Anda di halaman 1dari 95

PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA PAKISTAN

DALAM PENEMBAKAN PESAWAT UDARA MILITER


INDIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM
UDARA INTERNASIONAL

Diajukan Oleh :
Jilal Aqli
NIM 1614101049

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2020
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA PAKISTAN
DALAM PENEMBAKAN PESAWAT UDARA MILITER
INDIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM
UDARA INTERNASIONAL
Oleh
Jilal Aqli, NIM 1614101049
Program Studi Ilmu Hukum

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
pertanggungajawaban negara Pakistan dalam penembakan pesawat udara militer
India ditinjau dari perspektif hukum udara internasional dan pengaturan pesawat
militer India dalam Konvensi Chicao 1944. Penelitian ini merupakan penelitian
yang menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan jenis
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun bahan hukum
digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang berguna untuk
mendapat konklusi yang relevan dengan permasalahan pada penelitian ini. Hasil
penelitian menunjukan bahwa 1) pengaturan pesawat militer India dalam
Konvensi Chicao 1944 dikategorikan sebagai pesawat militer (pesawat negara)
jenis pencegat MiG-21 Bison yang memang digunakan untuk keperluan militer,
polisi dan bea cukai, yang dalam hal ini tidak memiliki hak untuk melakukan
penerbangan di atas wilayah udara negara lain sebelum mendapatkan izin terlebih
dahulu dari negara yang bersangkutan, 2) Selanjutnya mengenai
pertanggungjawaban negara Pakistan dalam penembakan pesawat militer India,
bentuk tanggung jawab yang harus diberikan adalah berupa penghentian
perbuatan, permintaan maaf dan tindakan perbaikan dalam bentuk restitusi, yakni
memperbaiki seperti semula pesawat militer India yang ditembaknya dan
memberikan perlindungan terhadap pilot yang ditangkapnya, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 Draft ILC.

Kata Kunci : Pesawat MiG-21 Bison, Penembakan Pesawat, Pertanggungjawaban,


dan Pesawat militer
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah yang berisikan asas

hukum yang di dalamnya mengatur hubungan yang dapat melewati lintas

batas Negara. Dalam hukum internasional dikenal dengan adanya hubungan

internasional. Hubungan internasional ini biasanya dilakukan oleh subjek

hukum dalam hukum internasional, baik dilakukan antar negara, negara

dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional lainnya. Pada

dasarnya hubungan yang dilakukan tersebut tak selamanya berjalan dengan

baik. Terkadang hubungan tersebut menimbulkan sengketa yang beragam.

Sengketa tersebut dapat bermula dari berbagai sumber sengketa .

Adapun sumber sengketa yang menyebabkan perselisihan antar Negara

antara lain dapat berupa sengketa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan

lingkungan, perdagangan dan lain-lain. Namun di sisi lainnya, adanya

hubungan internasional yang dilakukan antar negara ini tak lain digunakan

sebagai kesempatan untuk mengembangkan kemerdekaannya dan untuk

memperjuangkan kepentingan-kepentingannya dalam dunia internasional, hal

ini dikarenakan berkaitan erat dengan upaya membangun kerangka hubungan

yang kondusif dan tertib di dalam suatu masyarakat.

1
Tatanan dinamika dan mekanisme dalam hubungan internasional

yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional tidak terlepas dari

gesekan-gesekan yang terkadang melahirkan suatu sengketa internasional

(Sitepu, 2011), salah satu sumber sengketa yang dapat memicu konflik antar

negara adalah sengketa dalam hal udara yang dalam hal ini pada biasanya

mengenai penerbangan. Hukum udara dalam hukum internasional dikenal

dengan beberapa istilah antara lain hukum udara (air law), hukum

penerbangan (aviation law/ aerial law), hukum navigasi udara (air navigation

law), hukum transportasi udara (air transportation law) dan hukum

aeronautika (aeronautical law). Secara internasional belum ada kesepakatan

baku atas pengertian hukum udara. Namun pada hakikatnya hukum udara

merupakan keseluruhan peraturan hukum tertulis dan atau tidak tertulis yang

merupakan tatanan suatu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan

wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi

penerbangan, keselamatan dan keamanan lingkungan hidup, serta fasilitas

penunjang dan fasilitas umum lainnya (Pramono, 2011:8).

Hukum udara mengatur mengenai suatu kedaulatan negara khususnya di

wilayah udara. Wilayah udara suatu negara dalam hukum udara dibagi ke

dalam beberapa wilayah, yakni ruang udara yang ada di wilayah daratan,

wilayah laut pedalaman, laut teritorial dan juga wilayah laut negara kepulauan.

Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat

utuh dan penuh. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago

1944 yang menegaskan bahwa setiap negara berdaulat mempunyai kedaulatan

yang utuh dan penuh. konsekuensi dari prinsip kedaulatan ini adalah tidak ada
2

pesawat udara yang terbang di atau ke atau melalui ruang udara nasional

negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu, betapapun tinggi

rendahnya pesawat itu melakukan penerbangan. Ditinjau dari segi pertahanan

dan keamanan negara, ruang udara memiliki sifat tertutup, hal ini dikarenakan

udara sebagai media gerak yang rawan untuk terjadinya suatu pelanggaran

(Wiradipradja, 2014:101).

Pelanggaran wilayah udara dapat terjadi pada suatu keadaan dimana suatu

pesawat terbang baik pesawat udara sipil maupun militer memasuki wilayah

negara lain tanpa izin terlebih dahulu kepada negara yang memiliki kedaulatan

atas ruang udara tersebut sebelum memasukinya. Hal ini berarti bahwa pada

dasarnya wilayah udara suatu negara tertutup bagi negara lain. Penggunaan

dan kontrol atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan

penuh dari negara (May, 2002:32).

Hukum internasional menjelaskan bahwa suatu negara bertanggungjawab

bilamana terjadi suatu kelalaian atau perbuatan yang dapat dipertautkan

kepadanya melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban

internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari

sumber hukum internasional lainnya (Shaw,2013:542). Dalam hukum

internasional tanggungjawab suatu negara disebabkan oleh 3 unsur penyebab,

yaitu:

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar dua

Negara tertentu;

2. Ada perbuatan atau kelalaian (act or mission) yang dapat dipertautkan

(imputable) kepada suatu negara; Perbuatan atau kelalaian itu


3

merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional,

baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum

internasional lainnya;

3. Adanya kerugian yang timbul akibat dari adanya perbuatan dan

kelalaian.

Pada umumnya pengakuan internasional terhadap suatu negara didasarkan

pada terpenuhinya syarat-syarat berdirinya suatu negara, sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai hak dan

kewajiban negara, dijelaskan bahwa kualifikasi suatu negara sebagai subjek

dalam hukum internasional harus memiliki penduduk yang tetap, wilayah

(teritorial) tertentu, pemerintahan dan kapasitas mengadakan hubungan

dengan negara lain (Tasrif, 1987:10).

Berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam konvensi tersebut, maka

wilayah teritorial merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan suatu

negara, karena pada dasarnya eksistensi suatu wilayah teritorial dapat

ditunjukan bagaimana negara wilayah tersebut menata dan mengelola

wilayahnya, termasuk wilayah perbatasan. Baik ketika masa damai maupun

perang, kewaspadaan dan upaya pengamanan wilayah perbatasan harus tetap

siaga demi terciptanya stabilitas keamanan. Negara memiliki kewajiban

mutlak untuk menjaga kedaulatan wilayahnya, termasuk wilayah udaranya.

Dalam rangka upaya menjaga keamanan wilayah udara tersebut setiap negara

memiliki hak untuk menetapkan zona udara yang boleh dilewati dan zona

larangan terbang dimana penetapan zona tersebut harus didasarkan pada

prinsip hukum udara internasional sehingga dengan demikian tidak


4

menimbulkan konflik yang sesungguhya pada navigasi udara (Martono,

2007:25).

Zona larangan terbang tersebut diatur dalam Pasal 3 Protokol Paris 1929

yang mengatur mengenai bentuk zona larangan terbang yang terdiri dari dua

bentuk, yaitu :

1. Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan

dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat

permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer

atau pertahanan dan keamanan dari negara yang bersangkutan.

2. Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagaian

udara nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat

terbang asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan

wilayah udara akan dilakukan hanya sampai situasi dan kondisi pulih

kembali.

Zona larangan terbang mempunyai beberapa tujuan. Pertama, untuk

meniadakan atau tidak memperbolehkan negara lain untuk menggunakan

ruang udaranya. Setiap pesawat yang hendak memasuki wilayah atau zona

yang diberlakukan sebagai zona larangan tersebut, harus mendapatkan izin

terlebih dahulu dari negara yang memberlakukannya. Kedua, diberlakukannya

zona larangan terbang adalah untuk mengadakan kerjasama dengan pasukan

yang ada di darat serta bertindak secara serentak melawan setiap ancaman

yang timbul (Alexander, 2004: 456).

Aturan hukum udara internasional tersebut, merupakan salah satu

landasan bagi suatu negara untuk mengamankan wilayahnya kedaulatannya,


5

namun dalam perkembangannya sering terjadi pelanggaran wilayah

kedaulatan, khususnya di wilayah udara dengan beraneka ragam penyebabnya.

Salah satu kasus yang berkaitan dengan pelanggaran wilayah kedaulatan

adalah Kasus penembakan terhadap dua pesawat militer milik India oleh

Pakistan di Kashmir.

Dilansir dari CNN Indonesia Rabu, 27 Februari 2019 telah terjadi

penembakan dua pesawat tempur milik India oleh Pakistan di wilayah

Kashmir yang sebagian menjadi kedaulatan milik Pakistan. Salah satu pesawat

jatuh di wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan, sedangkan satu pesawat

lainnya jatuh di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Dalam insiden tersebut

seorang pilot ditangkap. Satu hari setelah terjadinya insiden tersebut pesawat

Pakistan menerobos masuk Poonc dan Nowhera, dua lokasi yang berada di

wilayah de facto india. Pakistan meluncurkan serangan di garis kendali di

Kashmir. Pakistan menyatakan bahwa serangan tersebut mengincar target non-

militer dan tidak berniat memperkeruh situasi yg tegang. (CNN

Indonesia.com).

Berdasarkan kronologi kasus tersebut bahwa telah terjadinya suatu

pelanggaran dalam hukum internasional yakni berupa penembakan pesawat

yang dilakukan oleh Pakistan terhadap pesawat militer milik India. Pasal 1

Konvensi Chicago 1944 Tentang Penerbangan Sipil Internasional mengakui

setiap negara yang berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh

terhadap ruang udara di atasnya (Martono, 2016:69). Ketentuan dalam

konvensi ini merupakan salah satu tiang pokok yang mengatur mengenai

hukum udara (Rudy, 2011:32). Suatu negara yang wilayah kedaulatannya


6

berada di bawah ruang udara tertentu yang dalam hal ini disebut sebagai

negara kolong memiliki kedaulatan sampai ketinggian tidak terbatas dan

hanya dibatasi oleh kewajiban untuk memberikan hak lintas damai kepada

negara lain (Rudy, 2011:33).

Pakistan dalam hal ini sebagai negara kolong yang harus

bertanggungjawab di dalam wilayah kedaulatan udaranya. Penetapan terhadap

suatu zona larangan terbang dalam suatu wilayah yang dianggap rawan

terjadinya suatu pelanggaran merupakan tanggungjawab penuh dari negara

yang berdaulat. Hal ini disebabkan karena negara yang berdaulat terhadap

ruang udaranya lebih mengetahui keamanan wilayah udaranya. Negara

Pakistan yang dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya telah dilanggar

oleh pesawat militer India, seharusnya memberikan konfirmasi terlebih dahulu

sebelum melakukan penembakkan terhadap pesawat militer India baik dengan

pemberitahuan, memulangkan pesawat ke negara asalnya atau menurunkan

secara paksa (Ciptantri, 2018:34).

Negara dalam hal ini sebagai subjek hukum internasional

bertanggungjawab ketika tidak melaksanakan kewajibannya, telah melakukan

kelalaian-kelalaian yang melawan hukum (Sefriani, 2016:253). Negara

memiliki kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatannya, oleh karena

itulah negara dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan kelalaian

yang telah dilakukannya (Adolf, 1991:174). Negara Pakistan telah melakukan

kelalaian terhadap kedaulatan ruang udara yang ada di atas wilayah

kedaulatannya yang dilalui oleh pesawat militer India yakni tidak melakukan
7

koordinasi terlebih dahulu dengan India terkait penembakan yang telah

dilakukannya dan tidak ditetapkannya zona larangan terbang.

Tindakan penembakan terhadap dua pesawat udara militer India yang

dilakukan oleh Pakistan memang merupakan hak control udara terhadap

pesawat udara militer berdasarkan Konvensi Paris 1919 dan Konvensi

Chicago 1944, yang mana menurut konvensi ini hak control terhadap pesawat

militer asing adalah ketat dan maksimal, ia tidak mengandung pengecualian-

pengecualian Pasal 32 Konvensi Paris dan Pasal 3 (c) Konvensi Chicago 1944

Hak control negara yang keras dan maksimal atas wilayah udaranya hanya

ditujukan kepada pesawat udara militer negara lain, dimana faktor

pertimbangan keamanan negara menjadi alasan utamanya. Namun tetap saja

tindakan penembakan yang dilakukan oleh Pakistan terhadap pesawat militer

India merupakan tindakan kelalaian atas ruang udara yang menjadi

kedaulatannya, dikarenakan tidak adanya koordinasi terkait penembakan yang

dilakukan. Oleh karena itulah, dengan berlandaskan pada pembahasan di atas,

maka penulis ingin lebih mengetahui mengenai bentuk pertanggungjawaban

Negara Pakistan selaku negara berdaulat terhadap ruang udaranya, serta

pengaturan lebih lanjut mengenai pesawat miiter khususnya pesawat milter

milik India dalam Konvensi Chicago 1949. Sehingga penulis tertarik untuk

membuat penulisan hukum dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN

NEGARA PAKISTAN DALAM PENEMBAKAN PESAWAT UDARA

MILITER INDIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM UDARA

INTERNASIONAL”.
8

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan

dalam penelitian yang telah diajukan penulis dapat diidentifikasi

permasalahannya sebagai berikut :

1. Adanya penembakan pesawat udara militer milik India oleh Pakistan

di wilayah Kashmir bagian Pakistan, yang mana Kashmir dalam hal ini

merupakan daerah rawan konflik bersenjata antara India dan Pakistan.

2. Adanya pelanggaran kedaulatan wilayah udara suatu negara yang

dilakukan oleh India di wilayah udara bagian Pakistan.

3. Penembakan dua pesawat udara militer India yang dilakukan oleh

Pakistan menyebabkan jatuhnya pesawat tersebut dan ditangkapnya

seorang pilot.

4. Pesawat tempur India ditembak jatuh di area wilayah ashmir yang

dikuasai Pakistan, sedangkan satu pesawat lainnya jatuh di wilayah

India di perbatasan de facto.

5. Tindakan penembakan pesawat udara militer yang dilakukan oleh

Pakistan merupakan hak control yang dimiliki oleh suatu negara

terhadap pesawat militer asing berdasarkan Konvensi Paris 1919 dan

Konvensi Chicago 1944 yang didasarkan atas keamanan negara.

6. Tindakan penembakan pesawat yang dilakukan oleh Pakistan

merupakan tindakan kelalaian atas ruang udaranya, hal ini dikarenakan

tidak adanya koordinasi terlebih dahulu terkait dilakukannya


9

penembakan tersebut dan tidak adanya penetapan zona larangan

terbang, sehingga dalam hal ini perlu adanya pertanggungjawaban dari

Pakistan.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan Identifikasi masalah yang telah dikemukan di atas, maka

penulis melakukan pembatasan masalah mengenai bentuk

pertanggungjawaban Negara Pakistan terhadap penembakan yang telah

dilakukan selaku negara berdaulat terhadap ruang udaranya, serta pengaturan

lebih lanjut mengenai pesawat miiter khususnya pesawat milter milik India

dalam Konvensi Chicago 1949.

1.4 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan pesawat militer khususnya pesawat militer India

dalam Konvensi Chicago 1949?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban negara Pakistan terhadap

penembakan pesawat militer India dalam pelanggaran kedaulatan pesawat

militer India ?

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian pada dasarnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan

dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti memperoleh

pengetahuan yang baru, mengembangkan maksudnya memperluas dan

menggali lebih dalam realitas yang sudah ada (Ishaq, 2016:25). Adapun

tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya ilmiah ini diantaranya

sebagai berikut :
10

a. Tujuan umum

Untuk mengetahui hukum internasional yang mengatur mengenai

penerbangan militer internasional dan mengembangkan pengetahuan

mengenai bentuk tanggungjawab negara dalam hukum internasional.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan pesawat

militer khususnya pesawat militer India dalam Konvensi Chicago

1949.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk

pertanggungjawaban negara Pakistan dalam penembakan pesawat

militer India.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini nantinya

diharapkan dapat bermanfaat secara :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman mengenai

pengaturan penerbangan militer dalam hukum internasional khususnya

pesawat militer India berdasarkan Konvensi Chicago 1949, serta segala

bentuk pertanggungjawaban Negara Pakistan dalam penembakan

pesawat militer India dalam hukum internasional.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis
11

Bagi Penulis bermanfaat seperti peningkatan keahlian dan

keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu

masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan

baru bagi penelitian ilmu hukum.

b. Bagi Masyarakat
Manfaat bagi masyarakat sebagai sarana pengembangan pemikiran tentang

pengaturan penerbangan militer dalam hukum internasional khususnya pesawat

militer India berdasarkan Konvensi Chicago 1949, serta segala bentuk

pertanggungjawaban Negara Pakistan dalam penembakan pesawat militer India

dalam hukum internasional. Selain itu masyarakat diharapkan mengetahui

pentingnya memahami ketentuan-ketentuan hukum internasional serta memiliki

pola pemikiran bahwa dalam menggunakan penerbangan baik nasional ataupun

internasional mendapatkan perlindungan ketika terjadinya suatu tindakan

kelalaian dari negara berdaulat yang memiliki kedaulatan atas ruang

udaranya.BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Hukum Udara Internasional Menurut

Konvensi Chicago 1944

2.1.1 Sejarah Hukum Udara Internasional

Hukum udara telah dideskripsikan sebagai “anak bungsu daripada

gagasan yuridis.” Asal-usulnya dimulai dari hukum Romawi kuno ketika

masalah dasar mengenai hak-hak di wilayah udara sudah mulai dikenali

kala itu. Adagium “Cuius est solum, euius est usque ad coelum,” yang

artinya adalah siapa yang memiliki tanah, memiliki juga langit diatasnya,

telah menimbulkan berbagai diskusi hukum semenjaknya di dalam bidang

nasional maupun internasional (Marcel,1950:24).

Keperluan akan pembentukan hukum yang mengatur mengenai

wilayah udara pada awalnya dipicu oleh penemuan-penemuan alat

1
2

transportasi udara. Penemuan-penemuan penting tersebut memiliki

dampak besar bagi kemajuan dunia serta kehidupan manusia dan oleh

karena itu diperlukan hukum yang mengaturnya. Maka mulai dibentuklah

peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hal-hal seputar alat

transportasi udara pada masa itu. Penemuan alat transportasi udara

berawal pada tahun 1783, ketika Pilatre De Rozier meluncurkan

penerbangan balon udara panas pertama di Paris yang dua bulan

kemudian diikuti dengan percobaan penerbangan balon udara pertama

yang dinaiki oleh manusia yang dibuat oleh Montgolfier bersaudara.

Kemudian pada tahun 1785, Jean Pierre Blanchard, bersama rekannya

yang berkewarganegaraan Amerika, John Jeffries melakukan

pernerbangan yang dianggap sebagai langkah pertama dalam

penerbangan jarak jauh dengan menggunakan balon udara panas (Smith

dan Harvard, 1967:3).

Dikarenakan penemuan tersebut, peraturan udara yang mengatur

mengenai penerbangan awalnya dibuat di Perancis pada akhir tahun

1700an yang mengatur mengenai penerbangan balon udara panas. Secara

umum, telah disetujui bahwa hukum udara pertama yang dikeluarkan

adalah hukum yang mengatur mengenai pelarangan penerbangan balon

udara tanpa ijin khusus pada tahun 1874, yang diikuti oleh Ieper, suatu

wilayah kota di Belgia pada tahun yang sama, juga setahun kemudian

diikuti Namur yang juga merupakan suatu kota di Belgia pada tahun

1875, dan kemudian Hamburg pada tahun 1876 (Shawcross dan

Beaumont, 1997:1).
3

Hukum udara yang berskala Internasional mulai dirancang

dikarenakan pengunaan balon udara panas dalam perang seperti misalnya

pada perang Perancis-Prusia pada tahun 1870, dimana balon udara panas

digunakan untuk membawa bahan-bahan peledak. Konvensi Den Haag

pertama pada tahun 1899 melarang pengunaan balon udara panas dalam

pertempuran. Hal ini tidak diubah bahkan hingga Konvensi Den Haag

kedua pada tahun 1907 (Moegandi, 1993:46-47).

Seorang Sarjana Hukum Perancis, Paul Fuchille di tahun 1901,

menulis artikel yang berjudul “La domain Aerien et le rezim jurdique des

aerostats” pada volume ke-8 jurnalnya, “Revue Générale de Droit

International Public,” yang memicu pemikiran-pemikiran mengenai

kebebasan udara. Karena idenya tersebut ia juga menyatakan bahwa

balon udara merupakan subjek dari pemerintahan negara asalnya serta

harus dan hanya memiliki satu kewarganegaraan. Pada tahun 1902,

Fauchille mengulangi kembali pendapatnya melalui rancangan yang

dipersiapkan untuk pertemuan yang diadakan di Brussel (Alex,1944:23).

Sehubungan dengan hal itu pada tahun 1903, Wright bersaudara yang

berasal dari Amerika berhasil melakukan penerbangan dengan

menggunakan alat transportasi udara bermotor pertama yang sekaligus

merupakan penerbangan dengan menggunakan pesawat yang paling

pertama tercatat di dalam sejarah dunia. Seiring keberhasilan Wright

bersaudara, kebutuhan akan hukum yang mengatur wilayah udara

semakin diperlukan dan tidak hanya itu, dibutuhkan juga hukum yang

mengatur mengenai penerbangan serta alat penerbangan yang digunakan.


4

Oleh karena itu, pada saat itu mulai banyak dilakukan diskusi hukum.

Meskipun penerbangan udara kala itu masih primitif, sudah dapat

diperkirakan masalah-masalah hukum yang dapat timbul di masa depan

menyangkut penerbangan udara (Shawcross dan Beaumont, 1997:24-25).

Institut de droit international mendiskusikan berbagai konsep

“International Code of the Air” semasa pertemuan di Gent pada tahun

1906, Florentina pada tahun 1908, Paris pada tahun 1910 dan Madrid

pada tahun 1911, dimana pada pertemuan yang diadakan di Madrid,

didapatkan prinsip fundamental yang digunakan dalam pengaturan

mengenai alat transportasi udara. Pada sesi di gent 1906, pendapat

Fauchille didukung, dimana pertemuan tersebut mengadopsi bahwa udara

adalah bebas. Namun semenjak saat itu, tidak ada organisasi yang

bersangkutan dengan hukum udara internasional menjunjung pendapat

tersebut (Shawcross dan Beaumont, 1997:35).

Teori mengenai kebebasan udara Fauchille tidak serta merta diterima

oleh tokoh-tokoh lain dan pada tahun yang sama, yakni tahun 1906,

seorang pengacara dari Inggris, John Westlake menentang pandangan

tersebut dimana ia menyatakan bahwa prinsip hukum atas udara adalah

merupakan prinsip dasar dari hukum udara internasional publik. Bahkan

Westlake juga mencoba untuk mengakhiri hak untuk singgah dari balon

udara dan juga penggunaan dari telegraf nirkabel (Simon, 2016: 13).

Masyarakat internasional di masa yang sama juga melakukan

perundingan-perundingan menyangkut masalah udara internasional yang

dilakukan di Paris pada tahun 1900, Milan pada tahun 1906, Brussel pada
5

tahun 1907 dan Nancy pada tahun 1909. Pertemuan-pertemuan ini

merupakan hasil dari pertemuan yang diadakan di Paris pada tahun 1889

yang dihadiri delegasi dari Perancis, Britania Raya, Russia, Amerika

Serikat, Brazil dan Mexico (Simon, 2016: 14).

Pertemuan kongres di Verona tahun 1901 juga diadakan kongres

yang membahas mengenai penerbangan, Pemerintah Perancis

dikhawatirkan oleh penerbangan-penerbangan damai namun tanpa

peraturan yang terjadi. Balon udara terbang dari satu negara dan mendarat

di negara lain mengikuti angin yang membawanya. Dikarenakan

seringnya pilot balon udara Jerman melintasi batasan dan mendarat di

Perancis sebagai akibat dari tidak dapat dikendalikannya balon udara

mereka, Perancis membuat persetujuan menyangkut lalu lintas udara

Jerman tanpa menutup kemungkinan diadakannya persetujuan

multilateral di kemudian hari dan akhirnya Perancis pun memutuskan

untuk mengadakan konvensi bersama negara-negara besar Eropa lainnya.

Delegasi dari sembilan belas negara Eropa menghadiri konferensi

diplomatik penerbangan pertama yang diadakan di Paris pada tahun 1910.

Sesudah konferensi berakhir, Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Belanda,

Perancis, Rusia, Serbia, Swedia, Swiss, Portugal, Belgia, Bulgaria,

Denmark, Austria-Hungaria, Romania, Turki dan Monaco mengadopsi

sebuah konsep hukum untuk konferensi penerbangan internasional yang

berjudul, “Projet d'une convention internationale relative à la navigation

aérienne.” Konvensi tersebut dimaksudkan untuk memuat tujuh bagian


6

dan lima puluh lima pasal. Adapun tujuh bagian yang direncanakan dalam

konferensi penerbangan internasional tersebut adalah:

1. Kewarganegaraan alat transportasi udara dan persyaratan

pendaftarannya.

2. Sertifikat persetujuan dan kelayakan mengudara.

3. Pengesahan lalu lintas udara di perbatasan-perbatasan dan wilayah

udara nasional.

4. Pengaturan pada lepas landas, pendaratan dan penerbangan.

5. Norma-norma dan pengangkutan.

6. Alat transportasi udara publik.

7. Ketentuan akhir.

Konferensi tersebut tidak berhasil mencapai pemecahan yang bulat

tentang pelaksanaan penyelesaian masalah yang mendesak mengenai

pengaturan ruang udara. Kegagalan mencapai kesepakatan pengesahan

konvensi internasional tersebut disebabkan oleh berbagai macam hal.

Inggris keberatan menerima usul perubahan undang-undang perdatanya,

khususnya mengenai status hukum hak-hak milik perorangan dari si

pemilik tanah di ruang udara. Negara-negara Eropa daratan sebenarnya

juga mengakui adanya hak-hak keperdataan pemilik tanah di ruang udara

di atas tanah miliknya, tetapi janganlah kiranya hak-hak tersebut menjadi

hambatan pengembangan penerbangan sehingga wajar kalau negara-

negara yang bersangkutan mengusahakan agar penerbangan dapat

berlangsung tanpa hambatan apa pun dari sisi pemilik tanah.


7

Selain itu, tidak terdapat kata sepakat memasukkan di dalam

konvensi untuk mengadakan perlakuan yang sama kepada pesawat udara

asing dan pesawat udara nasional. Selain itu, kegagalan konferensi ini

juga disebabkan hal-hal lain yang bersifat politis. Sebagaimana diketahui

bahwa sejarah membuktikan negara-negara di Eropa satu sama yang lain

selalu berbeda kepentingan, misalnya Inggris dan Perancis. Kedua Negara

tersebut tidak pernah dapat bekerja sama secara internasional, kecuali

dalam bidang pembuatan pesawat udara komersial Concorde yang hampir

mengalami kegagalan. Demikian pula Jerman dengan Perancis dan

Inggirs yang selalu bersaing dalam teknologi penerbangan, begitu juga

dengan negara-negara lain di Eropa (Simon, 2016: 16).

Congress of the International Legal Committee on Aviation yang

diadakan di tahun 1911,, yang ditemukan pada tahun 1909, mengadakan

pertemuan di Paris, yang kemudian diikuti dengan pertemuan di Jenewa

pada tahun 1912 dan Frankfurt pada tahun 1913. Kemudian, Asosiasi

Hukum Internasional membentuk Aerial Law Committee pada pertemuan

yang diadakan di Paris pada tahun 1912 dan kemudian membahas

masalah seputar hukum udara di Madrid pada tahun 1913. The Pan-

American Aeronautics Federation, pada tahun 1916 juga mengadakan

pertemuan di Santiago, Chili dimana ditetapkan bahwa ruang udara

merupakan hak negara dan negara memiliki kedaulatan atasnya. Serta

juga The Nordic Aviation Conference yang diadakan di Stockholm pada

tahun 1918 dan Konferensi Hukum Udara yang diadakan di Budapest

pada tahun yang sama (Haupt, 1918:77).


8

Pertemuan-pertemuan tersebut umumnya hanya membahas mengenai

konsep-konsep peraturan hukum udara serta teori-teori seputar wilayah

udara sendiri. Hingga saat ini ada dua teori yang dikenal mengenai

wilayah udara, yaitu:

1. Teori Udara Bebas

Teori ini diperkenalkan oleh Paul Fauchille dimana ia

menyatakan bahwa ruang udara adalah bebas dan oleh sebab itu,

maka ruang udara tidak dapat dimiliki oleh negara-negara

dibawahnya. Teori ini didasari oleh sifat udara yang bebas dan

pemahaman bahwa udara merupakan warisan bagi seluruh umat

manusia. Teori ini terbagi menjadi dua jenis lagi, yakni:

a. Kebebasan Ruang Udara Tanpa Batas.

Teori ini berpendapat bahwa ruang udara adalah bebas, dapat

digunakan oleh siapa pun dan tidak ada negara yang

memiliki hak serta kedaulatan di ruang udara.

b. Kebebasan Ruang Udara Terbatas.

Teori ini bersumber dari hasil sidang Institut de Droit

Internasional yang diadakan Gent pada tahun 1906 serta

Madrid pada tahun 1911 dan sidang kongres yang diadakan

di Verona pada tahun 1910. Teori ini menyatakan bahwa:

1) Setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu

untuk memelihara keamanan dan keselamatannya.


9

2) Negara kolong, negara yang berada dibawah wilayah

udara, hanya memiliki hak terhadap wilayah atau zona

teritorialnya.

2. Teori Negara Berdaulat di Udara

Teori ini memiliki tiga jenis teori lagi:

a. Teori Keamanan

Teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai

kedaulatan atas wilayah udaranya sampai yang diperlukan

untuk menjaga keamanannya. Menurut Fauchille pada tahun

1901, ketinggian wilayah udara adalah hingga 1.500 m,

namun pada tahun 1910, Fauchille mengubah pendapatnya

dan ketinggian diturunkan menjadi 500 m.

b. Teori Pengawasan Cooper

Teori yang dinyatakan oleh Cooper pada tahun 1951 ini

menyatakan bahwa kedaulatan negara ditentukan oleh

kemampuan negara yang bersangkutan untuk menguasai

ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara fisik dan

ilmiah.

c. Teori Udara Schacter

Teori ini menyatakan bahwa wilayah udara itu haruslah

sampai pada suatu ketinggian yang memungkinkan bagi

udara untuk mampu mengangkat atau juga mengapungkan

balon dan pesawat udara (Abdurrasyid, 1972).


10

Berdasarkan catatan sejarah, kebutuhan mengenai pengaturan di

wilayah udara mengenai penerbangan pesawat udara muncul pada awal

tahun 1900an, dimana semakin jelas juga bahwa permasalahan-

permasalahan hukum yang menyangkut penerbangan tidak dapat

diselesaikan secara nasional semata. Ini adalah juga masa dimana

perkembangan pesat dibidang penerbangan udara terpacu juga sebagai

akibat dari perang dunia pertama. Meskipun terganggu oleh Perang Dunia

I yang berlangsung antara tahun 1914 hingga 1918, dampak dari

peperangan memicu perubahan sikap pemerintahan negara-negara (Simon,

2016: 20).

Britania Raya, Perancis, Italia dan Amerika Serikat di tahun 1916

membentuk komite kerjasama internasional untuk mengatur hal-hal

seputar produksi dan pembuatan pesawat. Hal ini menekankan pentingnya

kerjasama internasional di dalam bidang penerbangan setelah perang

berakhir. Britania Raya yang dulu menolak tegas konvensi internasional

yang diadakan di Paris pada tahun 1910, pada tahun 1917 juga membentuk

Civil Aerial Transport Committee yang bertujuan untuk mempelajari

permasalahan-permasalahan terhadap penerbangan sipil setelah perang.

Perang Dunia I juga menimbulkan kesadaran negara-negara bahwa ruang

udara mereka haruslah tertutup. Setiap negara yang ikut berperang dalam

perang dunia tersebut juga menyadari adanya sebuah kebutuhan akan

peraturan-peratuan internasional yang mengatur mengenai penerbangan.

Peraturan-peraturan ini dibutuhkan untuk melindungi para pilot serta

batasan-batasan negara menjelang berakhirnya perang besar tersebut.


11

Selain itu, pengaturan mengenai jalur penerbangan internasional juga

dibutuhkan (Simon, 2016: 18).

Menjelang berakhirnya Perang Dunia I, negara-negara sekutu kala itu

mulai mempersiapkan segala keperluan yang berhubungan dengan

persiapan-persiapan perdamaian yang hampir tiba, termasuk juga

persiapan mengenai masalah-masalah penerbangan yang kala itu

merupakan gangguan bagi negara-negara Eropa. Dengan

ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Versailles pada tahun 1919

setelah Perang Dunia I berakhir, telah berhasil disusun sebuah Konvensi

yang membahas mengenai masalah penerbangan internasional yang

diadakan di Paris, yang ditandantangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan

mulai berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 yang kemudian diikuti oleh

berbagai konvensi yang menyangkut pengaturan penerbangan dan ruang

udara yang menghasilkan pengaturan-pengaturan multilateral yang

merupakan sumber dari pengaturan Hukum Udara Internasional (Simon,

2016: 19).

Selama masa Perang Dunia I, alat transportasi udara banyak

digunakan untuk berbagai keperluan negara yang saling berperang yang

berakibat pada peningkatan pembuatannya. Contohnya adalah jumlah

pesawat Inggris yang kala itu hanya berjumlah 12 buah dan pada akhir

Perang Dunia I, berjumlah 22.000 pesawat (Peter dkk, 33). Bersama

dengan pembukaan rute komersil internasional pertama pada Maret 1919

antara Perancis dan Belgia serta penerbangan melewati Samudera Atlantik

yang dilakukan pada bulan Juli di tahun yang sama, kebutuhan akan
12

adanya peraturan internasional mengenai udara dan penerbangan semakin

besar. Pemerintah Perancis kemudian mengadakan konvensi yang diikuti

tiga puluh delapan negara yang diadakan di Paris pada tahun 1919.

Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention Relating to the

Regulation of Aerial Navigation terdiri atas dua bagian, naskah utama dan

naskah tambahan. Naskah utama mengatur mengenai kedaulatan atas

ruang wilayah udara, lintas damai, zona larangan terbang, pendaftaran dan

kebangsaan pesawat udara, sertifikat pendfataran dan kebangsaan pesawat

udara dan radio penerbangan, izin penerbangan, keberangkatan dan

kedatangan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya,

klasifikasi pesawat udara, komisi navigasi penerbangan dan ketentuan

penutup. Naskah tambahan terdiri dari delapan Annex yang mencakup

berbagai hal, yaitu mengenai:

1. Kedaulatan wilayah udara;

2. Penerbangan lintas damai;

3. Zona larangan terbang;

4. Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara;

5. Sertifikat pendaftaran pesawat udara dan peralatan radio;

6. Persetujuan terbang;

7. Keberangkatan dan pendaratan;

8. Larangan pengangkutan;

9. Klasifikasi pesawat udara;

10. Komisi Navigasi Penerbangan Internasional;


13

11. Pengumpulan dan penyebaran statistic;

12. Bea dan cukai.

Salah satu pencapaian terbesar dari Konvensi Paris 1919 adalah

terbentuknya International Commission for Air Navigation atau yang

dikenal sebagai ICAN atau Komisi Navigasi Penerbangan Internasional

(Peter dkk, 33). Di dalam pembentukan Konvensi Paris 1919, banyak

mengandung pokok-pokok yang telah dibicarakan dalam pertemuan pada

tahun 1910. Untuk pertama kalinya didalam sejarah penerbangan dunia

dimuat didalam konvensi suatu pengakuan bahwa setiap negara berdaulat

terhadap lapis ruang udara di atas wilayah negaranya seperti dapat dilihat

pada Konvensi Paris 1919 walaupun pada kenyataannya prinsip tentang

kedaulatan di ruang udara sebelum Perang Dunia I telah diterima dan

merupakan kebiasaan internasional yang diterima oleh negara-negara.

Konvensi Paris 1919 masih bersifat diskriminatif terhadap sesama

negara anggota maupun bukan negara anggota, hal ini dapat dilihat

mengenai jumlah suara yang dimiliki oleh negara anggota ICAN. Konvensi

Paris 1919 ditandatangani dan kemudian diratifikasi oleh Belgia, Perancis,

Bolivia, Inggris, Yunani, Jepang, Portugal, Serbia dan Thailand dan

kemudian diikuti oleh Liberia, Nikaragua dan Persia. Namun, meskipun

telah mendukung dan menandatangani Konvensi Paris 1919, Amerika

Serikat tidak meratifikasinya dikarenakan alasan- alasan tertentu.

Kepentingan Konvensi Paris 1919 tidak bisa dikesampingkan. Ketentuan-

ketentuan konvensi ini menjadi peraturan hukum bagi negara-negara yang

mengikutinya dan menjadi inspirasi bagi hukum udara yang berlaku di


14

Eropa, yang pada masa itu masih terbatas. Konvensi Ibero-Amerika pada

tahun 1926 membahas permasalahan yang sama dan Konvensi Pan-

Amerika 1928 melahirkan kententuan-ketentuan penting yang sama, namun

perbedaannya, Konvensi Paris 1919 secara khusus membahas mengenai

hukum udara publik, sementara Konvensi Pan-Amerika 1928 juga

membahas mengenai hukum udara privat (Martono dan Sudiro, 2012:42).

Konvensi tentang Unifikasi Peraturan-peraturan Tertentu mengenai

Transportasi Udara Internasional yang ditandatangani pada tanggal 12

Oktober 1929 tersebut awalnya bercita-cita untuk keseragaman dokumen

angkutan udara internasional serta tanggung jawab hukum perusahaan

penerbangan internasional, namun dalam kenyataannya justru terjadi

disunifikasi dengan lahirnya Protokol Den Haag 1955, Konvensi

Guadalaraja 1961, Protokol Guatemala 1971, Protokol Tambahan Montreal

1975 Nos. 1, 2, 3, 4, dan 5 dan Konvensi Montreal 1999, disamping

Montreal Agreement of 1966 yang khususnya berkenaan dengan jumlah

ganti rugi dokumen transportasi udara internasional. Pada pokoknya,

Konvensi Warsaw 1929 mengatur keseragaman dokumen transportasi udara

internasional yang terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, surat muatan

udara, prinsip tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan yang

dikaitkan dengan tanggung jawab terbatas, pengertian transportasi udara

internasional, yurisdiksi negara anggota. Konvensi Warsaw 1929 hanya

berlaku terhadap penerbangan internasional (Martono, 2007:36).

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat kala

itu, Theodore Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya untuk mengadakan


15

konferensi penerbangan Penerbangan Sipil Internasional di Chicago pada

tahun 1944. Hadir dalam konferensi tersebut, lima puluh empat delegasi,

dua delegasi dalam kapasitasnya sebagai pribadi, sedangkan lima puluh dua

delegasi mewakili negara masing-masing. Dua negara yang diundang,

masing-masing Saudi Arabia dan Uni Soviet tidak hadir dalam Konferensi

Penerbangan Sipil Internasional tersebut. Ketidakhadiran Uni Soviet

dipermasalahkan kala itu dikarenakan delegasi Uni Soviet yang sudah

dalam perjalanan diinstruksikan oleh pemerintahnya untuk tidak mengikuti

konferensi tersebut. Diantaranya spekulasi pendapat mengapa Uni Soviet

tidak hadir dalam konfrensi penerbangan sipil antara lain (Simon, 2016:

23):

a. Uni Soviet tidak menghendaki pesawat udara asing beroperasi di Uni

Soviet, sebab angkutan udara nasional akan dieksploitasi sendiri;

b. Uni soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan

Internasional, karena Uni Soviet mengutamakan keamanan nasional

(national security) dari pada kesejahteraan nasional (national

prosperity).

Uni Soviet tidak mau hadir dalam konfrensi penerbangan sipil

Internasional dengan alasan angkutan udara nasional akan dieksploitasi

sendiri, walaupun delegasinya sudah dalam perjalanan, kemungkinan ada

benarnya sebab Uni Soviet mempunyai daerah yang cukup luas dan

angkutan udara yang cukup banyak, tidak perlu mengadakan tukar menukar

hak-hak penerbangan dengan negara lain, cukup mengeksploitasi sendiri

tanpa adanya perusahaan penerbangan asing melakukan penerbangan ke


16

atau dari Uni Soviet. Spekulasi Uni soviet tidak hadir dalam konfrensi

penerbangan sipil internasional dengan alasan keamanan nasional atau

national security, kemungkinan juga ada benarnya sebab Uni Soviet tidak

menghendaki adanya pesawat udara asing terbang di atas Uni Soviet tanpa

melakukan pendaratan (Simon, 2016: 23).

Konvensi Chicago 1944 melandasi lahirnya Organisasi Penerbangan

Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization yang

dikenal sebagai ICAO. Tujuan Konvensi Chicago 1944 tampak dengan

jelas pada pembukaannya, dimana dijelaskan bahwa pertumbuhan

penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan persahabatan, meningkatkan pengertian antara bangsa-

bangsa dunia, saling mengunjungi masyarakat dunia dan untuk mencegah

terjadinya kembali perang, mencegah terjadinya friksi dan untuk

memelihara kerja sama antar negara-negara dalam memelihara perdamaian

dunia. Karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur

prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional dan

menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan

memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk

menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya

persaingan yang tidak sehat (Simon, 2016: 24).

Kandungan konvensi tersebut terbatas dari aspek-aspek ekonomi,

kedaulatan atas wilayah udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,

SAR, dokumen penerbangan dan organisasi penerbangan sipil

internasional. Pasal 1 Konvensi Chicago mengakui bahwa setiap negara


17

berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh. Konsekuensi

prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang

terbang di atau ke atau melalui ruang udara nasional negara anggota tanpa

memperoleh izin terlebih dahulu betapapun tinggi maupun rendahnya

pesawat udara yang melakukan penerbangan. Secara implisit pesawat udara

yang digunakan untuk polisi, militer maupun bea cukai yang biasa disebut

pesawat udara negara dilarang terbang diatas wilayah udara negara

berdaulat. Demikian juga pesawat udara tanpa awak pesawat udara juga

dilarang terbang di wilayah udara negara lain, tetapi untuk pesawat udara

yang diterbangkan oleh kapten penerbang, tetap diperlukan izin bila terbang

di atau ke atau melalui negara anggota maupun bukan negara anggota

Konvensi Chicago 1944 (Simon, 2016: 24).

Berdasarkan prinsip kedaulatan di udara, pesawat udara asing bersama

dengan awak pesawat udara, penumpangnya harus mematuhi hukum dan

regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan

penerbangan. Konsekuensi kedaulatan di udara tersebut tampak dari

ketentuan-ketentuan mengenai cabotage, pengawasan pesawat udara tanpa

awak pesawat udara, kewenangan menetapkan daerah terlarang, penetapan

bandar udara yang boleh didarati oleh penerbangan internasional, regulasi

navigasi penerbanganm lalu lintas internasional, izin masuk negara

anggota, pencarian dan pertolongan serta pendaratan dan tinggal landas

bantuan dalam hal pesawat udara menghadapi bahaya, investigasi

kecelakaan pesawat udara, pengunaan peralatan radio, pengangkutan

amunisi perang atau peralatan perang atau barang-barang berbahaya


18

lainnya, pengunaan peralatan foto dan penerbangan dengan pesawat udara

dan awak pesawat udara harus mempunyai sertifikat kelaikan udara

maupun setifikat kecakapan awak pesawat udara (Martono, 2012:55).

Tanggal 7 Oktober 1952 di Roma, ditandatangani sebuah konvensi

yang berjudul, “Convention on Damaged Caused by Foreign Aircraft to

The Third Parties on the Surface”. Konvensi tersebut dikenal sebagai

Konvensi Roma 1952. Konvensi tersebut mengatur prinsip tanggung jawab

hukum, lingkup tanggung jawab hukum, pengamanan tanggung jawab,

prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, ketentuam umum dan penutup.

Prinsip tanggung jawab yang digunakan dalam konvensi tersebut adalah

tanggung jawab hukum tanpa bersalah. Berdasarkan prinsip tanggung

jawab hukum tanpa bersalah tersebut korban tidak perlu membuktikan

kesalahan dari perusahaan penerbangan, tetapi otomatis menerima ganti

kerugian. Para korban cukup memberi tahu bahwa menderita kerugian

akibat jatuhnya pesawat udara atau orang atau barang dari pesawat udara.

Konvensi Roma 1952 hanya berlaku terhadap pesawat udara asing yang

mengalami kecelakaan di negara anggota dan kerugian tersebut terjadi di

permukaan bumi, artinya dapat di darat, laut, sungai, danau, maupun

tempat-tempat lain, tetapi tidak berlaku apabila kecelakaan atau kerugian

tersebut terjadi di udara (Simon, 2016: 26).

Selanjutnya di tahun 1963, ditandatangani Konvensi Tokyo 1963 yang

biasa disebut konvensi tentang Pembajakan Udara, yang diusulkan pertama

kali oleh delegasi Meksiko dalam Konferensi yang membahas konsep

Legal Status of Aircraft pada tahun 1950. Tujuan Konvensi Tokyo 1963
19

adalah untuk menetapkan negara yang mempunyai yurisdiksi, mengisi

kekosongan hukum, melindungi kapten penerbang beserta awak pesawat

udara, pemilik pesawat udara, perusahaan penerbangan terhadap ancaman

gugatan perdata maupun tuntutan pidana, melindungi penumpang,

melindungi harta benda yang diangkut dalam pesawat udara terhadap

keselamatan penerbangan akibat tindakan melawan hukum dan menjamin

kelancaran, ketertiban, keteraturan dan disiplin di dalam pesawat udara,

mencegah jangan sampai terjadi tindak pidana pelanggaran maupun

kejahatan yang lolos dari sanksi hukuman dan sebaliknya jangan sampai

terjadi ancaman hukuman ganda karena itu diadakan keragaman yurisdiksi

negara anggota Konvensi Tokyo 1963 (Simon, 2016: 26).

Meskipun Konvensi Tokyo 1963 adalah untuk mencegah terjadinya

pembajakan udara yang pada masa itu marak terjadi. Namun, dalam

Konvensi tersebut tidak ada definisi pembajakan udara udara yang biasa

disebut dengan istilah hijacking, skyjacking, air piracy, aerial piracy,

aerial skyjacking, aircraft hijacking, air banditism maupun illegal

diversion of aircrfat. Pengaturan mengenai pembajakan diatur di Pasal 11

Konvensi Tokyo 1963, dimana digunakan istilah unlawful seizure of

aircrfat. Menurut Pasal tersebut, setiap tindakan melawan hukum yang

menggangu dalam pesawat udara, penguasaan atau pengambilalihan

pesawat udara dengan pakssa adalah merupakan pembajakan udara.

Kekurangan dari Konvensi Tokyo 1963 pada akhirnya dimantapkan oleh

Konvensi Den Haag 1970.


20

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional di tahun 1971

mengesahkan Konvensi Internasional yang berjudul, “Convention for the

Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation”, yang

ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971. Setelah

Konvensi Tokyo 1963 disahkan dan berlaku sejak Desember 1969 dan

Konvensi Den Haag 1970 ditandatangani pada 16 Desember 1970, sasaran

tindak pidana penerbangan ditujukan kepada fasilitas keselamatan

penerbangan untuk menghancurkan pesawat udara agar tidak dapat

dioperasikan, menempatkan bahan dan atau barang berbahaya untuk

merusak pesawat udara, merusak fasilitas navigasi penerbangan atau

menggangu pengunaannya, menggangu komunikasi antara petugas menara

pengawas lalu lintas udara dengan kapten penerbang, membantu tindakan

melawan hukum, percobaan melakukan tindakan melawan hukum dan lain-

lain, dengan kata lain sasaran utama adalah fasilitas pengoperasian pesawat

udara untuk menggangu keselamatan penerbangan. Seperti Konvensi

Chicago 1944, Konvensi Tokyo 1963, dan juga Konvensi Den Haag 1970,

Konvensi Montreal 1971 tidak berlaku terhadap pesawat udara yang

digunakan untuk militer, bea cukai dan dinas kepolisian yang biasa disebut

pesawat udara negara (Simon, 2016: 27).

Tujuh kepala negara tahun 1978 maju berhimpun di Bonn, Jerman

untuk menyutujui suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bonn Declaration

of 1978 mengenai pembajakan udara. Ketujuh kepala negara tersebut

menyatakan bahwa bermaksud bersama-sama meningkatkan pencegahan

pembajakan pesawat udara yang merupakan salah satu tindakan teroris


21

internasional, karena itu mereka setuju bahwa bila pembajak berada di

suatu wilayah negara peserta, maka negara peserta tersebut wajib

menghukum dengan hukuman yang berat atau mengekstradisikan pembajak

ke negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili teroris yang

membajak pesawat udara serta mengembalikan pesawat udara yang dibajak

ke negara tempat pesawat udara didaftarkan. Bila negara peserta tidak

melakukan kewajiban tersebut maka negara anggota peserta Deklarasi

Bonn 1978 lainnya akan menghambat penerbangan dari dan atau ke negara

tersebut (Simon, 2016: 27).

Menjelang tahun 1988 banyak terjadi tindakan kekerasan baik terhadap

orang maupun fasilitas yang terjadi di bandar udara yang belum dijangkau

oleh Konvensi Montreal 1971, karena itu pada 24 Februari 1988, disahkan

Protokol Montreal 1988 yang bermaksud mencegah tindakan-tindakan

tersebut. Protokol Montreal merupakan pelengkap dari Konvensi Montreal

1971 tentang Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum Terhadap

Keselamatan Penerbangan Sipil yang dibuat di Montreal pada 23

September 1971. Berlakunya Protokol Montreal 1988 dan Konvensi

Montreal 1971 harus dibaca dan ditafsirkan secara bersama-sama (Simon,

2016: 27).

Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/635

(1989) tanggal 14 Juni 1989 dan Resolusi Sidang Umum Nomor

RESS.UNGA/44 (1989) tanggal 29 Desember 1989, Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional berwenang menciptakan rezim hukum

internasional baru yang tidak terbatas pada penandaan peledakan untuk


22

maksud penemuan, tetapi juga rezim hukum terorisme internasional yang

berkaitan dengan deklarasi tentang keamanan internasional, konvensi yang

berkaitan dengan konflik bersenjata, Konvensi Tokyo 1963 dan Konvensi

Den Haag 1970. Berdasarkan kewenangan tersebut, Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional telah mengesahkan Convention on the

Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection. Dalam

Konvensi tersebut diwajibkan bagi negara anggota untuk mengambil

langkah-langkah yang diperlukan untuk melarang dan mencegah bahan

plastik yang tidak diberi tanda. Konvensi Montreal 1991 tidak mewajibkan

kepada negara anggota untuk menciptakan hukum pidana terorisme, hal itu

diserahkan kepada hukum nasional masing-masing negara.

Konvensi Montreal 1991 juga membentuk Komisi Ahli di bidang

bahan peledak yang terdiri tidak kurang dari 15 anggota yang

berpengalaman dibidang produksi atau penemu kenalan atau penelitian

barang peledak yang ditunjuk oleh Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional dari orang-orang yang dicalonkan oleh negara anggota

Konvensi. Komisi tersebut bekerja dalam kurun waktu tiga tahun yang

dapat ditunjuk kembali. Minimum setahun sekali mereka mengadakan

sidang di kantor pusat Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Hal ini

diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota masing-masing sesuai

dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 dengan memperhatikan aspek

filosofis, yuridis, sosiologis serta asas-asas hukum internasional yang

berlaku baik yang lama maupun yang baru (Martono, 2007:387).


23

Hasil dari konvensi-konvensi tersebut yang diratifikasi suatu negara

akan menjadi sumber dari hukum udaranya, sehingga hasil-hasil konvensi

tersebut tidak hanya menjadi sumber hukum udara internasional, tetapi juga

sumber hukum udara nasional pada masa sekarang. Selain konvensi-

konvensi mengenai hukum udara ada berbagai sumber hukum udara

internasional lainnya yang akan dibahas selanjutnya.

2.1.2 Sumber-sumber Hukum Udara Internasional

Sumber hukum udara dapat bersumber pada hukum internasional

maupun hukum nasional, sesuai dengan Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah

Internasional yang menyatakan bahwa:

“The Court, function is o decide in accordance with internatonal law


such disputes as are submited to it, shall apply :
(a) international convention, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contracting
states;
(b) international custom, as evidence of a general practice,
accepted as law;
(c) the general principles of law recognized by civilized nations;
(d) subject to the provisions of Article 59 Judicial decisions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various
nations, as subsidiaary means for the determination of rules of
law”.
Adapun sumber hukum internasional yang juga dalam hal ini berlaku

sebagai sumber hukum udara internasional sebagai berikut:

a. Konvensi-konvensi Internasinal

Konvensi internasional (International Convention), perjanjian

internasional (multilateral) atau traktat (international treaties)

merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua atau lebih anggota

masyarakat internasional yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-

akibat hukum tertentu (Kusumaatmadja, 2003:109).


24

Dalam konteks hukum udara internasional, negara tetap sebagai

subjek hukum yang utama. Negaralah yang menjadi pihak dalam

konvensi-konvensi yang mengatur kepentingan bersama masyarakat

internasional, seperti Konvensi Chicago 1944 Tentang Penerbangan

Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation) atau

Konvensi Warsawa 1929 yang sekarang diganti dengan Konvensi

Montreal 1999 Tentang Unifikasi dari Ketentuan-ketentuan Tertentu

Sehubungan dengan Pengangkutan Udara Internasional (Convention

for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage

by Air) (Wiradipradja, 2014:79).

Namun, secara keseluruhan dalam hukum internasional, bila

ditinjau dari Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional,

ada yang sesuai dengan Konvensi Wina 1969 yaitu perjanjian-

perjanjian antara negara dengan negara, dalam hal ini seperti Konvensi

Chicago 1944 dan Konvensi Montreal 1999, selain itu juga ada

perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara dengan organisasi

internasional seperti negara dengan Organisasi Internasional Tentang

Penerbangan Sipil (ICAO),atau antara organisasi internasional satu

dengan yang lainnya, seperti antara IATA (International Air Transport

Association) dengan organisasi buruh internasional (ILO) tentang

peraturan-peraturan perburuhan di bidang penerbangan sipil, atau

dengan WHO yang menyangkut masalah kesehatan (Wiradipradja,

2014:79).
25

Menurut Diederiks-Verschoor, konvensi-konvensi multilateral

merupakan sumber utama hukum udara. Hal ini dikarenakan pada

kenyataannya hukum udara memiliki sifat internasional yang lebih

kuat dan sejak semula bertaraf internasional, misalnya sebagai

kelanjutan dari penerbangan berjadwal yang pertama diatur oleh kedua

negara antara Paris dan London yang kemudian pada tahun yang sama

dibuat Konvensi Paris 1919 (Dierediks, 2006:2).

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum

kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum

internasional. Dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya

hukum udara kebiasaan internasional. Namun demikian, peran hukum

kebiasaan internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya

konvensi internasional, mengingat hukum kebiasaan internasional

kurang menjamin adanya kepastian hukum.

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 merupakan salah satu hukum

kebiasaan internasional dalam hukum udara internasional. Namun

demikian, pasal tersebut diakomodasi didalam Konvensi Havana 1928

dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam perkembangan teknologi,

tindakan suatu negara dapat merupakan hukum kebiasaan internasional

tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh

Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone

(ADIZ). Tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Kanada

dengan menentukan Canadian Air Defence Identification Zone


26

(CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Didalam

hukum laut internasional juga dikenal adanya hukum kebiasaan

sebagai salah satu sumber hukum.

c. Prinsip-prinsip Hukum Umum

Selain hukum kebiasaan internasional dan konvensi internasional

sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles

recognized by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber

hukum udara. Salah satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38

(1) Piagam Mahkamah Internasional adalah “general principles or law

recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima

oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik hukum udara perdata maupun

hukum udara publik. Asas-asas tersebut antara lain:

a. Prinsip bonafide (iktikad baik atau good faith), artinya segala

perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik;

b. Pacta sun servanda, artinya apa yang diperjanjikan dalam

perjanjjan harus dipatuhi, ditaati karena perjanjian merupakan

undang-undang bagi yang membuat;

c. Abus de drojt atau misbrujk van rectht, maksudnya suatu hak

tidak boleh disalahgunakan;

d. Nebis in idem, artinya perkara yang sama tidak boleh diajukan

ke pengadilan lebih dari sekali;

e. Equality rights, maksudnya kesederajatan yang diakui oleh

negaranegara di dunia; (tidak boleh saling intervensi kecuali

atas persetujuan yang bersangkutan;


27

f. Non lequit, artinya hakim tidak dapat menolak dengan alasan

tidak ada peraturan atau tidak ada hukum karena hakim

mempunyai hak untuk menciptakan hukum (yurisprudensi).

Asas-asas hukum umum tersebut di atas sebagian besar berasal dari

zaman Romawi yang telah diterima sebagai kaidah hukum oleh

masyarakat dunia pada umumnya dan merupakan dasar lembaga-

lembaga hukum dari negara-negara maju atau civilized nations. Asas-

asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum dalam hukum

internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara nasional

maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal yang berarti

juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional maupun

hukum udara publik internasional (Simon, 2016: 23).

d. Ajaran Hukum

Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat

digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common

Law System atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum

mengenai pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut

ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan

transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita

oleh korban. Tanggung jawab tersebut Asas-asas hukum umum tersebut

di atas sebagian besar berasal dari Romawi yang telah diterima sebagai

kaidah hukum oleh masyarakat dunia pada umumnya dan merupakan

dasar lembaga-lembaga hukum dari negara-negara maju atau civilized

nations. Asas-asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum dalam


28

hukum internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara

nasional maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal

yang berarti juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional

maupun hukum udara publik internasional. Ajaran Hukum (Doctrine)

berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor).

Demikian pula ajaran hukum (doctrine) mengenai bela diri.

Menurut ajaran hukum (doctrine) bela diri, suatu tindakan disebut

sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang dengan ancaman yang

dihadapi. Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak dilengkapi

dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak

ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan

pesawat udara sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi

Chicago 1944 yang mengutamakan keselamatan penumpang, awak

pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut.

e. Yurisprudensi

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional,

yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan

demikian juga berlaku terhadap hukum udara, baik nasional maupun

internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum

udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan

penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun

terhadap pihak ketiga.

Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam

yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing


29

gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun

1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL)

dalam tahun 2000. Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan

Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga,

sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda Indonesian Airways mengenai

ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut

hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh

mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya

berdasarkan prinsip, “The decision of the court has no binding force

except between the parties and in respect if that particular cases,”

artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan

mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutkan tertentu itu

(Martono, 2007:2).

2.2 Instrumen Hukum Udara Internasional

2.2.1 Muatan Konvensi Paris 1919

a. Kedaulatan Wilayah Udara

Dikatakan di dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 bahwa, “The

High Contracting Parties recognize that every Power has complete

and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. For

the purpose of the present Convention, the territory, both that of the

mother country and of the colonies, and the territorial waters

adjacent thereto.”

Pasal ini terbentuk semenjak Inggris melakukan tindakan sepihak

dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang berisikan bahwa


30

Inggris mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di

atas wilayahnya dan hak secara mutlak mengawasi semua bentuk

penerbangan pesawat udara sipil maupun militer. Tindakan ini

kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, seperti Perancis,

Jerman, Austria-Hongaria, Rusia dan Belanda, sampai berakhirnya

Perang Dunia I pada tahun 1918. Pencantuman prinsip kedaulatan

atas wilayah tersebut sesuai dengan penegasan ICAN yang kemudian

diarahkan memasukkan prinsip kedaulatan negara di atas daratan

maupun perairan dan yurisdiksi di wilayah udara.

b. Klasifikasi Pesawat Udara

Pada pasal 30, 31, 32 dan 33 Konvensi Paris 1919 masing-masing

mengatur mengenai jenis pesawat udara. Menurut Pasal 30 Konvensi

Paris 1919, pesawat udara terdiri atas tiga jenis, masing-masing pesawat

udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan dinas

pemerintahan, seperti bea cukai dan polisi serta pesawat udara sipil.

Pesawat udara militer serta pesawat udara yang sepenuhnya digunakan

oleh pemerintah, seperti bea cukai dan polisi adalah merupakan pesawat

udara negara atau state aircraft. Semua pesawat udara selain pesawat

udara militer, pesawat udara yang digunakan dinas pemerintahan, seperti

bea cukai dan polisi, adalah merupakan pesawat udara sipil atau private

aircraft. Menurut Pasal 31, Setiap pesawat udara yang diterbangkan oleh

anggota militer dan digunakan untuk kepentingan militer adalah pesawat

militer. Dalam Pasal 32, diatur bahwa tidak ada pesawat militer yang
31

diperbolehkan untuk terbang di atas wilayah udara negara anggota

lainnya tanpa adanya izin khusus.

2.2.2 Muatan Konvensi Chicago 1944

a. Kedaulatan di Udara

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip

yang terdapat di dalam Konvensi Paris 1919, dimana menurut Pasal 1

Konvensi Paris 1919 dinyatakan bahwa, “The High Contracting

Parties recognise that every Power has complete and exclusive

sovereignty over the airspace above its territory.” Permasalahan

mengenai kedaulatan tersebut pernah diperdebatkan, apakah ruang

udara bisa benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan

kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial

sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas

damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut diselesaikan

melalu Konvensi Paris 1919, dimana setelah Perang Dunia I, disepakati

bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh

berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Pasal

1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan, “The Contracting States

recognise that every state has complete and exclusive sovereignty over

the airspace above its territory.” Dalam hal ini, pengakuan kedaulatan

di ruang udara tidak terbatas pada negara anggota saja, tetapi juga pada

negara bukan anggota, dimana dikatakan “every state.”


32

Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa

untuk keperluan Konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah

batas wilayah negara atau state territory, sehingga secara tegas berlaku

terhadap bukan negara anggota. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan complete adalah hak secara penuh atau utuh

yang dimiliki oleh negara yang berada di bawah ruang udara untuk

mengatur ruang udara yang ada diatasnya. Pasal 3 Chicago 1944

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan exclusive adalah bahwa bila

negara lain hendak memasuki wilayah udara suatu negara, maka harus

meminta izin terlebih dahul kepada negara yang wilayah udaranya akan

dimasuki. Lingkup yurisdiksi teritorial suatu negara diakui dan diterima

oleh negara anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak

terbatas dan ke bawah pusat bumi sepanjang dapat dieksploitasi.

b. Klasifikasi Pesawat Udara

Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan mengenai civil and

state aircraft. State aircraft atau pesawat udara negara adalah

merupakan pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan militer,

bea cukai dan polisi dan pesawat yang bukan digunakan untuk

kepentingan militer, bea cukai dan polisi adalah merupakan pesawat

udara sipil atau civil aircraft. Meskipun hanya berlaku terhadap pesawat

udara sipil, dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa tidak ada pesawat

udara negara yang diizinkan untuk terbang melintasi wilayah udara

negara tanpa memperoleh izin terlebih dahulu atau akan diperlakukan

menurut hukum yang berlaku di negara yang dilewati wilayah


33

udaranya. Selain itu, dikatakan bahwa pesawat udara negara harus

memperhatikan keselamatan udara sipil.

2.3 Ketentuan Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara Internasional

Konferensi Paris 1910 telah membahas mengenai perbedaan antara

pesawat udara sipil dan pesawat udara militer yang dikategorikan ke dalam

pesawat udara negara, namun konferensi tersebut tidak berhasil mengesahkan

konvensi internasional mengenai pengaturan penerbangan internasional

sehingga tidak berhasil merumuskan perbedaan pesawat udara sipil dan

pesawat udara Negara secara formil (Eva, 2010:270). Kemudian pada tahun

1919, telah berhasil mengesahkan Konvensi Internasional dengan judul

Convention Relating to Regulation of Aerial Navigation, di Paris (Martono,

1995:54).

Konvensi tersebut telah dirumuskan secara formal perbedaan antara

pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara. Pasal 30 Konvensi Paris 1919

mengatakan bahwa pesawat udara Negara adalah pesawat udara militer,

pesawat udara yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services)

misalnya, pesawat udara militer, polisi dan bea cukai (Cooper,1947:298).

Pesawat udara sipil adalah pesawat selain pesawat udara militer, polisi dan bea

cukai. Perbedaan kedua jenis pesawat udara ini berdasarkan hak dan

kewajiban menurut hukum internasional yang diatur dalam Konvensi Paris

1919. Pengaturan lebih jelas terdapat dalam Pasal 32 yang berbunyi: “No

military aircraft of a contracting states shall fly over the territory of another

Contracting State nor land thereon without special authorization

(permission).”Dijelaskan bahwa pesawat udara militer (Negara) tidak


34

mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas wilayah Negara

anggota Konvensi Paris 1919. Sedang-kan pesawat udara sipil diwaktu damai

mempunyai hak untuk melakukan penerbangan lintas damai di atas wilayah

Negara anggota lainnya, namun demikian wilayah Negara tersebut tidak

berlaku untuk pesawat udara sipil yang melakukan dinas penerbangan inter-

nasional berjadwal maupun pesawat udara Negara.(Martono,1995;54)

Hal ini berarti pesawat udara militer tidak dapat dikenakan ketentuan

hukum Negara lain yang berlaku seperti halnya terhadap pesawat udara sipil.

Tambahan pula, awak pesawat udara militer memperoleh manfaat dari hak

imunitas di dalam yurisdiksi kedaulatan Negara territorial lain hanya

sepanjang tindakan dan sikapnya itu sesuai dengan apa yang menjadi misinya.

Jika terjadi sengketa berkaitan dengan imigrasi, bea cukai, atau karantina,

maka hak tuan rumah hanya terbatas pada meminta pesawat udara Negara

tersebut untuk meninggalkan wilayahnya.

Ketentuan-ketentuan penerbangan internasional (termasuk perbedaan

pesawat udara sipil dengan pesawat udara Negara) dalam Konvensi Paris

1919, diambil alih oleh Konvensi Havana 1928, yang kemudian kedua

konvensi tersebut dicabut oleh Pasal 80 Konvensi Chicago 1944.

Ketentuan pembedaan pesawat udara sipil dengan pesawat udara Negara

dalam Konvensi Chicago 1944 ter-cantum dalam Pasal 3 (c). Menurut pasal

tersebut, pesawat udara sipil adalah selain daripada pesawat udara Negara,

sedangkan yang dimaksud pesawat udara Negara adalah pesawat udara yang

dipergunakan untuk militer, polisi dan bea cukai. Pesawat udara negara tidak

mempunyai hak melakukan penerbangan di atas wilayah Negara anggota.


35

Sebaliknya menurut Pasal 5 Konvensi Chicago 1944, pesawat udara selain

pesawat udara militer, polisi dan bea cukai yang melakukan penerbangan

internasional tidak berjadwal dapat melakukan di atas wilayah Negara anggota

tanpa memperoleh ijin terlabih dahulu. Dalam praktek, ketentuan pasal 5 ini

tidak dapat dilaksanakan karena setiap Negara berdasarkan paragraph 2 dapat

mengenakan persyaratan - persyaratan tertentu yang berat dilaksanakan.

(Haanappel, 1978:13)

Menurut Priyatna, klasifikasi pesawat udara adalah sebagai berikut

(Priyatna Abdurrasyid,2008;135) Pesawat Udara (aircraft) : (1) Pesawat udara

Negara, (a) Pesawat udara militer, (a1) Pesawat udara Angkatan Udara, (a2)

Pesawat udara Angkatan Laut, (a3) Pesawat udara Angkatan Darat, (a4)

Pesawat udara yang dimilterisasi. (b) Pesawat udara Negara lainnya, (b1)

Pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan Negara, (b2) Pesawat udara

polisi, (b3) Pesawat udara bea-cukai, (b4) Pesawat udara suatu jawatan

pemerintah (2) Pesawat udara sipil, (a) Pesawat udara komersial (b) Pesawat

udara privat/ non komersial Angkatan Laut Amerika Serikat mendefinisikan

Pesawat udara militer dalam salah satu pedoman militernya sebagai:

(Abdurrasyid, 2008: 139)

“All aircraft operated by commissioned units of armed forces of a nation

bearing military markings of that nations, commanded by a member of the

armed forces, and manned by a crew subject to regular armed forces

discipline”.

Sesuai dengan USAF tersebut, maka klasifikasi pesawat udara menurut

Konvensi Chicago 1944 terdiri dari pesawat udara jenis berat dan jenis yang
36

lebih ringan dari udara, tetapi tidak termasuk objek yang digolongkan sebagai

peluru kendali, seperti roket. Pengendalian oleh awak bukan merupa-kan suatu

ciri yang penting. Dengan demikian memungkinkan adanya pesawat yang

tidak dikendalikan oleh pilot yang dalam hal ini masuk di dalam yurisdiksi

pengaturan Konvensi Chicago 1944.

Konvensi Jenewa 1958 tentang Convention on High Seas dan konvensi

PBB tentang Hukum Laut mengatur juga mengenai pesawat udara Negara.

Menurut konvensi jenewa 1958 istilah yang dipakai adalah pesawat udara

militer (pesawat udara dinas pemerintah/government services) dan private

aircraft. Private aircraft tidak mempunyai hak untuk menguasai atau menyita

pesawat udara yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft

tidak mempunyai kewenangan penegakan hukum . Kewenangan penegakan

hukum tersebut hanya dimiliki oleh pesawat udara militer, pesawat udara

dinas pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Konvensi jenewa 1958.

Pasal tersebut secara lengkap berbunyi:

“A seizure on account of piracy may only be carried by warships or military

aircraft or other ships or aircraft on government services authorized to that

effect”.

Pasal 107 Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengatur pesawat udara

yang mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara asing atau

kapal asing yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum. Pesawat udara

yang berhak menyita hanyalah pesawat udara militer atau pesawat udara yang

jelas ditandai dan dapat dikenali atau diketahui dinas pemerintah dan ber-

wenang untuk maksud tersebut. Dengan demikian pesawat udara tersebut


37

harus secara tegas dan jelas dipakai untuk dinas pemerintah. Disamping itu

pesawat udara militer atau yang ditandai dengan jelas dinas pemerintah

tersebut menurut pasal 111 (5) juga mempunyai hak pengejaran seketika

terhadap kapal atau pesawat udara saing yang dicurigai melakukan

pelanggaran. Disimpulkan bahwa walaupun tidak ada pasal yang secara

khusus dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi PBB tentang Hukum

Laut, namun pembedaan pesawat udara sipil dan militer dapat dilihat dalam

Pasal 21 juncto 23 (4) konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 107 juncto Pasal 111

(5) Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Tanggung Jawab Negara

2.4.1 Istilah dan Definisi PertanggungJawaban Negara

Menurut Peter Salim, ada tiga istilah hukum yang sering digunakan

untuk menyebut tanggung jawab. Istilah-istilah yang dimakasud adalah

Accountability, Liability, dan Rensponsbility. Istilah pertama

Accountability dikaitkan dengan masalah keuangan atau pembukuan atau

juga dapat dikaitkan dengan masalah suatu kepercayaan terhadap

lembaga tertentu yang berkaitan dengan keuangan (Sefriani, 2016:251-

252).

Istilah kedua, yaitu Liability yang dalam hal ini merupakan

pertanggungjawaban hukum. Tanggungjawab dalam makna Liability

bermakna tanggungjawab dalam ranah hukum, dan pada biasanya

direalisasikan dalam bentuk tanggungjawab keperdataan, kewajiban

membayar ganti kerugian yang diderita. Liability pada umumnya


38

dikaitkan dengan gugatan di pengadilan perdata. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, tanggung jawab (liability) dapat pula berarti

menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya

atau perbuatan orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya.

Dalam hukum keperdataan, prinsip-prinsip tanggungjawab dapat

diklasifikasikan sebagai berikut : (Sefriani, 2016:252)

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan

(liability based of fault);

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of

liability);

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability or strict

liabilty).

Istilah ketiga yaitu responsbility, dalam bahasa inggris

“responsbility” berasal dari kata “ respons” yang berarti tindakan untuk

merespon suatu masalah atau isu, dan “ability” yang berarti

kemampuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung Jawab

(responsbility) diartikan sebagai wajib menanggung segala sesuatunya

atau terjadi sesuatu dengan dipersalahkan, dituntut, diancam hukuman

pidana, menerima beban akibat tindakan sendiri atau orang lain. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara tangung jawab dalam

makna responsbility dengan tanggung jawab dalam makna liability pada

hakikatnya terletak pada sumber pengaturannya (Sefriani, 2016:252-

253).
39

Tanggung jawab negara (state responsbility) merupakan prinsip

fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin

para ahli hukum internasional. Tanggung jawab negara timbul ketika

terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat

sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional

maupun berdasarkan kebiasaan internasional (Sujatmoko, 2016:28).

Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban negara adalah

kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan

atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan

atas kerugian yang mungkin ditimbulkan (Istanto, 2004:105). Tanggung

jawab negara (state responsbility) timbul sebagai akibat dari adanya

persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state)

yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian

memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya

untuk menuntut suatu hak yaitu perbaikan (reparation) (Hingorani,

1984:241).

Meskipun suatu negara memiliki kedaulatan atas dirinya, bukan

berarti negara tersebut dapat menggunakan kedaulatannya tanpa

menghormati kedaulatan negara-negara lain. Hukum internasional telah

mengatur sedemikian rupa bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan

kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena

apabila suatu negara menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara

tersebut dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan

kelalaiannya (Adolf, 1991:174).


40

2.4.2 Pertanggungjawaban Negara dalam Hukum Internasional

Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada

dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara

manapun di dunia ini yang dapat menikmati hak-haknya tanpa

menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap negara

lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban untuk

mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut hukum

internasional. Hal ini sebenarnya merupakan kebiasaan dalam sistem

hukum di dunia, dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat

secara hukum akan menimbulkan tanggungjawab bagi pelanggarnya

(Sefriani, 2010:266).

Hukum internasional mengatur mengenai pertanggungjawaban

negara. Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional

memiliki dua pengertian yang dimaksud. Pertama, yaitu

pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar kewajiban

hukum internasional. Kemudian yang kedua, yaitu pertanggungjawaban

yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing

(Thontowi, 2006:193).

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tanggungjawab negara

muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara

yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian

memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya

untuk menuntut reparasi. Dalam hukum nasional telah dibedakan antara

pertanggungjawaban pidana dan perdata, begitu juga dalam hukum


41

internasional terdapat beberapa ketentuan yang serupa dengan hukum

nasional, akan tetapi hal ini tidak menonjol. Hal ini dikarenakan hukum

internasional mengenai pertanggungjawaban belum berkembang begitu

pesat (Thontowi, 2006:193-194).

Pada hakikatnya pertangungjawaban muncul diakibatkan oleh

pelanggaran hukum internasional. Suatu negara dikatakan

bertangungjawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran

terhadap perjanjian internasional, melanggar wilayah kedaulatan negara

lain, bahkan memperlakukan warga negara asing dengan sewenang-

wenangnya. Oleh karena itulah, pertanggungjawaban negara berbeda –

berbeda tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besarnya

kerugian yang ditimbulkan (Thontowi, 2006:194).

Para pakar hukum internasional mengakui bahwa tanggungjawab

negara merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional,

namun di sisi lain mereka juga mengakui bahwa hukum tanggungjawab

negara masih dalam taraf menemukan konsepnya dan masih dalam

proses perkembangan. Pada umumnya hukum internasional hanya

menjelaskan karakteristik timbulnya tanggung jawab negara sebagai

berikut : (Sefriani, 2016:254-255).

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar

dua negara tertentu;

2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar

kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan

tanggungjawab negara;
42

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan

yang melanggar hukum atau kelalaian.

Meskipun belum pernah disepakati secara universal, karakteristik di

atas banyak diikuti dalam hukum internasional klasik. Dengan demikian

tanggungjawab negara hanya bisa dituntut dalam hubungan internasional

ketika ada suatu negara yang dirugikan oleh negara lain akibat adanya

pelanggaran kewajiban kelalaian yang muncul dari perjanjian

internasional, kebiasaan internasional, dan putusan pengadilan (Sefriani,

2016:255).

2.4.5 Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Negara

Hukum internasional mengakui beberapa bentuk

pertanggungjawaban negara, salah satunya adalah reparation. Akan

tetapi, saat ini reparation sudah sangat jarang digunakan hal ini

dikarenakan saat ini lebih sering persoalan mengenai ekspropiasi yang

lebih bersifat politis. Selain itu juga, penggunaan istilah reparation

makin membingungkan, ketika Brownline menggunakannya untuk

ditujukan kepada semua tindakan yang diambil oleh negara yang

dibebankan pertanggungjawaban seperti pembayaran kompensasi atau

restitusi, sebuah permintaan maaf, penghukuman atas individu yang

bertanggungjawab, mengambil tindakan supaya tidak terjadi

pengulangan, serta segala bentuk pembalasan lainnya. Oleh karena

itulah, Brownline membuat perbedaan antara restitusi dan kompensasi.

Kompensasi merupakan reparasi dalam artian sempit yang berhubungan


43

dengan pembayaran sejumlah uang sebagai ganti atas kerugian

(Thontowi, 2006:204).

Pertanggungjawaban dalam bentuk kompensasi dapat diberikan

kepada suatu negara yang melakukan pelanggaran-pelanggaran

walaupun pelanggaran tersebut tidak berhubungan dengan kebutuhan

finansial, seperti pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik atau

konsuler yang hanya ganti rugi sebagai reparasi moral dan politis dari

suatu negara. Akan tetapi, kembali lagi ke prinsip dasar dalam

pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh suatu negara

merupakan suatu persoalan yang dapat digeneralisir (Thontowi,

2006:204).

2.4.6 Macam-Macam Bentuk Tanggung Jawab Dalam Hukum

Internasional.

Terdapat tiga tanggung jawab negara dalam hukum internasional,

yaitu tanggung jawab terhadap orang asing dan properti milik asing,

terhadap utang publik (public debt), dan terhadap aktivitas ruang

angkasa. Adapun secara detailnya sebagai berikut:

a. Tanggung Jawab Terhadap Orang Asing dan Properti Milik Asing.

Memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang ada

di luar negeri merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki suatu

negara. Eksistensi hak dan kewajiban ini dalam prakteknya sering

menimbulkan konflik kepentingan antar negara. Negara asal WNA

tentu juga ingin memberikan perlindungan terhadap warga negaranya

yang ada di luar negeri. Dalam praktiknya perlakuan buruk yang


44

dilakukan negara terhadap WNA dapat menimbulkan tanggung

jawab negara. Adapun perlakuan buruk yang dimaksud adalah :

(Sefriani, 2016: 266).

1. Pengingkaran keadilan (denial justice);

2. Pengambil alihan harta benda pihak asing secara tidak sah;

3. Kegagalan untuk menghukum seseorang yang seharusnya

bertanggung jawab terhadap serangan yang ditujukan pada

pihak asing;

4. Kerugian langsung yang disebabkan tindakan organ negara.

Terkait standar yang tepat dalam memperlakukan orang asing di

suatu negara sering kali diperdebatkan antara standar minimum

internasional dengan standar nasional. Standar minimum

internasional sangat dinginkan oleh kelompok negara maju yang

khawatir terhadap warga negaranya diperlakukan buruk di negara

berkembang dan terbelakang, mengingat pemerintah di negara-

negara ini banyak yang sering memperlakukan buruk warga

negaranya sendiri ( Radiasta, 2018:23).

Menurut hukum kebiasaan asing tindakan nasionalisasi yang

sangat sering dilakukan oleh pemerintah suatu negara terhadap

kepemilikan asing yang menimbulkan kerugian terhadap mereka

merupakan tindakan illegal, kecuali dilakukan dengan memberikan

ganti rugi dengan tunai (prompt), layak (adequate) dan efektif

(effective). Adapun menurut J.G. Starke, nasionalisasi merupakan

tindakan yang sah dari negara yang berdaulat asalkan memenuhi


45

standar ganti rugi sesuai dengan hukum kebiasaan internasional dan

dilakukan untuk kepentingan publik serta tidak ada diskriminasi

(Sefriani, 2016:267-268).

Berdasarkan dua Resolusi Majelis Umum yaitu GA res 3201 in

1974 Declaration on establishment of a new international economic

order dan GA Res 3281 (XXIX) Charter of Economic Rights Duites

of States, nasionalisasi adalah sah dengan catatan memberikan ganti

rugi yang tepat sesuai dengan hukum nasional. Dalam prakteknya,

persoalan nasionalisasi dapat diselesaikan melalui perjanjian bilateral

maupun multilateral yang berisi jaminan dari negara lain untuk tidak

menasionalisasikan kepemilikan asing yang ada di wilayahnya

(Sefriani, 2016:268).

b. Tanggung Jawab Terhadap Utang Publik (Public Debt)

Terdapat tiga teori yang menurut Starke yang menjelaskan

bagaimana kreditur dalam menghadapi debitur yang tidak

memenuhi kewajiban membayar utangnya. Adapun teori pertama

dikemukakan oleh Lord Palmerston pada awal perkembangan

hukum internasional, yang menyatakan bahwa kegagalan suatu

negara dalam membayar hutang dapat memberikan hak kepada

kreditur untuk mengambil langkah yang disarankan dengan

memaksa debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Dalam hal ini

langkah yang dimaksud adalah melalui jalur diplomatik maupun

kekerasan seperti military action. Namun, seiring dengan

berkembangnya hukum internasional penggunaan kekerasan dalam


46

penyelesaian utang negara dilarang, maka dalam teori kedua

menurut Drago penyelesaian utang negara hanya dapat dilakukan

melalui jalur diplomatik dan jalur hukum. Sedangkan dalam teori

ketiga yang banyak diikuti saat ini menyatakan bahwa tidak ada

ketentuan atau metode khusus bagaimana suatu negara debitur

membayar utang-utangnya. Kewajiban suatu negara dalam hal

sebagai debitur berkaitan dengan utangnya sama dengan

kewajibannya yang muncul dari perjanjian internasional lainnya

(Sefriani, 2016:268-269).

c.Terhadap Aktivitas Ruang Angkasa

Hukum internasional menganggap bahwa aktivitas ruang

angkasa sebagai aktivitas yang memiliki resiko tinggi sehingga

negara secara mutlak akan dianggap bertanggungjawab terhadap

segala kerugian yang muncul dari aktivitas yang dilakukan baik di

permukaan bumi maupun ruang udara. Tanggung jawab secara

mutlak dalam hal ini berarti pihak yang dirugikan tidak perlu

membuktikan letak kesalahan tergugat penyebab terjadinya kerugian.

Prinsip ini diterapkan dengan pemikiran akan sangat sulit bagi

penggugat membuktikan dimana letak kesalahan pembuat kerugian,

mengingat aktivitas ruang angkasa merupakan aktivitas dengan

teknologi tinggi yang sangat sulit dan jarang bisa dipahami oleh

masyarakat awam. Tanggung jawab secara mutlak ini juga berarti

bahwa suatu negara dianggap tahu dan seharusnya mengetahui

segala aktivitas ruang angkasa yang terjadi di wilayah yang menjadi


47

yurisdiksinya, meliputi siapapun pelakunya, negara sendiri, atau

pihak swasta (Sefriani, 2016:269).

Prinsip tanggung jawab based on fault principle atau tanggung

jawab berdasarkan kesalahan digunakan ketika kerugian muncul di

ruang angkasa. Dengan demikian, letak kesalahan tergugat yang

menimbulkan kerugian harus dibuktikan oleh pihak penggugat agar

berhasilnya gugatan yang disampaikan. Prinsip ini diterapkan dengan

pertimbangan bahwa kerugian yang terjadi di ruang angkasa tentu

menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun teknologi, hal

ini dikarenakan penggugat dalam hal ini negara yang dirugikan juga

memiliki objek di ruang angkasa, sehingga tidak sulit bagi pihak

penggugat untuk membuktikan letak kesalahan tergugat (Sefriani,

2016:269).

Terhadap aktivitas ruang angkasa tersebut, apabila dalam suatu

aktivitas menimbulkan kerugian kepada pihak lain, maka negara

wajib memberikan ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. Prinsip

dan prosedur pemberian ganti rugi ini telah dijelaskan dala Liability

Convention (1972) yang menetapkan bahwa terdapat dua prinsip

hukum yang mengatur tentang tanggung jawab untuk ganti rugi,

yaitu: (Wiradipradja dan Komar, 1998:152)

1. Apabila kerugian itu terjadi di atas permukaan bumi, maka

pihak negara peluncur harus bertanggung jawab secara penuh

dan mutlak;
48

2. Apabila kerugian itu terjadi bukan di atas permukaan bumi

dan menimpa benda ruang angkasa miliki Negara peluncur

lain atau orang dan harta milik Negara peluncur lain, maka

tanggung jawab peluncur yang menimbulkan kerugian itu

harus bertanggungjawab dan negara yang dirugikan harus

dapat membuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian

besar di pihak Negara peluncur tersebut.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses

penelitian. Sedangkan Penelitian itu sendiri merupakan upaya dalam bidang

ilmu sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina

serta mengembangkan ilmu pengetahuan (Soekanto, 1986:3). Metode

penelitian adalah suatu teknik atau cara yang digunakan untuk memecahkan

suatu masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan

menggunakan metode ilmiah. Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa

perangkat peneitian yang sesuai dengan metode penelitian guna memperoleh

hasil yag maksimal, antara lain sebagai beikut :

3.1 Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah

jenis penelitian hukum yang digunakan dengan cara mengkaji hukum yang

dianggap sebagai norma atau kaidah yang belaku di masyarakat. Menurut

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan

dokumen peraturan perundang-undangan (Ishaq, 2017:66). Pada skripsi ini,

peneliti mengkaji tentang Kedaulatan Wilayah udara Pakistan dan Tinjauan

Yuridis Penembakan Pesawat Militer India Oleh Pakistan di Kashmir Ditinjau

Dari Persepektif Hukum Udara Internasional.

49
50

3.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan merupakan cara pandang peneliti dalam memilih ruang

bahasa yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi

karya ilmiah. Berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan dari penelitian

yang merupakan penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan

(statue approach), dan pendekatan kasus (case approach).

1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pemasalahan (isu hukum) yang

sedang dihadapi. Dalam hukum internasional perundang-undangan

yang dimaksud adalah instrumen hukum internasional dalam bentuk

konvensi-konvensi internasional. Dalam penelitian ini peneliti meneliti

aturan-aturan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Pesawat Militer

India di wilayah kedaulatan milik Pakistan berdasarkan Konvensi Paris

1919 dan Konvensi Chicago 1944.

2. Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang

sedang dihadapi. Dalam hal ini peneliti menelaah bagaimana terjadinya

kasus Penembakan Pesawat Militer India oleh Pakistan di wilayah

udara yang menjadi kedaulatan Pakistan, selain itu juga kasus-kasus

yang berkaitan dengan masalah yang dihadapai seperti kasus jatuhnya

pesawat MH17 di atas wilayah konflik bersenjata antara Ukraina dan


51

Rusia, penembakan pesawat Korea Air Lines oleh Uni Soviet, dan

penembakan pesawat Rusia oleh Turki.

3.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum adalah bahan yang dapat digunakan untuk menganalisis

hukum yang berlaku. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka yang

merupakan bahan hukum dasar dan sumber bahan hukum hanya diperoleh

dari sumber bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum sekunder yaitu

sumber bahan hukum yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur

yang memiliki hubungan dengan objek penelitian (Ishaq, 2017:67-68).

Sumber bahan hukum yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian

ini adalah :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif

artinya memiliki otoritas. Dalam penelitian ini bahan hukum primer

yang digunakan seperti Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to

The Reulation off Aerial Navigation), Konvensi Chicago 1944

(Convention of Interntional Civil Aviation), dan ketentuan-ketentuan

yang berasal dari hukum internasional.

b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yaitu :

1. Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan mengenai

hukum internasional yang bekaitan dengan penelitian dan

metode penelitian hukum;

2. Hasil-hasil penelitian Penembakan pesawat udara militer milik

India oleh Pakistan di atas wilayah Kashmir;


52

3. Pendapat ahli yang berkompeten dengan penulisan penelitian

yang dilakukan;

4. Artikel dalam jurnal yang berkaitan dengan Penembakan

Pesawat udara militer milik India Oleh Pakistan di atas wilayah

Kashmir;

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum prrimer dan

sekunder, yaitu:

1. Kamus Bahasa Indonesia;

2. Kamus Hukum

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen merupakan pengumpulan

bahan hukum melalui sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan

yang dibahas kemudian dikelompokkan secara sistematis dan berhubungan

dengan masalah dalam penelitian.

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum dilakukan setelah bahan hukum terkumpul

yang kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan argumentasi akhir yang

berupa jawaban terhadap permasalahan penelitian, teknik analisis bahan

hukum ada teknik deskriptif, teknik komparatif, teknik evaluatif dan teknik

argumentatif (Diantha, 2016:152). Pada penelitian ini peneliti menggunakan

teknik deskriptif kualitatif dimana bersifat pemaparan dan menggambarkan

apa adanya tentang suatu peristiwa hukum yang terjadi di suatu tempat
53

tertentu pada saat tertentu agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh

dan sistematis terhadap peristiwa yang diajukan dalam penelitian.

Bahan hukum primer dan sekunder yang dikumpulkan kemudian

dilakukan suatu evaluasi, interpretasi, dan argumentasi. Adapun argumentasi

yang dilakukan oleh peneliti digunakan untuk memberikan deskripsi mengenai

benar atau salah atau apa yang seharusnya menurut hukum terhadap peristiwa

yang terjadi. Dari hal tersebut kemudian akan ditarik suatu kesimpulan secara

sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi atau pertentangan antara bahan

hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain dan dilakukan pembahasan

secara deskriptif.
54

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaturan Pesawat Militer Khususnya Pesawat Militer India Dalam

Konvensi Chicago 1944

4.1.1 Pengaturan Pesawat Udara Militer dalam Hukum Udara

Internasional

Konferensi Paris 1910 telah membahas mengenai perbedaan

pesawat udara sipil dengan pesawat udara militer yang dikategorikan ke

dalam pesawat udara negara, namun konferensi tersebut tidak berhasil

mengesahkan konvensi internasional mengenai pengaturan penerbangan

internasional sehingga tidak berhasil merumuskan perbedaan pesawat

udara sipil dan pesawat udara Negara secara formil (Eva, 2010:270).

Kemudian pada tahun 1919, telah berhasil mengesahkan Konvensi

Internasional dengan judul Convention Relating to Regulation of Aerial

Navigation, di Paris (Martono, 1995:54).

Konvensi tersebut telah dirumuskan secara formal perbedaan

antara pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara. Pasal 30

Konvensi Paris 1919 mengatakan bahwa pesawat udara Negara adalah

pesawat udara militer, pesawat udara yang semata-mata untuk

pelayanan publik (public services) misalnya, pesawat udara militer,

polisi dan bea cukai (Cooper,1947:298). Pesawat udara sipil adalah

pesawat selain pesawat udara militer, polisi dan bea cukai. Perbedaan

kedua jenis pesawat udara ini berdasarkan hak dan kewajiban menurut

hukum internasional yang diatur dalam Konvensi Paris 1919.


55

Pengaturan lebih jelas terdapat dalam Pasal 32 yang berbunyi: “No

military aircraft of a contracting states shall fly over the territory of

another Contracting State nor land thereon without special

authorization (permission).”Dijelaskan bahwa pesawat udara militer

(Negara) tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas

wilayah Negara anggota Konvensi Paris 1919. Sedangkan pesawat

udara sipil diwaktu damai mempunyai hak untuk melakukan

penerbangan lintas damai di atas wilayah Negara anggota lainnya,

namun demikian wilayah Negara tersebut tidak berlaku untuk pesawat

udara sipil yang melakukan dinas penerbangan inter-nasional berjadwal

maupun pesawat udara Negara (Martono,1995;54).

Hal ini berarti pesawat udara militer tidak dapat dikenakan

ketentuan hukum Negara lain yang berlaku seperti halnya terhadap

pesawat udara sipil. Tambahan pula, awak pesawat udara militer

memperoleh manfaat dari hak imunitas di dalam yurisdiksi kedaulatan

Negara territorial lain hanya sepanjang tindakan dan sikapnya itu sesuai

dengan apa yang menjadi misinya. Jika terjadi sengketa berkaitan

dengan imigrasi, bea cukai, atau karantina, maka hak tuan rumah hanya

terbatas pada meminta pesawat udara Negara tersebut untuk

meninggalkan wilayahnya.

Ketentuan-ketentuan penerbangan internasional (termasuk

perbedaan pesawat udara sipil dengan pesawat udara Negara) dalam

Konvensi Paris 1919, diambil alih oleh Konvensi Havana 1928, yang

kemudian kedua konvensi tersebut dicabut oleh Pasal 80 Konvensi


56

Chicago 1944. Ketentuan pesawat udara Negara dalam Konvensi

Chicago 1944 tercantum dalam Pasal 3 (c). Menurut pasal tersebut,

pesawat udara Negara adalah pesawat udara yang dipergunakan untuk

militer, polisi dan bea cukai. Pesawat udara negara tidak mempunyai

hak melakukan penerbangan di atas wilayah Negara anggota.

Sebaliknya menurut Pasal 5 Konvensi Chicago 1944, pesawat udara

selain pesawat udara militer, polisi dan bea cukai yang melakukan

penerbangan internasional tidak berjadwal dapat melakukan di atas

wilayah Negara anggota tanpa memperoleh ijin terlabih dahulu. Dalam

praktek, ketentuan pasal 5 ini tidak dapat dilaksanakan karena setiap

Negara berdasarkan paragraph 2 dapat mengenakan persyaratan -

persyaratan tertentu yang berat dilaksanakan (Haanappel , 1978:13).

Menurut Priyatna, klasifikasi pesawat udara adalah sebagai berikut

(Priyatna Abdurrasyid,2008;135) Pesawat Udara (aircraft) : (1) Pesawat

udara Negara, (a) Pesawat udara militer, (a1) Pesawat udara Angkatan

Udara, (a2) Pesawat udara Angkatan Laut, (a3) Pesawat udara Angkatan

Darat, (a4) Pesawat udara yang dimilterisasi. (b) Pesawat udara Negara

lainnya, (b1) Pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan Negara,

(b2) Pesawat udara polisi, (b3) Pesawat udara bea-cukai, (b4) Pesawat

udara suatu jawatan pemerintah (2) Pesawat udara sipil, (a) Pesawat

udara komersial (b) Pesawat udara privat/ non komersial Angkatan Laut

Amerika Serikat mendefinisikan Pesawat udara militer dalam salah satu

pedoman militernya sebagai: (Abdurrasyid, 2008: 139)


57

“All aircraft operated by commissioned units of armed forces of a

nation bearing military markings of that nations, commanded by a

member of the armed forces, and manned by a crew subject to regular

armed forces discipline”.

Sesuai dengan USAF tersebut, maka klasifikasi pesawat udara

menurut Konvensi Chicago 1944 terdiri dari pesawat udara jenis berat

dan jenis yang lebih ringan dari udara, tetapi tidak termasuk objek yang

digolongkan sebagai peluru kendali, seperti roket. Pengendalian oleh

awak bukan merupakan suatu ciri yang penting. Dengan demikian

memungkinkan adanya pesawat yang tidak dikendalikan oleh pilot yang

dalam hal ini masuk di dalam yurisdiksi pengaturan Konvensi Chicago

1944.

Konvensi Jenewa 1958 tentang Convention on High Seas dan

konvensi PBB tentang Hukum Laut mengatur juga mengenai pesawat

udara Negara. Menurut konvensi jenewa 1958 istilah yang dipakai

adalah pesawat udara militer (pesawat udara dinas

pemerintah/government services) dan private aircraft. Private aircraft

tidak mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara

yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft tidak

mempunyai kewenangan penegakan hukum . Kewenangan penegakan

hukum tersebut hanya dimiliki oleh pesawat udara militer, pesawat

udara dinas pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Konvensi

jenewa 1958. Pasal tersebut secara lengkap berbunyi:


58

“A seizure on account of piracy may only be carried by warships or

military aircraft or other ships or aircraft on government services

authorized to that effect”.

Pasal 107 Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengatur pesawat

udara yang mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat

udara asing atau kapal asing yang dicurigai melakukan pelanggaran

hukum. Pesawat udara yang berhak menyita hanyalah pesawat udara

militer atau pesawat udara yang jelas ditandai dan dapat dikenali atau

diketahui dinas pemerintah dan ber-wenang untuk maksud tersebut.

Dengan demikian pesawat udara tersebut harus secara tegas dan jelas

dipakai untuk dinas pemerintah. Disamping itu pesawat udara militer

atau yang ditandai dengan jelas dinas pemerintah tersebut menurut

pasal 111 (5) juga mempunyai hak pengejaran seketika terhadap kapal

atau pesawat udara saing yang dicurigai melakukan pelanggaran.

Disimpulkan bahwa walaupun tidak ada pasal yang secara khusus

dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut,

namun pembedaan pesawat udara sipil dan militer dapat dilihat dalam

Pasal 21 juncto 23 (4) konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 107 juncto

Pasal 111 (5) Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

4.1.2 Pengaturan Pesawat Militer India dalam Konvensi Chicago 1944

Pesawat udara militer jenis Mikoyan-Gurevich atau yang dikenal

dengan MiG-21 Bison yang dimiliki India merupakan pesawat yang

mempunyai peran sangat penting dalam dunia kemiliteran bagi India.

Diketahui pesawat MIG-21 adalah pesawat jet tempur penyergap dan


59

pencegat supersonik generasi ketiga yang diperkenalkan militer Uni

Soviet pada tahun 1956. MiG-21 didesain sejak awal untuk digunakan

penyergapan pada kecepatan tinggi yang biasanya digunakan untuk

menembak jatuh pesawat lawan dengan kanon dan rudal. Pesawat yang

digunakan oleh angkatan udara India ini merupakan versi pesawat yang

sebagian besar telah dimodernisasi ( www.militaryfactory.com ).

Pesawat udara militer dalam hukum internasional adalah pesawat

udara yang digunakan khusus untuk angkatan bersenjata yang tidak

memiliki hak untuk terbang di atas wilayah kedaulatan negara lain.

Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 pesawat udara militer

dikategorikan sebagai pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat

udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan

untuk militer, polisi dan bea cukai. Maka dengan demikian, pesawat

udara udara militer merupakan pesawat yang digunakan oleh negara

untuk kepentingan negara ( Irham, 2015:18).

Selain itu juga, dijelaskan dalam Pasal 31 Konvensi Paris 1910

“Every Aircraft commanded by a person in military service detailed for

the purposed shall be deemed to be a military aircraft” maksdunya

adalah bahwa setiap pesawat yang diperintahkan oleh seseorang yang

bekerja dalam dinas militer dengan tujuan khusus dianggap sebagai

pesawat militer. Dalam hukum internasional hak dan kewajiban pesawat

udara militer dibedakan dengan pesawat udara publik, sebagaimana

diatur dalam pasal 32 Konvensi Paris 1919 yang menyatakan “no

military aircraft of a contracting states shall fly over theterritory of


60

another contracting state nor land thereon without special

authorization (permission)”. Maksudnya adalah bahwa pesawat udara

militer (negara) tidak memiliki hak untuk melakukan penerbangan di

atas wilayah negara anggota konvensi paris 1919 sebelum mendapatkan

izin terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan (Irham, 2015:18).

Pesawat udara militer dalam hukum internasional diklasifikasikan

berdasarkan penggunaan (fungsi) pesawat udara itu digunakan oleh

suatu negara, adapun pengklasifikasiannya sebagai berikut :

1. Pesawat Pengebom

Dilihat dari kegunaannya peranannya jelas yakni menjatuhkan

bom ke daerah sasaran. Pesawat pengebom dalam dunia

kemiliteran dibedakan menjadi dua, yakni pesawat pengebom

strategis yang memiliki daya jangkau tembak yang sangat jauh,

dan pesawat pengebom taktis yang jangkauan tembakkannya lebih

pendek yang biasanya digunakan pasukan darat

(www.jejaktapak.com). Di zaman modern seperti sekarang ini,

pesawat perang apapun yang secara khusus tidak dirancang untuk

digunakan sebagai pesawat pengebom strategis dapat masuk ke

dalam kategori pesawat ini. Beberapa pesawat yang masuk ke

dalam kategori pesawat ini antara lain Northrop Grumman B-2

Spirit, Rockwell B-1B Lancer, Boeing B-52 HStratofortress, dan

General Dynamics F-111 Aardvark. Sementara Uni Soviet/Rusia

memiliki Tupolev Tu160 Blackjack, Tupolev Tu-95 Bear, dan

Tupolev Tu-22M Backfire, Russia.


61

2. Pesawat Serang

Pesawat serang atau yang dalam hukum udara internasional

disebut dengan ground attack aircraft merupakan jenis pesawat

militer yang ditugaskan untuk memberi dukungan langsung pada

pergerakan pasukan darat, baik infantri maupun tank agar bisa

bergerak secara cepat dan aman. Dengan tugasnya tersebut, maka

posisi pesawat serang ini selalu ada di depan garis pertempuran

untuk membuka jalur (Irham, 2015: 20). Beberapa contoh pesawat

serang antara lain, XAC JH-7, milik China, Dassault Mirage 2000

D/N (Prancis), AMX International AMX, (Italia dan Brasil),

Mitsubishi F-2, Jepang) Mikoyan MiG-27 Flogger (Rusia) Sukhoi

Su-34 Fullback (Rusia), Sukhoi Su-25 Frogfoot (Rusia), Sukhoi

Su-24 Fencer, F/A-18B/D Hornet (Amerika), AV-8B Harrier II

(Amerika), Fairchild A-10 Thunderbolt II (Amerika) F-15E Eagle

(Amerika) Lockheed F-117 Nighthawk (Amerik) dan sebagainya

(www.jejaktapak.com).

3. Pesawat Tempur

Sesuai dengan namanya pesawat tempur ditugaskan untuk

melakukan pertempuran udara sehingga dituntut untuk bergerak

lincah dan melakukan manuver tajam. Oleh karena itulah, pesawat

jenis tempur ini biasnya kecil dan ramping. Pesawat tempur mulai

dikembangkan di era Perang Dunia I yang saat itu berupa pesawat-

pesawat sayap ganda kayu yang diberi senapan ringan (Irham,

2015:21). Pesawat tempur saat ini sudah dilengkapi dengan


62

berbagai senjata canggih termasuk rudal hingga kemampuan

stealth (siluman). Beberapa contoh pesawat tempur antara lain,

China misalnya memiliki JF-17 Thunder, Chengdu J-20,Chengdu

J-10, SAC J-31, dan SAC J-8 Finback.Sedang Rusia mengandalkan

generasi MIG hingga Sukhoi di antaranya MiG 1.42, MiG-31

Foxhound, MiG-29 Fulcrum, MiG-25 Foxbat, Sukhoi PAK FA,

Sukhoi S-37, Su-27 Flanker, dan Yakovlev Yak-141 Freestyle.

Sementara Amerika dan sekutunya mengandalkan F-35, F-22

Raptor, F/A-18E/F Super Hornet, F/A-18A/C Hornet, F-16

Fighting Falcon, F-15 Eagle, F-14 Tomcat, dan F-5E Tiger II.

Pesawat lain adalah Eurofighter Typhoon (Uni Eropa) Mirage 2000

B/C (Prancis) Mirage F1(Prancis), HAL Tejas (India), AI Lavi, IAI

Kfir keduanya milik Israel (www.jejaktapak.com).

4. Pesawat Pencegat

Pesawat udara militer jenis pencegat ini dirancang khusus

untuk mencegat dan mengahancurkan pesawat terbang musuh,

terutama pesawat pengebom yang biasanya menggunakan

kecepatan tinggi. Pesawat jenis ini dibuat pada permulaan Perang

Dunia II sampai penghujung dasawarsa 1960-an. Terdapat dua

jenis pesawat pencegat yang dibedakan berdasarkan kinerja

masing-masing. Jenis pertama pesawat pencegat pertahanan titik

yang dirancang untuk lepas landas dan mendaki secepat mungkin

untuk menyerang ketinggian pesawat terbang lain. Dan jenis kedua

pesawat pencegat pertahanan wilayah yang dirancang untuk


63

melindungi wilayah yang lebih luas dari serangan musuh (Irham,

2015:22).

Penggunaan pesawat pencegat semakin berkurang pada

dasawarsa 1970-an, hal ini dikarenakan perannya dikaburkan

karena pada hakikatnya pesawat dibuat memiliki banyak

kemampuan, sehingga selain digunakan untuk pencegatan bisa juga

digunakan untuk serangan darat. Beberapa contoh pesawat yang

masuk dalam kategori ini adalah pesawat tempur F-15 Eagle dan

F-16 Fighting Falcon yang digunakan Angkatan Udara Amerika

Serikat, Mikoyan Gurevich MiG-25, MiG-21 dan MiG-31 yang

digunakan Rusia dan sekarang digunakan India MiG-21 Bison

dalam melakukan pelanggaran kedaulatan wilayah udara Pakistan

yang pada akhirnya ditembak jatuh.

5. Pesawat Intai

Jenis pesawat ini dilihat dari namanya sudah sangat jelas

fungsinya digunakan untuk melakukan tugas intelijen atau

memata-matai sebuah wilayah termasuk melakukan penyadapan

serta pengintaian strategis. Pesawat pengintai ini biasanya

diterbangkan pertama kali sebelum dilakukan operasi militer.

Pesawat ini memiliki beberapa jenis, jenis pertama pesawat intai

yang digunakan untuk mengumpulkan data-data intai strategis

lawan. Pesawat ini memiliki kemampuan menyusup dan terbang

lebih tinggi agar tidak dijangkau rudal pertahanan lawan (Irham,

2015:22). Contoh dari pesawat intai jenis ini adalah pesawat U2


64

yang dimiliki Amerika Serikat. Jenis kedua yaitu pesawat intai

yang berperan sebagai pesawat patroli baik patroli di udara dan

patroli maritime, contoh pesawatnya antara lain Boeing 707, EC-2

Hawkeye, RB-47, B 737 Surveilance dan P-8 Poseidon (USA), CN

235 MPA (Spanyol – Indonesia), CN 235 Persuader (Spanyol),

Atlantique (Perancis) dan lain sebagainya. Kemudian jenis ketiga,

pesawat intai yang dulunya pesawat tempur kemudian dimodifikasi

menjadi pesawat intai yang biasanya digunakan sebagai intai taktis.

Dilengkapi dengan sensor dan kamera khusus contohnya adalah

MiG 25R, RF-5 Tigereye (www.jejaktapak.com).

6. Pesawat Serang Anti Gerilya

Pesawat jenis ini merupakan pesawat serang darat yang

dikhususkan untuk membantu pasukan darat dalam menghadapi

pasukan gerilya. Pada umumnya, pesawat yang digunakan adalah

pesawat ringan yang mampu terbang menyusuri daratan,

persenjataan dan teknologi yang tidak terlalu rumit dibandingkan

pesawat serang lainnya. Contoh dari pesawat ini adalah OV-10

Bronco (Amerika Serikat), Pucara (Argentina), Pilatus (Swiss),

EMB-314Super Tucano (Brasil), Super Skymaster, Piper PZL

Capung (Polandia), BN-2A Islander (Irham, 2015:24).

7. Pesawat Tempur Latih

Pesawat tempur latih dalam dunia militer tidak digunakan

untuk serangan, akan tetapi digunakan untuk melatih para calon

penerbang. Bagi kebanyakan negara, pesawat tempur dianggap


65

relatif terlalu mahal sehingga pesawat tempur latih sering

digunakan untuk armada pesawat serang antigerilya. Hal ini

dikarenakan untuk menjaga keterampilan pilot dan menghemat

biaya pelatihan dan operasional. Beberapa pesawat tempur latih

contonya antara lain, Guizhou JL-9 (China) Aero L-39 Albatros,

(Czech Republic) Kawasaki T-4 (Jepang) Yakovlev Yak-130

(Rusia) dan Goshawk (Amerika) (Irham, 2015:25).

Berdasarkan pengklasifikasian di atas, maka Pesawat Mikoyan-

Gurevich atau yang dikenal dengan MiG-21 Bison yang dimiliki India

termasuk ke dalam pesawat pencegat, yang dalam hal ini dirancang

khusus untuk mencegat dan menghancurkan pesawat terbang musuh,

terutama pesawat pengebom yang biasanya menggunakan kecepatan

tinggi. Dengan demikian pesawat MiG-21 bison milik India tersebut

dalam hukum udara internasional tergolong sebagai pesawat udara

militer (negara) yang digunakan untuk keperluan negara, hal ini

sebagaimana diatur pada pasal 3 Konvensi Chicago 1944 dinyatatakan

bahwa pesawat udara militer dikategorikan sebagai pesawat udara negara

(state aircraft) yang digunakan untuk militer, polisi dan bea cukai untuk

keperluan negara.

Selain itu juga, jika ditinjau berdasarkan pasal 32 Konvensi Paris

1919 pesawat MiG-21 Bison milik India tidak memiliki hak untuk

melakukan penerbangan di atas wilayah negara anggota konvensi paris

1919 sebelum mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara yang

bersangkutan. Sehingga dengan demikian penerbangan yang dilakukan


66

oleh India di atas wilayah kedaulatan Pakistan merupakan pelanggaran

wilayah kedaulatan udara dalam hukum internasional yang

menyebabkan ditembak jatuhnya pesawat tersebut.

4.2 Tanggungjawab Negara Pakistan Dalam Penembakan Pesawat Militer

India

4.2.1 Ketentuan Tanggung Jawab dalam Hukum Udara

Hukum pertanggungjawaban dalam hukum internasional dalam

kaitannya berbicara mengenai ciri utamanya, maka negaralah sebagai

subjek utamanya. Hal ini sebagaimana tercermin dari pasal pertama

rancangan pasal-pasal mengenai tanggungjawab dalam hukum

internasional oleh The International Law Comission (ILC) yang

menyatakan bahwa “every internationality wrongful act of state entails

the international responsbility of that state”. Maksudnya adalah setiap

tindakan negara yang dianggap salah secara internasional membebani

kewajiban negara bersangkutan (Thontowi dkk, 2006:196).

Draft Articles on Rensponsbility of States for Internatiomally

Wrongful Acts yang diedarkan oleh Majelis Umum PBB melalui

Resolusi A/RES/56/83 berbicara mengenai tanggungjawab negara

karena perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional.

Pada hakikatnya tanggungjawab negara muncul ketika terjadi tindakan-

tindakan berikut : (Manullang, 2016: 16-18)

a. Pelanggaran hak subjektif oleh negara lain;

b. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum internasional yang

merupakan jus cogens (prinsip-prinsip dasar yang diakui oleh


67

komunitas internasional dan masyarakat internasional sebagai

norma yang tidak boleh dilanggar);

c. Dan tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan

internasional. Adapun tindakan yang dimaksud disini adalah

tindakan yang harus diukur apakah mengandung unsur necessity.

Negara harus bertanggungjawab atas tindakan-tindakan tersebut.

hal ini sebagaimana terdapat dalam perjanjian internasional dan

hukum kebiasaan internasional.

Berbicara mengenai pertanggungjawaban negara sangat berkaitan

erat dengan kaidah yang terdapat dalam hukum internasional yang

dijadikan sebagai prinsip fundamental dalam pertanggungjawaban

negara. Prinsip fundamental menyatakan bahwa negara atau suatu pihak

yang dirugikan berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian

yang dideritanya. Prinsip tersebut telah menjadi suatu doktrin yang

berlaku baik secara federal maupun kesatuan (Manullang, 2016:16-18).

Hukum internasional telah mengatur mengenai kedaulatan wilayah

suatu negara, yang mana dalam kedaulatan wilayah itu terdapat suatu

kewajiban bagi suatu negara untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan

itu sendiri, hal ini dikarenakan jika suatu negara menyalahgunakan

kedaulatannya, maka dapat dimintai suatu pertangungjawaban atas

tindakan dan kelalaiannya tersebut. Dalam konteks yang nyata,

pertanggungjawaban itu muncul sering kali diakibatkan oleh

pelanggaran atas hukum internasional yang dilakukan oleh suatu

negara, baik dengan cara melanggar kedaulatan negara lain, menyerang


68

negara lain, melukai atau mencederai perwakilan diplomatik negara

lain, bahkan memperlakukan warga negara asing dengan sewenang-

wenangnya. Oleh karena itulah, sangat benar jika pertanggungjawaban

itu muncul akibat dari kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh

suatu negara dalam hukum internasional. Dengan demikian, maka

tanggung jawab negara itu sendiri bersifat melelat pada negara, dalam

artian negara memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi ketika

negara tersebut menimbulkan kerugian kepada negara lain (Manullang,

2016-16-18).

Negara sebagai subjek dalam hukum internasional dapat dimintai

pertanggungjawaban apabila tindakan-tindakan yang dilakukannya

merugikan negara lain serta terpenuhinya karakteristik untuk

dimintainya pertanggungjawaban. Adapun macam-macam

pertanggumgjawaban negara sebagai berikut : (Adolf, 2002:180-201)

a. Tanggungjawab terhadap perbuatan melawan hukum (delictual

liability). Tanggung jawab ini muncul mana kala suatu negara

melakukan tindakan kesalahan atau kelalaian terhadap orang

asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain.

b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual

liability). Tanggung jawab ini terjadi ketika suatu negara

melanggar perjanjian atau kontrak yang telah dibuatnya dengan

negara lain dan karena pelanggaran itu mengakibatkan kerugian

terhadap negara lainnya.


69

c. Tanggung jawab atas konsesi. Dalam perjanjian konsesi antar

negara dikenal dengan adanya Clasula Alvo yang menetapkan

bahwa penerima konsesi melepaskan perlindungan

pemerintahannya dalam sengketa yang timbul dari perjanjian

tersebut dan sengketa itu harus diajukan ke peradilan nasional

negara pemberi konsesi dan tunduk pada hukum nasional negara

tersebut.

d. Tanggung jawab atas ekspropriasi. Yakni dalam bentuk

pencabutan hak milik perorangan yang disertai dengan

pemberian ganti rugi demi kepentingan umum.

e. Tanggung jawab atas utang negara. Tanggung jawab ini muncul

ketika suatu negara tidak membayar utang-utang luar negeri,

dalam artian tidak memenuhi kewajiban kontrak atau perjanjian

utang.

f. Tanggung jawab atas kejahatan internasional. Dalam hukum

internasional kejahatan internasional merupakan perbuatan

melawan hukum secara internasional yang berasal dari

pelanggaran suatu kewajiban internasional yang penting demi

memberikan perlindungan terhadap kepentingan fundamental

internasional dan pelanggaran tersebut diakui sebagai suatu

kejahatan oleh masyarakat internasional.

4.2.2 Kronologis Kasus Insiden Penembakan Pesawat Militer India Oleh

Pakistan
70

Tragedi jatuhnya pesawat militer India yang ditembak oleh

Pakistan terjadi pada Rabu, 27 Februari 2019. Dalam insiden tersebut

terdapat dua pesawat militer milik India yang ditembak oleh Pakistan,

yang mengakibatkan jatuhnya dua pesawat tersebut di wilayah yang

berbeda. Salah satu pesawat jatuh di wilayah Kashmir yang dikuasai

Pakistan, sedangkan satu pesawat lainnya jatuh di wilayah Kashmir

yang dikuasai India. Selain itu juga, dalam insiden tersebut seorang

pilot ditangkap. India mengklaim melalui Mayor Jenderal Ghaffor

bahwa terbangnya dua pesawat militer milik India dikarenakan Pakistan

terlebih dahulu melancarkan serangan di Khasmir bagian India yang

menjadi yurisdiksinya, oleh karena itulah dua pesawat militer India

merespon dengan melintasi perbatasan de facto yang memisahkan

bagian India dan Pakistan. Namun yang terjadi adalah dua pesawat

tersebut ditembak jatuh oleh Pakistan (BBC World, news.detik.com ).

Namun satu hari setelah terjadinya insiden tersebut pesawat

Pakistan menerobos kembali masuk Poonc dan Nowhera, dua lokasi

yang berada di wilayah de facto india. Pakistan meluncurkan serangan

di garis kendali di Kashmir. Pakistan mengklaim bahwa serangan

tersebut mengincar target non-militer dan tidak berniat memperkeruh

situasi yg tegang. (CNN Indonesia).

Diketahui dalam insiden jatuhnya pesawat militer India tersebut,

India menggunakan pesawat militer jenis MiG-21 Bison, yang mana

pesawat tersebut termasuk ke dalam pesawat pencegat yang memang

dirancang khusus untuk mencegat dan menghancurkan musuh. Jurus


71

bicara militer Pakistan membenarkan bahwa Pakistan telah menembak

pesawat militer milik India dan memebantah bahwa dalam penembakan

tersebut, Pakistan menggunakan Jet F-16 untuk menembak jatuh

pesawat milik India. Terkait pilot yang telah ditangkap, Pakistan

mengembalikan Pilot India yang ditangkap pada insiden tersebut

bertepatan dengan penyerahan besar-besaran Islamabad yang disebut

sebagai “gerakan perdamaian” yang secara signifikan tampak

mengurangi ketegangan, tetapi kedua belah pihak tetap waspada tinggi

(Garudanews.id )

Kedua negara sama-sama mengklaim bahwa di Line Of Control

(LOC), perbatasan de facto antara kedua negara di wilayah Khasmir

yang disengketakan, ada ketegangan relatif 24 jam terakhir. Tetapi

pasukan keamanan India mengatakan bahwa mereka sedang melakukan

operasi anti-militan besar di pihak mereka di wilayah Khasmir dan telah

menembak mati dua militan (m.detik.com).

Kedutaan Besar Amerika Serikat di Islamabad mengatakan bahwa

pihaknya sedang mencari laporan bahwa Pakistan menggunakan Jet F-

16 untuk menembak jatuh pilot India, ia mengatakan bahwa ada potensi

pelanggaran perjanjian penjualan militer Washington yang membatasi

bagaimana Pakistan dapat menggunakan pesawat tersebut. Sementara

Pakistan membantah telah menggunakan Jet F-16 dalam pertempuran

udara yang menumbangkan pesawat militer MiG-21 Bison milik India

di Khasmir pada hari Rabu 27 Februari 2019. Pakistan belum

menentukan pesawat mana yang digunakannya, meskipun Pakistan


72

merakit jet tempur F-17 yang dirancang China di negaranya

(Garudanews.id).

Pakistan memiliki sejarah panjang dalam membeli perangkat keras

dengan militer Amerika Serikat, terutama di tahun 2011 ketika

Islamabad dipandang sebagai mitra utama dalam perang melawan teror

yang dipimpin Amerika Serikat. Pakistan dalam hal ini membeli

beberapa pesawat F-16 yang dibuat oleh Lockheed Martin Corp dari

Washington sebelum hubungan Pakistan dengan Amerika memburuk,

yang selanjutnya Amerika menghentikan penjualan bersubsidi pada

tahun 2016 (Garudanews.id ).

Juru bicara pasukan pertahanan India mengklaim bahwa pada

selasa malam satu hari sebelum terjadinya insiden penembakan pesawat

militer India, Pakistan telah melancarkan tembakan menggunakan

senjata berat di 12 hingga 15 lokasi sepanjang perbatasan de facto yang

menjadi perbatasan kedua negara yang dikenal dengan Line Of Control

(LoC). Dalam insiden tersebut lima tentara India mengalami luka

ringan. Terhadap hal tersebut Menteri Luar Negeri Amerika Serikat

(AS) Mike Pompeo berbicara secara terpisah dengan para menteri luar

negeri India dan Pakistan dan mendesak kedua negara untuk

menghindari kegiatan militer lebih lanjut setelah adanya serangan udara

itu. Selain itu juga baik China,Uni Eropa, dan Menteri Luar Negeri

Selandia Baru Winson Peters juga menyuarakan agar menghentikan

aktivitas militer tersebut (cnbcindonesia.com).


73

4.2.3 Pertanggungjawaban Negara Pakistan atas Penembakan Pesawat

Militer India

Pelanggaran kedaulatan wilayah udara suatu negara dilakukan

oleh berbagai jenis pesawat, baik pesawat udara sipil maupun pesawat

udara militer (negara). Dalam kasus terjadinya pelanggaran kedaulatan

wilayah udara negara yang dilakukan oleh pesawat udara militer, baru-

baru ini dilakukan oleh pesawat udara militer India jenis pencegat

MiG-21 Bison yang berakhir dengan ditembak jatuhnya pesawat

tersebut. Insiden penembakan pesawat militer milik India jenis

pencegat MiG-21 Bison di wilayah udara Pakistan berdasarkan

kronologi kasus yang telah dipaparkan di atas dapat dikatakan bahwa

penembakan yang dilakukan Pakistan di atas wilayah yang menjadi

yurisdiksinya merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse

of power) dalam hukum internasional.

Pakistan sebagai negara yang berdaulat yang wilayah udaranya

dilanggar oleh pesawat udara militer india yang masuk tanpa izin dan

persetujuan terlebih dahulu dari Pakistan dalam hal ini wajib memberi

peringatan adanya pelanggaran pesawat udara tersebut, baik dengan

memerintahkan pesawat udara itu kembali atau meninggalkan wilayah

udara tersebut atau memerintahkan untuk mendarat. Bila terjadi suatu

pelanggaran wilayah, negara dapat melakukan siaran saluran resmi,

agar negara pendaftar pesawat udara dalam hal ini negara India

menyampaikan permintaan maaf dan bilamana menimbulkan kerugian

dapat menuntut kompensasi atas kerugian yang diderita. Akan tetapi


74

bilamana negara tersebut menggunakan senjata untuk memaksa

pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah, tanpa memberi

kesempatan kepada pesawat udara negara kembali ke jalur seharusnya

atau mendarat atau kembali ke negaranya, maka sangat jelas dalam

hukum internasional tindakan negara tersebut melanggar ketentuan

hukum internasional (Simon, 2016:44). Namun fakta yang terjadi

adalah Pakistan dalam hal ini sebagai negara yang kedaulatan wilayah

udaranya dilanggar tidak memberikan peringatan bahwa telah

melakukan pelanggaran kedaulatan wilayah, baik dengan

pemberitahuan melalui siaran resmi atau memerintahkan pesawat

udara militer India untuk kembali ke negaranya maupun dengan

mendarat, akan tetapi tindakan yang dilakukan oleh Pakistan adalah

dengan menembak jatuh pesawat udara militer India, yang

menyebabkan jatuhnya dua pesawat tersebut secara terpisah dan

ditangkapnya seorang pilot (CNN Indonesia.com).

Menurut doktrin hukum tentang bela diri, penggunaan senjata

sebagai media untuk memaksa pesawat udara yang melakukan

pelanggaran kedaulatan wilayah udara suatu negara merupakan

tindakan yang berlebihan dan tidak seimbang dengan ancaman yang

dihadapi. Terlebih dalam hukum internasional, tindakan negara

tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power) sehingga negara tersebut dapat dituntut oleh negara

pendaftar pesawat udara, untuk menuntut ganti kerugian yang

dideritanya. Dalam kasus penembakan pesawat militer India oleh


75

Pakistan, tindakan yang dilakukan oleh Pakistan bertentangan dengan

hukum internasional, penembakan terhadap pesawat militer memang

belum diatur secara detail dalam hukum internasional, namun tetap

saja jika kita melihat maksud tersirat maupun tersurat konteks aturan

dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944, penggunaan senjata

sebagai media untuk memaksa pesawat udara yang melakukan

pelanggaran wilayah kedaulatan tidak sejalan dengan prinsip safety

first dalam hukum udara internasional. Negara pendaftar pesawat

udara dalam hal ini India dapat menuntut pertanggungjawaban

terhadap Pakistan terkait tindakan penembakan dan penangkapan pilot

yang dilakukan berupa ganti kerugian dalam bentuk restitusi terhadap

hancurnya pesawat militer dan permintaan dalam bentuk surat ke India

bahwa tindakan penembakan pesawat militer itu merupakan tindakan

agresi bersenjata sebagai bentuk tindak penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power) (Simon, 2016:46).

Pertanggungjawaban negara Pakistan dalam penembakan pesawat

militer India merupakan pertanggungjawaban yang muncul akibat

adanya perbuatan melawan hukum (delictual liability). Tanggung

jawab ini muncul mana kala suatu negara melakukan tindakan

kesalahan atau kelalaian terhadap orang asing di dalam wilayahnya

atau wilayah negara lain. Hal ini terlihat dari tindakan sewenang-

wenang yang dilakukan oleh Pakistan dalam bentuk penembakan

pesawat dan penangkapan pilot, yang mana dalam hukum internasional


76

dikualifikasikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan di

wilayah kedaulatannya (Adolf, 2002:180-201).

Menurut penulis pertanggungjawaban yang muncul dari tindakan

penembakan yang dilakukan oleh Pakistan adalah berupa penghentian

perbuatan dan tindakan perbaikan dalam bentuk restitusi. Dalam

hukum internasional negara yang bertanggung jawab atas kesalahan

internasional berkewajiban menghentikan perbuatan itu dan

menawarkan kepastian dan jaminan bahwa tindakan itu tidak akan

terulang kembali.

Pakistan sebagai negara yang bertanggungjawab harus

menghentikan perbuatan yang dilakukannya dan berjanji tidak akan

mengulanginya. Selain itu juga, terdapat pertanggungjawaban dalam

bentuk tindakan perbaikan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31

draft ILC tentang pertanggungjawaban negara yang menetapkan bahwa

negara yang bertanggungjawab diwajibkan mengadakan tindakan

perbaikan penuh untuk pelanggaran hak yang dirugikan, baik dalam

bentuk material maupun moral yang muncul disebabkan adanya

kesalahan internasional suatu negara. Tindakan perbaikan yang

dimaksud disini adalah tindakan perbaikan dalam bentuk restitusi,

yakni berupa barang atau jasa, bukan uang, yang merupakan bentuk

nyata dalam menjalankan tindakan perbaikan sebab tujuannya untuk

mengembalikan situasi yang ada sebelum kesalahan dilakukan.

Oleh karena itulah, Pakistan dalam hal ini harus memberikan

tindakan perbaikan dalam bentuk restitusi, berupa perbaikan dalam


77

bentuk barang, yakni memperbaiki seperti semula pesawat yang telah

ditembaknya yakni pesawat MiG-21 Bison, dan memberikan

perlindungan terhadap pilot yang ditangkapnya (Shaw, 2008:789).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

penembakan terhadap pesawat militer juga dilarang dalam hukum

internasional dengan catatan tindakan penembakan yang dilakukan

tersebut ditujukan sebagai media untuk memaksa agar pesawat militer

yang melakukan pelanggaran tersebut kembali ke negara asalnya. Hal

ini sebagaimana diatur dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago

1944 bahwa penggunaan senjata sebagai media untuk memaksa

pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan tidak

sejalan dengan prinsip safety first dalam hukum udara internasional.

Selain itu juga, sebelum dilakukannya penembakan tersebut, negara

yang melakukan penembakan tidak melakukan konfirmasi terlebih

dahulu bahwa pesawat udara militer tersebut telah melanggar

kedaulatan udara negara yang bersangkutan. Oleh karena itulah

tindakan penembakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).


BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan dari keseluruhan hasil penelitian yang dilakukan

penulis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengaturan pesawat militer India jenis pencegat MiG-21 Bison dalam

Konvensi Paris 1944 dikategorikan sebagai pesawat udara negara (state

aircraft), yang mana pesawat udara negara merupakan pesawat udara

yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai, yang dalam hal ini

tidak memiliki hak untuk terbang di atas wilayah kedaulatan negara lain

sebelum mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara yang

bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Konvensi Paris 1919.

Sehingga dengan demikian penerbangan yang dilakukan oleh India di

atas wilayah kedaulatan Pakistan merupakan pelanggaran wilayah

kedaulatan udara dalam hukum internasional yang menyebabkan

ditembak jatuhnya pesawat tersebut oleh Pakistan.

78
79

Pertanggungjawaban Pakistan dalam penembakan pesawat militer India

merupakan pertanggungjawaban yang muncul akibat adanya perbuatan

melawan hukum (delictial liability), hal ini terlihat dari tindakan

sewenang-wenang yang dilakukan oleh Pakistan dalam bentuk

penembakan pesawat militer India dan penangkapan pilot yang

dilakukan, yang mana dalam hukum internasional dikategorikan sebagai

tindakan penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power). Tanggung jawab

yang harus dilakukan Pakistan adalah berupa penghentian perbuatan dan

tindakan perbaikan dalam bentuk restitusi, yakni memperbaiki seperti

semula pesawat militer India yang telah ditembaknya dan memberikan

perlindungan terhadap pilot yang ditangkapnya, hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 31 Draft ILC. Selain itu juga, Pakistan harus

melakukan permintaan maaf dalam bentuk surat terhadap India bahwa

tindakan penembakan yang dilakukannya merupakan tindakan agresi

bersenjata sebagai bentuk tindak penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power).

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, adapun saran yang dapat penulis sampaikan

sebagai berikut :

1. Setiap negara diharapkan selalu melakukan pengawasan terhadap ruang

udara yang menjadi kedaulatan wilayahnya yang menjadi jalur

penerbangan internasional dan hendaknya selalu memperhatikan setiap

tindakan yang diambil ketika terjadinya suatu pelanggaran kedaulatan di

wilayah udaranya oleh pesawat baik itu pesawat sipil maupun pesawat
80

udara negara, negara dalam hal ini tidak serta merta secara langsung

melakukan penembakan terhadap pesawat tersebut, akan tetapi harus

mematuhi konvensi-konvensi hukum internasional yang ada seperti

Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944.

2. Organisasi Penerbangan Internasional dalam hal ini International Civil

Aviation Organization (ICAO) hendaknya mengatur secara terperinci

mengenai pesawat udara negara khususnya mengenai pesawat militer,

dalam hal ini mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap

penembakan pesawat udara negara khususnya pesawat militer. Sehingga

ketika terjadinya suatu penembakan pesawat terhadap pesawat udara

negara khususnya pesawat militer, negara tidak lagi bingung dalam

memberikan sanksi terhadap negara yang melakukan pelanggaran, begitu

juga sebaliknya bagi negara yang melakukan pelanggaran tidak bingung

dalam memberikan pertanggungjawabannya.

Anda mungkin juga menyukai