Anda di halaman 1dari 75

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL
TEAM TEACHING
KONSEP DASAR HPI
PENGERTIAN

 Mochtar Kusumaatmaja mengartikan hukum Perdata Internasional


adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintas batas negara. Dengan kata lain hukum perdata
internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata
antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata
(nasional) yang berbeda.

 Prof. van Brakel dalam bukunya Grondslagen en Beginselen van


Nederlands Internationaal Privaatrech berpendapat bahwa Hukum
Perdata internasional adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan)
untuk hubungan-hubungan hukum internasional
MASALAH-MASALAH POKOK HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL
 Hukum Perdata internasional Lahir karena 3 hal berikut ini:

Salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersangkutan dalam
hubungan hukum itu adalah orang asing atau warga negara asing

Apabila hubungan hukum tersebut mengenai barang-barang yang berada di


dalam daerah hukum suatu negara asing

Apabila suatu hubungan hukum dilahirkan didaerah hukum negara asing


menurut cara yang ditentukan disana, akan tetapi harus dilaksanakan disini
atau sebaliknya.

 Timbul permasalahan, hukum Perdata mana Kah yang


berlaku? Hukum perdata sendiri ataukah hukum perdata
internasional.
3
SIFAT HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
bersifat Hukum nasional

Hal ini disebabkan karena walaupun para pemimpin


negara telah melakukan berbagai konfrensi-
konfrensi untuk melahirkan suatu sistem hukum
perdata Internasional yang berlaku secara
internasional tidak pernah terwujud, sehingga yang
menjadi dasar hukum dalam penyelesaian setiap
perkara-perkara perdata internasional adalah
hukum perdata nasional

4
 Kalau sumbernya adalah hukum nasional,
kenapa dipakai istilah internasional?
 Istilah inilah yang membedakan antara hukum
perdata dan HPI
 Istilah internasional yang dipakai untuk
menunjukan bahwa dalam kasus-kasus HPI
selalu ada fakta-fakta atau materi-materi yang
bersifat internasional.
 Hubungan-hubungan hukum internasional tetapi
kaidah-kaidah HPI semata-mata adalah hukum
nasional 5
SEJARAH PERKEMBANGAN
 Masa Kekaisaran Romawi (abad ke 2 s/d abad ke 6 SM)

Dianggap sebagai awal perkembangan hukum HPI walaupun


pada masa itu hubungan internasional pada masa itu masih
dalam wujud yang sederhana. Mulai tampak dari hubungan
antara:

1. Warga (cives) Romawi dengan cives dari provinsi-provinsi


lainnya (municipia)

2. Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu


sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi
 Untuk menyelesaikan masalah ini dibentuk Praetor
Peregrinis

6
 Ius Civile adalah Hukum yang di buat untuk mengatur
hubungan pergaulan antar bangsa
 Ius Gentium adalah perkembangan dari ius Civile
 Ius Privatum adalah hukum yang mengatur persoalan-
persoalan hukum orang-perorangan)
 Ius Publicum adalah hukum yang mengatur persoalan-
persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan
publik.

Ius privatum merupakan cikal bakal HPI yang


berkembang didalam tradisi hukum Eropa Continental.

7
Masa Pertumbuhan Asas
Personal Abad ke 6 s/d 10
 Akhir Abad ke 6 Romawi di taklukan oleh banga Bar-
Bar dari wilayah-wilayah bekas provinsi jajahan
Romawi. Wilayah bekas jajahan romawi itu kemudian
diduduki oleh berbagai suku bangsa yang satu sama
lainnya hanya dapat di bedakan secara geneologis.
 Suku bangsa yang dikenal zaman itu misalnya
Visigoth, Lombard, Burgundy, Franka, Ghalia
 Persoalan muncul ketiga timbul perkara-perkara yang
menyangkut dua atau lebih suku bangsa.

8
 Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar
asas geneologis yakni:
1. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap
proses penyelesaian sengketa hukum yang
diberlakukan adalah hukum dari pihak tergugat.
2. Penetapan kemampuan untk membuat perjanjian bagi
seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum
personal dari masing-masing pihak.
3. Proses Pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan
hukum personal dari pihak pewaris
4. Pengesahan perkawinan haruslah dilakukan
berdasarkan hukum dari pihak suami.
5. Penyelesaian perkara terkait perbuatan melawan
hukum diselesaikan berdasarkan hukum personal dari
pihak pelaku
9
Pertumbuhan azas Teritorial
Abad ke 11 s/d 12 di Italia

 Setelah melalui masa 300 tahun asas


geneologis tidak bisa lagi di pertahankan,
karena masyarakat lebih condong ke arah
masyarakat yang teritorialistik yakni
masyarakat yang memiliki keterikatan atas
dasar wilayah yang sama.

10
PERKEMBANGAN TEORI STATUTA
ABAD KE 13 s/d 15
 Dengan semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar
kota di italia, ternyata asas teritorial perlu di tinjau kembali.
 Misalnya: seorang warga kota Bologna berada di florence dan
mengadakan perjanjian jual-beli di florence, maka
berdasarkan asas teritorial ia harus tunduk pada hukum
Florence, disini timbul permasalahan misalnya
sejauhmanakah perjanjian jual-beli itu dapat dilaksanakan
dalam wilayah hukum bologna.
 Tumbuhnya teori statuta di Italia dipicu oleh gagasan yang
dikemukakan oleh seorang tokoh Post Glossators (ahli hukum
italia) Accursius yang mengajukan pemikiran bahwa: “Bila
seorang yang berasal sari suatu kota tertentu di Italia di gugat
disebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan
hukum dari kota lain itu karena ia bukan subjek hukum dari
kota lain itu” 11
SUMBER-SUMBER HPI
Hukum Nasional dari setiap negara

Hukum Internasional yang tidak tertulis/ kebiasan-kebiasaan, ini


adalah kaidah-kaidah yang lazim dlm pergaulan Internasional &
diterima umum seperti ketertiban umum, tata susila yg baik,
kelayakan, kepastian hukum, kepentingan-kepentingan nasional
disamping kepentingan-kepentingan luar negeri, kepentingan lalu-
lintas Internasional, dan suasana hukum dr suatu sistim hukum
tertentu;

Persetujuan Internasional antara negara-negara mengenai masalah


perdata, mis: Konvensi Den Haag mengenai pelayanan diluar negeri
tentang dokumen-dokumen pengadilan dan bukan pengadilan dalam
perkara-perkara hukum perdata dan hukum dagang, dll;

12
Yurisprudensi dari badan-badan pengadilan nasional tentang
perkara-perkara perdata Internasional dan Yurisprudensi dari
Internastional Court of justice;

Dokumentasi mengenai kasus-kasus perdata Internasional yang


pernah diputus oleh instansi yang bukan pengadilan / arbitrase,
termasuk dokumentasi tentang masalah-maslah perdata Internasional
yang pernah ditanggapi seorang ahli dalam bidang ini;
Asas HPI zaman Romawi
Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), Perkara-perkara
yang menyangkut benda tidak bergerak tunduk pada
hukum dimana benda itu berada.
Asas Lex Domicilii, Hak dan kewajiban perorangan
harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang
berkediaman tetap
Asas Lex Loci Contractus, Terhadap Perjanjian-
perjanjian berlaku hukum dari tempat pembuatan
perjanjian

14
TITIK-TITIK PERTALIAN (TITIK TAUT)
 Menurut Sudargo Gautama adalah hal-hal atau keadaan yang
menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum (feiten en
omstandigheden die voor toepassing in aanmerking doen
komen het een of andere rechtstelsel)
 Terbagi atas:
1. Titik Pertalian Primer (titik taut pembeda)
2. Titik Pertalian Sekunder (titik taut penentu)
3. Titik Pertalian Kumulatif
4. Titik Pertalian Alternatif
5. Titik Pertalian Pengganti (Subsidair)
6. Titik Pertalian Tambahan
7. Titik Pertalian Accesoir
Titik Pertalian Primer
 adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau
sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan
hubungan HPI
 Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Kewarganegaraan

2. Bendera Kapal

3. Domisili (domicile)

4. Tempat Kediaman (Recidence)

5. Tempat Kedudukan Badan Hukum (Legal Seats)


Titik Pertalian Sekunder
 adalah Faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan
hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu
hubungan HPI

Faktor-faktor tersebut adalah:


1. tempat terletaknya benda(lex rei sitae)

2. tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus)

3. tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci


celebrationis)
4. tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)

5. tempat dilaksanakannya perjajian (lex loci solutionis = lex loci


executionis)
6. tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti
commisi)
7. Pilihan Hukum
 menurut Sudargo Gautama ada kemungkinan
TPS jatuh bersamaan dengan TPP yaitu:
a. Kewarganegaraan
b. Bendera Kapal
c. Domisili
d. Tempat Kediamanan
e Tempat Kedudukan Badan Hukum
Titik Pertalian Kumulatif
 merupakan titik pertalian yang didalamnya
terdapat suatu kumulasi titik-titik pertalian,
sehingga secara bersamaan sekaligus berlaku
berbagai stelsel hukum
 berlakunya dalam bentuk:
1. Kumulasi hukum sendiri dan hukum asing
2. kumulasi dua stelsel hukum yang dipertautkan
secara kebetulan (willekeiring)
Titik Pertalian Alternatif

 dalam sistem pertalian ini terdapat lebih


dari satu titik pertalian yang dapat
menentukan hukum mana yang berlaku,
salah satunya dapat dipilih
Titik Pertalian Pengganti
(Subsidair)

 adalah Titik Pertalian yang dipergunakan


bilamana Titik Taut yang seharusnya
dipakai tidak ada
Titik Pertalian Tambahan
 Bilamana Titik Taut penentu yang harus
berlaku adanya tidak mencukupi, dalam
hal ini diperlukan suatu titik pertalian
tambahan
Titik Pertalian Accesoir

 Penempatan suatu hubungan hukum


dibawah satu stelsel hukum yang sudah
berlaku untuk lain hubungan yang lebih
diutamakan
STATUS PERSONAL
 Adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang
diberikan/diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-
lembaganya.

 Cara Menentukan Status Personal merupakan salah satu persoalan


fundamental dalam ajaran-ajaran HPI. ada 2 (dua) asas atau aliran dalam
menentukan status personal, yaitu:

1. Aliran Nasionalitas atau kewarganegaraan (lex Patriae) yang mengkaitkan


status personal seseorang kepada hukum nasionalnya, dengan kata lain
untuk menentukan status personal suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya.

2. Aliran Teritorialitas atau Domisili (lex Domicilii) yang memakai hukum domisili
sebagai titik tautnya. status personal suatu pribadi tunduk pada hukum
dimana ia berdomisili

Eropa Kontinental lebih menitik beratkan pada segi personalitas, sedangkan


Anglo Saxon lebih menekankan segi teritorial hukum.
Kewarganegaraan
 Cara menentukan kewarganegaraan seseorang yaitu:

1. asas tempat kelahiran (ius soli)

2. asas keturunan (ius sanguinis)

Akibat

bipatride/multypatride

apatride
Domisili
Adalah negara atau tempat menetap yang menurut hukum dianggap
sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of his life)

dalam sistem hukum Inggris dikenal tiga macam domisili, yaitu:

a. domicile of origin

b. domicile of choice

c. domicile by operation of law


TEORI KUALIFIKASI
 Istilah Kualifikasi di kenal di beberapa negara:

1. Qualification – Perancis;

2. Qualifikation/Characterisierung-Jerman;

3. Classification/Characterization - Inggris;

4. Qualificatie-Belanda

Dalam setiap pengambilan keputusan yuridis, maka


tindakan kualifikasi merupakan tindakan yang
praktis dilakukan.

27
MACAM-MACAM KUALIFIKASI DALAM HPI

1. Kualifikasi Fakta (Classification of Facts): kualifikasi yg


dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu
peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu/lebih
peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum &
kaedah2 hukum dari sistem hukum yang dianggap
seharusnya berlaku;

2. Kualifikasi Hukum (Classification of Law):


penggolongan/pembagian seluruh kaedah hukum
kedalam pengelompokkan kategori hukum tertentu yg
telah ditetapkan sebelumnya

28
TEORI KUALIFIKASI

 Menurut Sudargo Gautama, ada 3 macam Teori

Kualifikasi:

1. Teori Kualifikasi menurut Lex Fori

2. Teori Kualifikasi menurut Lex Causae

3. Teori Kualifikasi yg dilakukan secara Otonom.

29
TEORI KUALIFIKASI MENURUT LEX FORI
 Menurut teori ini bahwa kualifikasi harus
dilakukan menurut hukum materiil pihak hakim
yang mengadili perkara yg bersangkutan (Lex
Fori);
 Dianut oleh Fransz Kahn (Jerman) & Bartin
(Perancis)
 Sisi positif lex fori: perkara yg ada relatif lebih
mudah diselesaikan; sedangkan
 Sisi negatifnya adalah sering kali adanya
ketidak-adilan yang dirasakan oleh para pihak
yang bersengketa. 30
TEORI KUALIFIKASI MENURUT LEX CAUSAE

 Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus


dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari
keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara.

 Penganutnya adalah Despagnet, Martin Wolff, dan


G.C.Cheshire.

31
TEORI KUALIFIKASI SECARA OTONOM

 Kualifikasi yg dilakukan secara otonom ini


terlepas dari salah satu sistem hukum
tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada
pengertian hukum yg khas & berlaku umum
serta mempunyai makna yang sama
dimanapun.
Penganutnya: Ernst Rabel dan Beckett

32
 Teori ini memang ideal, tetapi dalam
prakteknya sukar untuk dilaksanakan, karena:
1. Menemukan & menetapkan pengertian-
pengertian hukum yang dapat dianggap
sebagai pengertian yang berlaku umum,
adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan; dan
2. Hakim yang akan menggunakan kualifikasi
haruslah mengenal semua sistem hukum di
dunia ini, agar ia dapat menemukan konsep-
konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
33
Sebagai variasi dari teori kualifikasi Lex Fori, disebutkan
juga teori kualifikasi lain yaitu teori Kualifikasi Bertahap
(teori Kualifikasi Primer dan Sekunder);
1. Teori Kualifikasi Primer: digunakan untuk
mencari/menemukan hukum yang harus digunakan (lex
causae). Untuk dapat menemukan hukum seharusnya
dilakukan kualifikasi berdasarkan lex fori. Pada tahap ini
dicari kepastian mengenai pengertian-pengertian hukum,
seperti domisili, pewarisan, tempat pelaksanaan kontrak;
2. Teori Kualifikasi Sekunder: semua fakta dalam
perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan
sistem kualifikasi yang ada pada Lex Causa.
34
Contoh Kasus:
 seorang meninggal dunia dengan meninggalkan
sejumlah harta peninggalan, baik berupa benda
tetap maupun benda bergerak di berbagai negara.
Dalam hal ini, pewaris adalah WN Swiss, tetapi
domisili terakhir di Inggris. Perkara pembagian
warisan diajukan di Pengadilan Swiss.
 Yang menjadi persoalan, adalah: berdasarkan
hukum mana proses pewarisan itu harus diatur?
 Apabila proses tersebut dilakukan menggunakan
teori kualifikasi bertahap, sbb:

35
Tahap Pertama:
1. Dengan mendasarkan diri pada hukum intern Swiss,
maka hakim terlebih dahulu menentukan kategori hukum
dari sekumpulan fakta yg dihadapinya. Disini kualifikasi
dilakukan berdasarkan lex fori;
2. Seandainya hukum swiss menganggap bahwa peristiwa
hukum yang bersangkutan dikualifikasikan sebagai
masalah pewarisan, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan kaedah HPI apa dari lex fori yg harus
digunakan untuk menetapkan lex cause dalam proses
pewarisan tersebut;
3. Kaedah HPI Swiss menetapkan bahwa pewarisan harus
diatur oleh hukum dari tempat tinggal terakhir pewaris,
tanpa membedakan status bendanya (bergerak / tidak
bergerak). Hal ini berarti bahwa kaedah HPI Swiss
menunjuk kearah hukum Inggris sebagai lex cause.
36
Tahap Kedua:

1. Dengan mendasarkan diri pada kaidah-kaidah HPI


dalam hukum Inggris (Lex Causae), hakim kemudian
harus menetapkan bagian-bagian mana dari harta
peninggalan yg harus dikategorikan sebagai benda
tetap atau benda bergerak. Jadi tindakan ini dilakukan
berdasarkan Lex Causae;
2. Setelah itu, berdasarkan kaidah-kaidah HPI Inggris,
hakim menetapkan hukum apa yang harus digunakan
untuk mengatur pewarisan tersebut.

37
 Pada tahap ini hakim dapat menjumpai:
a. Untuk benda-benda bergerak. Pewarisan dilakukan
berdasarkan hukum dari tempat pewaris bertempat
tinggal (berdomisili) pada saat meninggalnya. Jadi,
hakim harus menggunakan hukum Intern Inggris;
b. Untuk benda-benda tetap. Kaidah-kaidah HPI
Inggris menetapkan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum dari tempat dimana benda itu berada
(lex rei sitae). Jadi seandainya pewaris
meninggalkan sebidang tanah di Perancis, maka
tidak mustahil, hukum perancislah yang harus
dipergunakan untuk mengatur pewarisan tersebut.
38
KUALIFIKASI MASALAH SUBSTANSIAL
 2 hal yang harus disadari dalam perkara-perkara HPI
adalah Pembedaan masalah dalam masalah substansial
(substance) dan masalah prosedural
 Masalah Substansial berkenan dgn hak-hak subyek
hukum yg dijamin oleh kaidah hukum obyektif,
sedangkan prosedural berkenan dengan upaya-upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh subyek hukum
untuk mengadakan hak-haknya yang dijamin oleh
kaidah-kaidah hukum obyektif dengan bantuan
pengadilan.
39
PENYELUDUPAN HUKUM

 Istilah penyeludupan hukum:

a. Westonduiking (Belanda);

b. Fraude a La Loi (Perancis);

c. Fraus Legis (Latin);

d. Fraudulent Creation of Point of Contract


(Inggeris);

e. Frode alla Legge (Italia).


Defenisi & Tujuan

 Penyeludupan hukum dalam HPI dilakukan


untuk tujuan tertentu yaitu: agar dlm
hubungan hukum yg bersangkutan
dipergunakan hukum yg lain dari yg
seharusnya dipergunakan atau berlaku;

 Tujuan penyeludupan hukum adalah: untuk


menghindarkan sesuatu akibat hukum
tertentu yg tdk dikehendaki atau utk
mewujudkan suatu akibat hukum yg
dikehendaki;
 selalu ada unsur subyektif yaitu: dalam bentuk
kehendak atau niat menyeludupi sesuatu; ada
sesuatu yg tdk normal untuk mencapai tujuan
tersebut; harus ada cara yg luar biasa dimana cara
untuk memperlihatkan “siasat-muslihat”.

 Org yg menyeludupkan hukum mempunyai niat yg


tidak baik, dimana ia berhak menghindari kaidah2
hukum tertentu dgn segala akibat hukumnya;
 Jadi, penyeludupan hukum terjadi bilamana ada
seorg utk mendapatkan berlakunya hukum asing,
telah melakukan suatu cara yg tidak wajar, dgn
maksud untuk menghindari pemakaian hukum
nasional;
 Contohnya:
o Imme Marcos & Thomas Manotoc adalah WNP
(Philipina) & beragama Katholik;
o Keduanya hendak melangsungkan perkawinan,
tetapi tdk dapat dilaksanakan karena Thomas
masih terikat dgn perkawinan dgn wanita lain;
o Di Philipina, perceraian tdk dapat dilaksanakan,
karena didasarkan pd ajaran agama katholik yg
melarang adanya perceraian;
o Utk mensiasati ket. Hk philipina tersbt, mk Thomas
melaksanakan perceraian berdasarkan hk Republik
Dominika;
o Setelah itu, barulah terbuka kemungkinan
Akibat Penyeludupan
Hukum

 Setelah ada gambaran mengenai


penyeludupan hukum di atas, mk yg
menjadi permasalahan adalah :
bagaimanakah akibat hukum
penyeludupan tersebut? Apakah perbuatan
tersebut batal baik untuk sebagian atau
seluruhnya? Ataukah sebaliknya, dapatkah
diterima sebagai perbuatan hukum yg sah?
 Ada yg berpendapat bhw setiap penyeludupan hukum
mengakibatkan batalnya perbuatan yg bersangkutan,
pandangan ini berdasarkan pada “adagium: fraus omnia
corrumpit”, artinya : penyeludupan hukum
mengakibatkan batalnya perbuatan itu secara
keseluruhan;
 Tetapi adapula yg berpendapat lain, perbuatan akibat
penyeludupan hukum itu dianggap sah, dimana orang yg
melakukan penyeludupan hukum tdk melakukan sesuatu
yg tidak pantas, mk ia tidak dapat dipersalahkan telah
melakukan suatu perbuatan melanggar hukum.
Contoh:

kepemilikan tanah di Bali


- Indonesia oleh WNA Ini
Dikategorikan sebagai
Penyeludupan hukum yg
halus
Istilah & Defenisi Persoalan
Pendahuluan
• Istilah persoalan pendahuluan:

1. Preliminary Question – bahasa Inggris;

2. Voorvraag – bahasa Belanda;

3. Vorfrage – bahasa Jerman;

4. Question Preable – bahasa Perancis;


• Defenisi Pendahuluan : suatu persoalan atau permasalahan
hukum yg harus dipecahkan atau ditetapkan terlebih dahulu
sebelum putusan akhir atas suatu perkara HPI yg dihadapi Hakim
dijatuhkan atau ditetapkan;
 Persoalan pendahuluan timbul apabila putusan suatu persoalan
hukum bergantung kpd kepada ketentuan sah atau tidaknya
suatu hubungan hukum atau persoalan hukum lain. Contoh:

1. Dlm suatu persoalan HPI mengenai warisan (persoalan pokok),


mk sebelumnya harus ditentukan: apakah perkawinan dr si
pewaris sah adanya (persoalan pendahuluan);

2. Dlm perkara perkawinan (persoalan pokok), bila salah


satu/kedua mempelai telah pernah melakukan perkawinan
sebelumnya, mk perlu diselidiki dulu: Apakah perceraian dari
pihak yg pernah melakukan perkawinan sebelum itu adalah sah
atau tidak (persoalan pendahuluan);
 Dlm persoalan pendahuluan dapat muncul lebih dari sekali dari
serangkaian peristiwa tertentu, misalnya: dalam masalah warisan,
perlu ditentukan terlebih dahulu “sah/tidaknya” kedudukan ahli waris
atau kedudukan anak (persoalan pendahuluan tahap I);

 Tetapi utk menentukan hal tersbt lebih dahulu harus ditentukan:


apakah ke-2 ortu anak tersebut sah adanya? (persoalan pendahuluan
tahap II);

 Bila salah seorg dr ke-2 ortu anak itu telah pernah kawin sebelumnya,
mk perlu jg ditentukan : apakah perceraian dr perkawinan terdahulu itu
adalah sah adanya? (persoalan pendahuluan tahap III);

 Demikian proses ini dapat berlangsung, hingga dianggap sdh tidak lagi
persoalan pendahuluan yg harus ditentukan sebelumnya.
Persyaratan Persoalan Pendahuluan
 Untuk menetapkan adanya suatu persoalan
pendahuluan dlm suatu perkara harus memenuhi 3
syarat:
1. Masalah utama (main issue), berdasarkan kaidah HPI
lex fori seharusnya diatur berdasarkan hukum asing;
2. Dlm perkara harus ada masalah pendahuluan atau
masalah subsider yg menyangkut suatu unsur asing,
yg sebenarnya dpt timbul secara terpisah & dpt diatur
oleh kaidah HPI lain secara bebas (independen);
3. Kaidah HPI yg diperuntukan bg masalah
pendahuluan akan menghasilkan kesimpulan yg
berbeda dr kesimpulan yg akan dicapai, seandainya
hukum yg mengatur masalah utama yg digunakan.
Cara2 Penyelesaian Persoalan
 Permasalahan utama HPI: Apakah persoalan pendahuluan akan diatur
oleh suatu sistim hukum yg ditetapkan berdasarkan kaidah HPI yg
khusus & harus ditentukan secara tersendiri (repartition) atau
berdasarkan sistim hukum yg juga mengatur masalah utama
(absorption)?

 Dalam teori HPI ada 3 pandangan ttg cara penyelesaian persoalan


pendahuluan yaitu:

1. Setelah lex causae utk penyelesaian masalah pokok ditetapkan


berdasarkan kaidah HPI lex fori, dimana masalah persoalan
pendahuluannya hrs ditentukan berdasarkan hukum yg = lex causae
tadi. Cara penyelesaian ini disebut cara penyelesaian berdasarkan
lex causae (absorption). Kaidah hukum apa yg seharusnya
dipergunakan utk menyelesaikan masalah utamanya;
2. Dengan mengabaikan sistim hukum apa yg merupakan
lex causae utk menyelesaikan masalah utama, Hakim
akan menggunakan kaidah2 HPI lex fori utk
menentukan validitas persoalan pendahuluan. Cara
semacam ini disebut sbg cara penyelesaian
berdasarkan lex fori disebut repartition dan tdk
memperhatikan sistim hukum yg menjadi lex causae
utk menyelesaikan masalah utamanya;
3. Ada pula yg berpendapat bhw penetapan hukum yg
seharusnya berlaku untuk menyelesaikan persoalan
pendahuluan harus ditetapkan secara kasuistik, dgn
memperhatikan hakikat perkara atau kebijaksanaan
dan/atau kepentingan forum yg mengadili perkara;
Istilah Penyesuaian

 Istilah penyesuaian, yaitu:


1. Anpassung=Angleichung (Jerman);
2. Aanpassing=Adaptatie (Belanda);
3. Adaptation=Ajustment (Inggris);
4. Coordinations=Ajustment (Perancis)
5. Penyesuaian (Indonesia).
 Apabila hakim dlm mengadili suatu perkara HPI telah
menemukan hukum mana yg hrs dipergunakan (la loi
aplicable),seringkali menghadapi berbagai kesulitan jika
hukum yg hrs dipergunakan adalah hukum asing,
dimana isinya sangat berlainan dgn defenisi2 hukum yg
ada dlm sistim lex fori;
 Jika hakim hrs memakai hukum asing, mk ia harus
berikhiar utk “memasukan’ hukum asing itu kedalam
defenisi/terminologi lex fori. Di sini hakim seolah-olah
melakukan perbandingan hukum;
 Istilahbisa dgn mudah disalin kedlm suatu hukum
nasional, bilamana terdpt lembaga hukum yg sama;
 Kesulitan akan timbul bilamana tidak ada yg bersamaan
antara suatu defenisi dari hukum asing dan hukum nasional;
 Hakim jg seringkali menghadapi dua istilah hukum yg sama
(hukum asing dan hukum nasional), tetapi mempunyai makna
yg berlainan;
 Dalam menghadapi persoalan di atas, mk hakim tdk dpt
berhenti pd persamaan istilah2 hukum saja, tetapi perlu
memperhatikan apakah isi yg diperdagangkan dgn “etiket”
hukum yg bersangkutan;
 Misalnya: adopsi, tdk ada pengertian yg benar2 sama (gelijk)
dlm berbagai sistim HPI;
Contoh Kasus: Adopsi
 Adopsidlm sistim hukum negara X (mis. Indo) merupakan
pengambilan anak secara lengkap, ikatan2 keluarga dgn
ke-2 orang tua biologis terputus sama sekali;
 Sementaraitu, adopsi di negara Y (mis. Belgia) tdk
mengenal konsekuensi hukum seperti yg terdapat dlm
negara X;
 Bilamana dlm suatu perkara HPI yg diadili di Indonesia
berkenan dgn tuntutan (ganti rugi) keperdataan atas
kematian ayah angkat Belgia terhadap seorang WNI,
(contoh kasus ini terjadi di Jakarta)
 Timbulpersoalan: Apakah menurut hukum Indonesia
(lex delicti commisi) anak belgia berhak utk
mengajukan gugatan keperdataan tersebut? Menurut
pasal 1370 BW Indonesia, anak2 dr pihak korban dpt
mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap di pelanggar
hukum.
 Apakah anak angkat Belgia itu dpt dipersamakan dgn
anak sah menurut ketentuan BW Indonesia, sehingga
yg bersangkutan dpt mengajukan tuntutan ganti rugi?
 Pd Pengadilan di Negeri Belanda menghadapi
perkara yg serupa, hakim menjawabnya :Negatif;
 Seorang anak yg bernama Jance Gapernassy
diadopsi oleh seorg WN Belgia. Di dlm hukum belgia
anak angkat tdk dipersamakan dgn anak sah menurut
hk Belanda;
 Dalam hal ini, kita dpt melihat salah satu cara
terjadinya “penyesuaian” dlm bentuk yg paling
mudah. Persoalan yg dihadapi adalah kaidah intern
perlu “disesuaikan” kpd suatu hubungan hukum
asing, yaitu: Apakah anak angkat Belgia dpt
dipersamakan dgn anak yg dimaksud oleh pasal
1370 BW? Menurut Sudargo Gautama, seharusnya
hakim berpandangan LUAS;
 Dalam praktik persoalan penyesuaian tdk hanya berbentuk
penyesuaian kaidah intern kpd hubungan hukum asing, tetapi juga
hubungannya dgn kualifikasi dimana hubungan2 hukum asing
disesuaikan kepada hukumnya negara sendiri;
 Dapat saja, hakim juga dapat menemukan suatu istilah hukum
atau lembaga hukum yg tidak dikenal dalam sistim hukum lex fori;
 Dhi, yg disesuaikan disini adalah kaidah petunjuk, bukan kaidah
intern;
 Kaidah petunjuk disesuaikan dgn konsepsi hukum asing;
Hubungan penyesuaian dgn kualifikasi
 Menurut Kollewijn, penyesuaian: salah satu cara
kualifikasi yg khusus. Contoh perkara adopsi, Kollewijn
menyatakan bhw penyesuaian merupakan suatu
kualifikasi yg biasa :hukum hrs dipergunakan belum
dipastikan. Sedangkan dalam “Penyesuaian” hukum yg
harus dipergunakan sdh ditemukan atau dipastikan;
 Pd waktu hakim mengadili perkara adopsi Belgia itu,
kaidah petunjuk mengenai PMH sdh pasti ada, & jg sdh
jelas bagi hakim untuk hukum mana yg harus
dipergunakan, yaitu Hukum Belanda (Hk t4 dilakukannya
PMH).
Istilah Pilihan Hukum
1. Partteiautnomie dari Jerman;
2. Partij – autonomie dari Belanda;
3. Loi d’autonomie dari Perancis;
4. Intention of the parties, choice of
law dari Inggris.
Defenisi Pilihan Hukum
 Menurut Sudargo Gautama, Pilihan hukum
(Choice of Law): para pihak dalam suatu kontrak
bebas melakukan pilihan, dimana mereka dpt
memilih sendiri hukum yg harus dipergunakan dlm
kontrak yg bersangkutan;
 Dhi, yang dimaksud dengan pilihan hukum yaitu
para pihak dlm suatu perjanjian atau kontrak
diberikan kebebasan utk memilih sendiri hukum yg
hendak dipergunakan dalam perjanjian tersebut;
Batasan Pilihan Hukum
 Pilihan umum telah lama dipergunakan baik di kalangan akademisi
maupun praktisi di pengadilan, sdgkan yg masih menjadi dilema adalah
mengenai batas kewenangan memilih hukum ini;

 Menurut Sudargo Gautama bhw ada batas2 tertentu utk “kelonggaran”


memilih kontrak ini;

 Dalam hal ini, para pihak memang bebas melakukan pilihan hukum yg
mereka kehendaki, tetapi kebebasan ini bukan berarti boleh sewenang-
wenang;

 Pilihan hukum hanya boleh dilakukan sepanjang tdk melanggar dgn


ketertiban umum;

 Dgn kata lain, lembaga ketertiban umum akan diterapkan jika memang
benar2 diperlukan sbg alat preventif yakni sbg “Rem-Darurat”;
Macam2 Pilihan Hukum
 Pilihan hukum dibagi atas 4 macam:
1. Pilihan Hukum secara Tegas,
2. Pilihan Hukum secara Diam2.;
3. Pilihan Hukum secara Dianggap,
4. Pilihan Hukum secara Hipotesis.
Pilihan Hukum secara Tegas
 para pihak yg melangsungkan suatu kontrak tertentu
secara jelas dan tegas ditentukan/ dicantumkan bhw
utk kontrak yg bersangkutan para pihak memilih hk
negara tertentu. Contoh:

a. Dlm perjanjian usaha patungan (joint venture


agreement);

b. Perjanjian pembelian kapal antara perusahaan


Indonesia dan perusahaan asing (Ship Sale
Agreement);
Pilihan Hukum secara Diam2
maksudnya para pihak mengenai hukum
yg mereka kehendaki dari sikap, isi dan
bentuk perjanjian. Misalnya: para pihak
memilih domisili pada kantor PN tempat
negara X maka dpt ditarik keimpulan bhw
secara diam2 mereka menghendaki
supaya hukum negara X itulah yg berlaku
Pilihan Hukum secara Dianggap
merupakan apakah yg ada dlm istilah
hukum dianggap suatu preasumptio iuris
suatu dugaan belaka. Dugaan hakim
merupakan pegangan yg dianggap cukup
utk mempertahankan bhw para pihak
benar-benar telah menghendaki berlakunya
suatu sistim hukum tertentu;
Pilihan Hukum secara Hipotesis.
Pilihan hukum ini hanya dilakukan oleh
hakim, yang bekerja dengan satu fiksi:
sendainya para pihak telah memikirkan
hukum yg dipergunakan, maka hukum
mana yg dipilih oleh mereka dgn cara
sebaik-baiknya;
Timbal balik &
pembalasan (resiprositas)
Istilah
1. Gleichberechtegung und Vergeltung
(Jerman);

2. Wederkerigheid en Vergelding
(Belanda);

3. Reciprocity (Inggris);

4. Reciprocita (Italia).
Penggunaan
 Sebelumnya telah dijelaskan bhw bilamana hakim
dlm suatu perkara HPI telah menemukan hukum
yg berlaku (lex causae) adalah hukum asing, mk
hakim tdk serta merta menerapkan hukum asing
itu dlm perkara yg bersangkutan;
 Ada beberapa pengecualian berlakunya hukum
asing yaitu: karena bertentangan dgn ketertiban
umum / penyesuaian (anpassung);
 Berlainan dgn hukum Internasional (publik), dimana persoalan
resiprositas dlm HPI tdk merupakan syarat mutlak atau tdk
merupakan tdk merupakan keharusan, krn bagaimanapun
penggunaan hukum asing dlm suatu hubungan hukum HPI justru
sesuai dgn rasa keadilan & kebutuhan hukum dlm lalu lintas
Internasional;
 Dhi, persoalan timbal balik dan pembalasan justru terlalu banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan politis;
 Oleh karena itu, penggunaan lembaga resiprositas diupayakan
seminimal mungkin;
 Dgn dmk timbal balik dimaksudkan merupakan suatu keadaan yg
kehendaki, sdgkan pembalasan merupakan cara untuk mencapai
keadaan tersebut;
 Dgn perkataan lain, timbal balik mempunyai lingkungan yg
berlaku umum, yaitu terhadap semua negara asing, sdgkan
pembalasan dibatasi terhdp negara tertentu yg melawan hukum
telah melakukan perbuatan hukum yg harus dibalas;
 Adanya perbedaan antara timbal balik dan pembalasan, yaitu:
timbal balik terjadi terlebih dahulu pembuktian adanya
“persamaan” oleh negara asing, setelah itu diberikan persamaa;
 Sedangkan pada pembalasan lebih dulu terjadi persamaan, yg
dihentikan apabila dibuktikan kelak adanya perlakuan yg tdk
sama oleh negara asing yg bersangkutan;
 Ke-2 hal di atas terdpt suatu pembeda waktu timbulnya;
 Pd umumnya, timbal bali dan pembalasan ini sejalan, misalnya
dlm hukum acara perdata Jerman, dimana org asing tdk diberikan
hak utk berperkara “bebas biaya”, apabila kpd org Jerman di
negara asing yg bersangkutan tdk diberikan hak yg serupa;
 Tetapi kadang kal ke-2nya tdk sejalan, seolah-olah terdapat
pertentangan, misalnya: syarat pemberian jaminan uang utk
ongkos2 perkara perdata (causatio) tdk perlu apabila menurut
negara penggugat, maka org jerman tdk memberikannya;
 dhi, ada syarat timbal belik, tetapi tdk ada pembalasan, artinya:
utk membebaskan org asing dr suatu kewajiban yg sesungguhnya
tdk ada utk warga negara sendiri.
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai