NIM : 20103040032
Program Studi/Kelas : Ilmu Hukum/Sejarah Hukum A
Perubahan besar datang dari luar melalui akulturasi, yaitu proses pembelajaran di mana
pengetahuan ditransfer dari satu budaya ke budaya lain melalui kontak langsung atau sekunder.
Sedangkan enkulturasi yaitu mempelajari cara menggunakan pola perilaku budaya yang
diterima yang ditentukan oleh budaya Anda dan memberi Anda anggota penuh dari masyarakat
Anda. Akulturasi ini biasanya karena kontak langsung dengan kelompok lain yang biasanya
lebih kuat. Biasanya perubahan signifikan yang telah terjadi di negara disebabkan oleh: (1)
Kolonialisme; (2) Globalisme di dunia pascakolonial; (3) Perubahan di negara studi
kemungkinan besar terkait dengan modernisasi (pembuangan tradisi) dan globalisasi
(penghancuran hambatan antara bangsa, masyarakat dan budaya).
Beberapa teori perubahan sosial seperti evolusionisme, fungsionalisme, partikularisme
historis dan teori konflik Marxian adalah beberapa teori yang dikembangkan untuk
menjelaskan sifat masyarakat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada paruh terakhir abad ke-19 (plus tahun 1860), peneliti sosial mulai tertarik untuk
menjelaskan sifat masyarakat dan budaya manusia. Ini adalah masa ekspansi kolonial, terutama
di Afrika, dan orang-orang Eropa ingin tahu tentang kelompok sosial yang relatif terisolasi.
Industrialisasi juga memperkenalkan cara hidup yang berbeda dalam apa yang menjadi dunia
maju. Beberapa teori tersebut adalah sebagai berikut:
1. Evolusionis
Pada teori ini sebagian besar peneliti sosial ‘kursi’. Evolusionis sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai etnosentris era kolonial dan menerapkan pendekatan ilmiah untuk menyelidiki
masyarakat. Beberapa tokoh pentingnya ada Edward Tyler (1832 - 1917) yang berpendapat
semua masyarakat berevolusi dalam arah yang tidak linier dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks, misalnya pertanian ke industri, dan Herbert Spencer (1820 - 1903) yang
melihat masyarakat pada akhirnya berkembang menjadi tahap industri, ditandai oleh
kebebasan individu. Dia menciptakan ungkapan 'survival of the fittest'.
Evolusionis menganggap masyarakat Eropa lebih unggul daripada yang lain mendukung
pandangan kekuatan kolonial. Reaksi terhadap para evolusionis muncul dalam 2 bentuk
berbeda:
1. Partikularisme historis, dari USA. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap budaya
tertentu sebagian terdiri dari unsur-unsur yang berbeda dari budaya lain. Beberapa
tokoh pentingnya yakni Franz Boas (1858 - 1942) dan Margaret mead (1901 -
1978). Mereka mencari ke dalam untuk menggambarkan budaya (pandangan 'emik'
daripada 'etik'). Pendekatan subyektif mereka secara efektif membuang gagasan
bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Mereka juga mempraktikkan
relativisme budaya, yang berarti bahwa kepercayaan dan perilaku hanya dapat
dipahami dalam konteks budaya tertentu. Beberapa ide ini dapat ditemukan dalam
teori post-modernisme.
2. Fungsionalisme struktural, dari Inggris. Mengadakan pandangan bahwa kehidupan
sosial tertib dan mengikuti suatu pola dan dapat dipelajari secara ilmiah. Beberapa
tokoh pentingnya yakni Emile Durkheim (1858 - 1917) dan Bronislaw Malinowski
(1884 – 1942). Mereka menyamakan institusi sosial dalam masyarakat dengan
organ tubuh manusia, yaitu berfungsi dengan baik dalam cara yang saling
melengkapi untuk menghasilkan unit yang pada dasarnya stabil. Fungsionalisme
meremehkan konflik dan mengabaikan perubahan sosial. Baik partikularisme
historis dan fungsionalisme struktural menekankan pentingnya kerja lapangan
(observasi partisipan) sebagai alat untuk menyelidiki masyarakat.
Karl Marx (1818 - 1883) adalah seorang revolusioner yang ide-ide teoretisnya diarahkan
untuk memahami dan kemudian menggulingkan kapitalisme di zaman industri. Gagasan-
gagasan Marxian telah memengaruhi perspektif teoretis selanjutnya, misalnya feminisme.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari sistem keyakinan Islam. Istilah
“Islam” itu sendiri berarti penyerahan diri (submission), dan orang yang berserah diri itu
disebut “Muslim.” Sejak awal Islam membawa karakter ketundukan hukum. Seorang
Muslim adalah orang yang menyerah kepada kehendak/hukum Tuhan yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad, dimana kehendak Tuhan itu dibakukan dalam kitab Al-Qur’an
yang kemudian diterangkan oleh Nabi melalui Haditsnya. Oleh karena itu untuk menganut
agama Islam pada dasarnya adalah dengan berserah diri kepada Tuhan, dan mau mengikuti
hukum-hukumnya. Dalam keyakinan Islam, hukum bukanlah sekedar konstruksi sekuler
untuk mengatur kehidupan masyarakat di dunia yang fana ini, tapi merupakan jalan yang
lurus menuju akhirat yang diyakini kekal dan abadi. Dunia sekarang akan dilanjutkan ke
dunia berikutnya dan melalui hukumlah kehidupan seorang muslim bisa berjalan baik di
dua dunia itu.
Islam sebagai agama hukum: hukum dan teologi tidak dapat dipisahkan. Hukum
Islam adalah hukum yang berasal dari suatu keyakinan akan adanya aturan dari Allah
terhadap masalah keduniaan yang dihadapi umat Islam di dunia. Hukum Islam memahami
hukum sebagai suatu hal yang berasal dari langit, karena itu bersifat sakral. Sesuai dengan
ajaran Aqidah Islam, seorang Muslim tidak diperbolehkan mencari solusi suatu persoalan
dari luar Islam, karena pada dasarnya semua jawaban dari permasalahan itu bisa ditemukan
dalam Islam itu sendiri.
Dalam Islam, perbuatan hukum tidak dibedakan antara privat dan publik, juga antara
perbuatan yang berhubungan dengan ibadah (rites) maupun diluarnya. Namun secara
modern dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: perbuatan hukum yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan (habl minallah) dan perbuatan yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya (habl minannas). Dalam hal
ini harus dibedakan antara Syari’ah dan Fiqh:
o Syari’ah, secara bahasa berarti jalan lurus, merujuk kepada kanon hukum Islam.
o Fiqh, hakekatnya adalah pemahaman manusia tentang hukum Allah, merupakan
ilmu jurisprudensi Islam.
Sumber Hukum Islam
Konsep dasar dari hukum sakral seperti itu digambarkan di atas bukannya tanpa
persoalan, karena untuk menerapkan hukum itu secara literal atau spiritnya dalam realitas
kehidupan sehari-hari manusia bukanlah persoalan sederhana. Sebagian persoalan muncul
karena hukum, apapun sifatnya, tidak pernah dipisahkan dari konsep keadilan yang selalu
berubah seiring dengan perubahan kondisi manusia. Bahkan nabi sekalipun, walaupun hal
ini bisa diperdebatkan, tidak pernah dikirim untuk menciptakan sebuah sistem kodifikasi
hukum yang baru dan lengkap bagi umatnya. Hal itu disebabkan karena nabi tidak datang
pada masyarakat yang tanpa hukum. Saat dia berdiri mengkhotbahkan agama baru, di sana
sudah ada berbagai tradisi hukum. Jadi Nabi memang tidak bertujuan untuk menciptakan
sistem hukum yang sepenuhnya baru; malahan seperti dinyatakan oleh Schacht, seorang
nabi hanya mengajari manusia bgaimana bertindak, apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dihindari, agar bisa selamat di hari perhitungan (yaum al-hisab) dan masuk surga.
Jadi nabi sepertinya lebih memperhatikan aspek moral dalam tindakan manusia ketimbang
memperkenalkan pendekatan hukum yang mekanis untuk mengadili tindakan manusia
tersebut. Pada masa nabi memang tidak tidak ada tuntutan yang kuat terhadap sebuah
sistem hukum. Namun begitu, kebutuhan terhadap aturan-aturan hukum yang baru mulai
dirasakan semenjak masa-masa awal setelah terbentuknya umat Islam di Madinah. Oleh
karenanya kita menemukan penekanan yang kuat terhadap moralitas dalam seluruh bidang
kewajiban sipil pada hukum Islam, sehingga mustahil bagi kita membedakan antara aspek
hukum yang dirancang untuk beribadah kepada Tuhan dan hukum yang dibuat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Demikianlah, landasan ilmu hukum Islam (fiqh) pada dasarnya dibangun pada
periode kenabian Muhammad semenjak diturunkannya wahyu (609/610 M) sampai
meninggalnya Nabi (632 M). Jadi nabi hanya punya waktu sekitar 23 tahun untuk
mengembangkan sistem hukum, meski banyak sekali persoalan hukum pada masanya
belum terselesaikan. Di pihak lain, aktivitas legislatif umat muslim adalah persoalan yang
sangat penting dan aktivitas itu tidak bisa dihentikan hanya karena nabi telah wafat. Seiring
berlalunya waktu dan semakin jauh umat muslim dari era nabi, semakin rumit persoalan
hukum yang harus mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Jadi kalau ahli
hukum generasi pertama pada pada dasarnya mengenalkan kitab suci saja untuk
mendukung opini hukum mereka, maka dengan perkembangan dan pengawasan
masyarakat Islam ke luar Jazirah Arab kebutuhan terhadap hukum yang bisa dielaborasi
dan sesuai dengan perkembangan masa terasa sangat mendesak. Akibatnya ilmu
jurisprudensi Islam (fiqh) menjadi sangat penting ketika ahli hukum islam mulai
mengarahkan usaha mereka untuk mencarikan solusi bagi banyak kasus hukum yang lebih
spesifik. Karenanya ilmu hukum Islam membutuhkan dukungan teknik hukum yang bisa
memastikan efektivitas metodologis dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Teknik ini
dikenal dalam kamus hukum Islam dengan istilah ushul al-fiqh yang secara literal berarti
“akan hukum Islam” dan bisa diterjemahkan sebagai ilmu tentang sumber hukum Islam.
Ilmu ini dikembangkan dengan tujuan untuk menyediakan serangkaian panduan untuk
mengatur pelaksanaan ijtihad (penalaran hukum). Melalui ijtihad, bisa ditemukan solusi-
solusi khusus bagi isu-isu baru yang belum disentuh secara khusus oleh hukum yang ada.
Oleh karena itu kita bisa temukan hukum islam itu tidak hanya terikat kepada teks suci
sebagai sumbernya. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah sumber pertama dan utama yang
dari sana bisa ditemukan hukum, tapi ada pula sumber-sumber lain seperti ijma’
(kesepakatan ulama dan para cendekiawannya) dan qiyas (metode inferensi) yang bisa
dimanfaatkan untuk menemukan hukum bagi kasus-kasus yang tidak didiskusikan dalam
kitab suci. Dengan kata lain, sumber-sumber material bagi hukum Islam dengan berasal
dari Alquran dan Sunnah sementara sumber-sumber metodologisnya berasal dari ijma’ dan
qiyas. Melalui ijtihad, fiqh dapat terus dikembangkan disesuaikan dengan kehendak hukum
Tuhan yang tergambar di dalam Syari’ah.
a. Hukum Keluarga
Dipandang sebagai hukum yang paling sakral karena diatur secara komprehensif
dalam Qur’an dan Hadits.
Dalam sejarah pembentukannya, Nabi dipercaya tidak berpretensi menghilangkan
segala praktik hukum yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat, namun
hanyalah membatalkan praktik-praktik hukum yang berlawanan dengan prinsip-
prinsip akal sehat dan kesadaran. Nabi menghapuskan sejumlah praktik adat
masyarakat Arab sebelumnya seperti poliandri, perzinahan, pembunuhan bayi
perempuan, adopsi, perceraian berulang-ulang dan lain-lain. Nabi juga melakukan
modifikasi hukum terhadap praktik-praktik yang sudah ada pada masyarakatnya
ketika itu seperti poligami dan pembayaran mahar.
tujuan utama pernikahan di dalam Islam adalah mempertahankan kemurnian dan
“kebersihan” hubungan geneologis manusia.
Hukum Kewarisan dianggap sangat sakral karena diatur secara terperinci dalam
Qur’an. Namun, ayat-ayat yang diwahyukan itu tidak menghilangkan sepenuhnya
berbagai praktik adat masyarakat Arab pra-Islam yang berfungsi sebagai hukum
sebelum datangnya misi Nabi Muhammad. Islam mereformasi sistem kewarisan
yang berlaku dalam masyarakat Arab saat itu.
Reformasi kewarisan yang diperkenalkan oleh hukum Islam bisa disimpulkan
sebagai berikut: (1) suami dan istri masing-masing bisa mewarisi, (2) keturunan
laki-laki dan perempuan dalam kasus tertentu sama-sama punya hak waris, meski
dalam banyak kasus keturunan laki-laki lebih sering dipilih, (3) orang tua dan
kerabat dari garis keturunan ke atas akan mewarisi harta peninggalan meski ada
keturunan laki-laki; dan (4) sebagai ketentuan umum, perempuan diberi setengah
bagian laki-laki.
Digolongkan sebagai sistem kewarisan intestate
b. Hukum Pidana
Hukum pidana pada dasarnya dirancang untuk melindungi keselamatan manusia,
baik di alam ini maupun di alam akherat nanti. Jadi hukum pidana dalam Islam
dibuat untuk melindungi lima aspek pokok, yaitu agama, nyawa, akal, keturunan
dan hak milik.
Hukuman bertalian dengan pendidikan moral, karena itu lebih mengutamakan
hukuman fisik (corposal punishment), ketimbang penjara.
3 kategori perbuatan pidana: (1) Hudud; (2) Qishash; dan (3) Ta’zir. Hudud dan
Qishash dianggap sakral karena penentuan jenis kejahatannya dan bentuk
hukumannya didasarkan pada Qur’an dan Hadits.
Hudud, kejahatan yang secara khusus diatur dalam al-Quran dan Hadits. Termasuk
di dalam kategori ini kejahatan murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah,
fitnah (tuduhan palsu mengenai perzinahan), perampokan, dan minum alkohol.
Qisas, kejahatan yang hukumannya didasarkan pada pendekatan pembalasan
(retaliation). Bisa dalam berbagai bentuk, pula dalam bentuk restitusi (diyat) yang
diberikan kepada korban atau keluarganya. Kejahatan yang termasuk ke dalam
kategori ini pada dasarnya adalah semua tindakan yang menyerang kehidupan
manusia, yaitu pembunuhan (baik yang direncanakan sebelumnya atau tidak),
tindakan yang direncanakan untuk menyerang orang, pembunuhan tidak disengaja,
dan serangan tidak sengaja terhadap kemanusiaan.
Ta’zir, kategori ini mencakup kejahatan terhadap masyarakat secara umum
sehingga pendekatan hukumannya tidak pasti, dipersilahkan kepada hakim untuk
memberikan diskresi. Kejahatan yang termasuk ke dalam kategori ini biasanya
kejahatan yang lazim digambarkan oleh para ahli hukum sebagai kejahatan kecil
(minor felonies).
BAB IV – TRADISI HUKUM SIPIL
Hukum sipil (civil law) merujuk kepada sistem hukum Eropa yang berasal dari hukum
Romawi dan berbeda dari sistem Common Law (Inggris). Istilah “hukum sipil” berasal dari
bahasa Latin jus civile, yang berarti hukum yang hanya bisa diterapkan pada rakyat Romawi,
untuk membedakan dengan jus gentium (hukum yang diterapkan dalam kasus yang melibatkan
subjek bangsa Romawi di berbagai provinsi, dan bisa diterapkan kepada penduduk asing,
penduduk provinsi dan penduduk Roma).
Alan Watson lebih cenderung memandangnya sebagai sistem hukum yang berasal dari
Kode Justinian, Corpus Juris Civilis. Dalam pandangannya, pada dasarnya tipe bahan mentah
untuk pembentukan tradisi hukum sipil adalah hukum Romawi yang telah diperbarui dan
dikodifikasi ini yang disponsori oleh kerajaan Byzantium Justinian I, dan diterbitkan antara
tahun 529 dan 565 M., dan bukan hukum Romawi yang sebelumnya.
Institusi hukum hanya dilihat sebagai hasil ciptaan kecerdasan manusia, sebagai aturan
yang bisa didorong atau dibatalkan dan diganti dengan aturan yang baru kalau memang
akal menuntut demikian, tanpa merujuk kepada Tuhan atau otoritas suci.
Ideologi dasar: hukum merupakan produk akal, bukan produk agen sakral. Ideologi ini
memberi dampak pada perjuangan menuntut kebebasan individual, karena seluruh
manusia yang diberkati dengan akal bisa membuat pilihan mereka sendiri. Maka
penekanan bukan diletakkan pada kewajiban manusia, tapi pada hak; hak setiap
manusia untuk melakukan urusannya sendiri, hak untuk memiliki properti dan
mendapatkan perlindungan hukum atas hak miliknya.
Runtuhnya kekuasaan feodalisme di Eropa dan munculnya nation-state sebagai mode
pembentukan kesatuan wilayah suatu negara.
Negara bangsa modern muncul dan institusi hukum sipil menjadi bagian utama dan
sepenuhnya dari otoritas negara. Dengan kemunculan negara bangsa modern,
kekuasaan pun sepenuhnya terletak di tangan negara. Ideologi sentralisme negara pun
tidak bisa dihindari, di mana justifikasi bagi kemandirian hukum hanya diberikan
kepada negara demi ideologi sistem hukum nasional.
Dampaknya, kanon Romawi jus commune, yang sejak lama dianggap sebagai sumber
hukum utama di Eropa era feodal disingkirkan dan diganti dengan hukum nasional yang
sesuai dengan logika pembentukan positivisme hukum.
Masuk ke Indonesia melalui penjajahan Belanda. Sejak awal abad 19, melalui
penjajahan Perancis dan diberlakukannya Code Napoleon di Belanda, telah dikenalkan
tradisi hukum sipil ini di negeri Belanda, yang kemudian dibawa ke Nusantara melalui
pengadopsian sistem Republicanism dalam sistem kenegaraan di Indonesia dan
Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koephandel serta Wetboek van Strafrecht dalam
sistem hukum nasional.
Logika hukum negara sepenuhnya mengikuti logika hukum sipil, dimana negara
sepenuhnya menjadi pemangku utama dan satu-satunya dari proses penciptaan hukum.
Karakter Hukum
Formal. Hukum dibuat dan dikodifikasikan oleh lembaga negara tertentu yang diberi
otoritas untuk melakukan proses penciptaan hukum.
Sekuler. Hukum bukan merupakan produk dari institusi agama, tapi institusi negara
yang sama sekali tidak sakral, dan terbatas mengurusi persoalan-persoalan dunia saja.
Substansi hukum bersifat terbatas, hanya berlaku dalam jurisdiksi wilayah negara-
bangsa tertentu saja.
Hukum secara jeneral dibagi ke dalam dua bidang yaitu publik dan privat.
Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara
Privat, mengatur hubungan antara sesama individu warga negara.
Klasifikasi ketentuan berdasarkan pokok masalah hukum adalah salah satu aspek
paling utama dalam sistem hukum sipil. Apa yang menjadi ajaran dasar hukum sipil,
misalnya adalah semua sistem hukum yang berasal dari hukum sipil harus dibagi menjadi
hukum publik dan hukum privat. Meskipun cakupan bagian ini sangat berbeda di antara
sistem hukum yang berbeda-beda pula (karena ia mencerminkan analisis teoritis dan
pemikiran yang dikembangkan pada masing -masing negara), pada dasarnya klasifikasi
hukum berangkat dari logika yang sama, yaitu untuk memfasilitasi doktrin formalitas
hukum seperti dikembangkan dalam pengajaran dan penyampaian tradisi hukum sipil. Oleh
sebab itu, pembagian hukum menjadi hukum publik dan hukum privat bisa dilihat dari
sudut pandang teori etis mau pun praktis. Secara teoretis, susunannya memungkinkan untuk
membedakan secara lebih jelas antara subjek-subjek hukum yang berbeda yang secara lebih
natural mungkin bisa dikelompokkan di bawah judul hukum privat, hukum niaga, prosedur
kriminal dan lain sebagainya. Dengan susunan seperti itu juga ada keuntungan praktisnya,
yaitu bisa memasukkan persoalan-persoalan tertentu ke dalam jurisdiksi berbagai
pengadilan, atau penerapan berbagai prinsip penafsiran kepada aturan-aturan yang menjadi
bagian dari kategori-kategori tertentu.
Pembagian hukum sipil menjadi dua kategori pasar publik dan privat itu
sesungguhnya berakar pada tradisi hukum Romawi awal, karena sudah jamak diketahui
bahwa hukum Romawi membagi semua hukum menjadi dua bidang publik dan privat.
Pengacara Romawi memahami hukum publik sebagai badan hukum yang mengatur urusan
komunitas dan hubungan mereka serta tindakan otoritas dimana individu-individu adalah
subjeknya. Sementara hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pribadi yang berhadapan dengan pribadi lain sebagai individu, meskipun dalam kasus
hukum Romawi saat itu lebih terfokus untuk sekedar membedakan antara hukum
komunitas (negara) dan hak miliknya (ius publicum) dan hukum individu dan keluarganya
(ius privatum) ketimbang mensistematiskan hukum menjadi dua wilayah besar yang kita
temukan dalam tradisi hukum sipil modern. Oleh karena itu doktrin pembagian tersebut
tidak bisa diisolasi dari latar belakang kesejarahan tradisi hukum sipil itu sendiri. Hal ini
sangat benar kalau kita pertimbangan secara historis perbedaan antara hukum publik dan
hukum privat dalam praktiknya tidak dikenal Eropa pada abad pertengahan dan tradisi sipil
lahir tanpa keberadaannya. Makanya gagasan tentang pembagian hukum sebagian adalah
respon terhadap modal hukum kesatuan yang lazim dianut negara-negara Eropa feodal.
Hukum feodal di mana atribut kepemilikan dan atribut kekuasaan tidak dibedakan secara
memadai dan seringkali diposisikan secara sama ditantang oleh munculnya gagasan
pembagian hukum sipil. Bahkan di Eropa sekalipun sesungguhnya ada teori pembagian
hukum, tapi teori itu tidak berusaha membedakan wilayah publik dan wilayah privat bagian
yang ada dalam teori itu malah didasarkan pada hubungan berbagai kelompok orang seperti
halnya dalam hukum feodal, hukum manorial, hukum servitary dan lain sebagainya.
Bahkan di sini batasannya tidak jelas sehingga hukum sipil bisa mengintrodusir perubahan
besar-besaran hingga kini dalam organisasi hukum.
Karena hukum dibuat secara formal dalam bentuk Undang-Undang atau aturan
pemerintah lainnya, maka muatan aturan hukum berlain-lainan dalam suatu ikatan
wilayah negara tertentu, meskipun bentuk hukumnya sama yang diikuti di negara-
negara penganut tradisi Civil law ini.
Dalam perkembangannya, substansi hukum bergerak mengikuti arah modernisasi suatu
negara, disesuaikan dengan kemajuan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat yang bersangkutan.
Di banyak negara, modernisme dan sekulerisme menjadi logika yang dominan dari
perubahan substansi hukum tersebut. Sehingga Undang-Undang yang dibuat secara
otomatis mengikuti nilai-nilai hukum yang dibawa oleh kedua isme tersebut, misal:
Hukum keluarga dalam era kekinian menjadi bersifat indivualis dan sekuler, dengan
pemberian hak yang sejaajar antara laki-laki dan perempuan.
Hukum pidana juga mengalami perkembangan dengan penekanan kepada individu
pelaku kejahatan sehingga bentuk hukuman fisik semakin ditinggalkan.
Dari doktrin pembagian hukum itu kita bisa melihat bahwa dalam banyak hal undang-
undang sipil mengadopsi teori kategori yang logika dasarnya dikembangkan pada masa
Romawi. Namun muatan substantif hukum di negara berhukum sipil dibuat oleh dan untuk
diri mereka sendiri karena merasakan kebutuhan untuk menyesuaikan hukum dengan
perubahan waktu dan kondisi. Bahkan konstruksi tradisi hukum yang dijelaskan diatas bisa
terlihat dalam berbagai aspek hukum substantif tersebut. Ia tercermin dalam kehidupan
sehari-hari manusia karena terutama berdasarkan aspek inilah hukum itu mendefinisikan,
mengatur, dan mengelola hubungan individu-individu (seperti dalam hukum privat) dan
antara individu dan negara (seperti dalam hukum publik) karenanya hukum substantif pada
dasarnya hanyalah manifestasi weltanschauung yang dikembangkan pada masing-masing
daerah. Orang mungkin menggunakan logika yang sama dalam membangun hukum tapi
yang membuatnya berbeda dan beragam adalah muatannya.
BAB V – SEJARAH HUKUM INDONESIA