Anda di halaman 1dari 7

Rezim Hukum Ruang Udara dan angkasa

Oleh : Muhammad Dwika Pratamadia


Pendahuluan
Dalam task 9 ini, merupakan Tugas belajar (study task) yang mengangkat tema
Rezim Hukum Ruang Udara dan Ruang angkasa yang termasuk di dalamnya
menyangkut tentang konvensi mengenai penerbangan sipil internasional (convention
concerning international civil aviation) dan perjanjian tentang prinsip-prinsip yang
mengatur kegiatan negara dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa (the
treaty on principles governing the activities of states in the exploration and use of
outerspace). Dalam study task kali ini mempelajari rezim hukum ruang udara dan
rezim hukum yang berlaku di ruang angkasa dengan menyebutkan pasal yang
relevan.1
Dengan adanya tema dan pembahasan yang telah diarahkan melalui task 9 course
manual, munculah berbagai pertanyaan berkaitan dengan rezim hukum ruang udara,
rezim hukum ruang angkasa, ketentuan hukum internasional mengenai ruang udara
dan ruang angkasa.

Tujuan Pembelajaran
Tugas ini mengenai rezim hukum ruang udara dan angkasa, mahasiswa hukum
internasional, dalam hal ini penulis telah merancang tujuan pembelajaran yaitu:
1.Rezim hukum ruang udara
2.

Rezim hukum ruang angkasa

3.

ketentuan hukum internasional mengenai ruang udara dan ruang angkasa

1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Course Manual Hukum Internasional,


2016, hlm. 10-11

Rezim hukum ruang udara


Rezim hukum ruang udara diatur dalam Chicago Convention on International Civil
Aviation, konvensi ini dibuat pada tahun 1994, konvensi ini dilatar belakangi oleh
bisnis aviasi yang semakin berkembang, terutama dalam bidang penerbangan sipil.
Dengan semakin berkembangnya bisnis aviasi yang dalam hal ini adalah
penerbangan sipil, semakin besar resiko gesekan antar kepentingan satu negara
dengan negara lain, terutama yang ruang udaranya digunakan untuk penerbangan
sipil. Sehingga untuk menjaga perdamaian antar negara dan menjaga keselamatan
maka dibuatlah konvensi ini.
Dalam rezim hukum ruang udara yang terdapat pada Chicago Convention on
International Civil Aviation tahun 1994, yang dibuka dengan pasal 1 dengan tegas
dikatakan dalam konvensi tersebut bahwa every State has complete and exclusive
sovereignty over the airspace above its territory 2. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam rezim hukum ruang udara, setiap negara memiliki kedaulatan eksklusif secara
utuh atas rauang udara diatas wilayah negara tersebut.
Dalam praktik, pasal tersebut justru menyebabkan beberapa kasus seperti pada
tahun 1983, pada kasus ini Uni Soviet Menembak pesawat penerbangan sipil yang
memasuki wilayah udara Uni Soviet. Padahal

International Civil Aviation

Organization yang merupakan organisasi internasional penerbangan sipil telah


merekomendasikan kepada seluruh anggotanya untuk tidak menggunakan senjata
dalam situasi apapun untuk keperluan penangkapan pesawat sipil yang telah
melewati wilayah udara suatu negara tanpa izin. 3
Sehingga pada tahun 1984 dilakukanlah amandemen terhadap Chicago Convention
on International Civil Aviation 1944, pada pasal 3 Bis, yang dalam huruf (b)
dikatakan bahwa:

2 Chicago Convention on International Civil Aviation 1944, Pasal 1


3 Peter Malanczuk, Akehursts Modern Introduction Tointernational Law, New
York: Taylor & Francis, 2002, hlm. 199

The contracting States recognize that every State, in the exercise of its
sovereignty, is entitled to require the landing at some designated airport of a
civil aircraft flying above its territory without authority 4
Berdasarkan pasal 3 huruf (b) tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi
pelanggaran atas wilayah udara suatu negara, untuk menegakan kedaulatan negara
tersebut, negara yang memiliki kedaulatan atas ruang udara harus meminta peswat
penerbangan sipil tersebut untuk mendarat di bandar udara tertentu.
Dalam proses penegakkan kedaulatan ruang udara tersebut, diatur pula mengenai
ketentuan yang harus diikuti oleh negara yang ruang udaranya dilanggar yang
terdapat dalam pasal 3 bis huruf (a) yang mengatakan bahwa:
The contracting States recognize that every State must refrain from resorting
to the use of weapons against aircraft in flight and that, in case of interception,
the lives of persons on board and the safety of aircraft must not be
endangered5
Dari pasal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam penegakkan kedaulatannya
terhadap pesawat yang melanggar ruang udara, negara tersebut tidak boleh
menggunakan persenjataan, dan tidak boleh mengancam keselamatan serta
kehidupan kehidupan penumpang.
Terkait rezim hukum ruang udara, dalam bukunya, Peter N. Malanczuk mengatakan
bahwa banyak peraturan yang mengatur mengenai pesawat menggunakan
peraturan yang sama dengan peraturan kapal laut, contohnya dalah nasionalitas dari
pesawat yang berdasarkan registrasi, dan pesawat tidak bisa didaftarkan dalam dua
atau lebih negara dalam saat yang bersamaan. 6

Rezim Hukum Ruang angkasa


Berkaitan dengan rezim hukum ruang angkasa, terdapat sejumlah perjanjian
internasional terhadap peraturan mengenai ruang angkasa, yaitu: Treaty on
4 Chicago, Op. Cit., Pasal 3 bis
5 Ibid.
6 Peter, Op. Cit., hlm. 201

Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer
Space, including the Moon and Other Celestial Bodies 1967; Agreement on the
Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched
into Outer Space 1968; Convention on International Liability for Damage Caused by
Space Objects 1972; Convention on Registration of Objects Launched into Outer
Space 1974; Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other
Celestial Bodies 1979. Namun terdapat pula konvensi khusus yang mengatur
aktifitas ruang angkasa tertentu seperti Treaty Banning Nuclear Weapon Test In The
Atmosphere, In Outer Space And Underwater 1963 dan Convention On The
Prohibition Of Military Or Any Other Hostile Use Of Environmental Modification
Techniques 197.7
Dalam bukunya, Shaw mengatakan bahwa batasan ruang udara adalah 50-100 mil
dari daratan.8 sehingga dapat dikatakan bahwa 100 mil diatas daratan adalah ruang
angkasa. Berbeda dengan pendapat Shaw, Mochtar dalam bukunya justru
menyimpulkan bahwa tidak ada satu ketentuan pun yang menetapkan batas antara
ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan Treaty on Principles Governing the
Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon
and Other Celestial Bodies.9
Lebih lanjut, Shaw mengatakan bahwa negara-negara telah setuju untuk
menerapkan prinsip hukum internasional res communis sehingga tidak ada satu
bagianpun dari wilayah ruang angkasa yang merupakan bagian dari kedaulatan satu
negara, sehingga dengan kata lain, ruang angkasa adalah milik bersama dan tidak
dapat diklaim kepemilikannya.10

7 Ibid., hlm. 202


8 Shaw, Malcolm N., International Law Sixth Edition, Cambridge: Cambridge
Press, 2008, hlm. 543
9 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni:Bandung, 2003, hlm 197
10 Shaw, Op. Cit., hlm. 544

Dalam pasal 1 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the


Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies
1967 dikatakan bahwa:
The exploration and use of outer space, including the Moon and other
celestial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interests of all
countries, irrespective of their degree of economic or scientific development,
and shall be the province of all mankind11
Dalam hal ini munculah prinsip yang kurang lebih sama dengan salah satu prinsip
dari hukum laut yaitu common heritage of mankind yang mana dalam pasal 1
tersebut dijelaskan bahwa seluruh aktifitas eksplorasi dari ruang angkasa termasuk
di dalamnya bulan dan benda angkasa dilakukan untuk kepentingan semua negara
dan ditujukan untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Kemudian kembali ditekankan dalam bukunya, Shaw mengatakan bahwa
including the moon and other celestial bodies, is not subject to national
appropriation by any means and emphasises that the exploration and use of
outer space must be carried out for the benefit of all countries. 12
Sehingga berdasarkan pendapat Shaw tersebut, semakin jelas bahwa seluruh
eksplorasi dapat dilakukan oleh semua negara yang harus dilakukan demi
keuntungan seluruh negara.

Ketentuan Hukum Internasional Mengenai Ruang Udara Dan Ruang Angkasa


Mengenai hukum internasional yang mengatur mengenai ruang udara, diatur dalam
beberapa konvensi yaitu: Chicago Convention on International Civil Aviation tahun
1944; Tokyo Convention On Offences And Certain Other Acts Commited On Board
Of Aircraft tahun 1963.
Rezim hukum internasional mengenai ruang angkasa diatur dalam sejumlah
perjanjian internasional yaitu: Treaty on Principles Governing the Activities of States
in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial
11 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and
Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies 1967, Pasal 1
12 Shaw, Op. Cit., hlm. 545

Bodies 1967; Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and
the Return of Objects Launched into Outer Space 1968; Convention on International
Liability for Damage Caused by Space Objects 1972; Convention on Registration of
Objects Launched into Outer Space 1974; Agreement Governing the Activities of
States on the Moon and Other Celestial Bodies 1979.

Penutup
Berdasarkan konvensi yang mengatur mengenai penerbangan sipil yaitu Chicago
Convention on International Civil Aviation tahun 1944 yang dalam hal ini mengatur
tentang rezim hukum ruang udara, dan dibandingkan dengan berbagai konvensi
yang dasarnya adalah Outer Space Treaty, Rescue Agreement, Liability Convention,
Registration Convention dan Moon Treaty. Pada dasarnya ruang udara berada
dibawah kedaulatan wilayah suatu negara yang di dalamnya adalah wilayah laut,
darat dan udara, dalam rezim hukum ruang udara, negara dapat nemerapkan
yurisdiksinya

masing-masing,

namun

tidak

dengan

semena-mena

karena

berdasarkan ketentuan yang berlaku, walaupun suatu pesawat telah melewati batas
tanpa izin, pesawat tersebut haruslah didaratkan tanpa penggunaan senjata dan
semua penumpang dilarang untuk diancam keselamatannya. Berbeda dengan rezim
hukum ruang udara, rezim hukum ruang angkasa menggunakan prinsip res
communis yang mana setiap negara bebas mengeksplorasi ruang angkasa dengan
catatan bahwa seluruh eksplorasi tersebut ditujukan untuk kemajuan seluruh negara
di dunia dan yang terpenting adalah demi kemajuan umat manusia itu sendiri.

Daftar Pustaka

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Course Manual Hukum Internasional,


2016.
Peter Malanczuk, Akehursts Modern Introduction Tointernational Law, New York:
Taylor & Francis, 2002.
Shaw, Malcolm N., International Law Sixth Edition, Cambridge: Cambridge Press,
2008.
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni:Bandung, 2003.
Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of
Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies 1967.
Chicago Convention on International Civil Aviation 1944.

Anda mungkin juga menyukai