Anda di halaman 1dari 18

Asas Pilihan Hukum.

Para pihak menentukan/menyepakati


hukum mana yang akan berlaku.
Bolehkah?
Sejarah Perkembangan HPI

A. Awal Perkembangan HPI


Jaman Romawi Kuno
Dimulai dalam dunia perdagangan (awalnya barter atau
pertukaran barang) antara warga Romawi dan pedagang asing

Bila timbul masalah antara orang Romawi dengan pedagang


asing di selesaikan dalam pengadilan khusus yang disebut
praetor peregrines.

Hukum yang berlaku pada prinsipnya adalah hukum warga


Romawi yaitu ius civile, yang disesuaikan dengan pergaulan
internasional.

Ius civile yang disesuaikan dengan pergaulan internasional


tersebut dikenal dengan ius gentium

23
Ius gentium dibedakan menjadi ius privatum dan ius publicum,
ius privatum menjadi cikal bakal HPI dan ius publicum menjadi
cikal bakal HI (Publik)
Pada Masa Romawi yang dilandasi asas teritorial, yaitu hukum
yang berlaku bersifat teritorial, (berdasar wilayah, tempat
tertentu), Asas HPI yang penting adalah:
Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), hukum yang harus diberlakukan
atas suatu benda adalah hukum tempat benda itu
berada/terletak (ingat Ps. 17 AB)

Asas Lex Loci Contractus (Locus Rigit Actum), hukum yang


berlaku terhadap kontrak adalah hukum tempat kontrak itu
dibuat atau ditadatangani (ingat Ps. 18 AB)

Asas Lex Domicilii, hukum yang berlaku untuk menentukan hak


dan kewajiban perorangan (status personal) adalah hukum
tempat seseorang berkediaman tetap ( beda dengan Ps. 16 AB
yang menganut asas Nasionalitas)

B. Masa Pertumbuhan Asas Personal

24
Pada akhir abab 6 M kekaisaran Romawi Hancur/runtuh. Bekas
wilayah kekaisaran Romawi diduduki oleh berbagai bangsa.
Asas HPI yang tumbuh pada masa ini dikategorikan sebagai asas
HPI yang berlandaskan asas personal, (orang, para pihak):
1. Asas yang menetapkan hukum yang berlaku dalam suatu
perkara adalah hukum personal tergugat.
2. Asas tentang kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum, ditentukan oleh hukum personal yang
bersangkutan.
3. Asas tentang pewarisan ditentukan oleh hukum personal si
pewaris.
4. Asas tentang pengesahan perkawinan, ditentukan
berdasarkan hukum personal suami.

C. Pertumbuhan Asas Teritorial Abad 11-12 M

Di Eropa Utara banyak tumbuh tuan tanah (land Lords),


mereka memberlakukan hukum mereka sendiri di
wilayahnya.
Di Eropa Selatan, khususnya di Italia, tumbuh kota pusat
perdagangan yang mempunyai otonomi sendiri dengan batas
teritorial sendiri.

25
D. Teori Statuta di Italia, abad 13-15 M
Makin berkembangnya perdagangan, membuat asas
teritorial tidak dapat dipertahankan lagi.
Situasi tersebut mendorong para ahli hukum untuk mencari
asas hukum yang dianggap lebih adil dan wajar.
Diantaranya dengan menapsirkan dan mengembangkan
ketentuan hukum Romawi (Corpus Iuris) yang berlaku di Italia.

Accursius misalnya pada tahun 1228 mengembangkan tapsiran


sebagai berikut: Bila seseorang dari kota tertentu dituntut
secara hukum disuatu kota lain, maka ia tidak dapat diadili
berdasarkan hukum kota lain itu, sebab ia bukan merupakan
subyek hukum di sana.
Bartolus De Sassoferrato (1314-1357) dengan mendasarkan
pada pendapat Accursius berusaha mengembangkan asas
untuk menentukan wilayah berlaku dari setiap aturan hukum
yang berlaku, dengan pertanyaan: Apakah suatu statuta dalam
suatu kota dapat diberlakukan juga pada orang yang bukan
warga kota tersebut? Apakah statuta suatu kota dapat memiliki
kekuatan berlaku di wilayah di luar kota bersangkutan?
Inilah awal perkembangan TEORI STATUTA.

26
STATUTA adalah kaidah hukum lokal yang berlaku dan memjadi
ciri khas kota (di Italia) yang berbeda dari kaidah hukum umum
yang berlaku di seluruh Italia.
Berdasarkan lingkup berlakunya orang membedakan statuta
dalam tiga jenis, yaitu: S. Realia, S. Personalia, S. Mixta.
Lihat Bayu Seto, h. 21
Statuta Realia adalah statuta yang berkenaan dengan benda,
hanya berlaku di dalam batas teritorial hukumnya sendiri,
tetapi berlaku bagi setiap orang yang melakukan transaksi di
dalam batas-batas wilayah itu.

Statuta Personalia adalah statuta yang berkenaan dengan orang


dalam peristiwa hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga.
Hanya berlaku terhadap orang yang berkediaman tetap di
wilayah penguasa yang memberlakukan statuta itu, dan tetap
berlaku terhadap orang itu meskipun sedang berada di
wilayah/yuridiksi penguasa lain.

Statuta Mixta adalah kaidah hukum yang berkenaan dengan


perbuatan hukum, berlaku terhadap semua perbuatan hukum
yang dilakukan/terjadi di dalam wilayah penguasa yang
memberlakukan statuta itu.

27
Usaha untuk secara tegas menetapkan kapan harus
diklasifikasikan sebagai S. Realia, S. Personalia, S. Mixta,
ternyata tidak selalu mudah. Contoh:
Apakah ketentuan tentang “kemampuan seseorang untuk
mengalihkan hak milik atas tanah” harus diklasifikasikan
sebagai statuta personalia atau statuta realia?
Apakah perbuatan melawan hukum yang sasarannya benda
tetap, diberlakukan hukum tempat perbuatan atau hukum
tempat benda berada?
Bartolus menjawab pertanyaan semacam dengan penafsiran
gramatikal: Suatu statuta adalah realia bila dalam rumusan
statuta itu disebutkan istilah benda terlebih dahulu, dan suatu
statuta adalah personalia bila diawali penyebutan tentang
orang terlebih dahulu.

E. Teori Statuta di Perancis abad ke 16.


Dumoulin, D’Argentre

Dumoulin, pengertian statuta personalia harus diperluas ruang


lingkupnya seperti hukum yang mengatur perjanjian adalah
hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka masuk statuta

28
personalia, karena kebebasan untuk memilih hukum adalah
semacam status perorangan/personal.

D’Argentre, yang harus diperluas lingkupnya adalah statuta


realia, buka otonomi para pihak yang utama, melainkan
otonomi propinsi
Sejarah baca sendiri (Lihat buku Bayu Seto)

AJARAN UMUM
Titik-titik Taut
Titik-titik Pertalian
Aanknopingsputen
Point of Contact
Connecting Factors

Dalam HPI dikenal 2 macam titik taut


Titik Taut Primer (Titik Taut Pembeda, Primary Point of Contact)
Titik Taut Sekunder (Titik Taut Penentu, Secondary Point of
Contact)

29
Titik Taut Primer: Unsur/faktor yang menunjukkan bahwa suatu
peristiwa hukum merupakan peristiwa hukum internasional,
bukan peristiwa hukum nasional biasa.

Titik Taut Sekunder: unsur/faktor yang menentukan hukum


manakah yang harus berlaku untuk peristiwa HPI yang
bersangkutan.
Titik Taut Primer misalnya:
1. Kewarganegaraan,
Seorang warga negara Indonesia mengadakan perjanjian
jual beli dengan warga negara Jepang.
2. Bendera kapal/pesawat udara,
Untuk kapal dan pesawat udara, bendera berlaku seperti
kewarganegaraan pada manusia, misal kapal berbendera
Inggris mempekerjakan warga negara Indonesia.
3. Domisili, warga negara Indonesia domisili di Singapura dan
meninggal dunia di Singapura.
4. Tempat kediaman, dalam sistem common law, tempat
kediaman dibedakan dengan domisili. Tempat kediaman
(residence) lebih dipahami sebagai tempat kediaman
sehari-hari.
5. Tempat kedudukan dan kebangsaan badan hukum.

30
Titik Taut Sekunder (Titik Taut Penentu), misalnya:
1. Pilihan Hukum
Dalam hukum perjanjian/kontrak orang bebas
menentukan kehendaknya (ingat asas kebebasan
berkontrak)
Pilihan Hukum dapat ditentukan dengan
a. Tegas-tegas
b. Diam-diam
Diam-diam, misalnya melakukan perbuatan hukum tertentu
yang hanya dikenal dalam sistem hukum tertentu.
Pengangkatan anak dikenal dalam hukum adat, tetapi tidak
dikenal dalam KUHPdt. Pisah meja dan ranjang dalam hukum
perkawinan tidak selalu dikenal dalam setiap sistem hukum.
2. Tempat benda terletak (lex situs, lex rei sitae)
3. Tempat dilangsungkannya (dibuatnya) perbuatan (lex loci
aktus, lex loci contractus) Ingat dengan perkembangan
teknologi dibidang komunikasi, tempat dibuatnya perjanjian
sering sulit ditentukan.
4. Tempat pelaksanaan perjanjian (lex loci solutionis)
5. Tempat diresmikannya pernikahan (lex loci celebrationis)

31
Penerapan/Pemanfaatan/Fungsionalisasi Titik Taut:
1. Ditentukan dahulu titik taut primer yang menentukan
adanya peristiwa HPI
2. Kualifikasi fakta (akan dibicarakan tersendiri, singkatnya
mengalih bahasakan dari fakta sehari-hari ke katagori
hukum )
3. Penentuan titik taut sekundernya
4. Ditentukan kaedah hukum yang akan digunakan
5. Perkara diputuskan.

Kualifikasi
Qualificatie (Belanda)
Qualification/Classification (Inggris)

Kualifikasi sebenarnya adalah mengalih


bahasakan/mengkategorikan dari fakta sehari-hari ke dalam
istilah/kategori hukum.
Misal: ada suami isteri mempunyai harta, mempunyai dua
orang anak. Sisuami meninggal. Bagaimana hartanya secara
hukum? Termasuk dalam masalah (hukum) apa berkaitan
dengan hartanya?

32
Contoh lain: Bagong pedagang eceran beras, membeli satu ton
beras dari Petruk (grosir beras) dengan harga sepuluh juta
rupiah yang akan dibayar enam hari kemudian. Saat jatuh
tempo, Petruk mengutus pegawainya untuk menagih, tetapi
Bagong tidak bisa membayar, setelah melalui somasi Bagong
tetap tidak membayar. Secara hukum terjadi apa?

Kualifikasi penting karena:


Kadang dalam dua sistem hukum istilahnya sama tetapi
berbeda pengertian.
Misal daluwarsa/verjaring dalam sistem Eropa Kontinental
termasuk hukum materiil, tetapi dalam sistem Anglo Saxson
termasuk hukum formil.

Kadang konsep/lembaga hukum tertentu tak dikenal pada


sistem hukum yang lain, misal lembaga pengangkatan anak
yang dikenal dalam hukum adat, tidak dikenal dalam KUHPdt.

Kadang berbeda dalam menetapkan suatu peristiwa hukum,


misal peralihan hak milik dan saat terjadinya perjanjian berbeda
antara hukum Perancis dan Hukum Belanda.
Perancis seketika
33
Belanda dengan penyerahan.

Jadi masalah pokoknya adalah:


1. Adanya kesulitan menentukan ke dalam masalah/kategori
apa suatu perkara/fakta harus digolongkan?
2. Apa yang harus dilakukan bila suatu masalah terkait
dengan lebih satu sistem hukum dan masing-masing
sistem hukum mengatur berbeda?

Berdasar sistem hukum mana/apa kualifikasi dalam perkara HPI


harus dilakukan?
Contoh Klasik:
Perkara Rosa Anton vs Bartholo (The Maltese Mariage Case) th
1889. Bayu Seto h. 60
Kasus posisinya:
Suami isteri saat pernikahan berdomisili di Malta (jajahan
Inggris).
Kemudian pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan menjadi WN
Perancis
Suami membeli sebidang tanah di Perancis

34
Setelah suami meninggal, jandanya menuntut ¼ bagian dari
hasil tanah (sebagai hak janda atas harta perkawinan)
Perkara diajukan di Pengadilan Perancis (Aljazair).

Titik Taut yang tampak


Dengan Inggris (Malta) tempat peresmian perkawinan
Dengan Perancis (Aljazair) domisili, kewarganegaraan tempat
benda, tempat menuntut.
Yang jadi masalah:
Yang jadi masalah:
Bagi Hukum Perancis fakta tadi dikualifikasikan sebagai
“Pewarisan Tanah”, sedang menurut Hukum Inggris fakta tadi
dikualifikasi sebagai masalah “hak janda atas harta perkawinan.
Jadi sebagai masalah apa fakta tadi harus dikualifikasi?
Hakim Perancis (forum) memutuskan fakta itu sebagai masalah
harta perkawinan. Jadi hakim melakukan kualifikasi menurut
Hukum Inggris (tempat perkawinan, lex loci celebrationis) dan
Hukum Inggris juga menjadi hukum yang mengatur perkara
tersebut.
Apa logikanya/apa nalarnya?

35
Teori Kualifikasi:
Kualifikasi Lex Fori
Kualifikasi Lex Causae
Kualifikasi Bertahap
Kualifikasi Otonom/Analitik
Kualifikasi HPI
(Bayu Seto h. 62 sd. 74)

Teori Kualifikasi Lex Fori (Forum=tempat=Pengadilan)


Tokohnya F. Kahn (Jerman), Bartin (Perancis)
Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan
yang mengadili perkara (Lex Fori) sebab kualifikasi merupakan
bagian dari hukum intern forum.
Beberapa pengecualian:
Kualifikasi berkaitan dengan benda (benda bergerak maupun
benda tak bergerak)
Kualifikasi berkaitan dengan kontrak (ingat lex loci contractus)
Kualifikasi bila ada pilihan hukum
Kualifikasi bila ada konvensi internasional

36
Kualifikasi bila ada pengertian khusus yang digunakan
mahkamah internasional

Kebaikan kualifikasi lex fori: Hakim tentunya sangat memahami


hukumnya sendiri.

Kelemahannya: mengabaikan hukum lain yang mungkin


mengatur berbeda.
Contoh kasus Ogden vs Ogden (1908)
Contoh kasus Ogden vs Ogden (1908) Bayu Seto h. 64
A berusia 19 th berdomisili di Perancis.
A menikah dengan B seorang wanita berkewarganegaraan
Inggris.
Pernikahan dilaksanakan di Inggris.
A menikah dengan B tanpa ijin dari orang tua A (ijin orang tua
ini diwajibkan oleh Ps 148 Code Civil Perancis).
A kemudian mengajukan pembatalan perkawinan terhadap B di
pengadilan Perancis, berdasarkan alasan perkawinannya
dilaksanakan tanpa ijin orang tua A. Permohonan dikabulkan
pengadilan Perancis.

37
Kemudian B menikah dengan seorang lelaki C warganegara
Inggris. Pernikahan dilaksanakan di Inggris.
Belakangan C merasa bahwa B masih terikat perkawinan
dengan A, karena menurut hukum Inggris perkawinan B dan A
belum bubar (ijin orang tua hanya persyaratan formal).
C mengajukan pembatalan perkawinannya dengan B di Inggris.

Pertama-tama hakim harus memutuskan lebih dahulu ; apakah


perkawinan A dan B sah atau tidak.

Berkaitan dengan masalah tersebut, HPI Inggris mengatur:


1. Mengenai persyaratan materiil perkawinan, harus
didasarkan lex domicilii (dalam hal ini hukum Perancis).
2. Mengenai persyaratan formil harus didasarkan hukum
tempat perkawinan dilaksanakan (Hukum Inggris).

Hakim Memutuskan:
Perkawinan antara A dan B dinyatakan tetap sah sebab ijin
orang tua menurut hukum Inggris (Lex Fori) hanya sebagai
persyaratan formal.

38
Karena itu perkawinan antara B dan C dianggap tidak sah dan
harus dinyatakan batal (permohonan C dikabulkan) hakim
menggunakan Lex Fori.

Teori Kualifikasi Lex Causae(= untuk kepentingan)


Kualifikasi dilakukan menurut sistem hukum tempat pengertian
berasal, atau keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan
perkara.
Tokohnya Martin Wolff dan G.C. Chesire.
Pandangan ini menyatakan bahwa apabila dalam suatu kasus
HPI hakim negara A (Forum) memutuskan hukum negara B yang
harus diberlakukan, maka materi-materi HPI yang dipersoalkan
harus dikualifisir menurut sistem hukum negara B.
Contoh Kasus klasik Nicols vs Nicols 1900 Bayu Seto h. 68
Suami istri Warganegara Perancis
Menikah di Perancis tanpa ada perjanjian perkawinan(?)
Suami istri pindah ke Inggris dan suami meninggal di Inggris,
dengan testamen mengabaikan semua hak istri atas harta
perkawinan
Istri mengajukan gugatan di pengadilan Inggris menuntut
haknya atas harta bersama.

39
Gugatan itu masalah apa, harta perkawinan atau warisan?
Bila dikualifikasi menurut hukum Perancis (negara asal) maka
masalahnya tentang harta perkawinan. Bila dikualifikasi
menurut hukum Inggris (lex Fori) maka termasuk masalah harta
warisan. Hakim memutus berdasarkan hukum Perancis.
Menurut kaidah HPI Inggris, hak milik atas benda sepasang
suami istri, harus diatur dalam suatu kontrak (tertulis maupun
diam-diam). Bila kontrak tersebut tidak ada, maka hukum yang
harus berlaku adalah hukum tempat dilaksanakan pernikahan
(Lex Loci Celebrationis) dalam hal ini hukum Perancis.
Teori Kualifikasi Bertahap
Tokohnya Adolph Schnitzer
Teori ini bertitik tolak dari keberatan-keberatan terhadap
kualifikasi lex causae.
Lex causae yang akan ditetapkan juga harus melalui kualifikasi
dulu.
Jadi mau tidak mau kualifikasi harus ditetapkan berdasar lex
fori dulu.
Maka yang dimaksud bertahap adalah mula-mula dengan lex
fori kemudian dengan lex causae.

40

Anda mungkin juga menyukai