2) The development of Personal Principle 3) The development of Territory Principle 4) The development of Statute Theory in Italy, France, and Netherlands 5) The Modern Theory of PIL Awal Perkembangan HPI
• Perdagangan “barter” dengan orang asing telah melahirkan
kaidah-kaidah HPI. Zaman Romawi Kuno, masalah yang timbul sebagai akibat hubungan orang Romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor peregrines. • Hukum warga Romawi, yakni ius civile yang disesuaikan dengan pergaulan internasional. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan international tersebut berkembang menjadi ius gentium. • Ius gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dapat dikategorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius gentium yang menjadi bagian iusprivatum berkembang menjadi HPI. Ius gentium yang menjadi bagian ius publicum dan berkembang telah menjadi hukum internasional publik. • Pada masa Romawi itu, berkembang asas-asas HPI yang dilandasi, asas teritorial, asas HPI yang penting, yakni: • Lex Rei Sitae (Lex Situs) : hukum harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum di mana benda berada atau terletak. • Lex Loci Contractus : terhadap kontrak (yang bersifat HPI) adalah hukum di mana kontrak itu dibuat atau ditandatangani. • Lex Domicilii : hukum yang mengatur hak dan kewajiban perorangan adalah hukum di mana seseorang berkediaman tetap. • Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku bersifat teritorial. Hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang, benda yang berada di wilayah itu, dan perbuatan hukum yang diberlakukan di wilayah itu. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad VI-X Masehi)
• Pada akhir abad 6 M, kekaisaran Romawi ditaklukan “Barbar”.
• Bekas wilayah kekaisaran Romawi diduduki oleh berbagai bangsa yang saling berlainan secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum negara, dan hukum agamanya masing-masing di daerah yang didududkinya. • Dengan demikian prinsip teritorial berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan, sehingga di dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa sistem hukum sekaligus. • Beberapa asas HPI yang tumbuh pada era ini dapat dikategorikan sebagai asas HPI yang berasaskan personal, misalnya: Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hukum personal pihak tergugat; Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seeorang ditentukan oleh hukum personal orang yang bersangkutan. Kapasitas hukum para pihak dalam perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal masing-masing pihak; Asas yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal si pewaris; dan Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum personal suami. Pertumbuhan Asas Teritorial [Abad XI – XII]
• Di Eropa utara [Inggris, Perancis, dan Jerman] terjadi peralihan
struktur masyarakat geneologis ke arah masyarakat feodalistis. Makin banyak tuan tanah (land lords) yang berkuasa, memerlukan hukum sendiri yang berlaku di wilayahnya. • Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut oleh peguasa, sehingga HPI pada era ini tidak berkembang sama sekali. • Di kawasan Eropa bagian selatan [Italia], terjadi transformasi dari asas personalitas geneologis ke arah teritorial, bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat perdagangan. Dasar ikatan antar manusia di sini bukan lagi geneologis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. • Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Venecia, Milan, Padua dan Genoa. Kota-kota perdagangan tersebut merupakan kota otonom dengan: Batas-batas teritorial sendiri; dan Sistem hukum lokal yang berlainan satu dengan lainnya dan berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia. • Keanekaragaman (diversity) sistem hukum lokal (municipal law) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar kota seringkali menimbulkan permasalahan pengakuan terhadap hukum da hak-hak asing (kota lain) di suatu wilayah kota. Baik secara langsung atau tidak, kondisi in mendorong pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional. Perkembangan Teori Statuta di Italia [Abad XIII – XV Masehi]
• Berkembangnya perdagangan kota-kota di Italia menyebabkan
penerapan asas teritorial perlu peninjauan kembali. • Sistem feodal memandang aturan-aturan hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu, hukum masing-masing kota di Italia berlaianan. • Situasi ini mendorong para ahli hukum universitas-universitas di Italia mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable) Usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum Romawi [golongan postglossatorem]. • Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan –hubungan di antara para pihak yang tunduk pada sistem yang berbeda tersebut, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata: “cuntos popules ques Clamentiae Nostrae regit imperium” (semua bangsa di bawah kekuasaan kami). • Di dalam teks Codex Justianus ditemukan glossea Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan: “Apabila seorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia jangan diadili menurut statuta Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga, oleh karena dala Undang-Undang Conctus popolos telah ditentukan.......quos nostrae clementiae regit imperium”. • Doktrin diintroduksi Accursius dikembangkan oleh Batolus De Sassoferrato (1314-1357) mengembangkan asas-asas untuk menentukan wilayah berlakunya setiap aturan hukum yang berlaku dengan mengajukan pertanyaan hubungan hukum seperti : apakah yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu ? Jadi, titik tolaknya adalah kaidah yang berlaku di suatu negeri atau kota tertentu. • Bartolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis dan statuta realia dengan kekuasaan territorial hukum. Untuk itu dibedakannya statuta ke dalam statuta yang mengizinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu. • Statuta personalia adalah statuta yang memiliki lingkungan kuasa secara personal. Hal ini berarti bahwa statuta mengikuti orang di manapun berada [Statuta realia = territorial]. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk UU di bawah statutanya. • Berdasarkan doktrin statuta dikembangkan metode berpikir HPI : Apabila persoalan HPI dihadapi menyangkut persoalan statuta benda, maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu berada, cara berpikir realia semacam ini hanya berlaku bagi benda tetap (benda tidak bergerak) saja, sedangkan terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam; Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat di mana orang tersebut berdomisi (lex domicilii); Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan bentuk atau akibat suatu perbuatan hukum, bentuk dan akibat hukum tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat di mana perbuatan tersebut di lakukan. Cara berpikir atau asas ini diadopsi oleh pasal 18 AB. Teori Statuta di Perancis [Abad XVI Masehi] • Pada abad 16, propinsi di Perancis memiliki sistem sendiri-sendiri [coutume] yang sama dengan statuta. • Adanya keragaman coutume dan makin meningkatnya perdagangan antar propinsi konflik hukum antar propinsi makin meningkat. Dalam keadaan ini ahli hukum Perancis seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statuta dan menerapkannya dengan beberapa modifikasi. • Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian [kontrak]. Jadi, perjanjian teori statuta Bartolus masuk dalam statuta realia, menurut Charles Domoulin harus masuk dalam statuta personalia, karena intinya kebebasan memilih hukum adalah semacam status perorangan. • Betrand D’ Argentre menggunakan teori statuta dari Bartolus dan Domoulin, namun pada akhirnya mengakui teori yang jauh berbeda dengan asas-asas teori statuta di Italia dan teori Domoulin. Menurut Betrand D’Argentre, yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi (kebebasan) para pihak, tetapi otonomi propinsi. • Betrand D’ Argentre tetap mengakui adanya statuta personalia, tetapi perlu pengecualian. Betrand D’ Argentre mengakui adanya statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (legal capacities), tetapi ada juga: • Statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu terhadap suatu benda . • Statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di tempat tertentu. Teori Statuta Belanda [Abad XVII Masehi] • Teori D’ Argentre diikuti para sarjana hukum Belanda. Segi kedaulatan sangat ditekankan. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara. • Berdasarkan doktrin D’Argentre, Ulrik Huver mengajukan tiga prinsip digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI : 1. Hukum dari suatu negara memiliki daya berlaku yang mutlak hanya dalam batas- batas wilayah kedaulatannya. 2. Semua orang baik yang menetap selamanya maupun sementara, yang berada di wilayah suatu negara berdaulat menjadi subyek hukum dari negara itu dan terikat pada hukum dari negara itu; 3. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas atau comity), diakui bahwa hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku di mana saja sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara yang memberikan pengakuan itu. Namun demikian, hakim yang berpedoman pada asas komitas ini tidak dapat bertindak sewenang- wenang. Hakim seharusnya juga dapat memperhatikan hukum asing demi kepentingan negara-negara yang bersangkutan secara timbal balik Ulrik Huber dalam menafsirkan ketiga prinsip tersebut harus diperhatikan prinsip lain, yakni semua perbuatan atau transaksi hukum yang dianggap sah berdasarkan hukum dari negara tertentu, diakui sah pula di tempat lainnya yang sistem hukumnya sebenarnya menganggap perbuatan atau transaksi semacam itu batal. Transaksi yang dilaksanakan pada suatu tempat tertentu dianggap batal demi hukum juga harus dianggap batal di manapun. Johanes Voet pada hakikatnya tidak ada kewajiban yang menyatakan suatu kaidah hukum asing berlaku di wilayah hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka hal itu semata-mata disebabkan sopan santun pergaulan antar bangsa (comitas gentium). [Dewasa ini teori ini ditinggalkan] Chesire menyatakan penggunaan hukum asing hanya disebabkan keinginan untuk mencari solusi yang seadil-adilnya (the desire to do justice). Jadi, tidak berdasarkan sopan santun dan bukan pula merupakan perongrongan kedaulatan negara sendiri. Teori-teori HPI Modern [Abad ke XIX] • Tokoh HPI Modern : Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasque Stanislao Manchini. Von Savigny : suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama pula, baik diputuskan hakim di negara A maupun di negara B. Penyelesaian permasalahan yang menyangkut unsur-unsur asing pun hendaknya diatur sekian rupa, sehingga putusannya akan sama di mana- mana. Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem hukum supra nasional, yaitu HPI. HPI bersifat supra nasional, maka HPI bersifat universal, dan oleh karenanya pula ada yang menyebut pemikiran Von Savigny dengan istilah teori HPI universal. Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan komitas, tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhi bagi semua pihak (negara atau manusia) yang bersangkutan Manchini : Hukum personal seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia ditentukan oleh nasionalitasnya (menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian). Menurut mazhab Italia, ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum: 1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perorangan; dan 2. Kaidah hukum yang melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order). Berdasarkan pembagian tersebut dikemukakan tiga asas HPI : 1. Kaidah hukum untuk kepentingan perorangan berlaku bagi setiap warganegara di mana pun dan kapan pun juga (prinsip personal); 2. Kaidah untuk menjaga kepentingan umum bersifat teritorial dan berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial); 3. Asas kebebasan menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum) Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan suatu HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum harus diselesaikan menurut caranya sendiri. Ini pun bergantung pada kebiasaan, undang-undang, dan putusan pengadilan (yurisprudensi) masing-masing masyarakat hukum. Namun demikian, dari waktu ke waktu, perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah HPI makin bertambah terus. References • Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, FH-UII Press, Yogyakarta, 2010. • Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2011.