Anda di halaman 1dari 5

Nama : Natasa Claudina

NRP : 120117026
KP: H

Sejarah Hukum Perdata Internasional

A. Perkembangan Awal Hukum Perdata Internasional (Masa Romawi Kuno)


Di dalam sejarah perkembangan HPI, tampaknya perdagangan (pada tahap permulaan adalah
pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI. Pada jaman
romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang romawi dan pedagang
asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor peregrinis. Hukum yang digunakan
oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para cives romawi, yaitu ius civile yang
telah disesuaikan dengan pergaulan internasional. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan
internasional itu kemudian disebut Ius Gentium.
Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius
publicum. Ius Gentium yang menjadi bagian ius privatum berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius
Gentium yang menjadi bagian ius publicum telah berkembang menjadi hukum internasional publik atau
territorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya :
a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu
benda adalah hukum dari temapt benda tersebut berada.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang bersifat
HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembutan perjanjian.
c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban
perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prinsip territorial, hukum yang berlaku bersifat territorial. Setiap wilayah memiliki
hukumnya sendiri dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang
berada di wilayah itu dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.

B. Perkembangan Asas Personal (Abad 6 – 10 M)


Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas wilayah
kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara
geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap
memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agamanya masing-masing di daerah yang
didudukinya. Dengan demikian prinsip territorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip
personal hukum yang berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah
tertentu mungkin akan berlaku beberapa hukum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan
dulu kaidah-kaidah hukum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hukum mana yang akan
diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ni dapat dikategorikan sebagai asas
HPI (yang berasa personal), misalnya :
a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hukum personal dari
pihak tergugat.

1
b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum seseorang ditentukan
oleh hukum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh
hukum personal dari masing-masing pihak.
c. Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hukum personal si pewaris.
d. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum personal sang suami.

C. Perkembangan Asas Teritorial (Abad 11 – 12 M)


Dikawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat territorial tampak
dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Prancis, dan Jerman
sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hukum mereka sendiri
terhadap semua orang dan semua hubungan hukum yang berlangsung diwilayahnya. Dengan perkataan lain
tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut
penguasa, sehingga dalam keadaan demikian HPI tidak berkembang sama sekali.
Di kawasan Eropa bagian selatan transformasi dari asa personal genealogis ke asa territorial berlangsung
bersamaan dengan pertumubuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia
di sini bukanlah genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama . Kota-kota perdagangan
yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota
tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan :
1. Batas-batas territorial sendiri
2. System hukum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang lainnya dan berbeda pula dengan hukum
romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.

D. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13 – 15 M)


Seiring makin berkembangnya perdagangan antara warga kota-kota di Italia,penerapan asa territorial
tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
System feodal memandang hanya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan penguasa yang harus
diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hukum masing-
masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila hak-hak yang telah
diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.
Situasi ini mendorong para ahli hukum di universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asa
hukum yang dianggap lebih adil dan wajar. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan
menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dala hukum romawi. Mereka inilah yng termasuk golongan
postglossatoren.
Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan diantara pihak-pihak
yang tunduk pada system hukum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dai Justianus.
Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata cuntos popules ques clementiae nostrae regit
imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan Glosse Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan :
“ apabila seseorang warga bologna digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status dari
Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga oleh karena dalam Undang-Undang Contos
Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (1314-
1357). Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis dan statute realia dengan kekuasaan

2
territorial hukum itu. Ia membedakan statuta ke dalam statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang
sesuatu.
· Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Bahwa
statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.
· Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara terotorial. Hanya benda-benda
yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah statuta- statutanya.
· Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya Statuta
itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat
hukumnya diatur menurut Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.

Berdasarkan doktrin Statuta tersebut kemudian dikembangkan metode berfikir HPI sebagai berikut :
1. Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan status benda, maka kedudukan
hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat diman benada itu berada.
Dalam perkembanganya, cara berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja
sedang terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal
orang tersebut harus diatur berdasarkan statute personlia dari tempat diman orang tersebut
berkediaman tetap (lex domicilii).
3. Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atu akibat dari suatu
perbuatan hukum, maka bentuk dan akibat perbuatan hukum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah
mixta dari tempat dimana perbuatan itu dilakukan.

E. Perkembangan Teori Statuta di Perancis (Abad Ke 16)


Pada abad ke-16 propinsi-propinsi di peramcis memiliki hukum tersendiri yang disebut coutume,
yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada keanekaragaman coutume tersebut dan makin
meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hukum antar propinsi meningkat pula. Dalam
keadaan demikian beberapa ahli hukum perancis, seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre
berusaha mendalami teori statute dan menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencakup pilihan hukum
(hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi
perjanjian yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realia menurut Charles Dumoulin
harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih
hukum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang
diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi propinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang
benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang
untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi :
1. Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu atas
suatu benda (realia)
2. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statute mixta) yang dilakukan di tempat
tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan
teritori atau wilayah penguasa yang memberlaukan statuta itu.

3
E. Teori Statuta Di Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan
Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dbuat Negara berlaku secara mutlak
di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di negeri belanda
adalah kedaulatan eksklusif Negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat digunakan untk
menyeesaikan perkara-perkara HPI sebgai berikut :
1. Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah
kedaulatannya saja
2. Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam wilayah suatu Negara
berdaulat harus menjadi subyek hukum dari Negara itu
3. Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas komitas=comity) diakui pula bahwa setiap
pemeritah Negara yang berdaulat mengakui bahwa hukum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap
memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hukum dari
Negara yang memberikan pengakuan itu.
Selanjutnya Urik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut harus pula
diperhatikan prinsip semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hukum dari suatu
Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang system hukumnya sebenarnya mengganggap
perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat
tetentu yang menganggapnya batal demi hukum juga dianggap batal dimanapun.

F. Teori HPI Modern (Universal)


Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar
hukum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu hububngan hukum yang sama harus member
penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim Negara A maupun Negara B. Maka,
penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system hukum supra nasional yaitu hukum perdata
internasional. Oleh karena titik tolak berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra
nasional, oleh karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini dengan istilah
teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas,
akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak
(Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat
Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam
kaidah dalam setiap system hukum yaitu :
1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan
2. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara dimanapun dan
kapanpun juga (prinsip personil)

4
2. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang
yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (prinsip terotorial)
3. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah
yang akan berlaku terhadap transakasi diantara mereka (pilihan hukum)
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuan internasional
swedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap
hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan inipun bergantung pada
kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat hukum.
Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang berusaha
menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.
Pendapat selanjutnya yang dapat kita bahas adalah pendapat dari Pasquae Stanislao Manchini.
Manchini berpendapat bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat
Manchini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua
macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu :
a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan;
b. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order).
Berdasarkan pembagian kaidah hukum tersebut Manchini mengemukakan tiga asas
HPI, yaitu :

a. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warganegara dimanapun dan
kapanpun juga (prinsip personil);
b. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku bagi setiap orang
yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial);
c. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum
manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka
(pilihan hukum).

Cita-cita Manchini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan-persetujuan internasional,


sedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI yang bersifat supra nasional. Namun
dalam kenyataannya hingga kini belum dapat diberlakukan asas-asas HPI yang seragam dan berlaku umum.
Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan inipun bergantung pada
kebiasaan, undang-undang, putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) di dalam masing-masing
masyarakat hukum.
Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang
berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI, seperti perjanjian / Konvensi Den Haag salah satunya tahun
1965 yang mengatur tentang penyampaian dokumen-dokumen judisial dan luar pengadilan bagi perkara-
perkara perdata dan dagang, kemudian tahun 1968 yang mengatur tentang masalah pengambilan
pembuktian di luar negeri dalam perkara-perkara perdata dan dagang.
Ada pula Convention on the Choice of Court yang mengatur prinsip kebebasan para pihak untuk
memilih forum pengadilan seperti konvensi Den Haag tahun 2005. Kemudian Convention on the Jurisdiction
of the Selected Forum in International Sales of Good (1958) yang mengatur persoalan pilihan pengadilan
yang telah dipilih oleh para pihak yang berkenaan dengan jual beli internasional. Serta perkembangan organ
/ lembaga di bidang perdagangan internasional seperti International Chamber of Commerce (ICC) dan CISG
(the United Nations Conference on Contracts for the International Sale of Goods) 1980.
5

Anda mungkin juga menyukai