Anda di halaman 1dari 5

Nama : Belva Syahda Mahardika

Nim : 1910611305

Kelas : F

Analisis Amandemen Pasal 3 ( sebelum amandemen ) Dan Pasal 3 bis ( setelah


amandemen ) Konvensi Chicago 1944 Dengan Tujuan Dibentuknya Konvensi
Chicago 1944 .

Negara merupakan subjek penuh atas hukum internasional , yang diperlukan


unsur konstitufi sebagai pendukung kedaulatan negara itu sendiri . Unsur Konstitutif
negara dapat dibedakan menjadi 4 , yaitu :
1. Penduduk yang tetap
2. Wilayah tertentu
3. Sistem pemerintahan
4. Kedaulatan1.
Negara juga memiliki kedaulatan atas wilayah , baik wilayah daratan , wilayah
perairan territorial , maupun wilayah atas ruang udaranya , dimana dapat diartikan
bahwa wilayah negara (territory) memiliki bentuk tiga dimensi2 . Ruang udara
menjadi dimensi yang memiliki kedudukan batas horizontal terakhir dalam
kedaulatannya , terlepas dari dimensi pertama , yang merupakan wilayah daratan
negara , dan wilayah atas perairan teritorial yang menjadi dimensi kedua , walaupun
masih belum adanya kesepakatan internasional yang resmi yang mengatur sampai
mana batasnya . Setiap negara memiliki sifat kedaulatan yang melekat , karena

1
Boer Mauna . Hukum internasional ; Pengertian Peranan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Bandung: Alumni , 2000, hlm.20
2
Priyatna Abdurrasyid , Kedaulatan Negara Di Ruang Udara , Jakarta : Pusat Penelitian Hukum
Angkasa , 1972 , hlm.26
kedaulatan merupakan sifat dan ciri yang hakiki dari berdirinya suatu negara . Negara
berdaulat dapat diartikan bahwa negara itu memiliki suatu kekuasaan tertinggi secara
de facto yang menguasai3. Pada umumnya , kedaulatan negara terbagi menjadi dua
aspek4 , yaitu :
1. Aspek eksternal , terimplementasi dalam kekuasaan tertinggi yang
bertujuan untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar
wilayah negara itu , sepanjang masih terkait dengan kepentingan negara
itu sendiri , ataupun untuk mengadakan hubungan dengan anggota
masyarakat internasional .
2. Aspek internal , yang terimplementasi dalam kekuasaan tertinggi yang
bertujuan untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam batas
wilayah negara .
Ruang berlaku kedaulatan tersebut dibatasi oleh batas wilayah negara tersebut ,
dimana suatu negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam Batasan wilayah
negaranya saja , dimana saat di luar wilayahnya , suatu negara tersebut tidak memiliki
kedaulatan sedemikian rupa . Terkait dengan wilayah kedaulatan atas suatu ruang
udara di suatu negara , batas horizontal kedaulatannya akan mengikuti dimensi yang
pertama dan kedua , yakni wilayah daratan negara , dan perairan teritorialnya .
Namun , masih belum ada kesepakatan secara vertikal yang bersifat internasional
terkait dengan sampai mana batas antara ruang udara dan ruang angkasa 5. Sehingga ,
dalam pengaturan status hukum wilayah atas ruang udara nasional dan penerbangan
sipil Internasional , dibentuklah suatu organisasi di Amerika Serikat , pada tanggal 1
November hingga 7 Desember 1944 di Chicago . Organisasi tersebut diberi nama
International Civil Aviation Organization ( ICAO ) yang dibentuk dengan tujuan
untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara . ICAO berubah menjadi badan
khusus PBB , dimulai dari tanggal 13 Mei 1947 , dan merujuk pada Pasal 64

3
E.Suherman , Wilayah Udara dan wilayah dirgantara , Bandung : Penerbit Alumni 1984,hlm.4
4
I Wayan Parthiana , Pengantar Hukum Internasional , Bandung : Mandar Maju , 1990,hlm.294
5
Kesepakatan Pengakuan Ruang Udara di atas Wilayah Negara Merupakan Kedaulatan Penuh dan
Eksklusif ( Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 ) dan Ruang Angkasa Merupakan Kawasan Seluruh Umat
Manusia ( Pasal 2 The Outer Space Treaty 1967 )
Konvensi Chicago 1944. Terlepas dari hal tersebut , Konvensi Chicago memiliki dua
fungsi utama :
1. Sebagai sumber hukum internasional ( Pasal 1 – Pasal 42 )
2. Menjadi sebuah konstitusi utama dari organisasi internasional ( ICAO ) itu
sendiri ( terdapat pada Pasal 43 – 96 )
Negara Indonesia sendiri , sudah teratifikasi menjadi anggota peserta ( menotifikasi )
Konvensi Chicago tertanggal pada 27 April 1950 , yang dimana Indonesia diharuskan
tunduk pada ketentuan standar dan rekomendasi praktek pelaksanaan penerbangan
yang telah ditetapkan oleh ICAO6 . Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 tersebut berbunyi
“Pesawat udara sipil ( komersial ) dan tidak termasuk pesawat udara negara , baik
pesawat udara militer maupun yang lain tercakup dalam pengertian state aircraft
yang termasuk konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil7”. Pada tanggal 10
Mei 1984 , di Montreal telah ditandatangani protokol yang mengubah Konvensi
Chicago 1944 , yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dalam Konvensi
Chicago 1944 , yang ditujukan untuk melindungi pesawat udara sipil terhadap
pelanggaran wilayah udara suat negara , Tindakan kekerasan senjata negara yang
merasa terlanggar , yang kerap kali berakibat fatal bagi jiwa penumpang dan awak
pesawatnya . Amandemen Konvensi Chicago 1944 Pasal 3 bis dilatarbelakangi atas
peristiwa penembakan pesawat Boeing 747 Korean Air Lines pada tanggal 1
September 1983 yang menewaskan 269 korban jiwa , yang telah dilakukan oleh
pesawat Pemburu Uni Soviet di wilayah udara Uni Soviet , yang mana dalam
perubahan Konvensi Chicago 1944 , dimasukan asas yang tertera dalam hukum
Internasional , yang dikenal dengan asas pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (
elementary considerations of humanity ) . Asas tersebut ditujukan untuk melandasi
untuk meniadakan diskriminasi rasial , dan berbagai ketentuan dalam hukum
6
Surat Penundukan diri tersebut berbunyi sebagai berikut : “states of Indonesia presents his
compliments to the Honorable , the secretary of state and has the honor to inform him that he is
directed by this government to notify the United States Government that the Government of the
Republic of the United States of Indonesiaa adheres to the convention in Chicago on International
Civil Aviation accordance with Article 92 of said comvention”. Yang diterima oleh US Department of
State , tertanggal 27 April 1950

7
Pasal 3 Konvensi Chicago 1944
humaniter , seperti ketentuan untuk melindungi tawanan perang atau penduduk sipil
dalam peperangan , serta terkait dengan keselamatan pesawat udara sipil negara lain
dalam penerbangannya8 . Perubahan atas Konvensi Chicago tersebut , dilakukan
dengan cara menambahkan pasal baru , yakni Pasal 3 bis , yang berbunyi :
A. Dari ketentuan ini , negara mempunyai kewajiban hukum dalam
penahanan diri tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil
dalam penerbangannya ( must refrain from resorting to the use of
weapons against civil aircraft in flight ) . Dalam hal prosedur pencegatan (
interception ) , negara berkewajiban untuk tidak membahayakan jiwa
manusia yang berada di dalam pesawat udara , serta pesawat udara yang
diintersepsi itu sendiri . Dengan adanya ketentuan ini , tidak boleh
diartikan untuk merubah atau memodifikasi hak dan kewajiban
sebagaimana ditetapkan dalam Piagam PBB ( the charter of the United
Nations ) .
B. Dengan demikian , sebagai perwujudan kedaulatan negara , berhak
diperintahkannya pesawat udara sipil yang melakukan pelanggaran
wilayah udara dyang mendarat di bandar udara negara itu yang ditentukan
( to require the landing at some designated airport ) . Dalam menerapkan
wewenangnya , Kembali diingatkan agar negara memperhatikan ketentuan
pertama di atas . Selain itu , negara diminta untuk mengumumkan
ketentuan yang dibuatnya dalam mengatur prosedur intersepsi terhadap
pesawat udara sipil.
C. Dari ketentuan ini , maka setiap pesawat udara sipil harus mematuhi
intruksi yang diberikan oleh negara yang melakukan intersepsi
terhadapnya . Untuk mendukung prinsip pemathuan ini setiap negara
dituntut untuk memasukan perundangan nasionalnya , dengan ketentuan
bahwa pesawat udara sipil yang terdaftar di negaranya akan mematuhi
instruksi negara yang melakukan intersepsi kapan saja pesawat udara sipil
itu mengalami kasus demikian , dan dituntut agar setiap negara

8
Yasid Hambali , Hukum dan Politik Kedirgantaraan , Jakarta : Pradnya Paramita , 1994 , hlm.36
menetapkan dalam perundangan nasionalnya dengan ketentuan hukuman
yang berat bagi para pemilik atau operator pesawat udara sipil yang
terdaftar di negaranya yang melanggar prinsip pematuhan dalam
menghadapi intersepsi oleh negara lain .
D. Setiap negara akan mengalami Tindakan agar pesawat udara sipil yang
terdaftar di negaranya , tidak akan dipergunakan untuk maksud yang
bertentangan dengan tujuan Konvensi Chicago itu sendiri .

Anda mungkin juga menyukai