Anda di halaman 1dari 5

1.

Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional


Hukum udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai
pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum
publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik internasional. 1
Beberapa konvensi yang mengatur mengenai penerbangan sipil internasional:
a. Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919
Pada tanggal 13 Oktober 1919, di paris ditandatangani konvensi internasional
mengenai navigasi udara yang telah disiapkan oleh suatu komosi khusus yang
dibentuk oleh dewan tertinggi Negara-negara sekutu. Konvensi Paris tersebut
merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai
penerbangan udara. Disamping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat
kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi
prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi. Terhadap Negara-negara bekas
musuh, pasal 42 konvensi paris memberikan persyaratan bahwa Negara-negara
tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari 3 atau 4 Negara-
negara pihak pada konvensi.2 Pada tahun 1929, setelah direvesi dengan protocol
15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan jerman dalam LBB,
konvensi paris 1919 betul-betul menjadi konvensi yang bersifat umum karena
sejak mulai berlakunya protocol tersebut tahun 1933, 53 (Lima puluh tiga) negara
telah menjadi pihak. Perubahan tersebut dilakukan oleh komisi Internasional
Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 juni 1929. Rezim baru
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
i. Negara-negara bukan pihak pada konvensi 1919 dapat diterima tanpa
syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam perang
dunia 1;
ii. Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan
khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada konvensi
dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan

1
AK, Syahmin dan Utama, Meria dan Idris, Akhmad, Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Palembang:
Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, 2012, hlm. 15
2
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung: PT Alumni, 2005, hlm. 38
dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip umum konvensi;
iii. Protokol 1929 meletakkan prinsip kesamaan yang absolut bagi semua
Negara dalam komisi internasional. Masing-masing Negara pihak tidak
boleh lebih dari dua wakil dalam komisi dan hanya memiliki satu suara;
b. Chicago Convention on International Civil Aviation tahun 1944
Konferensi Chicago membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu:
i. Konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru.
ii. Konsep Amerika Serikat yang bebas untuk semua, dikenal juga dengan
konsep persaingan bebas atau free enterprise.
iii. Konsep intermediet Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan.
Setelah melalui pendebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep
Inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima tiga
instrumen, yaitu; konvensi mengenai penerbangan sipil internasional; persetujuan
mengenai transit jasa-jasa udara internasional, dan; Persetujuan mengenai alat
angkutan udara internasional. Konvensi Chicago pada 7 Desember 1944 mulai
berlaku pada tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi negara pihak pada
tahun 1967. Konvensi ini membatalkan Konvensi Paris 1919, demikian juga
Konvensi Inter-Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi
Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan- kesepakatan tersebut sudah
melebihi angka 2000.
Salah satu contoh dari pasal yang mengatur tentang penerbangan internasional,
dalam Pasal 6 konvensi ini ditetapkan bahwa “pesawat udara yang merupakan
bagian dari penerbangan berjadwal tidak dibenarkan untuk terbang melalui atau
menuju wilayah suatu negara tanpa izin dari negara yang bersangkutan”.3
Hukum udara juga diatur dalam Warsaw Convention dan Montreal Convention.
Terdapat 4 (empat) prinsip dalam Konvensi Chicago:4
i. Airspace Sovereignty
ii. Nationality of Aircraft
iii. Condition to Fulfill with the Respect to Aircraft or by Their Operators
iv. International Cooperation and Facilitation
3
Convention on International Civil Aviation, Pasal 6
4
T. May Rudy, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2002, hlm. 31
2. Perjanjian mengenai Kegiatan Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Luar Angkasa
Hukum ruang angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan antar
negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul pada
segala aktivitas yang tertuju pada ruang angkasa dan di ruang angkasa serta aktifitas demi
kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan,
terrestrial dan non-terrestrial, dimana pun aktivitas itu dilakukan.5 Rezim hukum ruang
angkasa diatur dalam United Nations Treaties and Principles on Outer Space pada tahun
1967. Konvensi ini mengatur tentang kegiatan penggunaan dan eksplorasi luar angkasa.
Sama halnya dengan laut lepas, hukum internasional mengakui status hukum ruang
angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagian pun dari ruang angkasa
dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. Kegiatan penggunaan dan
eksplorasi luar angkasa diatur dalam Pasal 1 dalam konvensi United Nations Treaties and
Principles on Outer Space yang menyatakan bahwa “aktivitas peggunaan dan eksplorasi
ruang angkasa termasuk bulan dan benda angkasa akan disasarkan untuk kepentingan
semua negara dan hasil dari ekslorasi tersebut akan diberikan untuk seluruh umat
manusia”.6 Dalam Pasal 3 konvesi ini juga disebutkan bahwa aktivitas tersebut harus
sesuai dengan hukum internasional. Hukum luar angkasa juga diatur dalam Rescue
Agreement, Liability Convention, Registration Convention, dan Moon Agreement. Prinsip
umum hukum ruang angkasa berdasarkan Outer Space Treaty antara lain adalah:7
a. Larangan pemilikan nasional atas ruang angkasa dan benda-benda langit “non-
appropriation”. Yang diatur dalam Pasal 2 Outer Space Treaty;
b. Hak-hak yang sama bagi semua negara untuk bebas memanfaatkan ruang angkasa
“free exploration and use”. Yang diatur dalam Pasal 1 Outer Space Treaty.
b. Kebebasan melakukan penyelidikan ilmiah di ruang angkasa: melindungi hak
berdaulat atas objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan;
c. Kerjasama negara-negara dengan tujuan memberikan bantuan awak pesawat ruang
angkasa dalam peristiwa darurat.
3. Perbedaan antara Rezim Hukum Ruang Udara dan Rezim Hukum yang Berlaku di Luar
Angkasa

5
John C. Cooper, Aerospace Law: Subject Matter and Terminology, JALC: Recueil des Course, 2003,
hlm. 89
6
United Nations Treaties and Principles on Outer Space, Pasal 1
7
United Nations Treaties and Principles on Outer Space 1967
Pada hukum ruang udara, negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap
ruang udara diatas wilayah negara tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Konvensi
Chicago 1944 yang menetapkan bahwa seeiap negara penandatangan mempunyai
kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap ruang udara diatas wilayah negaranya.8
Sedangkan hukum ruang angkasa menyatakan bahwa ruang angkasa tidak berada
dibawah kedaulatan negara manapun. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Outer Space Treaty
menyebutkan bahwa ruang angkasa tidak dibawah kedaulatan negara manapun. 9 Hukum
internasional mengakui status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga
tidak ada satu bagian pun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah
kedaulatan negara.10
Dalam hukum ruang udara, mengatur mengenai ketentuan tentang penerbangan
internasional meliputi hak-hak dan kewajiban setiap negara di ruang udara saat pesawat
yang mewakili negara tersebut sedang melakukan penerbangan. Hal tersebut sesuai
dengan berbagai pasal yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944 seperti dalam Pasal 6
dan 17. Sedangkan hukum ruang angkasa mengatur mengenai aktivitas penggunaan dan
eksplorasi ruang angkasa termasuk bulan dan benda ruang angkasa. Hal tersebut sesuai
dengan berbagai pasal dalam Outer Space Treaty, salah satunya yang tercantum dalam
Pasal 1 yang menyatakan bahwa aktivitas peggunaan dan eksplorasi ruang angkasa
termasuk bulan dan benda angkasa akan disasarkan untuk kepentingan semua negara dan
hasil dari ekslorasi tersebut akan diberikan untuk seluruh umat manusia.11
Perbedaan antara Outer Space Treaty sebagai peraturan dari hukum luar angkasa dan
Convention on International Civil Aviation sebagai peraturan dari hukum udara adalah
bahwa peraturan yang kedua disebutkan, hanya berlaku kepada penerbangan sipil
internasional dan pada pesawat sipil, bukan kepada pesawat milik negara yang digunakan
untuk militer, bea cukai dan keperluan polisi. Tetapi pembatasan tersebut tidak berlaku
dalam Outer Space Treaty. Peraturan ini berlaku kepada semua aktivitas di luar angkasa
dan kepada semua benda luar angkasa, dan juga bertujuan untuk menghindari segala

8
Convention on International Civil Aviation, Pasal 1
9
United Nations Treaties and Principles on Outer Space, Pasal 2
10
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT. Alumni, 2015,
hlm. 196
11
United Nations Treaties and Principles on Outer Space, Pasal 1
bentuk militerisasi di luar angkasa, serta mempromosikan penggunaan luar angkasa dan
benda langit untuk tujuan yang damai.12

Daftar Pustaka

Sumber Literatur

Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam
Era

Dinamika Global. Bandung: Alumni

Cooper, John. C. 2003. Aerospace Law: Subject Matter and Terminology. JALC:
Recueil des Course
Haanappel, Peter. P. C. 2003. The Law and Policy of Air Space and Outer Space: A
Comparative Approach. Kluwer Law International
Mochtar Kusumaatmadja. 2012. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT.
Alumni.
T. May Rudy. 2002. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama
AK, Syahmin dan Utama, Meria dan Idris, Akhmad. 2012. Hukum Udara dan Ruang
Angkasa. Palembang: Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press.
Sumber Lainnya

Convention on International Civil Aviation

United Nations Treaties and Principles on Outer Space

12
Peter P. C. Haanappel, The Law and Policy of Air Space and Outer Space: A Comparative
Approach, Kluwer Law International, 2003, hlm. 12

Anda mungkin juga menyukai