Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH PERKEMBANGAN

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Nama : Dito Rizky Gaupama

NIM : 02011381823365

DOSEN PENGAJAR :

PROF. DR. JONI EMIRZON. S.H., M.HUM.


SRI HANDAYANI, S.H., M.HUM.
DIAN AFRILIA, S.H., M.H.
HELENA PRIMADIANTI SULISTYANINGRUM, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke 2 – 6 Sesudah Masehi)
Pada zaman romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara
orang romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut
praetor peregrinis. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum
yang berlaku bagi para cives romawi, yaitu ius civile yang telah disesuaikan dengan
pergaulan ‘antar bangsa’. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan antar bangsa itu
kemudian disebut Ius Gentium.1
Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang
dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium yang menjadi bagian ius
privatum berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius Gentium yang menjadi bagian ius
publicum telah berkembang menjadi hukum internasional publik atau teritorial, yang dewasa
ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya : 2
a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus
diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat benda tersebut berada.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian
(yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembutan perjanjian.
c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta
kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.

Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI (Abad 6-10 M)


Pada akhir abad 6 M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas
wilayah kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya
berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-
masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta
hukum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip
teritorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hukum yang
berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Beberapa asas HPI yang tumbuh pada
masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai asas HPI yang dibuat atas dasar
asas genealogis, misalnya :3
a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah
hukum personal dari pihak tergugat.

1
Ridwan Khairandy, hal 23.
2
Bayu Seto I, hal 20.
3
Ridwan Khairandy, hal 15.
b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum
seseorang ditentukan oleh hukum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam
suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing pihak.

Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M) di Italia


Di kawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat
territorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di
wilayah Inggris, Prancis, dan Jerman sekarang. Di kawasan Eropa bagian selatan transformasi
dari asa personal genealogis ke asas teritorial berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan
pusat-pusat perdagangan khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah
genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. 4

Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15 M)


Sistem feodal memandang hanya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan penguasa
yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya.
Selain itu hukum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Usaha yang dilakukan adalah
dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dalam
hukum romawi. Mereka inilah yng termasuk golongan Post glossators.5
Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan diantara
pihak-pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada
corpus iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata cuntos
popules ques clementiae nostrae regit imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De
Sassoferrato (1314-1357). Bartolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis
dan statute realia dengan kekuasaan teritorial hukum itu. Ia membedakan statuta ke dalam
statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu :6
1. Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal.
Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.
2. Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara teritorial. Hanya
benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di
bawah statuta- statutanya.

4
Bayu Seto I,, hal 22, 23.
5
Ibid, hal 24
6
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, hal 168.
3. Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat
berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai
wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut Statuta di tempat
perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.

TEORI STATUTA DI PERANCIS (ABAD 16)


Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di perancis memiliki hukum tersendiri yang disebut
coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada keanekaragaman coutume
tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi, maka konflik hukum antar
provinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hukum perancis, seperti
Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statute dan
menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencakup pilihan
hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku
dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta
realita menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia,
karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam status
perseorangan. 7
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga
yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi provinsi. Ia tetap
mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi :
1. Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak
milik orang itu atas suatu benda (realia)
2. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statute mixta) yang
dilakukan di tempat tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta
realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau wilayah penguasa yang
memberlaukan statuta itu.

TEORI STATUTA DI BELANDA (ABAD 17)


Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari
penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dibuat

7
Ridwan Khairandy hal 19, 20
negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan
penganut teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif negara. 8
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar yang dapat
digunakan untk menyelesaikan perkara-perkara HPI sebagai berikut :9
1. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam
batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2. Semua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam wilayah
suatu negara berdaulat harus menjadi subyek hukum dari negara itu
3. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas=comity) diakui pula
bahwa setiap pemeritah negara yang berdaulat mengakui bahwa hukum yang sudah
berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh
tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hukum dari negara yang memberikan
pengakuan itu

TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD 19)


Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang
pakar hukum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasquae Machini. Titik
tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus
memberi penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim negara A maupun
negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya
diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana. Titik tolak
berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra nasional, oleh karenanya
bersifat universal maka ada yang menyebut pikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI
universal. 10
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan
comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang
dipenuhinya bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya.
Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut
mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum yaitu :
1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan

8
Bayu Seto I, hal 32.
9
Ridwan Khairandy, hal 21, 22.
10
Ridwan Khairandy, hal 23.
2. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga negara
dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil)
2. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku bagi
setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial)
3. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih
hukum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi diantara mereka (pilihan
hukum)
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuan
internasional sedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra
nasional. Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku
umum. Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan
inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam
masing-masing masyarakat hukum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah
banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti
perjanjian-perjanjian HPI Den Haag. 11

11
C.F.G. Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta, Bandung, 1976, hal 28.
DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional (Buku Kesatu), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.

Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.

Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian I (Buku 7),
Alumni, Bandung, 1981.

Saragih, Djasadin, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Jilid I), Alumni, Bandung,
1974.

Anda mungkin juga menyukai