Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedaulatan Negara merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk

dijaga oleh suatu negara. Negara yang berdaulat diartikan sebagai negara yang

mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) yang berarti bebas dari

kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas – luasnya baik ke dalam maupun ke

luar. Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya.

Ditegaskan dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The

Contracting States recognize that every State has complete and exclusive

sovereignty over the airspace above its territory” (Pengakuan atas kedaulatan

negara yang mutlak dan penuh tersebut berlaku bagi seluruh negara, meskipun

negara yang bersangkutan bukan anggota konvensi) Kedaulatan yang dimiliki oleh

negara terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung

jawab negara terhadap wilayahnya, sebagai negara yang berdaulat Indonesia dapat

mengatur wilayah darat, laut maupun udara untuk kepentingan pertahanan,

keamanan, keselamatan penerbangan, maupun kegiatan sosial lainnya. Setiap

negara mempunyai standar penjagaan ruang udara wilayahnya secara ketat. Ruang

udara nasional suatu negara sepenuhnya tertutup bagi pesawat udara asing baik

sipil maupun militer dan hanya dengan izin dari negara kolong terlebih dahulu
baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral, maka ruang udara nasional

dapat dimasuki atau dilalui pesawat udara asing.

Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan, di mana pesawat terbang

suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin

sebelumnya dari negara yang dimasukinya. Dilihat dari beberapa kasus

pelanggaran lintas batas yang ada di Indonesia bersifat biasa dan tidak begitu

mengancam, namun negara Indonesia harus bertindak tegas karena kedaulatan

negaranya dilanggar oleh negara lain karena pada kenyataannya di lapangan

banyak terjadi pelanggaran daerah perbatasan udara kita oleh negara asing baik

dari pesawat sipil maupun pesawat militer.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara pantai (coastal

state) yang komponen wilayah nasionalnya terdiri atas daratan, lautan, (perairan)

dan ruang udara (air space). Batas wilayah udara terbagi menjadi dua yaitu batas

wilayah udara secara horizontal dan batas wilayah udara secara vertikal.

Kedaulatan Republik Indonesia secara vertikal tergantung pada kemampuan

Indonesia mempertahankan kedaulatan di udara.1

Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain

penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan Indonesia dan

pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional

1
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Graha Ilmu, Yogyakarta. 2011, Hal 12.
maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun

1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001

tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

Standar penjagaan ruang udara di Indonesia masih dianggap kurang karena

beberapa faktor seperti kurangnya teknologi yang dimiliki Indonesia, Lemahnya

sistem radar di Indonesia serta minimnya jumlah pesawat dan alutsista membuat

pengawasan wilayah udara Indonesia menjadi tidak maksimal. Negara Indonesia

adalah Negara Hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk mewujudkan adanya

kepastian hukum di dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada

keadilan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang juga merupakan

subjek hukum internasional juga memiliki hak dan kewajiban atas wilayahnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan negara kepulauan

(Archipelagic State),terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang menurut

perhitungan terakhir berjumlah 17.499, dengan luas perairan lautnya mencapai

+5.900.000 km dan garis pantai sepanjang +81.000 km. Begitu luasnya wilayah

kedaulatan NKRI, sehingga negara Indonesia memiliki ruang udara yang sangat

luas untuk digunakan oleh wahana udara bagi kepentingan penerbangan sipil

maupun militer2.

Dalam konsep wawasan nusantara, Bangsa Indonesia memandang daratan,

perairan, dan ruang udara di atasnya merupakan satu kesatuan yang tak dapat

2
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum,
Bina Cipta, Jakarta. 2010, Hal. 21
dipisahkan. Luas wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia adalah 1.476.039

NM, sedangkan wilayah udara untuk keselamatan penerbangan atau flight

information region (FIR) Indonesia 2.219.629 NM. Wilayah udara dan laut yang

sedemikian luas ini ini merupakan potensi yang dapar dieksplorasi demi

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, apalagi posisinya yang sangat strategis di

persilangan dua benua dan dua samudra yang sangat memungkinkan sebagai

daerah persinggahan, jalur penerbangan dan pelayaran internasional. Sebagaimana

diketahui bahwa ruang udara nasional merupakan salah satu sumber daya alam

yang terdapat di udara, dan sekaligus merupakan wilayah nasional sebagai wadah

atau ruang/media, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan yuridiksinya. Indonesia sebagai

negara berdaulat, memiliki kedaulatan yang utuh dan eksklusif terhadap ruang

udara di atas wilayah NKRI, sesuai dengan ketentuan dalam konvensi Chicago

1944 Tentang Penerbangan Sipil Indonesia.

Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain

penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan Republik

Indonesia, dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara

nasional maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam bab 2 pasal (2) UU No. 15

Tahun 1992, tentang Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,

usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan

umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri sendiri. dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan

dan Keselamatan Penerbangan.

Berbicara mengenai penegakan kedaulatan dewasa ini sering sekali

ditemukan pesawat asing yang melintasi kedaulatan wilayah udara suatu negara

tanpa memperoleh izin terlebih dahulu, sehingga negara kolong berhak melakukan

pencegatan (interception) terhadap pesawat sipil yang melintasi wilayah udara

negara tersebut tanpa izin. Salah satu contoh yang terjadi di Pesawat maskapai

Ethiopian Airlines dipaksa F-16 TNI AU untuk mendarat di Batam, Kepulauan

Riau. Pesawat tersebut ternyata tak memiliki izin untuk melintas di wilayah udara

Indonesia. Dilansir Antara, (15 Januari 2019), pesawat itu dipaksa turun dengan

cara dikawal dua pesawat F-16. Keterangan resmi Kasubdispenum Dispenau, yang

diperkuat dengan pernyataan Komandan Skadron 16 Lanud RSN, Letkol Pnb

Bambang di Pekanbaru, membenarkan peristiwa tersebut. Pemaksaan turun (force

down) tersebut dilakukan karena pesawat Ethiopian Air telah memasuki wilayah

kedaulatan udara yurisdiksi Indonesia tanpa dilengkapi flight clearance (FC)

Pesawat F16 dengan kode panggilan 'Rydder Flight' yang diawaki oleh Kapten

Pnb Barika dan Kapten Pnb Anang itu berhasil melakukan kontak visual dengan

B777 ET-AVN dan melakukan komunikasi pada frekuensi darurat. Kemudian

mereka memaksa pilotnya mendaratkan pesawatnya di Bandara Hang Nadim,

Batam, untuk dilakukan proses hukum dan penyelidikan oleh pihak TNI AU di

Lanud Raja Haji Fisabillah, Tanjungpinang. Pada pukul 09.32 WIB, pesawat B777
ET-AVN mendarat di Batam. Sedangkan dua pesawat F16 TNI AU mendarat pada

pukul 09.42 WIB. Proses force down pesawat asing itu memakan waktu lebih

kurang 20 menit karena ada sedikit kendala ruang udara Indonesia yang

dikendalikan Singapura. Kendalanya karena posisi pesawat Ethiopia saat itu

berada di ruang udara Batam yang masih dikendalikan Singapura. Mereka

mematuhi instruksi dari pilot F-16," pesawat Ethiopian Airlines berangkat dari

Addis Ababa, ibukota Ethiopia, dengan tujuan Hong Kong Namun, pesawat

tersebut memasuki wilayah udara Indonesia tanpa bisa menyebutkan izin atau FC

setelah dihubungi oleh otoritas navigasi udara Indonesia (AirNav) melalui

komunikasi radio.

Kemudian, Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) segera

memerintahkan dua pesawat tempur F-16 dari Skadron Udara 16 Lanud Rsn

Pekanbaru terbang untuk melakukan identifikasi visual dan penyergapan. Dua

pilot, Kapten Pnb Barika dan Kapten Pnb Nehemia Anang, yang melakukan force

down kedua pilot pesawat tempur tersebut melakukan kontak visual dengan B777

ET-AVN dan melakukan komunikasi pada frekuensi darurat serta memaksa pilot

pesawat Ethiopian Airlines untuk mendaratkan pesawatnya di

Bandara Hang Nadim Batam. Setelah berhasil melakukan force down pesawat

Ethiopian Air, kedua pesawat tempur kembali ke Lanud Rsn Pekanbaru. Setelah

dilaksanakan proses penyidikan oleh PPNS yang bekerja sama dengan pihak TNI
AU di Lanud RHF (Raja Haji Fisabilillah), baru nanti akan dilaksanakan

penindakan sesuai undang-undang dan bisa berupa denda.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

mendalam dengan mengambil judul, PELANGGARAN PERBATASAN

UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING DI

TINJAU DARI HUKUM UDARA

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas ini maka permasalahan

adalah Apakah pelanggaran yang terjadi pada perbatasan udara Negara Indonesia

oleh pesawat sipil asing merupakan pelanggaran terhadap hukum udara?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah s ebagai

berikut :

1. Mengetahui pelanggaran perbatasan udara negara Indonesia oleh pesawat

sipil asing di tinjau dari hukum udara.

2. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum

Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah


1. Untuk menjelaskan proses pelanggaran perbatasan udara negara indonesia

oleh pesawat sipil asing di tinjau dari hukum udara.

2. Secara teoritis dan praktis diharapkan hasil penelitian dapat menjadi referensi

untuk meningkatkan pengetahuan tentang pelanggaran perbatasan udara suatu

negara oleh pesawat sipil asing di tinjau dari hukum udara.

E. Kerangka Konseptual

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas

wilayah udara Republik Indonesia. Wilayah Udara Indonesia adalah wilayah

kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Dalam rangka

penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Mengadopsi dari Konvensi Chicago 1944, Pasal 5 UU Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan dalam rangka penyelenggaraan

kedaulatan negara atas wilayah udara, Indonesia melaksanakan wewenang dan

tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan,

perekonomian nasional, pertahanan, dan keamanan negara, sosial budaya, serta

lingkungan udara, karena itu pemerinatah dpat menetapkan zona larangan atau

pembatasan terbang. Bilamana terdapat pesawat udara yang melanggar zona

larangan personel lalu lintas udara akan menginformasikan bahwa adanya

pesawat udara yang melanggar zona larangan kepada aparat yang bertugas

dibidang pertahanan negara. Dalam hal perinagtan dan larangan tidak ditaati,
maka dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara (state aircraft)

untuk keluar wilayah indonesia atau zona larangan untuk mendarat dipangkalan

udara terdekat, kemudian semua awak pesawat beserta muatannya diperiksa dan

disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pesawat udara Indonesia menurut UU Penerbangan Indonesia adalah pesawat

udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia.Sedangkan pesawat sipil

asing adalah Pesawat udara diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Menurut

Konvensi Paris 1919, klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum

dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara,

pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919, pesawat udara

terdiri dari 3 jenis, masing-masing pesawat udara militer, pesawat udara yang

sepenuhnya digunakan untuk dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan

pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas

pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private

aircraft), namun demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian

pesawat udara. Dalam hukum nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pesawat udara

adalah setiap mesin atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya

angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan

bumi yang digunakan untuk penerbangan. Semua pesawat udara selain pesawat

udara militer, bea cukai, dan pesawat udara polisi harus diperlakukan sebagai

pesawat udara sipil (private aircraft) dan pesawat udara-pesawat udara tersebut
berlaku ketentuan Konvensi Paris 1919, sedangkan pesawat udara militer, bea

cukai dan polisi tidak berlaku ketentuan pada Konvensi Paris 1919. Setiap

pesawat udara.yang dikemudikan oleh anggota militer termasuk pesawat udara

militer untuk kepentingan ini. Tidak ada pesawat udara militer negara anggota

boleh terbang di atas wilayah negara anggota lainnya tanpa persetujuan lebih

dahulu. Dalam hal pesawat udara militer milik negara anggota memperoleh

persetujuan terbang di wilayah negara anggota Konvensi Paris 1919, pada

prinsipnya menikmati hak istimewa yang diakui oleh hukum kebiasaan

internasional ebagaimana berlaku pada kapal perang.

mengenai pesawat udara sipil juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944

tentang Penerbangan Sipil Internasional. Dalam Pasal 3 diatur mengenai pesawat

udara negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara (state aircraft) adalah

pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan

yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara

selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak

mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas negara-negara anggota

lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak

berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas negara anggota lainnya. Pesawat

udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda

kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut

terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter. Sedangkan di dalam

hukum internasional, setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk


melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan

kebangsaan (nationality and registration mark). Dalam hukum nasional Indonesia

sendiri, terdapat pengertian pesawat udara sipil yaitu “pesawat udara yang

digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga”. Selain itu

juga terdapat pengertian pesawat udara sipil asing, yaitu “pesawat udara yang

digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang

mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.dan tanda

Pesawat asing yang melanggar wilayah kedaulatan Indonesia dapat dikenakan

sanksi pidana maupun administratif. Sebagai contoh adalah apa yang ditetapkan

dalam Pasal 401 bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara

Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 8 (delapan) tahun.

Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian

hukum udara (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau

hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation

law) atau hukum transportasi udara (air transportation law) atau hukum

penerbangan (aerial law), atau hukum aeronautika penerbangan (aeronautical

law), atau udara-aeoronautika penerbangan (air-aeronautical law), saling

bergantian tanpa membedakan satu dengan yang lain. Istilah-istilah tersebut

pengertiannya lebih sempit dibandingakan dengan pengertian air law.


Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi,

administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan,

manajemen, dan lain-lain. Pakar pakar hukum memberikan definisi, Hukum

Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai

pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan

hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestic dan

internasional.

F. Metode Penelitian

Agar suatu karya tulis dapat dikatakan sebagai suatu karya yang bersifat

ilmiah, haruslah menggunakan suatu metode. Metode merupakan cara/jalan

bagaimana seseorang harus bertindak. Dengan demikian, metode dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dengan demikian dari pengertian metode tersebut, dapat diartikan sebagai

suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sementara ini

penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan

yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar,

hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.


Menurut Tyrus Hillway, penelitian dapat diartikan sebagai semua metode

ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan yang sesama dan lengkap terhadap

semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan tertentu,

dengan demikian dapat diperoleh suatu pemecahan bagi permasalahan itu.

Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui

dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam

mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.3

Metode penelitian adalah hal yang sangat penting dalam suatu penelitian

ilmiah, karena nilai, mutu dan hasil dari suatu penelitian ilmiah, sebagian besar

ditentukan oleh ketepatan dalam penelitian metodenya. Adapun metode yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penyususanan penulisan hukum ini adalah penelitian

hukum normatif

Peter Mahmud menyatakan bahwa penelitian hukum secara umum adalah

suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun

doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi terdiri dari

penelitian terhadap identifikasi dan efektifitas peraturan udara.

3
Khudzaifah Dimyanti dan KelikmWardiono, Metode Penelitian Hukum(Buku Pegangan Kulia),
UMS,Surakata, 2004, h, 12.
2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk

mendeskripsikan sistem dan proses pelanggaran perbatasan udara suatu negara oleh

pesawat sipil asing di tinjau dari hukum udara.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah data

yang relevan dengan permasalahan yang diuraikan dalam rumusan masalah. Adapun

data yang digunakan :

a. Data primer atau data dasar (primery data atau basic data)

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni

melalui berita yang terjadi. Data primer ini ditunjang pula dengan bahan hukum

lainnya guna melengkapi data primer, yaitu :

1. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;

2. Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara;

3. Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

4. Konvensi Chicago 1944

b. Data sekunder

Data sekunder, yaitu antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,

hasil penelitian yang terwujud laporan, buku harian dan lain-lain.

c. Bahan tersier yang memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai data

primer maupun data sekunder antara lain:


1) Kamus/ensiklopedia yang relevan dengan materi penelitian

2) Berbagai majalah maupun jurnal.

4. Teknik pengumpulan dan analisis data

Data yang diperoleh, baik melalui penelitian di lapangan maupun data

sekunder, dikumpulkan dan disusun secara sistematis, selanjutnya dikaji dan

dianalisis secara kualitatif guna menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

1. Teknik pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi kepustakaan

dengan mempelajari penelitian atau informasi-informasi yang terkait pada isu yang

sedang diteliti. Metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian kualitatif dengan meninjau dokumen terkait berupa catatan dan arsip yang

terdapat pada masyarakat, komunitas ataupun organisasi. Data yang diperoleh dalam

penelitian ini didapat melalui dokumen-dokumen resmi, dari Kementerian

Perhubungan Republik Indonesia, Kementerian Sekretariat Negara Republik

Indonesia, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia serta Kementerian Pertahanan

Republik Indonesia. Dokumen berupa Undang Undang, Buku Putih Pertahanan

Republik Indonesia serta dokumen lain yang kredibel dengan Flight Information

Region (FIR) sebagai data primer. Sedangkan data sekunder didapat melalui buku,
data dari penelitian terdahulu, review, working papper, serta artikel-artikel yang

sesuai dengan penelitian dan dimuat oleh media cetak maupun media online.

2. Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan proses keberlanjutan yang membutuhkan penelusuran

data-data yang telah didapatkan secara mendalam pada penelitian.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan ini sistematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

BAB I ( pendahuluan ) terdiri dari : (a) latar belakang, (b) permasalahan, (c) tujuan

penulisan, (d) kegunaan penulisan, (e) kerangka konseptual, (f) metode penulisan (g)

sistematika penulisan. Bab ini akan menguraikan dan menerangkan tentang

bagaimana penulisan ini akan dimulai dan akan berakhir. Selanjutnya Bab ke II

(tinjauan pustaka) Sebagai kelengkapan dari BAB I dan BAB II, maka selanjutnya

dituangkan dalam BAB III yaitu (hasil dan pembahasan) yang merupakan inti dari

penulisan ini. Bab IV (penutup) yang didalamnya memuat tentang : (a). Kesimpulan

dan (b). Saran, terhadap apa yang telah ditulis, yang kemudian akan dibuat dalam

rangkaian singkat mengenai muatan dari keseluruhan permasalahan sebagai karya

ilmiah yang dapat diterima.

Anda mungkin juga menyukai