Anda di halaman 1dari 13

Paper Hukum Ruang Udara

Pelanggaran Kedaulatan Wilayah Udara Negara Indonesia oleh Pesawat


Ethiopian Airlines dengan Nomor Penerbangan ET 3728

Dibuat Oleh :
ADI WAHYU NURHADI
18.C1.0082

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2020
1. Pendahuluan
Pada tanggal 14 Januari 2019, sebuah pesawat dengan nomor
penerbangan ET 3728 dipaksa turun oleh TNI AU karena diduga melintasi
wilayah udara Indonesia tanpa izin. Pesawat tersebut adalah pesawat milik
Ethiopian Airlines, yang akhirnya dipaksa turun dan akhirnya mendarat di
Bandara Hang Nadim, Batam. Menurut informasi, pesawat tersebut merupakan
pesawat penerbangan tidak berjadwal (non-scheduled flights) yang memiliki rute
Addis Ababa-Hongkong dan merupakan penerbangan yang memuat cargo.
Pesawat ini direncanakan menuju Singapura untuk menurunkan cargo berupa
mesin pesawat yang memerlukan perawatan. Proses pendaratan Ethiopian
Airlines di Bandara Hang Nadim, Batam dilakukan dengan didampingi oleh dua
pesawat tempur TNI AU jenis F16. Dalam pernyataannya, Ethiopian Airlines
berpendapat bahwa penerbangan yang dilakukan oleh salah satu pesawat
cargonya merupakan jenis penerbangan tidak berjadwal sehingga berdasarkan
Pasal 5 Chicago Convention 1944 diperbolehkan untuk melintasi wilayah udara
negara tanpa meminta izin terlebih dahulu. Pernyataan ini disampaikan oleh kru
pilot Ethiopian Airlines ketika dilakukan proses penyelidikan lebih lanjut. Pilot
pesawat Ethiopian Airlines menyatakan bahwa pihaknya telah mematuhi Pasal 5
Konvensi Chicago 1944 untuk diperbolehkan melintasi wilayah udara negara
tanpa meminta izin terlebih dahulu.1
Dalam hal ini selain penerbangan tanpa izin pesawat Ethiopian Airlines
juga menolak untuk membayar denda administrasi terhadap pelanggaran serta
biaya parkir bandara. Hal ini membuat pihak bandara meminta ethiopian airline
untuk membayar denda yang ditentukan oleh peraturan yang ada di Indonesia.
Pada masalah ini pihak Indonesia menilai bahwa Ethiopian Airlines melanggar
ketentuan-ketentuan dari Konvensi Chicago 1944 dan juga melanggar peraturan
nasional negara Republik Indonesia tentang penerbangan dan kedaulatan penuh

1 Indah Mutiara Kami, “Lintasi Indonesia Tanpa Izin, Pesawat Ethiopia Ngaku Mau ke Singapura”,
Online, Internet, 27 Oktober 2020, https://news.detik.com/berita/d-4385115/lintasi-indonesia-tanpa-izin-
pesawat-ethiopia-ngaku-mau-ke-singapura.

1
atas wilayah udara. Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah
udaranya merasa bahwa pihak ethiopian airlines harus mematuhi peraturan yang
ada dan bertanggung jawab atas masalah ini, masalah inilah yang membuat
pihak Indonesia bersengketa dengan pihak Ethiopian Airline dengan anggapan
bahwa pihak Ethiopian Airlines tidak ada itikad baik dalam masalahnya.
2. Rumusan Masalah
Terdapat beberapa rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di
atas adalah sebagai berikut:

a. Apa landasan hukum negara Indonesia memaksa turun pesawat


Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728?
b. Bagaimana tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh Indonesia
terhadap pelanggarankedaulatan wilayah atas udara yang dilakukan oleh
pesawat Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728?

3. Tujuan

Tujuan dari pembuatan paper ini berdasarkan rumusan masalah yang telah
dipaparkan di atas adalah untuk mengetahui:

a. Landasan hukum negara Indonesia memaksa turun pesawat Ethiopian


Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728.
b. Tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh Indonesia terhadap
pelanggaran kedaulatan wilayah atas udara yang dilakukan oleh pesawat
Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728.
c. Menjadikan kasus pelanggaran wilayah udara oleh pesawat Ethiopian
Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728 menjadi sengketa
Internasional antara negara Ethiopia dengan Indonesia.

4. Analisa Masalah

2
Menurut Prita Amalia dalam artikelnya yang berjudul Kontroversi
Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty2 dijelaskan bahwa,
“Konvensi Chicago tahun 1944 adalah konvensi yang mengatur perihal
penerbangan sipil Internasional. Konvensi ini digunakan sebagai sumber
hukum dalam setiap kegiatan penerbangan internasional negara-negara, dan
termasuk pada suatu perjanjian internasional yang bersifat law making
treaty.”
Ketentuan yang paling penting juga menjadi prinsip utama dalam hukum
internasional adalah tentang kedaulatan suatu negara di wilayah udara yang
terdapat dalam pasal 1 konvensi ini. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap
negara mempunyai kedaulatan secara menyeluruh dan khusus terhadap kawasan
udara di wilayahnya.3 Negara-negara yang menyetujui konvensi ini harus
mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan atas ruang udara di
wilayah nya bukan hanya negara peserta tetapi semua negara. Dalam kasus ini
untuk penerbangan tidak berjadwal atau (non-scheduled flight) konvensi chicago
1944 mengaturnya dalam pasal 5 yang menjelaskan “penerbangan tidak terjadwal
(non-scheduled flight) memiliki hak untuk melintasi wilayah ruang udara negara
peserta, untuk melakukan penerbangan ke negara peserta atau untuk melakukan
transit non-stop, atau mendarat di negara peserta bukan untuk tujuan lalu lintas
udara atas persetujuan dari negara peserta yang bersangkutan. Negara peserta
dimaksud juga memiliki wewenang untuk memerintahkan pesawat udara yang
melintasi wilayah ruang udaranya untuk melintas di jalur yang telah ditentukan
oleh negara peserta dimaksud”. Walaupun non scheduled flight memiliki hak
untuk terbang melintasi wilayah udara negara lain tanpa izin, akan tetapi dapat
dikatakan hak tersebut bersifat terbatas dan dibatasi oleh ketentuan lain dalam
konvensi chicago 1944.

Jika melihat pasal 12 Konvensi Chicago 1944 mengatur bahwa seluruh


negara peserta konvensi sepakat untuk memastikan bahwa setiap pesawat udara

2 Prita Amalia, 2019, “Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty”, Pusat Studi
Air Power Ed. 1, Januari-Maret, hal. 6.
3 Ibid, hlm 6.

3
sipil yang terbang melintasi atau melakukan manuver di atas suatu wilayah dan
pesawat tersebut memiliki tanda kebangsaan pesawat harus mematuhi peraturan
dan regulasi. Ketentuan ini memungkinkan bahwa setiap negara anggota
mengaturnya dalam regulasi peraturan di negaranya sesuai dengan kepentingan
nasionalnya dan dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam konvensi ini. Pasal
13 konvensi Chicago 1944 juga menyebutkan Hukum dan peraturan dari suatu
Negara yang mengadakan kontrak untuk masuk atau keluar dari wilayahnya
penumpang, awak atau kargo pesawat, seperti itu sebagai peraturan yang
berkaitan dengan masuk, izin, imigrasi, paspor, bea cukai, dan karantina harus
dipatuhi oleh atau atas nama penumpang tersebut, awak kapal atau kargo pada
saat masuk atau berangkat dari, atau selama berada di dalam wilayah Negara itu.

Dalam hal ini, pasal 5 Konvensi Chicago 1944 yang dijadikan


pembelaan/alasan dari co pilot Ethiopian Airlines bertentangan dengan ketentuan
lain dalam konvensi ini. Maka dapat dikatakan bahwa dalam upaya menjaga
kedaulatan wilayah udara dan mematuhi perjanjian internasional tindakan
Indonesia untuk meminta ganti rugi merupakan tindakan yang dapat dibenarkan
secara hukum internasional dan hukum nasional.

Peraturan Hukum Terhadap Wilayah Udara Indonesia

1. Peraturan-peraturan Udara Nasional yang dapat digunakan sebagai pedoman


dalam masalah ini :
● Dalam Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
menjelaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan penuh atas
wilayah udaranya.
● Dalam Pasal 8 ayat 1 UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
menjelaskan tindakan yang dilakukan apabila ada pelanggaran
atas pesawat udara yang melintas di wilayah udara sebagaimana
yang telah disebutkan di pasal 5.

4
● Dalam Pasal 8 ayat 4 UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
menjelaskan tindakan lanjut apabila peringatan dan perintah
sebagaimana disebutkan pada pasal 8 ayat 1 tidak diindahkan
oleh pesawat yang melanggar peraturan.
● Dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2018 tentang
Pengamanan wilayah udara Republik Indonesia pada pasal 10
ayat 1, 2, 3 menjelaskan bahwa pesawat udara negara asing yang
terbang di wilayah NKRI harus memiliki izin diplomatik, jika
tidak merupakan pelangaran. Selanjutnya pada pasal 19 ayat 5
dan 6 menjelaskan tentang kepatuhan melakukan penerbangan di
atas alur laut kepulauan atas ketentuan yang berlaku di Indonesia
dan internasional untuk kepentingan keselamatan penerbangan.
2. Peraturan Hukum Internasional

Konvensi Paris 1919 tentang the regulation of aerial navigation.


Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan oleh Konvensi
Chicago 1944 tentang international civil aviation menegaskan
bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan
eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya.4

Menurut berbagai macam peraturan yang ada, pesawat Ethiopian


Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728 melanggar Konvensi
Chicago 1944 dan peraturan nasional yang ada di Indonesia, serta
menolak untuk membayar denda administrasi yang tertera dalam PP No
4 Tahun 2018. Situasi inilah yang membawa Indonesia menempuh
beberapa prosedur penyelesaian sengketa Internasional untuk menuntut
serta meminta ganti rugi atas pelanggaran kedaulatan wilayah udara
Indonesia. Sesuai dengan tata cara yang tertera dalam Pasal 33 Ayat 1
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)5, cara-cara itu meliputi
negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, serta penyelesaian

4 I H Ph. Diedericks-Verschoor, An Ontroduction to Air Law, Kluwer Law, Netherlands, 1983, hlm. 2
5 Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945 (Piagam PBB/Charter of the United Nations)

5
menurut hukum melalui badan atau pengaturan regional, atau cara damai
lainnya yang dipilih sendiri. Pihak Ethiopian Airlines sebagai perusahaan
yang dinaungi oleh negaranya meminta bantuan kepada negaranya yaitu
negara Ethiopian untuk menyelesaikan konflik dengan Indonesia melalui
jalur diplomatik, dengan harapan akan menemukan solusi atas masalah
ini.

5. Penyelesaian Masalah

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan hukum positif (ketentuan


mengikat yang harus diberlakukan) bahwa penggunaan kekerasan dalam hubungan
antar negara sudah dilarang dan oleh karena itu sengketa-sengketa internasional harus
diselesaikan secara damai. Keharusan ini pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1
Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den
Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-
Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar
Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970 6. Dalam
deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan
cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan
tidak terganggu. Sesuai dengan tata cara yang tertera dalam Pasal 33 Ayat 1 Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), cara-cara itu meliputi negosiasi, penyelidikan,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, serta penyelesaian menurut hukum melalui badan atau
pengaturan regional, atau cara damai lainnya yang dipilih sendiri.

Dasar Hukum yang dapat dipakai dalam Penyelesaian Sengketa secara Damai :

1. Hague Convention for the Pacific Settlement Of Disputes Of 1899 and


1907.

6 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global),
Edisi ke-2, PT. Alumni, Bandung, 2005. hlm. 193.

6
2. U.N.G.A. Resolutions 2627(XXV) 24 Oktober Tahun 1970 Deklarasi
tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan
Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. U.N.G.A.Resolutions 2744 (XXV) 16 Desember Tahun 1970 Program
Pemeliharaan dan Perbaikan Utama Pada Bangsa-bangsa Palais Des dan
Perluasan Bangsa Palais Des.
4. U.N.G.A. Resolutions 2625 (XXV) on Declaration of Principles of
International Law Concerning Friendly Relationsand Cooperation
Among States in accordance with the charter of the United Nations.
Mengatur sebagai berikut:
● Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang
bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik
suatu negara, atau tidak sesuai dengan tujuan PBB.
● Prinsip non intervensi dalam urusan dalam dan luar negeri suatu
negara
● Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap
bangsa.
● Prinsip persamaan kedaulatan negara
● Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan
dan integritas teritorial.
● Prinsip itikad baik dalam Hubungan Internasional.
● Prinsip keadilan dan Hukum Internasional

Dalam masalah ini pihak Ethiopian Airlines yang diwakili oleh negara nya
dalam menyelesaikan sengketa udara ini memilih menyelesaikan sengketanya melalui
mekanisme penyelesaian sengketa jalur Diplomatik. Negara Ethiopia (Ethiopian
Airline) bersepakat dengan pihak Indonesia untuk melakukan proses Negosiasi.
Negosiasi dalam masalah ini merupakan bentuk negosiasi setelah terjadinya masalah
yang dilakukan oleh pesawat ethiopian. Negosiasi adalah salah satu cara penyelesaian

7
sengketa internasional yang prosesnya adalah diskusi-diskusi antar pihak terkait untuk
menemukan solusi masalah dengan anggapan bahwa cara ini dinilai akan menyelesaikan
masalah dengan cepat dengan tanpa adanya publisitas ke publik. 7 Dengan proses
Negosiasi para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketa dan diharapkan
pada saat penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.
Pada proses negosiasi, tidak menyertakan pihak ketiga dalam proses penyelesaian
sengketanya.8 Negosiasi bisa dilakukan secara bilateral, multilateral, formal maupun
informal dan tidak ada pedoman khusus untuk melakukannya.9

Kedua belah pihak (Ethiopian dan Indonesia) sudah melewati jalur negosiasi
yaitu dengan mengadakan serangkaian pertemuan antar negara/pemerintah. Namun
pertemuan tersebut belum juga menghasilkan sebuah resolusi untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh pesawat Ethiopian Airlines
dengan nomor penerbangan ET 3728. Pada kondisi ini pihak ethiopian bersikeras pada
pendirian nya yaitu bahwa dengan berpedoman pada Pasal 5 Konvensi Chicago 1944
yang menyebutkan “penerbangan tidak terjadwal (non-scheduled flight) memiliki hak
untuk melintasi wilayah ruang udara negara peserta, untuk melakukan penerbangan ke
negara peserta atau untuk melakukan transit non-stop, atau mendarat di negara peserta
bukan untuk tujuan lalu lintas udara atas persetujuan dari negara peserta yang
bersangkutan. Negara peserta dimaksud juga memiliki wewenang untuk memerintahkan
pesawat udara yang melintasi wilayah ruang udaranya untuk melintas di jalur yang telah
ditentukan oleh negara peserta dimaksud”, manakala suatu pihak terlalu keras dengan
pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak
produktif.10

7 Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional, Bandung: Nusa Media, hal 1020.
8 Ibid, hal 1020.
9Sefriani, 2016, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. hal 361.
10 Palitha TB Kohona, 1985, The Regulation of International Economic Relations through Law, the
Netherlands: Martinus Nijhoff Publ. hlm. 159.

8
Maka dengan kurang efisiennya proses Negosiasi yang telah dilakukan oleh
kedua belah pihak (Indonesia dan Ethiopian) tanpa menemukan solusi atas masalah
yang ada, akhirnya kedua belah pihak sepakat menyelesaikan sengketa ini melalui jalur
hukum dan membawa sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan
menandatangani sebuah perjanjian khusus (Special Agreement). Sehingga sengketa ini
diproses oleh Mahkamah Internasional berdasarkan Yurisdiksinya sesuai dengan Pasal
36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yang menyebutkan Bahwa Mahkamah
berwenang untuk menangani semua perkara yang diajukan terutama yang ditentukan
dalam Piagam PBB. Dalam Tuntutannya Indonesia menyatakan pihak pesawat
Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET 3728 melanggar Konvensi Chicago
1944 dan Peraturan Nasional Indonesia.

6. Kesimpulan

Dalam konflik masalah pelanggaran kedaulatan wilayah udara yang dilakukan


oleh pesawat Ethiopian Airlines terhadap wilayah udara negara indonesia, indonesia
sebagai negara yang berdaulat atas wilayah udaranya menuntut pesawat ethiopian
airlines untuk bertanggung jawab atas masalah yang terjadi. Pihak eitiophian airlines
tetap teguh pendirian nya pada pasal 5 Konvensi Chicago 1944 yang menyebutkan
bahwa “penerbangan tidak terjadwal (non-scheduled flight) memiliki hak untuk
melintasi wilayah ruang udara negara peserta, untuk melakukan penerbangan ke negara
peserta atau untuk melakukan transit non-stop, atau mendarat di negara peserta bukan
untuk tujuan lalu lintas udara atas persetujuan dari negara peserta yang bersangkutan.
Negara peserta dimaksud juga memiliki wewenang untuk memerintahkan pesawat udara
yang melintasi wilayah ruang udaranya untuk melintas di jalur yang telah ditentukan
oleh negara peserta dimaksud”, yang pada intinya pihak eitiophian beranggapan bahwa
pesawatnya boleh melintasi wilayah udara Indonesia selagi bukan untuk tujuan lalu
lintas udara. Indonesia yang dilanggar kedaulatan wilayah udara nya membawa kasus
ini sebagai kasus sengketa internasional. Konflik antara indonesia dengan ethiophian di
upayakan untuk diselesaikan dengan cara damai sebagaimana diatur dalam Pasal 1

9
Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den
Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-
Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar
Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970. Proses
Negosiasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak sehingga dengan kesepakatan khusus
kedua belah pihak membawa kasus ini kepada Mahkamah Internasioanal utuk di proses.

10
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Amalia, Prita, 2019, “Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive
Sovereignty”, Pusat Studi Air Power Ed. 1, Januari-Maret, hal. 6
Mauna, Boer, 2005, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global) Edisi ke-2,Bandung: PT. Alumni.
Ph. Diedericks-Verschoor, I H, 1983, An Ontroduction to Air Law, Netherlands: Kluwer
Law.
Sefriani, 2016, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shaw QC, Malcolm N, 2013, Hukum Internasional, Bandung: Nusa Media.

Peraturan Perundang-undangan
RI, UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
RI, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan wilayah udara
Republik Indonesia.

Peraturan Internasional
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945 (Piagam PBB/Charter of the United Nations).
Konvensi Chicago 1944.
Konvensi Paris 1919 tentang the regulation of aerial navigation

Internet

11
Indah Mutiara Kami, “Lintasi Indonesia Tanpa Izin, Pesawat Ethiopia Ngaku Mau ke
Singapura”, Online, Internet, 27 Oktober 2020, https://news.detik.com/berita/d-
4385115/lintasi-indonesia-tanpa-izin-pesawat-ethiopia-ngaku-mau-ke-singapura.

12

Anda mungkin juga menyukai