis data secara kualitatif.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif.

Deskripsi merupakan penelitian eksplorasi dan rnemainkan peran yang amat penting dalam

inenciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang bebagai variabel sosial. Studi ini

disifatkan sebagai ekplorasi, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis, atau membuat

generalisasi sebagaimana yang di ungkapkan (Burhan, 20 I 7:69). Segala sesuatu yang

dinyatakan responden, baik secara tertulis maupun lisan serta perilaku nyata yang dipelajari

dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. dengan mengambil kesimpulan berdasarkan
pemikiran yang logis dari hasil wawancara dengan para informan maupun dari data yang

di peroleh dari studi kepustakaan dan analisis dalam bentuk deskriptif. Deskriptif analisis

yakni penyajian dengan menggainbarkan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan

inasalah yang di hadapi dan kemudian di analisa untuk mendapatkan kebenaran serta

berusaha memahami kebenaran tersebut dengan memperhatikan fenomena hu kum yang

terjadi pada mas yarakat.


BAB IV

HASIL DAN PEMB AHASAN

4.1 C.ambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Kondisi Umum Desa Jagaraga

Jagaraga adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sawan, Kabupaten

Buleleng, Provinsi Bali, Indonesia. Desa ini memiliki rata-rata ketinggian 1 25 meter dari

permukaan laut. Penduduk desa Jagaraga berju mlah 2.657 jiwa terdiri dari 1.326 laki-

laki dan I .33 I perempuan yang tersebar ke dalam lima Banjar, yaitu Banjar Kangin

Teben, Kauh Teben, Kangin Luan, Kau h Luan, dan Triwangsa. Mayoritas penduduk

Desa Jagaraga bermata pencaharian sebagai petani (bulelengkab.go.id).

4.1.1J Se jarah Desa Jagaraga

Awal nama Desa Jagaraga adalah I agat Sari yang berarti daerah hamparan bunga,

wilayah Jagat Sari sebenarnya wilayah 2 (dua) desa yang terdahulu ada yaitu Desa

Menyali disebelah selatan dan Desa Bungkulan disebelah utara. Data-data peninggalan

desa-desa tersebut masih ada sekarang ini yaitu antara lain : Pura Puseh Menyali, yang

berada disebelah tiinur Pura Dalem Desa Pakrainan Jagaraga, sedangkan Pura Subak

Bungkulan, yang berada disebelah barat Pura Dalem Desa Pakraman Jagaraga

(bulelengkab.go.id).

Perubahan nama dari Jagat Sari menjadi Jagaraga, berawal dari kejadian hilangnya

penari rejang dewa yang berada paling terakhir pada setiap upacara piodalan di Pura
Puseh Menyali, melalui suatu pengamatan yang seksama, diketahuilah penari rejang

dewa itu diambil oleh seorang pertapa digoa sebuah lereng tukad/sungai gelung sangsit

dekat banjar abasan, yang mana petapa tersebut mernperaktikkan ajian ilmu hitam

penguat raga melalui darah seorang gadis perawan.

Untuk menjaga keselamatan diri masing-masing warga/penduduk Jagat Sari

disekitar pada masa itu agar selalu rna was diri / jagra (Jaga-Ragane) , agar tidak

terganggu kehidupannya sehari-hari. Keadaan ini berlangsung lama, sampai akhirnya

penguasa Buleleng Timur, dalam hal ini adalah Ki Pasek Bulian, mengutus seorang yang

dianggap mampu mengatasi perusuh dari petapa itu. Beliau bernarna 1 Gusti Tarnbahan,

beliau sebenarnya berasal dari daerah Bangli, dalam perpindahannya ke Denbu kit

(Buleleng), beliau telah berjasa pada Ki Pasek Bulian hingga diberikanl ah suatu daerah

baru dan selanjutnya bernarna Desa Kubutarnbahan.

Melalui usaha yang keras dapatl ah 1 Gusti Tarnbahan inembunuh pertapa itu serta

nama I agat Sari setelahnya berkembang serta diganti namanya menjadi Jagaraga.

4.1 J Kantor Perbekel Desa Jagaraga

Kantor Perbekel Desa Jagaraga terletak di Banjar Kauh Teben, Desa Jagaraga,

Kecamatan Sawan, Kabu paten Buleleng. Kantor Perbekel Desa Jagaraga memiliki stru

ktur keorganisasian sebagai berikut :

1. Perbekel

2. Sekretaris Desa

a. Kaur Tata Usaha

b. Kaur Keuangan

c. Kaur Perencanaan
3. Kasi Pemerintahan

4. Kasi Kesejahteraan

5. Kasi Pelayanan

6. KBD. Kangin Luan

7. KBD. Kauh Luan

8. KBD. Triwangsa

9. KBD. Kangin Teben

10. KBD. Kauh Teben

Adapun Visi dan Misi Desa Jagaraga sebagai berikut :

VISI

Visi Desa ataupun cita-cita yang ingin dicapai masyarakat Desa Jagaraga adalah “

TERW UJU DNY A DESA JAGARAGA YANG BERSIH, SEHAT, DAMA1 DAN

SET AHTERA MEN UJ U PEMBANGUNAN YANG BERKELANJ UTAN DAN

BERK MW AL1TAS “

MISI

Misi Pembangunan Desa Jagaraga tahun 20 I I — 2015, dalam mencapai cita — cita

masyarakat yang terkait Visi tersebut diatas, dengan cara menggali, mernbangun, serta

mengembangkan bidang pntensi yang berkuwalitas seperti bidang lingkungan,

kesehatan, sarana prasarana, pertanian, pendidikan, seni budaya, dan ekonomi.

Yang mana misi tersebut adalah sebagai berikut :

I . Menjaga dan mernpertahankan kebersihan lingkungan desa secara menyeluruh

agar tetap indah, nyarilan dan asri.


2. Mewujudkan Pemerintah Desa Jagaraga, yang efektif dan efesien dalam rangka

mengoftimalkan pelayanan kepada rnasyarakat.

3. Meningkatkan derajat hidup masyarakat melalui upaya peningkatan pelayanan

kesehatan desa.

4. Memperkokoh persatuan dan kesatuan mas yarakat.

5. Memperbaiki sarana dan prasarana yang ada, dan pengernbangannya sebesar-

besarn ya untuk kepentingan masyarakat umum.

6. Mengembangkan sektor pertanian dan sektor usaha industri kecil / rumah

tanggal yang berwawasan lingkungan.

7. Perbaikan pola dan mutu pendidikan serta perbaikan sarana prasarana

pendidikan yang ada.

Menghidupkan dan meningkatkan kernbali kegiatan lembaga- lembaga

kemasyarakatan yang ada didesa.

4.1.3 Pengadilan Negeri Singaraja Kelas II A

Pengadilan Negeri Singaraja merupakan Peradilan Tingkat Pertama yang berada

dibawah kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu penyelenggara

penegakan hukum di Indonesia, dalam hal ini Pengadilan Negeri Singaraja sebagai birokrasi

penyelenggara kekuasaan kehakiman. Sebagai unit kerja yang berada dibawah Mahkamah

Agung, Pengadilan Negeri Singaraj a mempunyai visi : “Mewujudkan Pengadilan Negeri

Singaraja Yang Agung”.

Secara umum kebijakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Singaraja dalam

melaksanakan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan Peradilan Tingkat

Pertama, baik yang bersifat adininistratif, keuangan dan organisasi mengacu pada Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan, Lembaga Mahkamah Agung Rl sebagai

salah satu institusi Negara/Kepemerintahan sesuai dengan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor Xl/MPR/1998 tentang Pen yelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas Koru psi, Kolusi dan Nepotisme dan 1nstru ksi Presiden N ornor 7 Tahun

1999 tentang Akuntabilitas Kinerja lnstansi Pemerintah, berkewajiban untuk

mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas, fungsi dan peranannya dalam pengelolaan

sumberdaya, dan su mber dana serta kewenangan yang ada yang dipercayakan kepada

public.

4.1.3.1 Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi

1.Kedudukan Pengadilan Negeri Singara,ja

Pengadilan Negeri Singaraja merupakan pengadilan tingkat penama dalam wilayah

yurisdiksi Pengadilan Tinggi Bali dan berpuncak pada Mahkamah Agung Republik

Indonesia. Pengadilan Negeri Singaraja belugas dan berwenang memeriksa, mernutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pert ama di wilayah hukum Kabupaten Buleleng.

Pengadilan Negeri Singaraja beralamat di Jalan Kartini No. 2, Telpon (0362) 21445.

2.Tugas Pokok dan Fungsi

Pengadilan Negeri Singaraja merupakan lingkungan peradilan umum di bawah

Mahkamah Agung Rl sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan Hukum dan Keadilan, Pengadilan Negeri

Singaraja sebagai kawal depan (Vonrj pnst) Mahkamah Agung, bertugas dan berwenang

menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang masuk di tingkat pertama

di wilayah hukum Kabupaten Buleleng. Disamping tugas pnkok tersebut, masih ada tugas-

tugas lain yang oleh peraturan perundang-undangan yang diamanatkan kepada Pengadilan
Negeri untuk melaksanakan tugas non kedinasan. Tugas-tugas tersebut antara lain

Kemuspidaan, IKAHI, Dharmayukti, Koperasi, Olahraga/PTWP dan lain sebagainya

Dalam Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Singaraja terdiri dari :

1. Pirnpinan Pengadilan Negara yang dipimpin oleh seorang Ketua dan seorang Wakil

Ketua.

2. Hakim adalah Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

3. Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh

seorang Panitera.

4. Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh

seorang Sekretaris.

5. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera dibantu oleh 3 (tiga) orang Panitera Muda

yaitu Panitera M uda Perdata, Panitera Muda Pidana, dan Panitera Muda Hukum.

Disainping itu Panitera juga dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti dan

beberapa orang Jurusita/Jurusita Pengganti.

6. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh seorang 3 (tiga) orang

Kasub.Bag. yaitu Kasub.Bag. Perencanaan, Teknologi Informasi, dan Pelaporan ;

Kasub.Bag. Kepegawaian, Organisasi dan Tata Laksana; dan Kasub.Bag. Umum dan

Keuangan

4d Hasil Penelitian

4.2.1 Faktor Yang Melatarbelakangi Masyarakat Desa Jagaraga Tidak Meminta Surat

Dispensasi Perkawinan Dalam Nfelaksanakan Perkawinan Dibawah \Jmur

Berbicara mengenai dilaksanakan perkawinan di bawah umur tanpa dimintakan

surat permohonan dispensasi ke Pengadilan yang banyak terjadi di Desa Jagaraga,


tentunya terdapat faktor yang melatarbelakangi terjadinya fenomena tersebut. Adapun

hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Perbekel Desa Jagaraga, Bapak N yoman

Partha S.H., menyatakan bahwa adapun faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa

Jagaraga tidak meminta surat dispensasi ke Pengadilan dalam melaksanakan

perkawinan di bawah umur sebagai berikut (Partha, Wawancara 1 2 Juni 2020):

I . Faktor Ekonomi, bahwa dalam memohon surat dispensasi ke Pengadilan

rnembutuhkan biaya, hal ini mernberatkan masyarakat untuk memohon surat

dispensai tersebut, dikarenakan tidak memiliki cuku p biaya untuk rnemohon

surat dispensasi tersebut.

2. Faktor Waktu, bahwa dalam memohon surat dispensasi ke Pengadilan

rnembutuhkan waktu yang cukup larna untuk mendapatkannya, sehingga hal

tersebut menghambat pelaksanaan perkawinan dan masyaarakat tidak sabar

dengan hal tersebut.

3. Faktor Bantuan Aparat terkait yang terkesan lambat dan berat sebelah. Aparat

yang dimaksud disini adalah Pengadilan yang mana bantuan dalam rnenangani

permohonan terbilang lambat dan terkesan berat sebelah. Mereka lebih

rnementingkan masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik

daripada masyarakat yang han ya rnengandalakan persidangan secara prrxleo

4. Faktor Kehendak Orangtua yang ingin segera menikahkan anaknya untuk

rnenghindari adanya persepsi negatif dari mas yarakat. Mereka takut akan aib

keluarga mereka jika telah hamil di nluar nikah. Oleh karena itulah, para Orangi

ua
rnenyegarakan pelaksanaan perkawinan tersebut ineskipun tanpa adan ya surat

permohonan dispensasi dari Pengadilan.

5. sebagian masyarakat tidak mengetahui bahwa adanya aturan yang mengatur

mengenai perkawinan di bawah umur harus dimintakan surat permohonan

dispensasi untu k dilaksanakannya perkawinan. Sehingga dengan ketidaktahuan

tersebut masyarakat berspekulasi bahwa perkawinan di bawah umur tetap dapat

dilaksanakan selama itu sesuai dengan adat dan kepercayaan agama masing-

making.

6. Minimnya sosialisasi dari aparatur desa mengenai syarat-syarat perkawinan yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang Perkawinan

mengenai batas u mur melaksanakan perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat

Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang peneliti lakukan dengan sebagian

masyarakat yang melaksanakan perkawinan di bawah umur. Mereka menyatakan bahwa

selama ini mereka tidak pernah tahu adanya suatu aturan yang mengatur mengenai

pelaksanaan perkawinan di bawah umur harus diinintakan surat permohonan dispensasi

ke Pengadilan untu k dilaksanakannya perkawinan tersebut.

Sebagian masyarakat yang mengetahui adanya aturan tersebut menyatakan bahwa

mereka tetap melaksanakan perkawinan di bawah umur tanpa dimintakan surat

permohonan dispensasi tersebut dikarenakan untuk mendapatkan surat tersebut

membutuhkan waktu yang terbilang cukup larna dan membutuhkan biaya yang tidak

murah.
4JJ Efektifitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Dalam

Pemberian Dispensasi Perkawinan Dibawah Llmur di Desa Jagaraga

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah terkait adanya

banyak pelaksanan perkawinan di bawah umur tanpa adanya surat dispensasi, yang mana

dalah hal ini terjadi di Desa Jagaraga dan memberi kesan tidak dipatuhinya syarat-syarat

perkawinan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan, maka perlu adanya suatu penelitian mengenai efektifitas Undang-U ndang

Undang- Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang Perkawinan tersebut di Desa Jagaraga.

Adapun hasil wawancara yang penelit i lakukan dengan Perbekel Desa Jagaraga dan

beberapa masyarakat yang melaksanakan perkawinan di bawah umur menunjukan fakta

bahwa rnemang benar fenomena pelaksanaan perkawinan di bawah u mur banyak terjadi

di desa Jagaraga tanpa adanya surat dispensasi dari Pengadilan.

Kantor Perbekel Desa Jagaraga, Nyornan Partha S.H. sebagai Perbekel Desa

Jagaraga menyatakan bahwa di Desa Jagaraga sendiri perkawinan di bawah u mur

bukanlah menjadi hal yang tabu lagi, rnelainkan sudah menjadi hal yang wajar di

kacamata mas yarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan perkawinan di

bawah umur di Desa Jagaraga sendiri memang banyak terjadi, yang mana dalam hal ini

tersebar di setiap banjar yang ada di Desa Jagaraga. Banjar Triwangsa sebanyak 8 KK,

Kangin Teben 16 KK, Kau h Luan sebanyak 41 KK, Kangin Luan sebanyak 17 KK, dan

Kauh Teben 36 KK. Berbicara mengenai pelaksanaan perkawinan di bawah umur di Desa

Jagaraga dilaksanakan sesuai dengan adat dan agama hindu. Terkait dilaksanakannya

perkawinan di bawah u mur di desa Jagaraga tanpa adanya surat dispensasi memang

benar adanya dan perkawinan ini tetap dilaksanakan ineskipun tanpa adanya surat

dispensasi
tersebut. Kami sebagai aparatur desa mengetahui bahwa hal tersebut mernang tidak

sesuai dengan ketentuan dalam U ndang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perkawinan Pasal 7 Ayat I yang menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, kami tetap melaksanakan

perkawinan tersebut karena rnelihat dari segal a aspek dan pertimbangan. Adapun aspek

dan pertimbangannya sebagai berikut (Partha, Wawancara 1 2 Juni 2020) :

I . Proses permohonan dispensasi membutuhkan waktu yang lama dan biaya.

sementara masyarakat tidak mampu untu k membayarnya dan tidak sabar untuk

melaksanakan perkawinan.

2. Perkawinan di bawah umur banyak terjadi karena disebabkan pihak wanita sudah

hamil terlebih dahulu, sehingga untuk dimintakannya surat dispensasi

membutuhkan waktu yang cukup lama dan dikhawatirkan pihak wanita sudah

melahirkan sebelum dilaksanakannya perkawinan dan hal ini nantinya ditakutkan

menimbulkan persepsi negatif di masyarakat dan tentunya hal ini akan berdampak

pada kondisi mental pihak wanita.

Beliau menambahkan adapun penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur di

Desa Jagaraga adalah dikarenakan beberapa hal, antara lain Hamil di luar nikah,

kekhawatiran orangtua terhadap anaknya, dan keinginan orangutua untuk segera

menikahkan anaknya untuk rnenghindari hal yang tidak diinginkan (Partha, Wawancara

1 2 Juni 2020).

Terkait pelaksanaan perkwinan di bawah umur tanpa dirnintakan surat dispensasi

ke Pengadilan tersebut juga dinyatakan oleh beberapa masyarakat yang melakukan

perkawinan di bawah umur. Mereka menyatakan bahwa memang benar kami melakukan
perkawinan di bawah umur tanpa dimintakannya surat permohonan dispensasi,

mengingat hal tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga kami tetap

melaksanakannya selama perkawinan itu dilaksanakan sesuai dengan adat desa dan

kepercayaan agama kami masing-masing. Kami mengetahui perkawinan di bawah u mur

tanpa dimintakannya surat permohonan dispensasi memiliki tanggungjawab ketika

perkawinan itu nantinya tidak dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil, namun kita balik

lagi bahwa mengenai hal tersebut bisa dilakukan di kemudian hari. Disamping itu juga

kami melaksanakan perkawinan tersebut untuk menghindari persepsi negatif di

masyarakat ( Wawancara 1 2 Juni 2020).

Namun setelah peneliti melakukan wawancara dengan masyarakat lain mereka

menyat akan bahwa mereka tidak mengetahui adanya aturan yang mengatur mereka

untuk meminta surat permohonan dispensasi ke Pengadilan ketika akan dilaksanakannya

perkawinan di bawah umur, mengingat mereka dalam huku m belum dianggap sebagai

cakap hukum.

4d Pembahasan

4.3.1 Faktor Yang Melatarbelakangi Masyarakat Desa Jagaraga Tidak Meminta Surat

Dispensasi Perkawinan Dalam h4elaksanakan Perkawinan Dibawah \Jmur

Aturan mengenai dispensasi untuk dilakukannya perkawinan di bawah u mur

diatur dalam Pasal 7 Undang-U ndang N oinor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan, hal

ini sebagaimana telah diuraikan sebelurnnya. Dalam hukum kausalitas (sebab-akibat)

telah dianut suatu prinsip bahwa suatu aturan hukum itu dilanggar, pasti ada sebab dan

akibat yang ada. Hal ini juga berlaku untuk fenomena masyarakat Desa Jagaraga yang
dalam hal ini tidak meminta surat dispensasi perkawinan dalam melaksanakan

perkawinan di bawah umur.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan mengenai definisi

faktor itu sendiri, faktor adalah hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan

(mernpengaruhi) terjadin ya sesuatu (kbbi.web.id). berbicara mengenai faktor yang

melatarbelakangi masyarakat desa Jagaraga tidak meminta surat dispensasi Perkawinan

dalam melaksanakan perkawinan di bawah umur, tak terlepas dari hasil wawnacara

yang peneliti lakukan dengan Perbekel Desa Jagaraga dan Masyarakat yang

melaksanakan perkawinan di bawah umur tersebut. Adapun berdasarkan hasil

wawancara yang diperoleh, terdapat beberapa factor yang melatarbelakangi terjadinya

fenomena tersebut, antara lain sebagai berikut :

1. Kurangnya Kesadaran Hukum Mayarakat.

Sebagian Masyarakat tidak mengetahui adanya aturan hukum yang mengatur

mengenai pelaksanaan perkawinan di bawah umur, sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 U ndang- Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Faktor Ekonomi

bahwa dalam memohon surat dispensasi ke Pengadilan membutuhkan bi aya,

hal ini memberatkan masyarakat untuk memohon surat dispensai tersebut,

dikarenakan tidak memiliki cukup biaya untuk memohon surat dispensasi

tersebut.

3. Faktnr Waktu
bahwa dalam memohon surat dispensasi ke Pengadilan membutuhkan waktu

yang cukup lama untuk rnendapatkannya, sehingga hal tersebut menghambat

pelaksanaan perkawinan dan masyaarakat tidak sabar dengan hal tersebut.

4. Faktor Bantuan Aparat

Yang dimaksud disini adalah dalam hal mengurus administrasi permohonan

dispensasi yang terkesan lambat dan berat sebelah. Aparat yang dimaksud

disini adalah Pengadilan yang mana bantuan dalam menangani permohonan

terbilang lambat dan terkesan berat sebel ah. Mereka lebih mementingkan

masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik daripada

masyarakat yang hanya mengandalakan persidangan secara prodeo (cu ma-

cum a).

5. Faktor Kehendak Orangtua

Kehendak orangtua yang ingin segera menikahkan anaknya untuk menghindari

adanya persepsi negatif dari rnasyarakat. Mereka takut akan aib keluarga

mereka jika telah hamil di luar nikah. Oleh karena itulah, para Orangtua

menyegerakan pelaksanaan perkawinan tersebut meskipun tanpa adanya surat

permohonan dispensasi dari Pengadilan.

h. Kur angnya Snsialisasi dari Aparatur Desa

Kurangnya sosialisasi dari aparatur desa mengenai Undang- Undang N ornor

16 Tahun 2019 tentang Perkawinan khususnya Pasal 7 mengenai batas u mur

pelaksanaan perkawinan di bawah umur menjadi salah satu factor yang

mengakibatkan banyaknya fenomena perkawinan di bawah umur tanpa

dimintakann ya surat dispensasi ke Pengadilan di Desa Jagaraga.


4.3 J Efektifitas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam

Pemberian Dispensasi Perkawinan Dibawah Umur di Desa Jagaraga

Efektivitas penerapan suatu aturan di pengaruhi oleh berbagai faktor, seperti

yang dinyatakan oleh Sr›erjono Soekanto dalam Teori Efektivitas Hukum yaitu,

efektif atau tidaknya suatu aturan hukum di pengaruhi oleh faktor-faktor berikut

ini, Pertama ; faktor hukurnnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak

hukum, yakni pihak-pihak yang rnembentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga ;

faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor

masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

Kelirna ; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Selain itu merujuk pada

rr‹›ri yrin‹iy/r ‹› rJr‹rim rnr.t.t dari Hans Kelsen, dimana realitas hukum artinya

seharusnya orang bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum.

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi efektif atau tidaknya suatu aturan

hukum menurut Soerjono Sr›ekanto akan dikaji efektif tidaknya aturan dispensasi

yang terinuat dalam U ndang-U ndang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang

Perkawinan (lrwansyah,20l 5).

Efektivitas hukum jika ditinjau dari aspek sosial yuridis dapat mengkaji

efektivitas penerapan aturan dispensasi pada Undang-U ndang Nomor 1 6 Tahun

2019 tentang Perkawinan baik dari segi materi hukuinnya, perangkat hukum,

fasilitas pendukung pelaksanaan hukum serta kepatu han hukum dan prilaku

masyarakat.Pandangan ini sesuai dengan landasan teori yang dikemukakan oleh

soerjono soekanto bahwa berlakunya aturan hukum secara efektif ditentukan oleh
keserasian empat indikator yaitu hukum atau peraturan itu sendiri, rnetalitas

petugas pelaksana hukum,fasilitas pendukung pelaksana hukum, dan kesadaran

huku m, kepatuhan huku m dan prilaku masyarakat (Hilman, 23:2018).

Selain itu adanya ketegasan sanksi dari suatu aturan dapat rnenunjang

efektifnya suatu aturan. Seperti yang dikernukakan oleh Leopold Pospisil

rnenentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus

dikeluarkan dengan sanksi yang berdasar pada kekuasaan masyarakat yang n yata

( Ali, 2017:20).

Adapun pengkajian mengenai efektif tidaknya aturan dispensasi yang

termuat dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 201 9 tentang Perkawinan di

Desa Jagaraga dalam pelaksanaan perkawinan di bawah u mur antara lain sebagai

berikut. Dilihat dari segi aturannya dispensasi termuat dalam Undang-U ndang

Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat I . Adapun bun yi

aturannya sebagai berikut :

Pasal 7

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun.

2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita

dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak

disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.


Dalam hal penyimpangan terhadap ayat ( 1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak pria maupun pihak wanita.

Menurut pasal tersebut, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan

wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena

jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk rnelangsungkan perkawinan

maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

orangtua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak

rnenentukan lain.

Selain itu juga dalam agama hindu terdapat aturan yang mengatur

perkawinan di bawah umur, hal tersebut diatur dalam Manava Dharmasastra

lX.59-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia

layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orangiuanya hingga akhir

hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suarni yang memiliki sifat yang baik

atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak

untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suarni

yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah

1S tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkananaknya setelah berumur

21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2015:34).

Kedua aturan tersebut telah mengkonfirmasi bahwa syarat sahnya suatu

perkawinan adalah telah mencapai cukup umur yang layak untuk melaksanakan

perkawinan, namun apabila telah rnenyimpangnya dapat dimintakan surat

permohonman dispensasi ke Pengadilan. Namun fakta yang terjadi di Desa


Jagaraga berdasarkan hasil wawnacara yang diperoleh dari Perbekel Desa

Jagaraga dan juga sebagian masyarakat yang melaksanakan perkawinan di bawah

umur tetap melaksanakan perkawinan tersebut tanpa meminta surat dispensasi ke

Pengadilan walaupun dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

perkawinan Pasal 7 rnengatur secara detail terkait pelaksanaan perkawinan di

bawah umur diharuskan untuk meminta surat dispensasi ke Pengadilan. Hal ini

sudah terlihat jelas bahwa baik aparatur desa maupun masyarakat telah melanggar

ketentuan Pasal 7 U ndang-Undang Nomor 1 6 Tahun 201 9 tentang perkawinan

dan hal ini menandakan bahwa aturan dispensasi yang terdapat dalam Undang-

Pasal 7 U ndang-Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan belum

efektif di rnasyarakat Desa Jagaraga.

Dari wawancara yang peneliti laku kan dengan Perbekel Desa Jagaraga

didapati pengakuan bahwa penerapan aturan dispensasi belu m berjalan efektif.

Hal ini disebabkan karena ketidaktegasan aparatur desa dalam memberikan

pengarahan kepada masyarakat. Aparatur desa tidak seharusnya memperbolehkan

begitu saja dilakukannya perkawinan dibawah u mur tanpa adanya surat

dispensasi tersebut. Hal yang harus dil akukannya adalah rnembimbing dan

rnengarahkan rnasyarakat untuk mematuhi aturan dispensasi yang adalam undang-

undang dan inengarahkan masyarakat untu k meminta surat permohonan

dispensasi tersebut ke Pengadilan. Hal ini menandakan bahwa belum efektifnya

aturan dispensasi yang termuat dalam Pasal 7 U ndang-U ndang N ornor 1 6

Tahun 201 9 tentang perkawinan juga disebabkan karena faktor aparatur desa dan

masyarakat itu sendiri.


Dilihat dari faktor kebudayaannya, dapat dilihat dari hasil wawancara yang

peneliti lakukan dengan rnasyarakat desa Jagaraga dan Perbekel Desa Jagaraga

yang menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur yang terjadi di desa Jagaraga

rneru pakan hal yang wajar dan sudah terbiasa terjadi di mas yarakat, dapat

dikatakan sudah menjadi kebudayaan masyarakat itu sendiri. Hal ini menandakan

bahwa kebudayaan yang sudah rnelekat di masyarakat itu sendiri sudah

rnenyebabkan belum efektifnya aturan dispensasi yang termuat dalam Pasal 7

Undang- Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang perkawinan (Partha, Wawancara

1 2 Juni 2020).

Berbicara mengenai dispensasi perkawinan ke Pengadilan, Permohonan

dispensasi perkawinan diajukan oleh orang tua calon mempelai yang belum cukup

umur ke Pengadilan wilayah hukum pemohon, setelah memeriksa dalam

persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang rnemungkinkan untuk

diberikan dispensasi perkawinan dibawah umur dengan suatu penetapan. Proses

beracara terhadap permohonan dispensasi ini menggunakan proses acara perdata

yang biasanya disebut perkara rr›/unrnir, dimana dalam perkara olunt‹iir yang

terlibat dalam permohonan hanya sepihak yaitu pemohon sendiri maka, proses

pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte ( Harahap,

2016 :34).

Berdasarkan apa yang telah diuraikan tersebut, telah jelas bahwa aturan

dispensasi dalam Pasal 7 U ndang -Undang Nomor 1 6 Tahun 2019 tentang

perkawinan belum efektif berjalan di Desa Jagaraga hal ini dikarenakan oleh

Aparat yang menerapkan aturan hukum tersebut belum menjalankan sepenuhnya


aturan yang terrnuat dalam Undang- Undang Perkawinan dan juga

berkembangnya suatu budaya hukum yang menganggap bahwa perkawinan di

bawah umur tanpa adanya surat dispensasi merupakan hal yang wjar dilakukan.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

I . Faktor yang rnelatarbelangi Masyarakat Desa Jagaraga Tidak Meminta Surat Dispensasi

Perkawinan Dalam Melaksanakan Perkawinan Dibawah Umur disebabkan oleh beberapa

faktor yakni kurangnya kesadaran hukum masyarakat akan aturan yang ada, faktor

ekonomi dan waktu yang dalam hal ini membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama

untuk mendapatkan surat dispensasi tersebut, faktor bantuan aparat yang terkesan lambat

dan be rat sebelah, serta faktor kehendak orangtua yang ingin segeran mengawinkan

anaknya.

2. Penerapan Aturan dispensasi perkawinan bagi perkawinan di bawah umur yang termuat

dalam Pasal 7 U ndang-U ndang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan belum efektif

diterapkan di Desa Jagaraga. Tidak Efektifnya aturan tersebut dikarenakan oleh dua hal

yaitu ditinjau dari segi aparatur yang menerapkan aturan tersebut dan Kebudayaan Huku m

di rnasyarakat. Ditinjau dari segi aparatur yang menerapakan aturan hukiurn tersebut, Hal

ini sebagaimana diperoleh dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Perbekel

Desa Jagaraga yang menyatakan memang benar bahwa sebagian masyarakat ada yang

melakukan perkawinan di bawah umur tanpa meminta surat dispensasi ke Pengadilan dan

pengakuan bahwa penerapan aturan dispensasi belu m berjalan efektif. Hal ini disebabkan

karena ketidaktegasan aparatur desa dalam memberikan pengarahan kepada masyarakat.

Kemudian dilihat dari segi Budaya Hukumnya, dapat dilihat dari hasil wawancara yang
peneliti lakukan dengan masyarakat desa Jagaraga dan Perbekel Desa Jagaraga yang

menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur yang terjadi di desa Jagaraga merupakan

hal yang wajar dan sudah terbiasa terjadi di masyarakat, dapat dikatakan sudah menjadi

kebudayaan masyarakat itu sendiri.

5.2 Saran

I . Bagi aparatur desa untuk kedepannya seharusnya harus bertindak tegas dalam

memberikan arahan kepada masyarajat terkait akan dilaksanakannya perkawinan di

bawah umur dan seharusnya memberikan pengarahan yang tepat. dengan begitu aturan

dispensasi tersbeut akan berjalan efektif sesuai dengan aturan yang berlaku dan realita

keadaan mas yarakat, dan bila perlu memberikan sanksi terhadap rnasyarakat yang

melanggar aturan tersebut seperti tidak memberikan izin untuk dilakukannya

perkawinan.

2. Bagi masyarakat seharusnya rnngetahui dan tunduk terhadap aturan yang ada sehingga

kedepannya tidak menimbulkan akibat hukum yang kan merugikan bagi dirinya sendiri

dan masyarakat dituntut untuk rnembuka wawasannya tentang huku m dan aturan yang

berlaku baik aturan itu bersifat nasional, daerah maupun adat.


EFEKTIFITAS PEMBERIAN DISPENSASI PERKAWINAN OLEH
PENGADILAN NEGERI SINGARAJA TERHADAP
PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DESA JAGARAGA
ORIGINALITY REPORT

17 %
SIMILARITY INDEX
17% 6% 15%
INTERNET SOURCES PUBLICATIONS STUDENT PAPERS

PRIMARY SOURCES

1 dokumen.tips
Internet Source 3%
2 pn-negara.go.id
Internet Source 2%
3 otakotakblog.blogspot.com
Internet Source 2%
4 indonesian-usdmarkets.blogspot.com
Internet Source 1%
5 syamsul89.blogspot.com
Internet Source 1%
6 fh.unram.ac.id
Internet Source 1%
7 jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id
Internet Source 1%
8 media.neliti.com
Internet Source 1%
9
pn-timikakota.go.id
Internet Source 1%
10
repository.unpas.ac.id
Internet Source 1%
11
mafiadoc.com
Internet Source 1%
12
khoreanita.blogspot.com
Internet Source 1%
13
Submitted to Universitas Islam Indonesia
Student Paper
1%
14
ejournal.uin-suska.ac.id
Internet Source
1%
15
www.basishukum.com
Internet Source
1%

Exclude quotes On Exclude matches < 1%


Exclude bibliography On

Anda mungkin juga menyukai