Anda di halaman 1dari 20

Course : LAWS6062 – Hukum Perdata Internasional

Year : 2015

Sejarah Hukum Perdata


Internasional

Session 02
Learning Objectives

1) Early History of PIL


2) The development of Personal Principle
3) The development of Territory Principle
4) The development of Statute Theory in
Italy, France, and Netherlands
5) The Modern Theory of PIL
Awal Perkembangan HPI

• Perdagangan “barter” dengan orang asing telah melahirkan


kaidah-kaidah HPI. Zaman Romawi Kuno, masalah yang timbul
sebagai akibat hubungan orang Romawi dan pedagang asing
diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut
praetor peregrines.
• Hukum warga Romawi, yakni ius civile yang disesuaikan
dengan pergaulan internasional. Ius civile yang telah
diadaptasi untuk hubungan international tersebut
berkembang menjadi ius gentium.
• Ius gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dapat
dikategorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius
gentium yang menjadi bagian iusprivatum berkembang
menjadi HPI. Ius gentium yang menjadi bagian ius publicum
dan berkembang telah menjadi hukum internasional publik.
• Pada masa Romawi itu, berkembang asas-asas HPI yang dilandasi,
asas teritorial, asas HPI yang penting, yakni:
• Lex Rei Sitae (Lex Situs) : hukum harus diberlakukan atas suatu
benda adalah hukum di mana benda berada atau terletak.
• Lex Loci Contractus : terhadap kontrak (yang bersifat HPI)
adalah hukum di mana kontrak itu dibuat atau ditandatangani.
• Lex Domicilii : hukum yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan adalah hukum di mana seseorang berkediaman
tetap.
• Di dalam prinsip teritorial, hukum yang berlaku bersifat teritorial.
Hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang, benda
yang berada di wilayah itu, dan perbuatan hukum yang
diberlakukan di wilayah itu.
Masa Pertumbuhan Asas Personal
(Abad VI-X Masehi)

• Pada akhir abad 6 M, kekaisaran Romawi ditaklukan “Barbar”.


• Bekas wilayah kekaisaran Romawi diduduki oleh berbagai
bangsa yang saling berlainan secara geneologis. Kedudukan ius
civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku
bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal,
hukum negara, dan hukum agamanya masing-masing di daerah
yang didududkinya.
• Dengan demikian prinsip teritorial berubah menjadi prinsip
personal. Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku
digantungkan pada pribadi yang bersangkutan, sehingga di
dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa sistem
hukum sekaligus.
• Beberapa asas HPI yang tumbuh pada era ini dapat
dikategorikan sebagai asas HPI yang berasaskan personal,
misalnya:
 Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam
suatu perkara adalah hukum personal pihak tergugat;
 Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum seeorang ditentukan oleh
hukum personal orang yang bersangkutan. Kapasitas hukum
para pihak dalam perjanjian harus ditentukan oleh hukum
personal masing-masing pihak;
 Asas yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus
diatur berdasarkan hukum personal si pewaris; dan
 Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan
hukum personal suami.
Pertumbuhan Asas Teritorial
[Abad XI – XII]

• Di Eropa utara [Inggris, Perancis, dan Jerman] terjadi peralihan


struktur masyarakat geneologis ke arah masyarakat feodalistis.
Makin banyak tuan tanah (land lords) yang berkuasa,
memerlukan hukum sendiri yang berlaku di wilayahnya.
• Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang
dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut oleh peguasa,
sehingga HPI pada era ini tidak berkembang sama sekali.
• Di kawasan Eropa bagian selatan [Italia], terjadi transformasi
dari asas personalitas geneologis ke arah teritorial, bersamaan
dengan pertumbuhan pusat-pusat perdagangan. Dasar ikatan
antar manusia di sini bukan lagi geneologis atau feodalisme,
melainkan tempat tinggal yang sama.
• Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain
Florence, Pisa, Venecia, Milan, Padua dan Genoa. Kota-kota
perdagangan tersebut merupakan kota otonom dengan:
 Batas-batas teritorial sendiri; dan
 Sistem hukum lokal yang berlainan satu dengan lainnya dan
berbeda pula dengan hukum Romawi dan Lombardi yang
berlaku umum di seluruh Italia.
• Keanekaragaman (diversity) sistem hukum lokal (municipal
law) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antar
kota seringkali menimbulkan permasalahan pengakuan
terhadap hukum da hak-hak asing (kota lain) di suatu wilayah
kota. Baik secara langsung atau tidak, kondisi in mendorong
pertumbuhan kaidah-kaidah hukum perdata internasional.
Perkembangan Teori Statuta di Italia
[Abad XIII – XV Masehi]

• Berkembangnya perdagangan kota-kota di Italia menyebabkan


penerapan asas teritorial perlu peninjauan kembali.
• Sistem feodal memandang aturan-aturan hukum yang
dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua
benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain
itu, hukum masing-masing kota di Italia berlaianan.
• Situasi ini mendorong para ahli hukum universitas-universitas
di Italia mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil dan
wajar (fair and reasonable)  Usaha-usaha yang dilakukan
adalah dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan
kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum Romawi [golongan
postglossatorem].
• Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur
hubungan –hubungan di antara para pihak yang tunduk pada
sistem yang berbeda tersebut, kelompok ini mengacu kepada
corpus iuris dari Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah
yang dimulai dengan kata: “cuntos popules ques Clamentiae
Nostrae regit imperium” (semua bangsa di bawah kekuasaan
kami).
• Di dalam teks Codex Justianus ditemukan glossea Accursius
(1128) yang pada pokoknya menyatakan:
“Apabila seorang warga Bologna digugat di Modena, maka ia
jangan diadili menurut statuta Modena dari kota mana ia
bukan merupakan warga, oleh karena dala Undang-Undang
Conctus popolos telah ditentukan.......quos nostrae clementiae
regit imperium”.
• Doktrin diintroduksi Accursius dikembangkan oleh Batolus De
Sassoferrato (1314-1357)  mengembangkan asas-asas untuk
menentukan wilayah berlakunya setiap aturan hukum yang berlaku
dengan mengajukan pertanyaan hubungan hukum seperti : apakah
yang diatur oleh suatu kaidah hukum tertentu ? Jadi, titik tolaknya
adalah kaidah yang berlaku di suatu negeri atau kota tertentu.
• Bartolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis
dan statuta realia dengan kekuasaan territorial hukum. Untuk itu
dibedakannya statuta ke dalam statuta yang mengizinkan sesuatu
dan yang melarang sesuatu.
• Statuta personalia adalah statuta yang memiliki lingkungan kuasa
secara personal. Hal ini berarti bahwa statuta mengikuti orang di
manapun berada [Statuta realia = territorial]. Hanya benda-benda
yang terletak di dalam wilayah pembentuk UU di bawah
statutanya.
• Berdasarkan doktrin statuta dikembangkan metode berpikir HPI :
Apabila persoalan HPI dihadapi menyangkut persoalan statuta
benda, maka kedudukan hukum benda itu harus diatur
berdasarkan statuta realia dari tempat dimana benda itu berada,
cara berpikir realia semacam ini hanya berlaku bagi benda tetap
(benda tidak bergerak) saja, sedangkan terhadap benda bergerak
berlaku asas mobilia sequntuur personam;
Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status
personal, maka status personal orang tersebut harus diatur
berdasarkan statuta personalia dari tempat di mana orang
tersebut berdomisi (lex domicilii);
Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan bentuk
atau akibat suatu perbuatan hukum, bentuk dan akibat hukum
tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat di
mana perbuatan tersebut di lakukan. Cara berpikir atau asas ini
diadopsi oleh pasal 18 AB.
Teori Statuta di Perancis
[Abad XVI Masehi]
• Pada abad 16, propinsi di Perancis memiliki sistem sendiri-sendiri
[coutume] yang sama dengan statuta.
• Adanya keragaman coutume dan makin meningkatnya
perdagangan antar propinsi  konflik hukum antar propinsi makin
meningkat. Dalam keadaan ini ahli hukum Perancis seperti Charles
Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori
statuta dan menerapkannya dengan beberapa modifikasi.
• Charles Dumoulin  memperluas pengertian statuta personalia
hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki)
sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian
[kontrak]. Jadi, perjanjian teori statuta Bartolus masuk dalam
statuta realia, menurut Charles Domoulin harus masuk dalam
statuta personalia, karena intinya kebebasan memilih hukum
adalah semacam status perorangan.
• Betrand D’ Argentre  menggunakan teori statuta dari Bartolus dan
Domoulin, namun pada akhirnya mengakui teori yang jauh berbeda
dengan asas-asas teori statuta di Italia dan teori Domoulin.
Menurut Betrand D’Argentre, yang harus diperluas itu adalah
statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi
(kebebasan) para pihak, tetapi otonomi propinsi.
• Betrand D’ Argentre tetap mengakui adanya statuta personalia,
tetapi perlu pengecualian. Betrand D’ Argentre mengakui adanya
statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya
kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan
tindakan hukum (legal capacities), tetapi ada juga:
• Statuta yang dimaksudkan untuk mengatur orang, tetapi
berkaitan dengan hak milik orang itu terhadap suatu benda .
• Statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang
dilakukan di tempat tertentu.
Teori Statuta Belanda
[Abad XVII Masehi]
• Teori D’ Argentre diikuti para sarjana hukum Belanda. Segi kedaulatan
sangat ditekankan. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta
di Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara.
• Berdasarkan doktrin D’Argentre, Ulrik Huver mengajukan tiga prinsip
digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI :
1. Hukum dari suatu negara memiliki daya berlaku yang mutlak hanya dalam batas-
batas wilayah kedaulatannya.
2. Semua orang baik yang menetap selamanya maupun sementara, yang berada di
wilayah suatu negara berdaulat menjadi subyek hukum dari negara itu dan
terikat pada hukum dari negara itu;
3. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas atau comity),
diakui bahwa hukum yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki
kekuatan berlaku di mana saja sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan
subjek hukum dari negara yang memberikan pengakuan itu. Namun demikian,
hakim yang berpedoman pada asas komitas ini tidak dapat bertindak sewenang-
wenang. Hakim seharusnya juga dapat memperhatikan hukum asing demi
kepentingan negara-negara yang bersangkutan secara timbal balik
 Ulrik Huber  dalam menafsirkan ketiga prinsip tersebut harus
diperhatikan prinsip lain, yakni semua perbuatan atau transaksi hukum
yang dianggap sah berdasarkan hukum dari negara tertentu, diakui sah
pula di tempat lainnya yang sistem hukumnya sebenarnya menganggap
perbuatan atau transaksi semacam itu batal. Transaksi yang
dilaksanakan pada suatu tempat tertentu dianggap batal demi hukum
juga harus dianggap batal di manapun.
 Johanes Voet  pada hakikatnya tidak ada kewajiban yang
menyatakan suatu kaidah hukum asing berlaku di wilayah hukumnya.
Jika hal ini terjadi, maka hal itu semata-mata disebabkan sopan santun
pergaulan antar bangsa (comitas gentium).
 [Dewasa ini teori ini ditinggalkan] Chesire  menyatakan penggunaan
hukum asing hanya disebabkan keinginan untuk mencari solusi yang
seadil-adilnya (the desire to do justice). Jadi, tidak berdasarkan sopan
santun dan bukan pula merupakan perongrongan kedaulatan negara
sendiri.
Teori-teori HPI Modern
[Abad ke XIX]
• Tokoh HPI Modern : Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasque
Stanislao Manchini.
Von Savigny :
 suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang
sama pula, baik diputuskan hakim di negara A maupun di negara B.
Penyelesaian permasalahan yang menyangkut unsur-unsur asing pun
hendaknya diatur sekian rupa, sehingga putusannya akan sama di mana-
mana.
 Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem hukum
supra nasional, yaitu HPI. HPI bersifat supra nasional, maka HPI bersifat
universal, dan oleh karenanya pula ada yang menyebut pemikiran Von
Savigny dengan istilah teori HPI universal.
 Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan
komitas, tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi
yang dipenuhi bagi semua pihak (negara atau manusia) yang bersangkutan
Manchini :
 Hukum personal seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini
menjadi dasar mazhab Italia ditentukan oleh nasionalitasnya (menjadi dasar
mazhab Italia yang berkembang kemudian).
 Menurut mazhab Italia, ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum:
1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perorangan; dan
2. Kaidah hukum yang melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order).
 Berdasarkan pembagian tersebut dikemukakan tiga asas HPI :
1. Kaidah hukum untuk kepentingan perorangan berlaku bagi setiap warganegara
di mana pun dan kapan pun juga (prinsip personal);
2. Kaidah untuk menjaga kepentingan umum bersifat teritorial dan berlaku bagi
setiap orang yang berada di wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial);
3. Asas kebebasan menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih
hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap transaksi diantara mereka
(pilihan hukum)
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan suatu HPI yang
berlaku umum. Setiap hubungan hukum harus diselesaikan menurut
caranya sendiri. Ini pun bergantung pada kebiasaan, undang-undang, dan
putusan pengadilan (yurisprudensi) masing-masing masyarakat hukum.
Namun demikian, dari waktu ke waktu, perjanjian internasional yang
berusaha menyeragamkan kaidah HPI makin bertambah terus.
References
• Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, FH-UII
Press, Yogyakarta, 2010.
• Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2011.

Anda mungkin juga menyukai