Anda di halaman 1dari 3

Nama : Naila Zahiyatur Rosyida

NIM : 20103040032
Program Studi/Kelas : Ilmu Hukum/Hukum Perdata Internasional B

TUGAS RESUME 3 HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. SEJARAH HPI PADA MASA YUNANI DAN ROMAWI

Meskipun pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan


Aristoteles menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, namun mereka belum
meletakkan suatu fondasi sistem hukum yang konkret. Bangsa Romawi-lah yang berhasil
membuat suatu sistem hukum konkret, yang berhasil bertahan sampai sekarang.

Di dalam sejarah perkembangan HPI, perdagangan (pada taraf permulaan adalah


pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI.
Pada jaman Romawi Kuno, segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang
Romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilan khusus yang disebut praetor
peregrinis. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang
berlaku bagi para cives Romawi, yaitu Ius Civile yang telah diadaptasikan untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang melibatkan orang-orang yang tunduk pada yurisdiksi hukum yang
berbeda-beda, yang kemudian berkembang menjadi Ius Gentium.

Ius Gentium memuat kaidah-kaidah hukum yang dikategorikan:

 Ius Privatum (mengatur persoalan-persoalan hukum orang-perorangan): menjadi


cikal bakal dari HPI yang berkembang di dalam tradisi hukum Eropa Kontinental.
 Ius Publicum (mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai
kekuasaan publik): menjadi sekumpulan asas dan kaidah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara Kekaisaran Romawi dengan negara lain, sehingga
merupakan cikal bakal dari Hukum Internasional (Publik).

Beberapa asas HPI yang tumbuh dan berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting
dalam HPI modern adalah:

a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-
benda tidak bergerak (immovables) tunduk pada hukum dari dimana benda itu
berada/terletak.
b. Asas Lex Domicilii yang menetapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus
diatur oleh hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap. Yang menjadi
persoalan, dalam hukum Romawi kedudukan seseorang dapat dikaitkan dengan dua
titik taut, yaitu kewarganegaraan (origo) yang dapat ditentukan karena tempat orang
tua (ayah / ibu), adopsi, penerimaan atau pemilihan; atau Domicili adalah komunitas
yang telah dipilih seseorang sebagai tempat kediaman tetap. Perbedaan titik taut ini
menyebabkan adanya persoalan tentang hukum mana yang harus digunakan. Hukum
Origo atau Domicili ?
c. Asas Lex Loci Contractus yang menetapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian
(yang melibatkan pihak-pihak warga dari propinsi yang berbeda) berlaku hukum dari
tempat pembuatan perjanjian.
B. SEJARAH HPI PADA KONSEP AWAL HUKUM ANTAR TATA HUKUM

Dalam sejarahnya HATAH (Hukum Antar Tata Hukum) adalah salah satu mata kuliah
tertua yang sudah diajarkan sejak pendidikan tnggi hukum diselenggarakan di Nusantara. Di
masa Hindia Belanda, HATAH mempunyai dua nama – Intergentel Recht (Hukum
Antargolongan) dan Internatonaal Privaatrecht (Hukum Perdata Internasional).

HATAH adalah nama ilmiah yang diciptakan Sudargo Gautama untuk menggantkan,
sekaligus mencakup, hukum perselisihan (collisierecht), hukum pertkaian (confictenrecht,
confict of laws), dan hukum perdata internasional (private internatonal law). Harapan beliau,
nama ilmiah tersebut dapat memberikan gambaran tentang lingkup permasalahan hukum yang
menjadi bahasan. Secara ilmiah, lingkup pembahasan HATAH di Indonesia terbagi menjadi
dua.HATAH Intern, yang menganalisis permasalahan di lingkup nasional akibat adanya
pluralisme hukum, mencakup hukum antargolongan (intergentel recht, interpersonal law,
interracial law), hukum antarwaktu (intertemporal law), dan hukum antartempat (interlocal
law).

Gautama mendefnisikan HATAH Intern sebagai: “Keseluruhan peraturan dan


keputusanhukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga)
negara dalam satu negara, memperlihatkan ttk-ttk pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-
kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-waktu, tempat pribadi dan soal-soal.”

Sementara HATAH Ekstern adalah nama ilmiah Indonesia untuk menggantkan istilah
hukum perdata internasional. Berbeda dengan HATAH Intern yang berkutat dengan masalah-
masalah hukum secara nasional, HATAH Ekstern menganalisis permasalahan hukum yang
mempunyai unsur asing. Gautama mendefnisikannya sebagai: “Keseluruhan peraturan dan
keputusanhukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga)
negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan ttk-ttk pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-
kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal.”

C. SEJARAH HPI ABAD KE-19 HINGGA SEKARANG


Mulai abad ke-19 lahir sebuah teori yaitu teori HPI Universal. Tokoh yang mencetuskan
teori ini adalah Friedrich Carl V. Savigny yang berasal dari Jerman. Pemikiran Savigny ini juga
berkembang setelah didahului oleh pemikiran tokoh lain yang juga berasal dari Jerman yaitu
C.G. Von Wacher yang mengkritik bahwa teori statuta italia dianggap menimbulkan
ketidakpastian hukum. Watcher berasumsi bahwa Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan
hanya diterapkan pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu kaidah perkara Hukum
perdata internasional, forumlah yang harus menyediakan kaidah hukum perdata internasional
Pandangan F.C Von Savigny adalah bahwa:
 Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam
suatu perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum.
 Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan
caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum
itu melalui bantuanm titik-titik taut.
 Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat
ditentukan, sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
 Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan
titik-titik taut yang sama pada hubungan hukum yang sejenis.
 Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut
pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam
rangka menentukan lex causae.
 Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai
perkara HPI .

Anda mungkin juga menyukai