Anda di halaman 1dari 16

MATERI 2

Sejarah Perkembangan
Hukum Perdata Internasional
RUMADI
Sejarah Perkembangan HPI
MASA KEKAISARAN ROMAWI (Abad ke-2 SM-6 SM
Pola hubungan internasional dalam wujud sederhana sudah mulai tampak dengan
adanya hubungan-hubungan antara
Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan
khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Pada dasarnya hukum yang dibuat untu para
cives Romawi iaitu yang dst Ius Civile telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan
“antar bangsa”, yang kemudian berkembang menjadi Ius Gentium.
Prinsip Hukum Perdata Internasional saat ini berdasarkan asas teritorial. Beberapa
asas HPI yang berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam HPI
Modern antaranya:
MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (Abad ke-6-10)

 Akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa barbar bekas
jajahan Romawi.

 Wilayah bekas Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa yang dibedakan
secara genealogis dan bukan teritorial.

 Dalam menyelesaikan sengketa antar suku bangsa, ditetapkan terlebih dahulu


sistem-sistem hukum adat mana yang relevan dengan perkara, kemudian baru
dipilih hukum mana yang harus diberlakukan.

 Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis:
Beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis:
PERTUMBUHAN ASAS TERITORIAL
(Abad ke-11-12)

Eropa Utara Eropa Selatan

Feodalistik
Pusat Perdagangan

Tuan-Tuan Tidak adanya


Tanah penngakuan Kota Otonom Hukum lokal
Hak Asing

Asas Teritorial
HPI tidak
berkembang
Hal ini sering terjadi persoalan ttg recognition terhadap hukum dan hak asing (dari kota lain)
dan dalam suasana ini asas-asas hukum digunakan untuk menjawab perkara hukum
perselisihan. Hal ini yang dianggap tumbuhnya teori HPI yang di kenal pada abad 13-15..
PERTUMBUHAN TEORI STATUTA DI ITALIA
(Abad ke-13 -15)

Semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar kota di Italia menyebabkan asas


teritorial perlu ditinjau kembali.

Contoh: Seorang warga Bologna yang berada di Florence, dan mengadakan perjanjian di
Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial, selama ia berada di kota Florence ia
harus tunduk pada kewenangan hukum di kota Florence. Maka mucul persoalan-
persoalan:

Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di Bologna ?
Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna ?

Dari persoalan diatas mendorong para ahli hukum Italia iaitu kelompok post-glossators,
untuk mencari asas-asas hukum yang lebih adil, wajar (fair and reasonable) dan ilmiah
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum.
• Gagasan Accursius (1228) tentang dasar STATUTA “Bila seseorang yang berasa dari
kota tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut
berdasarkan hukum dari kota lain itu, karena ia bukan subjek hukum dari kota lain
itu”

• Gagasan Accursius menarik perhatian oleh Bartolus de Sassofereto (1315-1357)


sebagai pencetus teori Statuta dan dijuluki Bapak HPI.

• Bartolus mencetuskan Teori Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama yang
mendekati persoalan-persoalan hukum perselisihan secara metodik dan sistematik.
Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok:
1. STATUTA PERSONALIA: Statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan
hukum atau status personal orang. Objek pengaturan: orang dalam persoalan-
persoalan hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga. Lingkup berlaku: ekstra-
teritorial, berlaku juga di luar wilayah. Statuta personalia hanya berlaku terhadap
warga kota yang berkediaman tetap di wilayah kota yang bersangkutan, namun
statuta ini akan tetap melekat dan berlaku atas mereka, diamana pun mereka
berada.

2. STATUTA REALIA: Statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda. Objek


pengaturan: benda dan status hukum dari benda. Lingkup berlaku: prinsip
territorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota kekuasaan penguasa. Statuta ini
akan tetap berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupuan pendatang / orang
3. STATUTA MIXTA : Statuta-statutayang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan
hukum. Ojek pengaturan: perbuatan-perbuatan hukum oleh subjek hukum atau
perbuatan perbuatan hukum terhadap benda-benda. Lingkup berlaku: prinsip
teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi atau dilangsungkan
dalam wilayah pengusaan kota

TEORI HPI UNIVERSAL (Abad XIX) Pencetus Teori HPI Universal adalah
Freidrich Carl v. Savigny di Jerman, didahului oleh pemikir ahli hukum
Jerman lain, C.G. von Wachter.
Pandangan C.G. Von Wachter Mengkritik Statuta Italia, karena
dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ia menolak
sifat ekstrateritorial karena akan menyebabkan timbulkan
kewajiban hukum di negara asing. Asumsi Wachter : Hukum
intern forum hanya dapat diterapkan pada kasus- kasus hukum
lokal saja. Karena itu, dalam perkara-perkara HPI, forumlah
yang harus menyediakan kaidah-kaidah HPI atau yang
menentukan hukum apa yang harus berlaku
Wachter berusaha meninggalkan klasifikasi ala teori Statuta,
dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum tertentu. Titik
tolak penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan adalah
hukum dari tempat yang merupakan LEGAL SEAT (tempat
kedudukan) dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu.
Perkara HPI sebagai suatu hubungan hukum mulai ada sejak
perkara itu diajukan di suatu forum tertentu. Karena itu forum
pengadilan itulah yang harus dianggap sebagai tempat
kedudukan hukum (LEGAL SEAT) perkara yang bersangkutan.
Karena forum merupakan “LEGAL SEAT”, maka Lex Fori-lah
yang harus diberlakukan sebagai hukum yang berwenang
menentukan hukum apa yang dapat berlaku dalam perkara
PANDANGAN F.C VON SAVIGNY Menggunakan konsepsi
“Legal Seat” dengan asumsi bahwa untuk setiap jenis
hubungan hukum, dapat ditentukan Legal Seat / Tempat
Kedudukan Hukum, dengan melihat pada hakikat
hubungan itu. Bila hendak menentukan aturan hukum
yang seharusnya diberlakukan, Hakim wajib
menentukan tempat kedudukan hukum / legal seat dari
hubungan itu. Caranya : dengan melokalisasi tempat
kedudukan hukum dan hubungan hukum itu dengan
bantuan titik-titik taut. Bila tempat kedudukan hukum
dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat
ditentukan, maka Sistem Hukum dari Tempat itulah yang
digunakan sebagai Lex Cause.
• Setelah tempat kedudukan hukum itu dilokalisasi, maka
dibentuklah asas hukum yang bersifat universal yang dapat
digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku.

• Terpusatnya titik-titik taut pada suatu tempat tertentu akan


menunjukkan bahwa tempat tersebutlah yang menjadi
centre of gravity (pusat gaya berat).

• Perlu disadari bahwa sebuah kaidah HPI berdasarkan


pendekatan ini sebenarnya digunakan untuk menunjuk ke
arah sistem hukum suatu negara yang akan menjadi Lex
Cause, atau yang akan digunakan untuk menyelesaikan
suatu persoalan hukum.

• Lex Cause ini yang harus diberlakuan untuk menjawab


semua legal issues dari perkara yang dihadapi
• STATUTA PERANCIS (Dumolin): Perkara
dikualifikasikan sebagai statuta Personalia. Lex
Cause: Inggris (tempat kewarganegaraan Sarah)

• STATUTA PERANCIS (D’Argentre): Perkara


dikualifikasikan sebagai statuta Realia.

• Lex Cause : Indonesia


• HPI UNIVERSAL :
Titik Taut :
-Kewarganegaraan Tergugat (Ing)
-Kewarganegaraan Penggugat (Ind)
-Tempat Pembuatan Perjanjian (Ind)
Legal Seat = Lex Cause = Indonesia
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Semoga dapat di fahami

Anda mungkin juga menyukai