Anda di halaman 1dari 20

RINGKASAN MATERI HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

Di susun oleh :

Hardiansyah Lubis 71160111073

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA
2021 – 2022
MODUL 1: PENGERTIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL,
SEJARAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL, DAN LUAS
LINGKUP PERDATA INTERNASIONAL

A. Pengertian Hukum Perdata Internasional

a. Pengertian Hukum Perdata Internasional

Hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan dan putusan


hukum yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam hal terjadinya sengketa
antara dua atau lebih orang dengan kewarganegaraan yang berbeda-beda. Hukum
perdata internasional mempertanyakan di yurisdiksi mana sengketa harus
diselesaikan, hukum mana yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tersebut,
dan bagaimana penegakan terhadap hukum asing. Sengketa-sengketa yang
dimaksud di antaranya perihal perkawinan, perceraian, hak asuh anak, kontrak
dagang dengan pihak asing. Di Indonesia, pengaturan terkait hukum perdata
internasional masih mengandalkan pasal 16, 17, dan 18 Algemene Bepalingen yang
merupakan peraturan dari masa kolonial dengan upaya kodifikasi dalam hukum
nasional masih sebatas rancangan undang-undang di DPR.

B. SEJARAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

1. Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke-2 hingga abad ke-6 Masehi


Pada masa ini pola hubungan internasional masih berwujud sederhana
tetapi sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara (i)
warga Romawi dengan penduduk provinsi-provinsi yang menjadi bagian dari
wilayah kekaisaran karena pendudukan di mana penduduk asli provinsi-
provinsi tersebut dianggap sebagai orang asing dan ditundukkan pada hukum
mereka sendiri dan (ii) penduduk provinsi yang berhubungan satu sama lain
di dalam wilayah kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat
dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.
Masalah-masalah hukum yang timbul diselesaikan melalui sebuah
peradilan khusus bernama Praetor Peregirinis dengan Ius Civile yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan pergaulan antarabangsa sebagai dasar
hukumnya. Ius Civile tersebut kemudian berkembang menjadi Ius
Gentium dan terdiri atas hukum privat dan hukum publik. Ius Gentium inilah
cikal bakal baik hukum perdata internasional maupun hukum internasional
publik.
Terdapat tiga asas hukum perdata internasional yang lahir pada masa
ini yakni (i) asas lex rei sitae atau lex situs, mengatur tentang benda-benda
tidak bergerak di tempat benda tersebut berada; (ii) asas lex domicili,
mengatur tentang hak dan kewajiban subjek hukum berdasarkan tempat
tinggalnya; dan (iii) asas lex loci contractus, mengatur tentang perjanjian-
perjanjian mengikuti hukum di mana tempat pembuatannya

2. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad ke-6 hingga abad ke-10)

Jatuhnya Kekaisaran Romawi membuat hukum Romawi menjadi tidak


lagi berlaku dan digantikan dengan hukum adat, hukum personal, hukum
keluarga, dan hukum agama yang berbeda-beda. Persoalan hukum perdata
internasional lambat laun muncul tetapi tidak memiliki mekanisme
penyelesaian sengketa yang jelas layaknya pada masa Kekaisaran Romawi
dulu.

Namun prinsip-prinsip hukum perdata internasional tumbuh


berdasarkan asas genealogis yang dapat dijelaskan sebagai (i) asas umum
yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum,
hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat; (ii) penetapan
kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak; (iii) proses pewarisan
harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris; (iv)
peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari
pihak transferor; (v) penyelesaian perkara tentang perbuatan melawan hukum
harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan yang
melanggar hukum; dan (vi) pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan
berdasarkan hukum dari pihak suami.
3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad ke-11 dan ke-12)

Asas genealogis semakin sulit untuk dipertahankan akibat perubahan


struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik
di seluruh wilayah Eropa di mana terdapat dua kubu dalam transformasi
tersebut. Di Eropa Utara, feodalisme berkembang dan hal tersebut
berdampak pada hukumnya yakni hukum tuan tanah yang bersifat eksklusif
terhadap siapapun yang berada di dalam wilayah mereka. Hak-hak asing
tidak diakui, termasuk hak-hak yang sebetulnya diatur dalam hukum
internasional publik. Sementara itu di Eropa Selatan, pertumbuhan kota-kota
perdagangan di Italia membuat hukum perdata internasional berperan penting
dalam penyelesaian sengketa di antara para pihak. Di sinilah lahir asas
pemberlakuan hukum berdasarkan tempat kediaman di kota yang sama atau
kerap disebut sebagai teori statuta. Tokoh pengembang teori statuta
adalah Accursius

4. Pertumbuhan Teori Statuta ( Abad Ke – 13 hingga abad ke – 15 )

Bartolus de Sassoferato kemudian mengkaji lebih lanjut teori yang


dikemukakan Accursius dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok
yakni (i) statuta personalia, yang objek pengaturannya bersifat pribadi dan
keluarga dan bersifat ekstrateritorial; (ii) statuta realia, yang objek
pengaturannya adalah benda dan statuta hukum dari benda dan berprinsip
teritorial; dan (iii) statuta mixta, yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan
hukum berdasarkan prinsip teritorial.

5. Perkembangan Teori Statuta di Prancis (Abad ke-16)

Meningkatnya aktivitas perdagangan antarprovinsi di Prancis membuat


hukum perdata internasional perlu dipelajari dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa hukum yang timbul mengingat masing-masing provinsi memiliki
hukum atau coutume-nya masing-masing. Charles Dumoulin berpandangan
bahwa subjek hukum dalam perjanjian memiliki kebebasan berkontrak yang
bermakna para pihak juga dapat menentukan hukum apa yang hendak
mereka gunakan dalam kontrak mereka. Dapat dikatakan bahwa Dumoulin
memperluas ruang lingkup statuta personalia yang dikembangkan Bartolus
dan memasukkan unsur perjanjian ke dalamnya.

Manakala Dumoulin memperluas statuta personalia, Bertrand


d’Argentré justru memperluas statuta realia dengan memasukkan unsur
perjanjian dan perbuatan hukum ke dalamnya. Dia berpandangan bahwa
suatu statuta yang berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang
memberlakukannya harus dikategorikan sebagai statuta realia sehingga
otonomi provinsi-provinsi harus diutamakan, dan bukan otonomi subjek
hukum.

6. Perkembangan Teori Statuta Di Belanda ( abad ke – 17 )

Perkembangan teori statuta di Belanda menekankan pada kedaulatan


eksklusif negara. Ulrik Huber memiliki tiga prinsip dalam melihat perkara
hukum perdata internasional yakni (i) hukum suatu negara hanya berlaku
dalam batas-batas teritorial negara itu; (ii) semua subjek hukum secara tetap
atau sementara di dalam wilayah suatu negara berdaulat merupakan subjek
hukum dari negara tersebut dan tunduk serta terikat pada hukum negara
tersebut; tetapi (iii) hukum yang berlaku di negara asal dapat memiliki
kekuatan berlaku di mana-mana (comitas gentium) selama tidak bertentangan
dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberi pengakuan. Ketiga
prinsip tersebut harus ditafsirkan dengan melihat dua prinsip lain yakni (iv)
suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat harus dianggap
sah di negara lain sekalipun hukum negara lain menganggap perbuatan
semacam itu batal; dan (v) perbuatan hukum yang batal menurut hukum
setempat dianggap batal pula di manapun juga.

Johannes Voet berpandangan bahwa pemberlakuan hukum asing di


suatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional publik atau
karena sifat hubungan perdatanya. Negara asing tidak dapat menuntut
pengakuan atau pemberlakuan kaidah hukumnya di wilayah hukum negara
lain dan oleh karena itu pengakuan atau berlakunya suatu hukum asing
hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antarnegara (comitas
gentium). Namun asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan
harus dianggap sebagai bagian dari sistem hukum nasional negara tersebut.

7. Teori Universal (Abad ke-19)


Ahli hukum Jerman C. G. von Wächter menilai teori statuta Italia
menimbulkan ketidakpastian hukum oleh karena sifat ekstrateritorialnya yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Titik tolak
penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam suatu perkara hukum
perdata internasional adalah hukum dari tempat yang merupakan tempat
kedudukan dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu. Dengan
demikian lex fori (hukum di mana pengadilan berada) yang seharusnya
diberlakukan sebagai hukum yang berwenang dalam perkara hukum perdata
internasional.

F. C. von Savigny kemudian mengembangkan gagasan von Wächter


dengan mengasumsikan bahwa setiap jenis hubungan hukum dapat
ditentukan tempat kedudukan hukumnya dengan melihat pada hakikat dari
hubungan hukum tersebut. Bila seseorang hendak menentukan aturan hukum
apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara dalam suatu hubungan
hukum, hakim berkewajiban untuk menentukan tempat kedudukan hukum dari
hubungan hukum itu dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari
hubungan hukum itu dengan bantuan titik-titik taut. Inilah awal mula
pengembangan teori lex causae.

C. Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional

a. HPI sebagai Rechtstoepassingsrecht (yang tersempit)


Hukum Perdata Internasional hanya terbatas pada masalah hukum yang
diberlakukan (rechtstoepassingrecht). Pembahasan di sini terbatas pada masalah-
masalah yang berkenaan dengan hukum yang harus laksanakan. Hal-hal lain yang
berkenaan dengan kompetensi hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan
tidak termasuk bidang HPI. Sistem semacam ini dianut oleh HPI Jerman dan
Belanda.

b. HPI sebagai Choice of Law + Choice of Jurisdiction (yang lebih luas)


Menurut sistem ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-
persoalan conflict of law (tepatnya choice of law), tetapi termasuk pula
persoalan conflict of jurisdiction (tepatnya choice of jurisdiction), yakni persoalan
yang berkaitan dengan kompetensi atau wewenang hakim. Jadi HPI tidak hanya
menyangkut masalah hukum yang diberlakukan, tetapi juga tentang kewenangan
hakim yang dipilih. Sistem HPI yang lebih luas ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat,
dan negara-negara Anglo Saxon lainnya.

c. HPI sebagai Choice of Law + Choice of Jurisdiction + Condition des


Etrangers (yang lebih luas lagi)
Dalam sistem ini, HPI tidak hanya mengenai persoalan pilihan hukum dan
pilihan forum atau hakim, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des
etrangers = statuutlingen = statuut). Sistem semacam ini dikenal di negara-negara
latin, antara lain Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan.

d. HPI sebagai Choice of Law + Choice Jurisdiction + Condition des


Etrangers + Nationalite (yang terluas)
Menurut sistem ini, HPI menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan forum
atau hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan (nasionalite). Masalah
kewarganegaraan ini menyangkut persoalan tentang cara memperoleh dan
hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang sangat luas ini dikenal dalam HPI
Perancis, dan juga dianut kebanyakan penulis HPI.
MODUL 2 : TITIK – TITIK PERTALIAN DALAM HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

A. Titik Pertalian Primer

Titik Taut Primer, yaitu “Fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa
hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum itu mengandung unsur – unsur asing
dan karena itu, peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata
Internasional dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata” (Bayu Seto
Hardjowahono, 2013: 86).

Titik Taut atau Pertalian Primer adalah faktor-faktor dan keadaan – keadaan
yang menciptakan persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI). Faktor-faktor yang
menimbulkan isu HPI yaitu: 1) kewarganegaraan, 2) domisili (de jure) atau tempat
kediaman (de facto), dan 3) tempat kedudukan badan hukum (Ari Purwadi, 2016: 64)

B. Titik Pertalian Sekunder

Titik pertalian sekunder atau biasa disebut TPS adalah titik taut yang
menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Manfaat dalam hukum
perdata internasional yaitu sebagai penentu keadaan yang berhubungan dengan
hukum perdata internasional.

Pentingnya TPS dalam HPI diantaranya adalah sebagai berikut :

 Memperhatikan Asas hukum kebendaan lex Rei Sitae (tempat letaknya


benda)
 Tempat dimana diadakan perbuatan hukum (Lex Loci Actus)
 Tempat diadakannya perjanjian (Lex Loci Contractus)
 Tempat dilaksanakannya perjanjian (lec luci solution, lex loci executionis)
 Tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum (Lex Luci Deliecti commissie)
 Maksud dari para pihak yang diwujudkan dalam pihan hukum (choice of Law)
 Tempat diajukannya proses perkara.
MODUL 3 : STATUS PERSONAL

A. STATUS PERSONAL ORANG


pada dasarnya status personal adalah kedudukan hukum seseorang yang
umumnya ditentukan oleh hukum dari negara di mana ia dianggap terikat secara
permanen. Persoalan hukum manakah yang harus dipergunakan untuk menentukan
status personal seseorang merupakan salah satu persoalan fundamental dalam
ajaran-ajaran HPI. Secara garis besar ada 2 (dua) asas atau aliran dalam
menentukan status personal, yaitu :

1. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)


Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan
hukum kewarganegaraan (lex patriae) orang itu. Asas ini juga digunakan dalam
pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang secara teoritis masih
berlaku di Indonesia. Berdasarkan suatu asas dalam bidang Hukum Keperdataan
yaitu asas Mobilia Sequntur Personam, maka asas pemberlakuan lex patriae ini
berlaku juga dalam penentuan status benda-benda bergerak (movables), dalam arti
bahwa status benda bergerak ditetapkan berdasarkan hukum yang berlaku untuk
menetapkan status personal orang yang memiliki atau menguasai benda itu . Ada
dua asas utama yang dapat digunakan untu menentukan kewarganegaran
seseorang, yaitu :
a) Asas Tempat Kelahiran (Ius Soli); Kewarganegaraan seseorang ditentukan
oleh tempat kelahirannya. Misalnya seseorang dilahirkan di negara X maka
ia merupakan warga negara dari negara X tersebut.
b) Asas Keturunan (Ius Sanguinis); Kewarganegaraan seseorang ditentukan
berdasarkan keturunannya. Misalnya seseorang yang lahir di Belanda dari
kedua orang tuanya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, maka
yang bersangkutan menjadi warga negara Indonesia. Akibat digunakannya
cara yang berbeda dalam menentukan kewarganegaraan tersebut dapat
menimbulkan lebih dari satu kewarganegaraan, yaitu kewarganegaran
dengan kedudukan bipatride atau multipatride. Tetapi bisa juga seseorang
bahkan tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali (apatriade).
2. Asas Teritorialitas (Domisili);
Asas domisili (domicile) yang dimaksudkan disini hendaknya diartikan sesuai
dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem hukum common law, dan yang
umumnya diartikan sebagai permanent home atau “tempat hidup seseorang secara
permanen.
Berdasarkan asas ini status dan kewenangan personal seseorang ditentukan
berdasarkan hukum domicile (hukum tempat kediaman permanen) orang itu. Konsep
domicile pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu :
a) Domicile of Origin, yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena
kelahiran orang itu di tempat tertentu. Bagi anak sah, domicile of origin-nya
adalah negara dimana ayahnya berdomisili pada saat ia (sang anak)
dilahirkan. Sedangkan bagi anak tidak sah, domisili ibunyalah yang
menentukan. Domisili sang ayah tersebut dapat berupa domicile of choice
atau domicile of origin. Dalam hal sang ayah mempunyai domicile of
choice, maka domisili tersebut merupakan domicile of origin sang anak.
Jika sang ayah tidak pernah memperoleh domicile of choice, maka domicile
of origin sang ayahlah yang menentukan
b) Domicile of Dependence (Domicile by Operation of the Law), yaitu tempat
kediaman permanen seseorang karena kebergantungannya pada orang
lain, misalnya : anak-anak di bawah umur akan mengikuti domicile orang
tuanya, atau istri mengikuti domicile suaminya.
c) Domicile of Choice, yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang
dipilih orang itu atas dasar kemauan bebasnya. Untuk memperoleh
domicile of choice menurut sistem hukum Inggris diharuskan untuk
memenuhi persyaratan, yaitu :
- Kemampuan (capacity)
- Tempat kediaman (residence)
- Hasrat (intention).
B. Perkawinan, Harta Benda dalam Perkawinan, Perceraian, dan Hubungan

Orang Tua dengan anak

a. Perkawinan

Perkawinan merupakan peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut


merupakan perkawinan yang sah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat membawa pengaruh pada semakin mudahnya terjadi hubungan
antar sesama manusia, antar suku bangsa, dan antar Negara dalam segala aspek
kehidupan. Salah satu pengaruhnya adalah terjadinya perkawinan campiran antara
pasangan berbeda kewarganegaraan, termasuk pada tenaga kerja Indonesia
dengan tenaga kerja dari Negara lain. Perkawinan beda kewarganegaraan memang
seringkali menimbulkan persoalan, terutama berkaitan dengan proses pencatatan
perkawinan yang akan dilangsungkan, apakah di negara asal calon suami atau di
negara asal calon istri. Prosedur perkawinan antar Negara menurut hukum perdata
internasional menjelaskan bahwa aturan pernikahan terhadap pasangan beda warga
negara, dikembalikan pada pasangan masing-masing akan memakai hukum Negara
calon suami, atau memakai hukum Negara calon istri. Problem yang muncul dalam
prosedur perkawinan campuran beda kewarganegaraan adalah pada tahap
mempersiapkan surat keterangan dari pegawai pencatat perkawinan dan pada tahap
mempersiapkan surat ataupun dokumen lainnya. Penyelesaian problem yang
muncul dalam prosedur perkawinan campuran yang telah dipersiapkan pemerintah
adalah memberikan informasi yang jelas dan menyediakan website kepada
pasangan yang akan menikah. Kepada oknum-oknum yang nakal, harus diberikan
sanksi yang tegas.

b. Harta Benda Dalam Perkawinan

Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, apabila pihak suami pihak warga
Negara Indonesia, maka ketentuan hukum materiel berkaitan dengan harta
kekayaan diatur berdasarkan hukum suami. Namun harta benda perkawinan
campuran jika tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta
perkawinan maka harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35 yang
menentukan bahwa :
- Ayat (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

- Ayat (2) Harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (1) mengenai harta bersama ini dapat
dikelola bersama-sama suami dan isteri namun dalam setiap perbuatan hukum yang
menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak.

Apabila para pihak menentukan bahwa mereka akan mengadakan Perjanjian


Kawin yaitu perjanjian kawin pisah harta maka perjanjian harus dibuat secara
notariail atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
yaitu Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Dalam perkembangannya,
dalam praktek perjanjian kawin dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung
dengan mengajukan permohonan pada pengadilan dan telah mendapatkan
penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila
perjanjian kawin trsebut tidak disahkan pada pegai pencatat pekawinan tersebut
maka secara hukum dianggap tidak ada perjanjian kawin sehingga perkawinan
tersebut dianggap perkawinan percampuran harta.

Mengenai harta bawaan masingmasing suami dan isteri menjadi hak


sepenuhnya dari suami isteri untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya Pasal 36 ayat (2). Apabila suami Warga Negara Asing (WNA) dan istri
WNI , maka si isteri berlaku baginya atas ketentuan suaminya. Maka perlu
diperhatikan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing, yang
berkedudukan di Indonesia dan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing, yang pada intinya menyatakan bahwa,
orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan
nasional dapat memiliki sebuah rumah tempat tinggal atau hunian dalam bentuk
rumah dengan ha katas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun ai
atas Tanah Hak pakai atas tanah Negara. Orang Asing dimaksud adalah orang
asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi diIndonesia dengan
melaksanakan Investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di
Indonesia. Apabila terjadi perceraian , maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing, yang
dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam Undang-Undang Perkawinan ini
adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya. Dalam hal perkawinan
campuran tersebut , maka dapat digunakan hukum asing atau hukum nasional (UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974). Dalam hal terjadi perceraian, untuk perkawinan
campuran yang dilaksanakan di Indonesia maupun di luar negeri apabila perceraian
diajukan di Pengadilan Indonesia jelas syarat-syarat dan alasan perceraian
berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, yaitu dalam ketentuan Undang-
undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan khusus
untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No.10 tahun 1983
dan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990. Akibat perceraian khususnya
terhadap harta kekayaan : apabila harta perkawinan menjadi harta bersama, maka
dengan perceraian harta bersama dibagi 2 (dua) antara suami dan istri, apabila
harta perkawinan terpisah maka setelah perceraian harta sesuai dengan
kepemilikan masing-masing.

c. Perceraian

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim


pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang. Secara
umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti
yang tercantum dalam pasal 38 UU no.1 tahun 1974 yaitu; kematian, perceraian dan
atas keputusan pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 209 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata mengenai berbagai alasan yang dapat mengakibatkan perceraian,
yakni: Overspel(perzinahan), meninggalkan pihak yang lain tanpa alasan, dikenakan
pidana penjara selama lima tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan,
isteri/suami yang mengalami luka berat akibat penganiayaan sehingga
membahayakan jiwa pihak yang teraniaya. Sedang menurut ketentuan Pasal 39 ayat
1 Undang undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan,setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Perceraian dalam perkawinan campuran termasuk dalam bidang status


personal Hukum Perdata Internasional (selanjutnya disingkat dengan HPI). Hal ini
menjadi tidak ada masalah apabila suatu perceraian itu dilakukan oleh suami-istri
yang mempunyai kewarganegaraan yang sama, tetapi menjdi kurang apabila
suamiistri mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Persoalan perceraian dalam
bidang HPI dibagi dalam beberapaaspek yang menarik perhatian, antara lain;
Perceraian dari Warga Negara Indonesia, perceraian dari orang-orang di Indonesia,
persoalan Jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian, pengakuan terhadap
keputusankeputusan cerai dari luar negeri(sudargo gautama,2005).

Mengenai perceraian orang-orang asig yang dilakukan di Indonesia ini


menjadi sangat menarik karena menyangkut kompetensi dan persoalan tentang
hukum mana yang dipergunakan (choice of law). Bagi orang-orang asing yang
berada diwilayah Indonesia, Pengadilan Negeri dapat memberikan keputusan-
keputusan perceraian, bilamana kedua mempelai bertempat tinggal di Indonesia. Hal
ini menjadi tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah apabila hanya salah satu
pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri,
maka tuntutan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri dan apabila para pihak
tidak mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka Hakim mempergunakan hukum
Indonesia, tanpa menghiraukan segi-segi HPInya. Jika para pihak mendalilkan
kewarganegaraannya maka perlu diperhatikan “choice of law”. Sesuai dengan asas
kewarganegaraan, suatu keputusan cerai yang diucapkan diluar negeri antara para
pihak yang kedua-duanya adalah WNI hanya dapat diakui Hakim Indonesia, jika
keputusan bersangkutan didasarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam Hukum
Indonesia.

d. Hubungan Anak Dengan Orang Tua

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak


dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang
tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan
tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-
negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-
negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang
dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater
familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi
kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi
stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan


kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam
keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai
kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada
hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki


tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal
kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan
tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya
yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah
umur.

C. ADOPSI

Pengangkatan anak internasional pada asasnya menganut ultimum remedium


atau dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak mengatur tentang
tata cara sahnya pengangkatan anak yang harus menempuh jalur formal. Eksistensi
daripada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak menyatakan kedudukan anak yang diangkat diakui secara sah
(Sintia Stela Karaluhe, Lex Privatum Jurnal Hukum, 2016: 166). Pengangkatan anak
harus bertumpuan pada fungsi dari pengangkatan anak, yaitu adoptio naturam
immitatur adopsi dilakukan sebagai suatu perbuatan hendak meniru alam yaitu
dengan menciptakan suatu hubungan orang tua dan anak, yang diartikan untuk
melanjutkan keturunan dan favor adoptions adopsi dilakukan dengan tujuan demi
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi si anak, yang diartikan memberikan
pemeliharaan dan pendidikan bagi anak (Fathia Izzati, 2015: 2)

D. STATUS PERSONAL BADAN HUKUM

Status Personal Dalam hukum perdata internasional terdapat yang namanya


status personal, yaitu penyelesaian suatu kasus HPI dengan menganut prinsip
kewarganegaraan. Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam
hukum yang diberikan/ diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi hak-
haknya.

Hak dan Kewajiban Status personal ini meliputi hak dan kewajiban,
kemampuan dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya
tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya. Walaupun terdapat perbedaan
tentang status personal ini, pada dasarnya status personal adalah kedudukan
hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari negara dimana ia
dianggap sah secara permanen.

Prinsip Status Personal Untuk menentukan status personal seseorang,


negara- negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan.
Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh
hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili. Yaitu status personil seseorang
ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.
MODUL 4 :TEORI PENUNJUK KEMBALI (RENVOI) DAN TEORI
KUALIFIKASI

A. TEORI PENUJUK KEMBALI (RENVOI)

Bayu Seto Hardjowahono dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Perdata


Internasional menerangkan renvoi atau yang dikenal juga sebagai doktrin
penunjukan kembali merupakan suatu doktrin yang dapat digunakan untuk
menghindarkan pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang seharusnya berlaku
(lex causae) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur hukum perdata
internasional secara normal dan mengubah acuan kepada suatu kaidah atau sistem
hukum yang lain, seperti contoh kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau sistem
hukum lain selain lex causae yang ditunjuk tadi (hal. 121).
Oleh karena itu, renvoi digunakan sebagai alat bagi para hakim untuk
merekayasa penentuan lex causae ke arah sistem hukum yang dianggap akan
memberikan putusan yang dianggapnya terbaik. Sehingga sudah pasti dalam
proses renvoi, ada kaidah hukum perdata internasional yang dikesampingkan.

B. TEORI KUALIFIKASI

Kualifikas / Kualifikasi Fakta (classification of facts) merupaan penerjemahan


atau penyalinan dari fakta sehari – hari kedalam kategori istilah – istilah hukum
tertentu (translated into legal term), sehingga dapat diketaahui arti yuridisnya (legal
significane), yaitu suatu proses logis guna menempatkan konsepsi asas – asas atau
kaidah - kaidah hukum ke dalam sistem hukum yang berlaku. Fakta – fakta itu
dimsukan kedalam kotak – kotak hukum, kelas – kelas, ruang – ruang,kamar –
kamar, atau bagian – bagian hukum yang tersedia.

Kualifikasi Hukum (classification of rules of law) adalah ketika dalam bidang


Hukum Perdata Internasional, fakta – fakta harus ditempatkan dalam kategori –
kategori yuridiks tertentu, dan bukan hanya fakta – fakta saja, kaidah – kaidah
hukum juga memerlukan kualifikasi karena hukum asing dalam persoalan Hukum
juga memerlukan kualifikasi karena hukum asing dalam persoalan Hukum Perdata
Internasional kadang – kadang memerlukan kualifikasi yang berlainan dari pada
hukum kita sendiri.
Kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional ada dua macam yaitu
kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum. Kualifikasi fakta adaah kualifikasi yang
dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukumuntuk ditetapkan
menjadi satu atai lebih peristiwa hukum berdasarkan kategori hukum dan kaidah –
kaidah hukum dari sistem hukum yang diangap seharusnya berlaku, atau kegiatan
mengkualifikasikan sekumpulan fakta suatu perkara HPI ke dalam kkatageori yang
ada. Sedangkan kualifikasi hukum yaitu penggolongan atau pembagian seluruh
kaidah hukum kedalam pengelompokan, pembidangan kategori hukum tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya, atau mengkualifikasikan sekumpulan fakta ke dalam
kaidah – kaidah atau ketentuan – ketentuan hukum yang seharusnya berlaku (Lex
Causae).
MODUL 5 : KETERTIBAN UMUM DAN PENYELUNDUPAN HUKUM

A. TEORI KETERTIBAN UMUM


Dengan adanya ketertiban umum ini dapat diartikan bahwa HPI
memungkinkan sang hakim untuk secara pengecualian mengenyampingkan
pemakaian dari hukum asing yang menurut ketentuan HPI sang sakim sendiri,
seyogyanya harus diperlakukan.
Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde
public (prancis), public policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian mengenai
makna dan isinnya tidak sama diberbagi negara. Prof. Sudargo Gautama
mengibaratkan lembaga ketertiban umum ini sebagai “rem darurat” yang kita
ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit
mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka kereta
HPI tidak dapat berjalan dengan baik

B. TEORI PENYELUNDUPAN HUKUM

Penyelundupan hukum HPI Berdasarkan konsep Hukum Perdata


Internasional, penyelundupan hukum adalah perbuatan yang dilakukan di suatu
negara asing dan diakui sah di negara asing itu, akan dapat dibatalkan oleh forum
atau tidak diakui oleh forum jika perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang
bersangkutan dengan tujuan untuk menghindarkan
MODUL 6 : PILIHAN HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

 Pilihan hukum

Pilihan hukum adalah hukum yang dipilih oleh para pihak dalam kontrak
sebagai alat untuk mengintepretasikan isi dari perjanjian meliputi obyek, pengaturan
hak dan kewajiban atau untuk menyelesaikan jika terjadi sengketa.

 Perjanjian Internasional

Pengertian menurut para ahli

 Menurut Jeremy Bentham Perjanjian internasional adalah aturan yang


mengatur hubungan antar negara. Jeremy Bentham adalah orang pertama
yang mencetuskan istilah perjanjian internasional pada tahun 1780.
 Menurut Oppenheim Hukum internasional adalah perjanjian antara negara
maupun organisasi yang mengatur hubungan antar negara maupun
organisasi internasional dan melahirkan hak serta kewajiban bagi pihak di
dalamnya. Baca juga: Isi Perjanjian Bongaya dan Latar Belakangnya
 Menurut Mochtar Kumaatmadja Perjanjian internasional adalah perjanjian
antarbangsa yang memiliki tujuan tertentu yang ditimbulkan akibat hukum
tertentu.
 Menurut Schwazenbenger Dilansir dari Legal Service India, perjanjian
internasional adalah aturan hukum yang berlaku antara negara maupun
entitas lain yang telah diberikan kepribadian internasional. Schwazenbenger
beranggapan entitas apa pun yang berada di dalam perjanjian internasional
memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai