Anda di halaman 1dari 34

Nama : Naila Zahiyatur Rosyida

NIM : 20103040032
Program Studi/Kelas : Ilmu Hukum/Sejarah Hukum A

TUGAS RESUME SEJARAH HUKUM

BAB I – TEORI KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

Perubahan besar datang dari luar melalui akulturasi, yaitu proses pembelajaran di mana
pengetahuan ditransfer dari satu budaya ke budaya lain melalui kontak langsung atau sekunder.
Sedangkan enkulturasi yaitu mempelajari cara menggunakan pola perilaku budaya yang
diterima yang ditentukan oleh budaya Anda dan memberi Anda anggota penuh dari masyarakat
Anda. Akulturasi ini biasanya karena kontak langsung dengan kelompok lain yang biasanya
lebih kuat. Biasanya perubahan signifikan yang telah terjadi di negara disebabkan oleh: (1)
Kolonialisme; (2) Globalisme di dunia pascakolonial; (3) Perubahan di negara studi
kemungkinan besar terkait dengan modernisasi (pembuangan tradisi) dan globalisasi
(penghancuran hambatan antara bangsa, masyarakat dan budaya).
Beberapa teori perubahan sosial seperti evolusionisme, fungsionalisme, partikularisme
historis dan teori konflik Marxian adalah beberapa teori yang dikembangkan untuk
menjelaskan sifat masyarakat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada paruh terakhir abad ke-19 (plus tahun 1860), peneliti sosial mulai tertarik untuk
menjelaskan sifat masyarakat dan budaya manusia. Ini adalah masa ekspansi kolonial, terutama
di Afrika, dan orang-orang Eropa ingin tahu tentang kelompok sosial yang relatif terisolasi.
Industrialisasi juga memperkenalkan cara hidup yang berbeda dalam apa yang menjadi dunia
maju. Beberapa teori tersebut adalah sebagai berikut:
1. Evolusionis
Pada teori ini sebagian besar peneliti sosial ‘kursi’. Evolusionis sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai etnosentris era kolonial dan menerapkan pendekatan ilmiah untuk menyelidiki
masyarakat. Beberapa tokoh pentingnya ada Edward Tyler (1832 - 1917) yang berpendapat
semua masyarakat berevolusi dalam arah yang tidak linier dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks, misalnya pertanian ke industri, dan Herbert Spencer (1820 - 1903) yang
melihat masyarakat pada akhirnya berkembang menjadi tahap industri, ditandai oleh
kebebasan individu. Dia menciptakan ungkapan 'survival of the fittest'.
Evolusionis menganggap masyarakat Eropa lebih unggul daripada yang lain mendukung
pandangan kekuatan kolonial. Reaksi terhadap para evolusionis muncul dalam 2 bentuk
berbeda:
1. Partikularisme historis, dari USA. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap budaya
tertentu sebagian terdiri dari unsur-unsur yang berbeda dari budaya lain. Beberapa
tokoh pentingnya yakni Franz Boas (1858 - 1942) dan Margaret mead (1901 -
1978). Mereka mencari ke dalam untuk menggambarkan budaya (pandangan 'emik'
daripada 'etik'). Pendekatan subyektif mereka secara efektif membuang gagasan
bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Mereka juga mempraktikkan
relativisme budaya, yang berarti bahwa kepercayaan dan perilaku hanya dapat
dipahami dalam konteks budaya tertentu. Beberapa ide ini dapat ditemukan dalam
teori post-modernisme.
2. Fungsionalisme struktural, dari Inggris. Mengadakan pandangan bahwa kehidupan
sosial tertib dan mengikuti suatu pola dan dapat dipelajari secara ilmiah. Beberapa
tokoh pentingnya yakni Emile Durkheim (1858 - 1917) dan Bronislaw Malinowski
(1884 – 1942). Mereka menyamakan institusi sosial dalam masyarakat dengan
organ tubuh manusia, yaitu berfungsi dengan baik dalam cara yang saling
melengkapi untuk menghasilkan unit yang pada dasarnya stabil. Fungsionalisme
meremehkan konflik dan mengabaikan perubahan sosial. Baik partikularisme
historis dan fungsionalisme struktural menekankan pentingnya kerja lapangan
(observasi partisipan) sebagai alat untuk menyelidiki masyarakat.
Karl Marx (1818 - 1883) adalah seorang revolusioner yang ide-ide teoretisnya diarahkan
untuk memahami dan kemudian menggulingkan kapitalisme di zaman industri. Gagasan-
gagasan Marxian telah memengaruhi perspektif teoretis selanjutnya, misalnya feminisme.

Pendekatan dan masalah dalam teori sosial


Untuk mempelajari masyarakat dan budaya sering dibandingkan dan dikontraskan dalam
hal pendekatan umum mereka, yang pada gilirannya menimbulkan masalah ketika datang ke
evaluasi kritis.
Pendekatan Pendekatan diterapkan pada teori
Materialisme  Teori konflik Marxian (hubungan ekonomi
menentukan sifat masyarakat dan budaya)
Menjelaskan kehidupan manusia dalam hal  Ekologi budaya (masyarakat didefinisikan
fitur nyata seperti teknologi, manajemen oleh sifat lingkungan yang
sumber daya mengelilinginya)
Idealisme  Strukturalisme (struktur adalah aspek
Fokusnya terutama pada pikiran manusia masyarakat yang ulet dan mengatur yang
dan penjelasan masyarakat dibuat dalam membatasi tindakan anggotanya;
hal aspek seperti kepercayaan dan simbol. masyarakat terstruktur oleh prinsip-prinsip
yang menopang pemikiran dalam
masyarakat itu).
 Antropologi simbolik (budaya dipandang
sebagai sistem makna yang dapat
ditafsirkan melalui simbol dan ritual kunci.)
Evaluasi kritis Materialisme dan idealisme:
 Masyarakat dan budaya tidak sepenuhnya ditentukan oleh materialisme atau idealisme;
melainkan kombinasi keduanya.

Pendekatan Pendekatan diterapkan pada teori


Berpusat pada agensi Agensi, interaksi  Antropologi simbolik (interaksi simbolis
orang, menjelaskan bagaimana masyarakat orang melalui ritual memberi makna bagi
dibentuk. masyarakat dan budaya)
 Transaksionalisme (orang bertindak untuk
mempromosikan kepentingan mereka
sendiri atau kelompok mereka dalam
masyarakat, terutama melalui pertukaran,
timbal balik)
 Feminisme (penekanannya adalah pada
'subjek' penelitian daripada generalisasi;
hubungan sosial 'gender').
Berpusat pada struktur  Fungsionalisme (aksi sosial tidak banyak
Struktur sosial yaitu Institusi (misalnya berpengaruh pada struktur sosial)
keluarga, hukum) membatasi tindakan
orang dan menentukan bagaimana
masyarakat beroperasi.
Evaluasi kritis dari Badan-berpusat dan struktur-berpusat:
 Teori sosial baru-baru ini, seperti Teori Praktek Pierre Bourdieu melihat agensi dan struktur
sebagai fitur pelengkap masyarakat.

Pendekatan Pendekatan diterapkan pada teori


Khususnya  Antropologi simbolik (menekankan
Masyarakat dan budaya dapat dipahami 'pengetahuan lokal')
sesuai dengan konteks sosial spesifik  Partikularisme historis (berfokus pada
mereka. setiap budaya menjadi unik)
Universalistik  Strukturalisme (menjelaskan masyarakat
Masyarakat dan budaya dapat dipahami sebagai organisasi seperti pikiran manusia,
dengan baik dengan memeriksa yang umum bagi setiap manusia)
aspekaspek umum kehidupan yang umum
bagi semua masyarakat.
Evaluasi kritis:
 Berbagai aspek masyarakat apa pun dapat dijelaskan dalam istilah partikularistik atau
universalistik, tergantung pada sifatnya.

Pendekatan Pendekatan diterapkan pada Teori


Sychronic  Tindakan / transaksi sosial (sedikit
Menjelaskan masyarakat dalam hal perhatian pada masalah sejarah)
hubungan antara aspek-aspek masyarakat
dan budaya sebagai titik waktu tertentu.
Diakronis  Evolusionisme (melihat masyarakat berada
Menjelaskan masyarakat sebagai telah pada jalur perkembangan melalui sejarah)
dibentuk oleh banyak pengaruh, internal  Partikularisasi sejarah (beberapa referensi
dan eksternal, melalui waktu. dibuat untuk peran sejarah dalam
menciptakan budaya yang unik.)
Evaluasi kritis:
 Pendekatan sinkronis mengabaikan kemungkinan bahwa masyarakat dapat berubah melalui
sejarah.

Pendekatan Pendekatan diterapkan pada teori


Kohesi  Fungsionalisme (masyarakat pada dasarnya
Kebutuhan solidaritas, stabilitas dan stabil karena lembaga saling melengkapi,
konsensus menjelaskan bagaimana bekerja sama)
masyarakat adalah mainta sebuah ined.
Konflik  Teori konflik Marxian (berbagai kelompok
Masyarakat dapat dijelaskan dengan dalam masyarakat bersaing untuk
pemahaman bahwa potensi konflik mendapatkan kekuasaan, kekayaan dan
mendasari sebagian besar hubungan sosial. prestise, dan itu menciptakan konflik)
 Teori konflik (dari tahun 1950-an) (konflik
adalah positif karena ia mengikat
masyarakat bersama dalam keseimbangan;
itu adalah 'katup pengaman'; konflik
dengan kelompok luar menghasilkan
solidaritas internal).
Evaluasi kritis:
 Banyak masyarakat dapat dijelaskan dengan menerapkan kombinasi pengaruh kohesif dan
konflik.

Pendekatan Pendekatan diterapkan pada teori


Positivis  Ekologi budaya (generalisasi tentang
Penelitian sosial didekati secara ilmiah, dampak lingkungan pada bagaimana
mengungkap realitas yang sudah ada masyarakat beroperasi)
sebelumnya tentang cara masyarakat
bekerja.
Penerjemah  Feminisme (riwayat hidup dan narasi
Penelitian etnografi membangun realitas memberi suara kepada orang-orang)
melalui pertemuan para peneliti dan  Postmodernisme (studi harus polyvocal,
subyek mereka yaitu memiliki banyak penulis, termasuk
para antropolog, subjek penelitian,
informan)
Evaluasi kritis:
 Positivis mengambil pendekatan yang lebih ilmiah 'mendapatkan fakta yang benar',
sementara interpretivist akan mengatakan bahwa menganalisis pertemuan mereka dengan
subyek penelitian mereka sama pentingnya dengan 'fakta' siapa yang benar?

Teori Perubahan yang lebih baru


1. Ekologi Budaya
Ekologi budaya enyatakan bahwa masyarakat mengembangkan garis yang berbeda,
tidak unilinear, muncul selama tahun 1950-an dan 1960-an. Ekologi budanya menggunakan
beberapa pendekatan seperti materialisme, diakronis, berpusat pada struktur, universalistik
(etica). Beberapa tokoh pentingnya yakni Marvin Harris dan Julian Steward.
Menurut teori ekologi budaya, budaya dibentuk oleh kondisi lingkungan, semakin
tidak berkembang tingkat teknologi; semakin besar pengaruh lingkungan; setiap budaya
mewakili adaptasi praktis terhadap lingkungannya. Individu tidak signifikan dibandingkan
dengan struktur sosial dan kelompok sosial. Pada ekologi budaya, kelompok manusia terus
beradaptasi dengan perubahan kondisi karena keseimbangan antara kondisi lingkungan,
teknologi, dan ekonomi berbeda-beda.
The Yanomamo, masyarakat adat dari Amazon, menghadapi perubahan akibat
deforestasi lahan mereka, harus beradaptasi sesuai, memperkenalkan tingkat yang lebih
besar dari teknologi dan strategi ekonomi alternatif.
Evaluasi kritis terhadap ekologi budaya: upaya ekologi budaya untuk mendekati studi
masyarakat dan budaya 'secara ilmiah' mengesampingkan makna, emosi dan 'suara' dari
subyek (orang).
2. Transaksionalisme (aksi sosial)
Transaksionalisme merupakan respons kritis terhadap fungsionalisme. Namun,
Malinowski, seorang fungsionalis, memang mempelajari Trobrianders dan
menggambarkan mereka sebagai orang yang mementingkan diri sendiri. Perspektif ini
muncul pada tahun 1970-an dan masih memiliki kredibilitas hingga saat ini. manipulator
menghubungkan timbal balik yang menyeluruh. Beberapa pendekata yang digunakan
adalah materialisme, sinkronis, berpusat pada agensi, universalistik, dan interpretivist.
Beberapa tokoh pentingnya yakni FG Bailey, Jeremy Boissevain , Fredrik Barth, dan
Andrew Strathern.
Menurut teori transaksionalisme, masyarakat itu terus berubah dengan struktur sosial
yang fleksibel. Orang-orang terus-menerus bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang
langka dan individu ditekankan - mereka adalah wiraswasta yang tidak tertarik pada diri
sendiri yang tindakannya dapat membawa modifikasi pada kerangka masyarakat.
Pertukaran (transfer barang berharga), timbal balik (pertukaran atau kewajiban bersama)
dan transaksi ditekankan.
Pada teori transaksionalisme, hubungan antara pemimpin dan orang lain dalam
masyarakat mempertahankan tatanan sosial (kontinuitas), tetapi tatanan ini dapat
dimodifikasi oleh para aktor (orang) ketika mereka berusaha untuk mencapai tujuan
mereka. Metode transaksi dapat beradaptasi dengan perubahan yang diperkenalkan melalui
akulturasi.
Di Papua Nugini, 'orang besar' ditunjuk sebagai pemimpin politik, yang memajukan
kepentingan mereka sendiri melalui pertukaran kompetitif (moka) barang-barang material.
Juga pembawa damai. Kolonisasi dan globalisasi telah mengubah sifat barang yang
dipertukarkan. Akulturasi dan pembangunan bangsa telah digabungkan untuk melemahkan
status 'orang besar'.
Evaluasi kritis: Transaksionalisme adalah model yang baik untuk menjelaskan
bagaimana kapitalisme dapat diakomodir dalam masyarakat yang sedang berkembang. Ini
juga merupakan teori yang berguna untuk menjelaskan aspek-aspek informal masyarakat,
di mana tindakan nyata terjadi. Namun, terlalu sedikit pertimbangan diberikan kepada
struktur sosial yang lebih besar dalam masyarakat dan sejarah jika tidak diperhitungkan.
3. Strukturalisme
Teori strukturalisme dipengaruhi oleh Boas, seorang partikularis sejarah, yang
berpikir bahwa orang mengembangkan pengetahuan sebagai cara mengelola emosi dan
informasi baru. Pendekatan yang digunakan pada teori strukturalisme yakni ideaism,
sychronic, berpusat pada struktur, dan universalistik interpretivist. Tokoh pentingnya ada
Claude Levi-Strauss, yang merupakan antropolog paling terkenal di tahun 1960-an dan
1970-an.
Menurut teori strukturalisme, bahasa adalah ciri khas manusia dan dasar untuk
produksi dan reproduksi bentuk sosial. Budaya seperti bahasa; konsep yang digunakan oleh
ahli bahasa dapat digunakan untuk memahami aspek-aspek masyarakat manusia, seperti
agama dan seni. Strukturalisme berfokus pada abstrak, struktur dalam masyarakat, daripada
struktur permukaan yang dapat diamati. Aspek budaya, seperti kekerabatan, makanan,
politik dan pernikahan, mencerminkan sikap tidak sadar yang menopang masyarakat itu.
Fokus utama teori strukturalisme ada pada kepercayaan dan sistem pengetahuan. Persepsi
waktu sebagai peristiwa yang terjadi melintasi ruang daripada sejarah. Oleh karena itu,
aspek-aspek seperti mitologi dapat diamati dalam bentuk serupa di berbagai masyarakat
dan benua.
Struktur digambarkan sebagai kendala pada masyarakat, mencegah perubahan.
Namun, strukturalisme juga menekankan bagaimana budaya terdiri dari komunikasi
berkelanjutan antara orang-orang yang mengarah pada transformasi berkelanjutan; tetapi
budaya selalu dibentuk oleh prinsip-prinsip dasar yang sama.
Levi-Strauss mencari elemen-elemen umum dan esensial yang dapat dibagikan
masyarakat melalui mempelajari suku-suku yang mendiami Lembah Amazon. Dia
menempatkan suku-suku ini dalam konteks dunia, menggambar paralel antara aspek
budaya seperti mitos, yang membentang di berbagai benua.
Evaluasi kritis: Berguna untuk menjelaskan kontinuitas, tetapi sebagian besar
mengabaikan perubahan sosial dalam hal struktur. Strukturalisme berurusan terutama
dengan informasi 'mental', yang tidak jelas terkait dengan dunia material dan menghindari
masalah sosial.
4. Feminisme
Feminisme meimiliki kesamaan dengan Marxisme, tetapi fokus ketidaksetaraan
adalah pada gender daripada 'kelas'. Secara antropologis, kaum feminis menolak
pendekatan ilmiah untuk penelitian sosial, karena gender bias budayanya. Feminisme
muncul pada tahun 1970-an dan terus menjadi perspektif teoretis yang berguna khususnya
ketika ia beralih ke postmodernisme. Pendekatan yang digunakan yakni idealisme,
diakronis baik agensi dan struktur, dan interpretifist universal (baik emik maupun etik).
Beberapa tokoh pentingnya yakni Marilyn Strathern dan Marjorie Shostak.
Dalam teori feminisme, semua hubungan sosial bersifat gender, fokusnya adalah pada
gender, tetapi tidak hanya pada perempuan. Penelitiannya adalah pengalaman kolaboratif
antara peneliti dan subjek (subyektif); Peneliti pria dipandang sebagai 'objektif'. Tujuan
penelitian adalah pemberdayaan perempuan dan pembebasan mereka dari penindasan.
Feminisme terhubung dengan postmodernisme karena mempertanyakan seluruh gagasan
penerapan 'gender' sebagai konsep barat untuk masyarakat yang mungkin memiliki
pemahaman dan aplikasi 'gender' yang sama sekali berbeda.
Kaum feminis berpendapat bahwa modernisasi negara-negara berkembang telah
mengarah pada penurunan otonomi ekonomi dan politik perempuan. Di negara-negara
demokrasi barat, sementara kemajuan telah dicapai menuju kesetaraan gender, sarannya
adalah bahwa kesenjangan antara dunia pria dan wanita mungkin melebar dan bahwa
kekerasan telah meningkat.
Pekerjaan Dorothy Hodgson dengan komunitas maasai di Kenya telah menunjukkan
bahwa pemerintah bertujuan untuk membangun rumah-rumah modern, alih-alih yang
secara tradisional dibangun oleh para wanita dari tongkat, lumpur dan kotoran sapi telah
menyebabkan situasi di mana para wanita tidak lagi memiliki kendali atas rumah mereka.
rumah dan siapa yang bisa masuk dan bahwa laki-laki menikah untuk keragaman ekonomi
dan melemahkan perempuan.
Evaluasi kritis: Penelitian dan analisis sosial yang berpusat pada perempuan
memberikan perspektif tertentu yang mungkin tidak disajikan. Dikombinasikan dengan
postmodernisme, ia memberikan kritik yang efektif terhadap pendekatan 'ilmiah' untuk
penelitian. Feminisme dapat dikritik karena, ketika didorong untuk meningkatkan
kehidupan perempuan, ia mungkin mengabaikan pentingnya memperoleh data yang solid
dan komprehensif (pengetahuan yang digunakan untuk menganalisis masyarakat dan
budaya.
5. Antropologi / interpretivisme simbolik
Teori ini dikembangkan dari perspektif partikularisme historis, tetapi juga
dipengaruhi oleh strukturalisme Claude Levi-Strauss. Muncul pada tahun 1970-an dan
1980-an dan masih sangat dihormati. Clifford Geertz juga dianggap sebagai cikal bakal
pendekatan postmodernis. Pendekatan yang digunakan yakni idealisme, sinkronis, agensi
terpusat, dan partikularistik (emic) intertretivist. Tokoh pentingnya ada Clifford Geertz
(1926 - 2006)
Dalam teori ini, budaya tertentu secara dominan otonom dan berbeda dari yang lain.
Budaya adalah sistem makna yang dapat dianalisis oleh para antropolog dengan
menafsirkan simbol dan ritual. Deskripsi budaya sangat rinci 'deskripsi tebal' berfokus pada
konteks lokal daripada membuat perbandingan yang luas dengan masyarakat lain.
Antropologi memahami pekerjaan masyarakat cangkang disamakan dengan menganalisis
sebuah teks. Dalam teori ini, simbol dan ritual tradisi yang terus menerus melambangkan
resistensi terhadap perubahan; tradisi yang sama ini dapat beradaptasi untuk
mengakomodasi modernisasi dan akibatnya berubah.
Di Bali, tercatat bahwa aristokrasi tradisional (penguasa daerah) adalah katalisator
perubahan karena mereka merangkul perusahaan gaya barat dan pengembangan ketika
mereka berusaha membuka jalan baru kekayaan dan kekuasaan. 'Komunitas turis' yang
disetujui, mempertahankan tradisi dan simbol tetapi mengakomodasi interaksi dengan
wisatawan. Karena itu, sifat komunitas berubah. Tentang Muslim, Jawa tidak banyak
berubah karena Muslim konservatif memiliki kendali atas pembangunan dan perdagangan.
Modernisasi di Indonesia tidak mungkin disebabkan oleh kelas menengah yang muncul
tetapi lebih membutuhkan intervensi langsung dari pemerintah pusat.
Evaluasi kritis: Sistem simbolik tidak dengan mudah memasukkan referensi ke
sejarah. Juga, gagasan tentang dunia yang terdiri dari banyak budaya unik dan terpisah telah
menjadi kurang kredibel ketika proses globalisasi meningkat. Antropologi simbolik
memberikan model yang baik untuk menjelaskan kesinambungan dan bagaimana tradisi
dapat memengaruhi respons lokal terhadap kekuatan perubahan eksternal.
6. Postmodernisme
Postmodernisme dikembangkan pada awal 1980-an, tumbuh dari pendekatan
simbolik, interpretatif dari Clifford Geertz. Salah satu pendekatan teoretis yang saat ini
diterima. Beberapa pendekatan yang digunakan yakni idealisme dan materialisme, sebagian
besar sinkronis dan agensi berpusat, partikularis (etnik), tetapi dalam kerangka
universalistik. Tokoh pentingnya ada James Clifford dan Geroge Marcus.
Pada postmodernisme, pertanyaan yang sangat diajukan oleh para peneliti yang
mendeskripsikan dan menganalisis orang-orang dalam budaya selain mereka sendiri. Ini
dilihat sebagai perpanjangan dari kolonialisme, yang mencerminkan ketidakseimbangan
antara negara maju dan berkembang; mereka menyatakan bahwa orangorang yang diteliti
kurang memiliki kesempatan untuk berbicara sendiri. Karena itu setiap penelitian sosial
dan budaya harus bersifat polivokal; tidak hanya ditulis oleh para peneliti tetapi oleh subyek
itu sendiri. Postmodernisme telah dideskripsikan sebagai 'anarkis yang bertanggung jawab',
berurusan dengan realitas kehidupan, bukan 'teori agung'. Postmodernisme menganggap
budaya sebagai sistem simbol, dan tugas para peneliti dan subjeknya bersama adalah
memecah elemen-elemen penting, seperti 'keluarga' dan 'gender' menjadi bagian-bagian
komponen mereka untuk mengetahui apa ideologi yang mendasari dan aspek kekuasaan.
Pada teori ini terdapat penekanan kembali konsep relativisme, yaitu memahami adat
istiadat dalam konteks budaya spesifik mereka, terutama dalam terang globalisme.
Postmodernisme menerima ketidakpastian, mengakui keberagaman dan memandang
konsep 'masyarakat' dan 'keadilan' sebagai kebenaran tetap yang fleksibel, tidak terkontrol.
Ia mengakui dan menjelaskan mengapa perubahan bisa terjadi. Ini memberikan 'suara' dan
berpotensi kekuatan untuk orang-orang biasa dalam masyarakat, mengakui kemungkinan
tatanan sosial baru. Postmodernis juga menganggap ledakan teknologi informasi telah
menghasilkan masyarakat baru di mana teknologi itu sendiri, pengetahuan dan informasi
sekarang menjadi prinsip yang mendasari organisasi sosial. Orang-orang telah pindah
bentuk realitas sebelumnya dan menciptakan lingkungan sosial yang baru.
Holly Wardlow memandangi para wanita di Dataran Tinggi Papua Nugini, khususnya
'penumpang wanita'. Ini adalah wanita yang menjual seks dan ditemukan di pasar pinggir
jalan, tempat bus umum lewat. Mereka tidak digambarkan sebagai 'pekerja seks' karena itu
terlalu sederhana karena ada aspek non-seksual dan non-moneter untuk penumpang wanita.
Komponen penting dari identitas ini adalah kebebasan bergerak dan otonomi. Interpretasi
post modern dari tindakan perempuan ini adalah bahwa tidak diterimanya mereka terhadap
tatanan sosial konvensional membawa perubahan, yaitu bergerak menuju kemungkinan
tatanan sosial baru dalam hal hubungan gender.
Dalam konteks yang lebih besar, globalisasi telah memfasilitasi izin pemerintah
untuk memperkenalkan kapitalisme ke Vietnam sosialis, memberdayakan kelompok-
kelompok untuk menanggapi masyarakat ekonomi yang baru mereka temukan dalam
kerangka ideologi komunis.
Evaluasi kritis: Postmodernisme memberikan penjelasan yang kredibel tentang
globalisasi sebagai agen perubahan sosial dalam hal respons budaya lokal. Postmodernis
cenderung 'mengagungkan' perbedaan antara budaya dan mengabaikan persamaan.
7. Teori praktik Bourdieu
Teori praktik Bourdieu meningkatkan ide Karl Marx tentang 'kapitalisme' untuk
diterapkan pada semua kegiatan sosial, bukan hanya ekonomi. Penekanan pada pentingnya
sistem simbolik dalam masyarakat; dari strukturalisme Levi-Strauss. Bourdieu juga
menekankan kemungkinan struktur sosial mereproduksi diri mereka sendiri. Dia
mengambil arah dari pengaruhnya dengan menyoroti peran orang tersebut dalam
menjalankan sistem simbolik masyarakat. Menjadi diterima pada 1980-an, 1990-an dan
hari ini. Pendekatan yang digunakan yakni idealisme dan materialisme, sinkronis, berpusat
pada agensi dan berpusat pada struktur, dan universalistis (baik emik maupun etik). Tokoh
pentingnya ada Pierre Bourdieu (1930 - 2002).
Habitus adalah istilah yang diciptakan Bourdieu untuk mengartikan 'pengertian
praktis' (yang dipelajari secara tidak sadar) tentang dunia mereka yang membuat orang
cenderung melakukan tindakan tertentu - mereka bertindak secara intuitif, sesuai dengan
bagaimana perasaan mereka harus beroperasi dalam konteks sosial tertentu. Mereka tidak
selalu membuat pilihan rasional. 'Lapangan' adalah konteks sosial di mana orang-orang
dengan posisi yang berbeda berinteraksi sesuai dengan tingkat kekuasaan yang mereka
miliki, berjuang untuk sumber daya yang diinginkan misalnya kepala sekolah, kepala
sekolah, siswa dan staf pemeliharaan di sekolah. Modal dapat berupa ekonomi (uang,
barang material), sosial (koneksi antara orang dan kelompok), budaya (keterampilan,
kualifikasi), atau simbolik (prestise, kehormatan). Kekerasan simbolis terjadi ketika
mereka yang berkuasa memaksakan pemikiran dan ide mereka pada orang yang mereka
dominasi, berusaha untuk membuat mereka mengubah perilaku mereka. Bawahan
kemudian cenderung percaya bahwa tatanan sosial yang berlaku adalah adil.
Pada teori praktik Bourdieu, konflik yang terjadi di masyarakat sebagian besar
terbatas pada 'bidang' tertentu karena 'aktor' orang harus bersaing untuk mendapatkan
dominasi. Bourdieu menyarankan bahwa modal sosial adalah alat analitis untuk
menjelaskan stratifikasi sosial (organisasi orang ke dalam struktur ketidaksetaraan, seperti
usia, jenis kelamin, kelas, etnis). Modal simbolik dipandang sebagai sumber kekuatan yang
signifikan. Bourdieu menggambarkan perubahan sebagai hasil dari konflik antara habitus
satu generasi, terbentuk pada masa kanak-kanak, dan lingkungan sosial ekonomi yang
dihadapinya pada saat dewasa. Bourdieu mengatakan bahwa adalah mungkin bagi
kelompok untuk melawan dominasi dan globalisasi melalui aksi sosial.
Jika kita menerapkan teori praktik ini pada masyarakat Australia, dapat dikatakan
bahwa hubungan sosial masyarakat (modal sosial) telah memungkinkan kekuatan ekonomi
dan politik untuk sebagian besar tetap berada di tangan mereka yang memiliki 'rasa'
(habitus) terbaik di negara mereka. 'bidang' urusan bisnis, politik dan sosial.
Evaluasi kritis: Teori praktek Bourdieu menawarkan penjelasan yang sangat kredibel
tentang kontinuitas dan perubahan dalam masyarakat melalui eksplorasi tentang bagaimana
pemahaman intuitif tentang cara yang tepat untuk bertindak dalam situasi tertentu dapat
digunakan sebagai strategi untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan atas orang
lain. Para kritikus akan mengatakan bahwa tidak cukup catatan diambil dari sejarah dan
juga bahwa teorinya tidak sepenuhnya membahas perubahan sosial yang dipicu oleh faktor-
faktor eksternal.
BAB II – TRADISI HUKUM CHTONIC
Jauh sebelum berbagai tradisi hukum masuk ke kepulauan Nusantara, masyarakat yang
hidup di gugusan kepulauan ini dipercayai telah memiliki aturan hukum yang berasal dari nilai-
nilai hukum “chthonic”.
Terma “chthonic” di sini berasal dari terma Yunani khthōn atau khthōnonos yang berarti
bumi. Sebagai tradisi hukum yang berasal dari tempat dimana tanah itu diinjak, tempat tinggal
dimana manusia hidup dan berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungannya.
Dalam bab ini, istilah hukum “chthonic” akan dipakai untuk menyebut tradisi hukum
adat yang dipercaya telah hidup sejak awal terbentuknya masyarakat asli di gugusan kepulauan
Nusantara tersebut. Penggunaan istilah “hukum chthonic” untuk menyebut hukum adat asli
masyarakat Indonesia tersebut dinisbahkan pada penggunaan terma “chthonic” itu sendiri
seperti yang digambarkan oleh Edward Goldsmith ketika ia mendeskripsikan kehidupan
masyarakat yang harmoni dengan bumi. Penggunaan kata “chthonic” seperti ini tidak lain
sekedar merefleksikan akar kata Yunani khthōn atau khthōnonos sebagaimana di atas; hidup
dengan cara chthonic berarti hidup yang dekat dan akrab dengan bumi. Mendeskripsikan tradisi
hukum Indonesia sebagai hukum chthonic Indonesia dengan demikian sekedar usaha untuk
memotret hukum asli masyarakat dalam wilayah ini sebagai hukum yang lahir dari bumi
Indonesia dan bukan yang dilahirkan dari luarnya. Karenanya, kita ingin memahami hukum
asal daerah itu dari kriteria-kriteria internal masyarakat asli Indonesia itu sendiri. Inilah tradisi
hukum yang telah termanifestasi dalam masyarakat pribumi sebagai tradisi hukum yang
berbeda dan unik, sehingga ia sering memunculkan “resistensi”, walaupun boleh jadi tidak
terstruktur, ketika nilai-nilai asing masuk dan berpengaruh di “bumi” Nusantara.
Problem Definisi
Dalam ungkapan sehari-hari, istilah adat sering diterjemahkan sebagai suatu
kebiasaan (custom) atau hukum kebiasaan utamanya dalam referensinya sebagai suatu
tradisi hukum. Namun demikian dalam perkembangannya istilah adat itu sendiri tidak
sesederhana makna aslinya yang diambil dari bahasa Arab ‘adah atau ‘urf (Inggris: custom;
Perancis: coutume). Kompleksitas istilah adat di sini pada dasarnya dapat dibedakan ke
dalam tiga aspek, sebagai berikut:
1. Istilah adat dapat memiliki arti sebagai hukum, aturan, ajaran, moralitas,
kebiasaan, kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dsb.
Dalam banyak hal, maknanya yang pasti sangat tergantung pada konteksnya,
namun secara umum mempunyai arti yang sama, yaitu tingkah laku yang
dipandang benar dalam kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan orang
lain maupun dengan alam sekitarnya.
2. Istilah adat secara spesifik ada yang digunakan dalam hubungannya dengan
praktek kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu, yang ini mencakup
area yang cukup luas mulai dari Thailand Selatan, hingga Filipina Selatan,
melalui gugusan pulau Malaysia dan Indonesia, dimana masing-masing tempat
memiliki adatnya sendiri tergantung dari identitas kultur dan bahasanya.
3. Adat dalam artinya sebagai kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang
diproduksi oleh para ahli administrator maupun ahli hukum. Walaupun
perkembangan adat sekarang ini dalam keadaan pasif, diskusi mengenai tradisi
ini sesungguhnya tidak pernah berhenti dan terus berkembang sejalan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan mengenai ada tidur sendiri. Karena adat tidak hanya
didiskusikan dan ditulis oleh para ahli dari sisi sosio-antropologisnya saja
melainkan juga dari aspek normatifnya maka studi mengenal subjek ini menjadi
sangat variatif.
Dalam bahasa Melayu istilah adat-istiadat mempunyai arti sebagai institusi manusia
secara keseluruhan; dalam istilah Minangkabau ia digunakan untuk menunjuk kepada
kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain.
 Minangkabau: adat-istiadat, adat nan teradat dan adat nan diadatkan.
 Adat-istiadat: “keseluruhan hukum dari masyarakat pendahulu maupun kebiasaan yang
disusun oleh para tetua, yang berbeda dari apa yang disusun oleh generasi kemudian
dan berbeda dari adat yang dapat berubah”. Adat nan teradat: adat yang dipraktekkan
dan diulang-ulang di suatu wilayah tertentu, yang karenanya dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lain. Adat nan diadatkan: suatu bentuk tindakan tertentu yang karena
dapat berubah sesuai perkembangan waktu dan tempat maka perlu untuk diaplikasikan
sebagai sebuah adat.
 Kusumadi Pudjosewojo: adat pada dasarnya diturunkan dari rasa kepatutan, yang
karenanya masyarakat merasa wajib untuk menaatinya.
 Hazairin: adat adalah sedimen etika dalam suatu masyarakat.
Polemik Adat Sebagai Hukum
Para ahli hukum barat tampaknya enggan untuk menerima adat sebagai sebuah
hukum. Mungkin ini memang disebabkan oleh perbedaan pemahaman mengenai makna
hukum dalam tradisi masyarakat Barat dibanding makna tersebut dalam masyarakat
Indonesia, yang karenanya sikap mereka terhadap adat pun juga berbeda. Khususnya sejak
era pencerahan (enlightment), ketika ide penciptaan hukum melalui proses yang mekanis
dan formal menjadi begitu kuat, masyarakat Barat pada umumnya cenderung untuk melihat
hukum hanya dalam dimensi legislasi dan preseden yang diturunkan dari sumber tertulis
saja. Hukum dalam bentuknya yang lain yang dihasilkan dari tradisi lisan (oral) dan tak
tertulis dalam masyarakat pada umumnya kemudian dilihat sebagai sesuatu yang “bukan
hukum” tetapi sekedar “kebiasaan”. Pandangan inilah yang tampak umum dalam literatur
hukum barat sekarang ini. Sejak awalnya, para sarjana sarjana Barat senantiasa melihat
aspek hukum dari adat melalui lensa pengajaran dan definisi hukum yang diterima dalam
dunia Barat. Dan pandangan inilah yang saat itu mempengaruhi pemerintah kolonial
Belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam masyarakat lokal.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum bila dilihat dari
definisi yang ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat pada
esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat
dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia
dengan demikian adalah hukum itu sendiri. Inilah dasar kita untuk mengatakan bahwa
masyarakat pada kenyataannya tidak pernah memahami adat sebagai suatu entitas yang
terpisah dengan hukum. Setidaknya ada dua hal yang menjadi dasarnya, yaitu sebagai
berikut:
1. Nasyarakat memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan
keseluruhan hidup manusia yang berhubungan tidak hanya dalam hal hubungan
antar manusia tetapi juga hubungan mereka dengan fenomena alam dan tetapi
juga hubungan mereka dengan fenomena alam;
2. Terminologi adat digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan
nilai-nilai hukum yang dibawa oleh hukum hukum agama, khususnya setelah
masuknya pengaruh tradisi hukum agama dari luar seperti Islam dan Hindu.
Kita melihat di sini bagaimana tradisi hukum masyarakat asli yang diturunkan dari
ajaran para nenek moyang dan dipelihara dalam kehidupan masyarakat membedakan antara
terminologi “hukum” atau “hukum agama” untuk menyebut hukum yang berasal dari ajaran
agama. Munculnya terminologi “hukum adat” dalam kosakata masyarakat (adat law dalam
bahasa Inggris atau adatrecht dalam bahasa Belanda sebagaimana yang digunakan oleh
Snouck Hurgronje) dengan demikian merupakan fenomena yang baru muncul kemudian.
hal itu sejatinya sekedar produk dari kebingungan para sarjana Belanda pada waktu
itu ketika melihat fenomena adat ini. Dengan menggunakan lensa pemahaman mereka
tentang hukum Barat, para sarjana Belanda berusaha untuk memisahkan antara adat yang
sekedar suatu kebiasaan dengan adat yang merupakan manifestasi hukum; karenanya,
mereka menciptakan terminologi adatrecht untuk yang terakhir, yaitu adat yang berisi
aturan hukum.
Karakter Hukum Adat
 Hukum tidak tertulis (unwritten law). Penekanan pada tradisi lisan; tidak
dikodifikasikan.
 Kecenderungan umum merujuk kepada tradisi para leluhur, yang disimpan dalam
berbagai bentuk cerita-cerita dan petuah-petuah, sebagai sumber hukumnya.
 Multi-interpretasi
 Ketergantungan kepada para tetua adat
 Tidak memisahkan antara individu dan masyarakat.
 Penekanan pada harmoni individu dengan masyarakat. Dan nilai-niali masyarakat lebih
dipentingkan.
Aspek Substantif Hukum Adat
a. Hukum Tanah
Prinsip dasar:
(1) Masyarakat otonomi adat biasanya bebas untuk menggunakan semua tanah
perawan yang berada dalam wilayahnya. Tanah tersebut dapat digunakan untuk
menanam, membangun desa, dsb.
(2) Orang asing diperbolehkan mengerjakan hal yang serupa terhadap tanah tersebut
tetapi harus memperoleh izin dari masyarakat desa tersebut
(3) Jika orang luar ingin menggarap tanah tersebut maka biasanya mereka harus
membayar atau memberikan hadiah sebagai gantinya.
(4) Masyarakat adat mempunyai hak untuk turut menggarap tanah yang telah digarap
yang berada dalam wilayahnya.
(5) Masyarakat adat bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam
batas teritorialnya ketika tidak ada orang yang bisa dimintai tanggungjawabnya.
(6) Masyarakat adat tidak dapat mengesampingkan hak alokasi tanah adat selama-
lamanya.
b. Hukum Perkawinan
 Perkawinan berfungsi tidak hanya untuk memastikan kontinuitas ras manusia tetapi
juga keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Karena, perkawinan berfungsi
sebagai langkah awal seseorang untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota
penuh dari masyarakat.
 Sebagai sarana untuk melanjutkan peran sosial dari orang tua, karena tanpa adanya
anak cucu maka keturunan mereka dan karenanya kontribusi mereka dalam
pengembangan masyarakat menjadi tidak ada.
 Juga sebagai sarana rekonsiliasi antar kelompok yang bermusuhan (misal di Batak).
 2 macam: perkawinan endogami dan eksogami.
c. Hukum Kewarisan
 Proses transfer hak milik (kewarisan) tidak difokuskan kepada kematian dari orang
tua atau seseorang tertentu dalam keluarga tapi bermula semenjak terbentuknya
keluarga itu sendiri. Ini berarti bahwa hukum kewarisan tidak harus dimulai dari
kematian salah satu anggota keluarga atau orang tua, karena pengalihan hak milik
itu bisa terjadi tanpa harus adanya sebab kematian itu sendiri. Kewarisan sebagai
alat untuk mempertahankan keseimbangan dan keberlangsungan keluarga.
 Hak milik, baik terhadap benda material maupun immaterial, dialihkan melalui
proses kewarisan dengan cara tertentu dengan tetap memastikan kesejahteraan dari
generasi berikutnya dari keluarga tersebut, sehingga karenanya kesejahteraan dari
masyarakat secara umum dapat dijaga pula.
 Tidak memerlukan perhitungan matematis yang njlimet. Harta dibagi rata kepada
para ahli waris.
BAB III – TRADISI HUKUM ISLAM

Konsep Dasar Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari sistem keyakinan Islam. Istilah
“Islam” itu sendiri berarti penyerahan diri (submission), dan orang yang berserah diri itu
disebut “Muslim.” Sejak awal Islam membawa karakter ketundukan hukum. Seorang
Muslim adalah orang yang menyerah kepada kehendak/hukum Tuhan yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad, dimana kehendak Tuhan itu dibakukan dalam kitab Al-Qur’an
yang kemudian diterangkan oleh Nabi melalui Haditsnya. Oleh karena itu untuk menganut
agama Islam pada dasarnya adalah dengan berserah diri kepada Tuhan, dan mau mengikuti
hukum-hukumnya. Dalam keyakinan Islam, hukum bukanlah sekedar konstruksi sekuler
untuk mengatur kehidupan masyarakat di dunia yang fana ini, tapi merupakan jalan yang
lurus menuju akhirat yang diyakini kekal dan abadi. Dunia sekarang akan dilanjutkan ke
dunia berikutnya dan melalui hukumlah kehidupan seorang muslim bisa berjalan baik di
dua dunia itu.

Islam sebagai agama hukum: hukum dan teologi tidak dapat dipisahkan. Hukum
Islam adalah hukum yang berasal dari suatu keyakinan akan adanya aturan dari Allah
terhadap masalah keduniaan yang dihadapi umat Islam di dunia. Hukum Islam memahami
hukum sebagai suatu hal yang berasal dari langit, karena itu bersifat sakral. Sesuai dengan
ajaran Aqidah Islam, seorang Muslim tidak diperbolehkan mencari solusi suatu persoalan
dari luar Islam, karena pada dasarnya semua jawaban dari permasalahan itu bisa ditemukan
dalam Islam itu sendiri.

Dalam Islam, perbuatan hukum tidak dibedakan antara privat dan publik, juga antara
perbuatan yang berhubungan dengan ibadah (rites) maupun diluarnya. Namun secara
modern dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: perbuatan hukum yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan (habl minallah) dan perbuatan yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya (habl minannas). Dalam hal
ini harus dibedakan antara Syari’ah dan Fiqh:

o Syari’ah, secara bahasa berarti jalan lurus, merujuk kepada kanon hukum Islam.
o Fiqh, hakekatnya adalah pemahaman manusia tentang hukum Allah, merupakan
ilmu jurisprudensi Islam.
Sumber Hukum Islam
Konsep dasar dari hukum sakral seperti itu digambarkan di atas bukannya tanpa
persoalan, karena untuk menerapkan hukum itu secara literal atau spiritnya dalam realitas
kehidupan sehari-hari manusia bukanlah persoalan sederhana. Sebagian persoalan muncul
karena hukum, apapun sifatnya, tidak pernah dipisahkan dari konsep keadilan yang selalu
berubah seiring dengan perubahan kondisi manusia. Bahkan nabi sekalipun, walaupun hal
ini bisa diperdebatkan, tidak pernah dikirim untuk menciptakan sebuah sistem kodifikasi
hukum yang baru dan lengkap bagi umatnya. Hal itu disebabkan karena nabi tidak datang
pada masyarakat yang tanpa hukum. Saat dia berdiri mengkhotbahkan agama baru, di sana
sudah ada berbagai tradisi hukum. Jadi Nabi memang tidak bertujuan untuk menciptakan
sistem hukum yang sepenuhnya baru; malahan seperti dinyatakan oleh Schacht, seorang
nabi hanya mengajari manusia bgaimana bertindak, apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dihindari, agar bisa selamat di hari perhitungan (yaum al-hisab) dan masuk surga.
Jadi nabi sepertinya lebih memperhatikan aspek moral dalam tindakan manusia ketimbang
memperkenalkan pendekatan hukum yang mekanis untuk mengadili tindakan manusia
tersebut. Pada masa nabi memang tidak tidak ada tuntutan yang kuat terhadap sebuah
sistem hukum. Namun begitu, kebutuhan terhadap aturan-aturan hukum yang baru mulai
dirasakan semenjak masa-masa awal setelah terbentuknya umat Islam di Madinah. Oleh
karenanya kita menemukan penekanan yang kuat terhadap moralitas dalam seluruh bidang
kewajiban sipil pada hukum Islam, sehingga mustahil bagi kita membedakan antara aspek
hukum yang dirancang untuk beribadah kepada Tuhan dan hukum yang dibuat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Demikianlah, landasan ilmu hukum Islam (fiqh) pada dasarnya dibangun pada
periode kenabian Muhammad semenjak diturunkannya wahyu (609/610 M) sampai
meninggalnya Nabi (632 M). Jadi nabi hanya punya waktu sekitar 23 tahun untuk
mengembangkan sistem hukum, meski banyak sekali persoalan hukum pada masanya
belum terselesaikan. Di pihak lain, aktivitas legislatif umat muslim adalah persoalan yang
sangat penting dan aktivitas itu tidak bisa dihentikan hanya karena nabi telah wafat. Seiring
berlalunya waktu dan semakin jauh umat muslim dari era nabi, semakin rumit persoalan
hukum yang harus mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Jadi kalau ahli
hukum generasi pertama pada pada dasarnya mengenalkan kitab suci saja untuk
mendukung opini hukum mereka, maka dengan perkembangan dan pengawasan
masyarakat Islam ke luar Jazirah Arab kebutuhan terhadap hukum yang bisa dielaborasi
dan sesuai dengan perkembangan masa terasa sangat mendesak. Akibatnya ilmu
jurisprudensi Islam (fiqh) menjadi sangat penting ketika ahli hukum islam mulai
mengarahkan usaha mereka untuk mencarikan solusi bagi banyak kasus hukum yang lebih
spesifik. Karenanya ilmu hukum Islam membutuhkan dukungan teknik hukum yang bisa
memastikan efektivitas metodologis dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Teknik ini
dikenal dalam kamus hukum Islam dengan istilah ushul al-fiqh yang secara literal berarti
“akan hukum Islam” dan bisa diterjemahkan sebagai ilmu tentang sumber hukum Islam.
Ilmu ini dikembangkan dengan tujuan untuk menyediakan serangkaian panduan untuk
mengatur pelaksanaan ijtihad (penalaran hukum). Melalui ijtihad, bisa ditemukan solusi-
solusi khusus bagi isu-isu baru yang belum disentuh secara khusus oleh hukum yang ada.
Oleh karena itu kita bisa temukan hukum islam itu tidak hanya terikat kepada teks suci
sebagai sumbernya. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah sumber pertama dan utama yang
dari sana bisa ditemukan hukum, tapi ada pula sumber-sumber lain seperti ijma’
(kesepakatan ulama dan para cendekiawannya) dan qiyas (metode inferensi) yang bisa
dimanfaatkan untuk menemukan hukum bagi kasus-kasus yang tidak didiskusikan dalam
kitab suci. Dengan kata lain, sumber-sumber material bagi hukum Islam dengan berasal
dari Alquran dan Sunnah sementara sumber-sumber metodologisnya berasal dari ijma’ dan
qiyas. Melalui ijtihad, fiqh dapat terus dikembangkan disesuaikan dengan kehendak hukum
Tuhan yang tergambar di dalam Syari’ah.

Hukum Islam Substantif


Hukum Islam yang digambarkan sebagai jalan Tuhan untuk menuju pembebasan
manusia di dunia ini dan akhirat nanti, secara teoritis mengatur segala aspek kehidupan
manusia. Ia mengontrol, mengatur, dan menata seluruh tindak-tanduk pribadi maupun
perilaku publik. Cakupan yang begitu luas membuat ia harus mendekati persoalan perilaku
sehari-hari individu baik secara historis maupun eklektis. Sikap dan perilaku manusia diatur
dan dibagi menjadi dua klasifikasi besar yang dipercayai tidak bisa dipisahkan dan saling
mempengaruhi, yaitu sebagai berikut:

1. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam hubungan ini praktik keagamaan


(ibadah) dijelaskan kepada semua umat muslim untuk kehidupan sehari-hari
mereka sebagai cerminan penyerahan diri kepada Tuhan.
2. Hubungan sesama manusia (muamalah). Dalam hubungan ini ditetapkan berbagai
hukum untuk mengatur berbagai aktivitas sehari-hari manusia dalam perjumpaan
mereka dengan yang lain.
Jadi kita menemukan teori hukum yang tidak hanya memiliki gagasan menyeluruh
mengenai apa yang harus ada di dalam hukum, tapi juga mencampurkan urusan sekuler
dengan urusan keagamaan ke dalam satu entitas. Hukum itu menetapkan aturan-aturan
spesifik mengenai salat lima waktu, puasa, zakat, Haji, serta sedekah dan berbagai
persoalan keagamaan lainnya. Di dalam hukum itu juga terdapat ketentuan mengenai
kebersihan pribadi, diet, perilaku seksual, pendidikan anak, dan persoalan-persoalan
domestik lainnya. Lebih jauh lagi di samping berhubungan dengan perilaku individual
manusia, hukum Islam juga dipenuhi oleh ketentuan-ketentuan yang berpengaruh dalam
ruang publik manusia yang lebih rumit. Paling tidak secara teori kita bisa temukan dalam
hukum Islam berbagai tuntunan bagaimana seorang individu harus berperilaku di tengah
masyarakat dan bagaimana suatu kelompok harus berinteraksi dengan kelompok lainnya.
Kita juga bisa menemukan ketentuan yang memberikan tuntunan seputar transaksi bisnis
serta penyelesaian sengketa konflik dan peperangan. Hukum Islam sebagai tradisi hukum
yang top-down, karena mengatur semua perilaku manusia secara menyeluruh berdasar pada
pemahaman akan fungsi Tuhan sebagai pengatur alam ini.

a. Hukum Keluarga
 Dipandang sebagai hukum yang paling sakral karena diatur secara komprehensif
dalam Qur’an dan Hadits.
 Dalam sejarah pembentukannya, Nabi dipercaya tidak berpretensi menghilangkan
segala praktik hukum yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat, namun
hanyalah membatalkan praktik-praktik hukum yang berlawanan dengan prinsip-
prinsip akal sehat dan kesadaran. Nabi menghapuskan sejumlah praktik adat
masyarakat Arab sebelumnya seperti poliandri, perzinahan, pembunuhan bayi
perempuan, adopsi, perceraian berulang-ulang dan lain-lain. Nabi juga melakukan
modifikasi hukum terhadap praktik-praktik yang sudah ada pada masyarakatnya
ketika itu seperti poligami dan pembayaran mahar.
 tujuan utama pernikahan di dalam Islam adalah mempertahankan kemurnian dan
“kebersihan” hubungan geneologis manusia.
 Hukum Kewarisan dianggap sangat sakral karena diatur secara terperinci dalam
Qur’an. Namun, ayat-ayat yang diwahyukan itu tidak menghilangkan sepenuhnya
berbagai praktik adat masyarakat Arab pra-Islam yang berfungsi sebagai hukum
sebelum datangnya misi Nabi Muhammad. Islam mereformasi sistem kewarisan
yang berlaku dalam masyarakat Arab saat itu.
 Reformasi kewarisan yang diperkenalkan oleh hukum Islam bisa disimpulkan
sebagai berikut: (1) suami dan istri masing-masing bisa mewarisi, (2) keturunan
laki-laki dan perempuan dalam kasus tertentu sama-sama punya hak waris, meski
dalam banyak kasus keturunan laki-laki lebih sering dipilih, (3) orang tua dan
kerabat dari garis keturunan ke atas akan mewarisi harta peninggalan meski ada
keturunan laki-laki; dan (4) sebagai ketentuan umum, perempuan diberi setengah
bagian laki-laki.
 Digolongkan sebagai sistem kewarisan intestate
b. Hukum Pidana
 Hukum pidana pada dasarnya dirancang untuk melindungi keselamatan manusia,
baik di alam ini maupun di alam akherat nanti. Jadi hukum pidana dalam Islam
dibuat untuk melindungi lima aspek pokok, yaitu agama, nyawa, akal, keturunan
dan hak milik.
 Hukuman bertalian dengan pendidikan moral, karena itu lebih mengutamakan
hukuman fisik (corposal punishment), ketimbang penjara.
 3 kategori perbuatan pidana: (1) Hudud; (2) Qishash; dan (3) Ta’zir. Hudud dan
Qishash dianggap sakral karena penentuan jenis kejahatannya dan bentuk
hukumannya didasarkan pada Qur’an dan Hadits.
 Hudud, kejahatan yang secara khusus diatur dalam al-Quran dan Hadits. Termasuk
di dalam kategori ini kejahatan murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah,
fitnah (tuduhan palsu mengenai perzinahan), perampokan, dan minum alkohol.
 Qisas, kejahatan yang hukumannya didasarkan pada pendekatan pembalasan
(retaliation). Bisa dalam berbagai bentuk, pula dalam bentuk restitusi (diyat) yang
diberikan kepada korban atau keluarganya. Kejahatan yang termasuk ke dalam
kategori ini pada dasarnya adalah semua tindakan yang menyerang kehidupan
manusia, yaitu pembunuhan (baik yang direncanakan sebelumnya atau tidak),
tindakan yang direncanakan untuk menyerang orang, pembunuhan tidak disengaja,
dan serangan tidak sengaja terhadap kemanusiaan.
 Ta’zir, kategori ini mencakup kejahatan terhadap masyarakat secara umum
sehingga pendekatan hukumannya tidak pasti, dipersilahkan kepada hakim untuk
memberikan diskresi. Kejahatan yang termasuk ke dalam kategori ini biasanya
kejahatan yang lazim digambarkan oleh para ahli hukum sebagai kejahatan kecil
(minor felonies).
BAB IV – TRADISI HUKUM SIPIL

Hukum sipil (civil law) merujuk kepada sistem hukum Eropa yang berasal dari hukum
Romawi dan berbeda dari sistem Common Law (Inggris). Istilah “hukum sipil” berasal dari
bahasa Latin jus civile, yang berarti hukum yang hanya bisa diterapkan pada rakyat Romawi,
untuk membedakan dengan jus gentium (hukum yang diterapkan dalam kasus yang melibatkan
subjek bangsa Romawi di berbagai provinsi, dan bisa diterapkan kepada penduduk asing,
penduduk provinsi dan penduduk Roma).

Alan Watson lebih cenderung memandangnya sebagai sistem hukum yang berasal dari
Kode Justinian, Corpus Juris Civilis. Dalam pandangannya, pada dasarnya tipe bahan mentah
untuk pembentukan tradisi hukum sipil adalah hukum Romawi yang telah diperbarui dan
dikodifikasi ini yang disponsori oleh kerajaan Byzantium Justinian I, dan diterbitkan antara
tahun 529 dan 565 M., dan bukan hukum Romawi yang sebelumnya.

Latar Belakang Revolusioner Hukum Sipil


Proses pembentukan batang tubuh hukum sipil terutama dalam bentuknya yang
modern, bukanlah sebuah proses yang langsung dan sederhana. Perkembangan
sesungguhnya melibatkan revolusi intelektual yang kompleks yang menghasilkan cara
berpikir baru mengenai hukum yang kemudian memiliki konsekuensi massal terhadap
organisasi dan administrasi sistem hukum, dan terhadap aturan-aturan dan prosedur
prosedur substantif. Bila dilihat dari sudut pandang hukum publik, munculnya tradisi
hukum sipil adalah hasil dari revolusi pemikiran terus-menerus yang dimulai di Eropa pada
masa peralihan abad ke-11. Saat hukum Romawi direvitalisasi di benua itu, revolusi ini
bisa terjadi karena ada sejumlah kekuatan intelektual yang berdampingan dengan
datangnya berbagai tradisi intelektual dari penjuru dunia lain, karena pada saat hukum
Romawi direvitalisasi di Eropa sebagai elemen tradisi hukum sipil, hukum publik pun
tengah mengalami masa perkembangannya. Pada saat yang sama hukum Talmud versi baru
juga dalam proses reformasi yang dilakukan oleh Maimonides. Sementara tradisi
intelektual Islam meluaskan pengaruhnya ke lembah Mediterania, terutama Spanyol. Oleh
karena itu lahirnya tradisi hukum sipil modern di barat tidak bisa dipisahkan dari sejumlah
kekuatan intelektual yang mendorong munculnya pemikiran hukum baru di tengah proses
reformulasi berbagai nilai. Jadi ada berbagai kondisi substansial yang mengarah kepada
munculnya hukum sipil di antaranya termasuk gerakan sekularisasi hukum, rasionalisasi,
anti feodalisme, pemisahan kekuasaan pemerintahan, serta statisme dan nasionalisme yang
kebanyakan mencapai titik kulminasinya pada abad ke-17 dan 18 di Eropa.

 Institusi hukum hanya dilihat sebagai hasil ciptaan kecerdasan manusia, sebagai aturan
yang bisa didorong atau dibatalkan dan diganti dengan aturan yang baru kalau memang
akal menuntut demikian, tanpa merujuk kepada Tuhan atau otoritas suci.
 Ideologi dasar: hukum merupakan produk akal, bukan produk agen sakral. Ideologi ini
memberi dampak pada perjuangan menuntut kebebasan individual, karena seluruh
manusia yang diberkati dengan akal bisa membuat pilihan mereka sendiri. Maka
penekanan bukan diletakkan pada kewajiban manusia, tapi pada hak; hak setiap
manusia untuk melakukan urusannya sendiri, hak untuk memiliki properti dan
mendapatkan perlindungan hukum atas hak miliknya.
 Runtuhnya kekuasaan feodalisme di Eropa dan munculnya nation-state sebagai mode
pembentukan kesatuan wilayah suatu negara.
 Negara bangsa modern muncul dan institusi hukum sipil menjadi bagian utama dan
sepenuhnya dari otoritas negara. Dengan kemunculan negara bangsa modern,
kekuasaan pun sepenuhnya terletak di tangan negara. Ideologi sentralisme negara pun
tidak bisa dihindari, di mana justifikasi bagi kemandirian hukum hanya diberikan
kepada negara demi ideologi sistem hukum nasional.
 Dampaknya, kanon Romawi jus commune, yang sejak lama dianggap sebagai sumber
hukum utama di Eropa era feodal disingkirkan dan diganti dengan hukum nasional yang
sesuai dengan logika pembentukan positivisme hukum.
 Masuk ke Indonesia melalui penjajahan Belanda. Sejak awal abad 19, melalui
penjajahan Perancis dan diberlakukannya Code Napoleon di Belanda, telah dikenalkan
tradisi hukum sipil ini di negeri Belanda, yang kemudian dibawa ke Nusantara melalui
pengadopsian sistem Republicanism dalam sistem kenegaraan di Indonesia dan
Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koephandel serta Wetboek van Strafrecht dalam
sistem hukum nasional.
 Logika hukum negara sepenuhnya mengikuti logika hukum sipil, dimana negara
sepenuhnya menjadi pemangku utama dan satu-satunya dari proses penciptaan hukum.

Karakter Hukum
 Formal. Hukum dibuat dan dikodifikasikan oleh lembaga negara tertentu yang diberi
otoritas untuk melakukan proses penciptaan hukum.
 Sekuler. Hukum bukan merupakan produk dari institusi agama, tapi institusi negara
yang sama sekali tidak sakral, dan terbatas mengurusi persoalan-persoalan dunia saja.
 Substansi hukum bersifat terbatas, hanya berlaku dalam jurisdiksi wilayah negara-
bangsa tertentu saja.
 Hukum secara jeneral dibagi ke dalam dua bidang yaitu publik dan privat.
 Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara
 Privat, mengatur hubungan antara sesama individu warga negara.

Konsep Hukum Substantif


Sesuai dengan ideologi hukum sipil muncul sebagai tradisi hukum yang unik baik
dalam karakternya yang formal dan pendekatan yang sekuler. Ia bersifat formal karena
perkembangan sistem hukum sipil tidak bisa dipisahkan dari pembentukan organ negara
yang ditunjuk secara khusus untuk membuat undang-undang atas nama orang-orang yang
hidup di dalam batasan negara tersebut. Jadi aspek substansi hukum sipil dikembangkan
sesuai jurisdiksi masing-masing negara karena setiap negara mengembangkan sistem
hukumnya masing-masing maka substansi hukum hanya bisa diterapkan kepada penduduk
masing-masing negara. Ideologi kodifikasi juga berkontribusi terhadap karakter formal
hukum sipil dimana proses pembuatan hukum yang terdapat di bagian tangan badan
legislatif negara. Lebih jauh karena secara teoretis, negara adalah satu-satunya agen
pembuat hukum. Maka pendekatan ketentuan yang diproduksi dalam sebuah sistem hukum
bersifat sekuler. Tidak ada persoalan apakah hukum itu berasal dari pejabat keagamaan,
atau mencerminkan suatu dasar keagamaan, hukum atau filsafat tertentu; ini betul-betul
entitas yang umum, dan sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sakral apapun.

Klasifikasi ketentuan berdasarkan pokok masalah hukum adalah salah satu aspek
paling utama dalam sistem hukum sipil. Apa yang menjadi ajaran dasar hukum sipil,
misalnya adalah semua sistem hukum yang berasal dari hukum sipil harus dibagi menjadi
hukum publik dan hukum privat. Meskipun cakupan bagian ini sangat berbeda di antara
sistem hukum yang berbeda-beda pula (karena ia mencerminkan analisis teoritis dan
pemikiran yang dikembangkan pada masing -masing negara), pada dasarnya klasifikasi
hukum berangkat dari logika yang sama, yaitu untuk memfasilitasi doktrin formalitas
hukum seperti dikembangkan dalam pengajaran dan penyampaian tradisi hukum sipil. Oleh
sebab itu, pembagian hukum menjadi hukum publik dan hukum privat bisa dilihat dari
sudut pandang teori etis mau pun praktis. Secara teoretis, susunannya memungkinkan untuk
membedakan secara lebih jelas antara subjek-subjek hukum yang berbeda yang secara lebih
natural mungkin bisa dikelompokkan di bawah judul hukum privat, hukum niaga, prosedur
kriminal dan lain sebagainya. Dengan susunan seperti itu juga ada keuntungan praktisnya,
yaitu bisa memasukkan persoalan-persoalan tertentu ke dalam jurisdiksi berbagai
pengadilan, atau penerapan berbagai prinsip penafsiran kepada aturan-aturan yang menjadi
bagian dari kategori-kategori tertentu.

Pembagian hukum sipil menjadi dua kategori pasar publik dan privat itu
sesungguhnya berakar pada tradisi hukum Romawi awal, karena sudah jamak diketahui
bahwa hukum Romawi membagi semua hukum menjadi dua bidang publik dan privat.
Pengacara Romawi memahami hukum publik sebagai badan hukum yang mengatur urusan
komunitas dan hubungan mereka serta tindakan otoritas dimana individu-individu adalah
subjeknya. Sementara hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pribadi yang berhadapan dengan pribadi lain sebagai individu, meskipun dalam kasus
hukum Romawi saat itu lebih terfokus untuk sekedar membedakan antara hukum
komunitas (negara) dan hak miliknya (ius publicum) dan hukum individu dan keluarganya
(ius privatum) ketimbang mensistematiskan hukum menjadi dua wilayah besar yang kita
temukan dalam tradisi hukum sipil modern. Oleh karena itu doktrin pembagian tersebut
tidak bisa diisolasi dari latar belakang kesejarahan tradisi hukum sipil itu sendiri. Hal ini
sangat benar kalau kita pertimbangan secara historis perbedaan antara hukum publik dan
hukum privat dalam praktiknya tidak dikenal Eropa pada abad pertengahan dan tradisi sipil
lahir tanpa keberadaannya. Makanya gagasan tentang pembagian hukum sebagian adalah
respon terhadap modal hukum kesatuan yang lazim dianut negara-negara Eropa feodal.
Hukum feodal di mana atribut kepemilikan dan atribut kekuasaan tidak dibedakan secara
memadai dan seringkali diposisikan secara sama ditantang oleh munculnya gagasan
pembagian hukum sipil. Bahkan di Eropa sekalipun sesungguhnya ada teori pembagian
hukum, tapi teori itu tidak berusaha membedakan wilayah publik dan wilayah privat bagian
yang ada dalam teori itu malah didasarkan pada hubungan berbagai kelompok orang seperti
halnya dalam hukum feodal, hukum manorial, hukum servitary dan lain sebagainya.
Bahkan di sini batasannya tidak jelas sehingga hukum sipil bisa mengintrodusir perubahan
besar-besaran hingga kini dalam organisasi hukum.

 Karena hukum dibuat secara formal dalam bentuk Undang-Undang atau aturan
pemerintah lainnya, maka muatan aturan hukum berlain-lainan dalam suatu ikatan
wilayah negara tertentu, meskipun bentuk hukumnya sama yang diikuti di negara-
negara penganut tradisi Civil law ini.
 Dalam perkembangannya, substansi hukum bergerak mengikuti arah modernisasi suatu
negara, disesuaikan dengan kemajuan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat yang bersangkutan.
 Di banyak negara, modernisme dan sekulerisme menjadi logika yang dominan dari
perubahan substansi hukum tersebut. Sehingga Undang-Undang yang dibuat secara
otomatis mengikuti nilai-nilai hukum yang dibawa oleh kedua isme tersebut, misal:
 Hukum keluarga dalam era kekinian menjadi bersifat indivualis dan sekuler, dengan
pemberian hak yang sejaajar antara laki-laki dan perempuan.
 Hukum pidana juga mengalami perkembangan dengan penekanan kepada individu
pelaku kejahatan sehingga bentuk hukuman fisik semakin ditinggalkan.

Dari doktrin pembagian hukum itu kita bisa melihat bahwa dalam banyak hal undang-
undang sipil mengadopsi teori kategori yang logika dasarnya dikembangkan pada masa
Romawi. Namun muatan substantif hukum di negara berhukum sipil dibuat oleh dan untuk
diri mereka sendiri karena merasakan kebutuhan untuk menyesuaikan hukum dengan
perubahan waktu dan kondisi. Bahkan konstruksi tradisi hukum yang dijelaskan diatas bisa
terlihat dalam berbagai aspek hukum substantif tersebut. Ia tercermin dalam kehidupan
sehari-hari manusia karena terutama berdasarkan aspek inilah hukum itu mendefinisikan,
mengatur, dan mengelola hubungan individu-individu (seperti dalam hukum privat) dan
antara individu dan negara (seperti dalam hukum publik) karenanya hukum substantif pada
dasarnya hanyalah manifestasi weltanschauung yang dikembangkan pada masing-masing
daerah. Orang mungkin menggunakan logika yang sama dalam membangun hukum tapi
yang membuatnya berbeda dan beragam adalah muatannya.
BAB V – SEJARAH HUKUM INDONESIA

Sistem Hukum Pra-kemerdekaan


Hukum Indonesia mulai berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Makna Proklamasi Kemerdekaan Hukum Indonesia adalah menghentikan tatanan hukum
kolonial oleh penguasa kolonial dan pada saat yang sama membentuk suatu tatanan hukum
nasional. Teks proklamasi tersebut bukanlah dokumen hukum. Sehari setelah proklamasi,
PPKI merancang UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, maka semua undang-undang dan
peraturan harus sesuai dengan itu. Namun, pada masa-masa awal kemerdekaan, pemerintah
Indonesia tidak memberlakukan undang-undang yang mencakup sektor kehidupan sehari-hari
dan menciptakan kekosongan hukum.
Pasal Ketentuan Peralihan menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan
yang telah berkuasa sebelum perang, asalkan tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945,
berlaku kecuali jika telah disahkan peraturan perundang-undangan penggantinya. oleh
pemerintah indonesia. Jelas bahwa Pasal Ketentuan Peralihan merupakan jalan untuk
menghidupkan kembali peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa kolonial
Belanda. Walaupun peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kolonial
berdasarkan Pasal Ketentuan Peralihan, mereka tunduk pada kerangka hukum Indonesia
Penguasa kolonial Belanda, bagaimanapun, mendirikan pluralisme hukum di bidang hukum
privat di Indonesia. Pasal tersebut, bagaimanapun, tidak serta merta menghilangkan pluralisme
hukum di wilayah hukum privat yang dibuat oleh penguasa kolonial Belanda. Dalam
prakteknya, di bidang hukum privat, pluralisme hukum tetap berlaku tanpa harus menciptakan
diskriminasi hukum berdasarkan keturunan ras. Dalam hierarki hukum, itu digolongkan
menjadi undang-undang tetapi dalam sebuah koloni mungkin dianggap kurang lebih sebagai
konstitusi.
Sebenarnya, hukum modern tidak ada di Indonesia sampai diadopsinya Reglement op de
Rechterlijke Organisatie en Het Beleid der Justitie (Peraturan Peradilan dan Kebijakan
Keadilan) disingkat R.O., Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan Umum Peraturan
Perundang-undangan) biasa disingkat A.B., Burgerlijk Wetboek (KUHP) disebut B.W.,
Wetboek van Koophandel (KUHD) biasa disebut W.v.K., dan Bepalingen Betrekkelijk
Onvermogen, Misdrijven, Begaan fer Gelegenheid van Faillisement en bij Kennelijk,
Mitsgaders bij Surseance van Betaling (Ketentuan tentang Kejahatan Yang Berkaitan dengan
Kepailitan dan , Kepailitan). Di bawah kebijakan itu, kerajaan dan kekuasaan eksekutif atas
koloni akan dikendalikan, di satu sisi, dan di sisi lain, perlindungan hukum dan kepastian
hukum bagi mereka yang tinggal dan mereka yang melakukan bisnis di koloni akan dibuat
(tertuang dalam pasal 79, 88, dan 89 RR pasal 79). Pasal 79 mengatur tentang pemisahan
kekuasaan, di mana kekuasaan kehakiman harus dipegang oleh pengadilan yang independen.
Pasal 88 mengatur proses hukum dalam acara pidana, sedangkan pasal 89 melarang
pemidanaan yang akibatnya mengakibatkan perampasan hak-hak terpidana.
Bahkan, sebelum berlalunya R.R., penduduk koloni berbagi berbagai hukum berdasarkan
ras, agama, dan budaya. Penduduk India-Belanda dibedakan menjadi orang Eropa serta mereka
yang diberi status yang sama sebagai orang Eropa dan orang Indonesia Pribumi serta mereka
yang disamakan dengan orang Indonesia Asli. Oleh karena itu, ketiga pasal AB perlu
dituangkan ke dalam R.R. agar menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan undang-undang
substantif serta peradilan di Belanda-India. Ketika R.R diadopsi, pasal 6 sampai 10 dari A.B.
dipindahkan ke dalam pasal 1 R.R Pasal tersebut juga membedakan antara orang Eropa dan
orang Indonesia Pribumi serta mereka yang disamakan sebagai orang Eropa atau orang
Indonesia Pribumi. RR berbeda dari A.B. dalam hal itu tidak menjadikan agama sebagai
kriteria untuk mengklasifikasikan mereka yang bukan benar-benar orang Eropa atau Pribumi
Indonesia ke dalam setiap pengelompokan. Berbeda dengan pasal 109 R.R. yang
mengelompokkan penduduk Indonesia menjadi dua golongan yaitu orang Eropa dan orang
Indonesia Pribumi, pasal 163 dari 1.5. menetapkan tiga golongan yaitu orang Eropa, orang
Timur Asing, dan orang Indonesia Pribumi. Yang termasuk orang Eropa adalah orang Belanda,
keturunan Eropa selain Belanda, Jepang, dan orang-orang di luar Hindia-Belanda dan Eropa
yang hukum keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda, dan anak sah atau anak tidak
sah tetapi kemudian diakui oleh orang Eropa sebagai anak-anak mereka dan keturunan mereka
yang lahir di Belanda-India. Orang Indonesia Pribumi adalah semua penduduk asli Hindia-
Belanda yang tidak mengubah statusnya menjadi golongan lain dan mereka yang merupakan
orang golongan lain yang telah menjadikan diri sendiri sebagai penduduk asli Indonesia
Mereka yang bukan orang Eropa atau orang Indonesia Pribumi jatuh ke dalam Orang Timur
Asing. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Dewan Hindia-Belanda dapat mengabulkan
permohonan tersebut dan nama orang yang diberi status yang sama dengan orang Eropa
diumumkan pada Lembaran Negara Hindia-Belanda. Karena Lembaran Negara dalam bahasa
Belanda disebut Staatsblad, orang non-Eropa yang diberi status yang sama dengan orang Eropa
disebut "Staatsblad untuk orang Eropa". Non-Eropa yang mengubah statusnya menjadi Orang
Eropa kebanyakan adalah orang Indonesia Kristen dan Tionghoa. Menariknya, tidak ada
prosedur bagi orang Eropa untuk mengintegrasikan diri ke dalam orang Indonesia Pribumi.
Integrasi seperti itu dianggap terjadi ketika Eropa atau Timur Asing memeluk Islam, bergaul
dengan masyarakat asli Indonesia, meniru cara hidup Indonesia, meniru adat istiadat Indonesia
atau singkatnya, seseorang berperilaku seolah-olah orang asli Indonesia, .dan merasa menjadi
orang Indonesia.
Hukum privat harus didasarkan pada prinsip konkordansi, dimana hukum privat Belanda
harus berlaku untuk orang Eropa yang tinggal di Belanda-India. Wichers, diadopsi sebagai
hukum privat dan hukum komersial diterapkan ke semua orang Eropa. H.L. Wichers dikenal
sebagai pendukung unifikasi hukum di Belanda-India berdasarkan hukum Eropa. Akibatnya,
sejak saat itu hanya masyarakat adat Indonesia yang diatur oleh hukum adatnya sendiri.
Mengandalkan pasal 131 ayat (4) IS, bagaimanapun, dan Pribumi Indonesia sebagai individu
diberikan pilihan untuk menggantikan hukum adat di bidang hukum swasta dan komersial
dengan menyerahkan sukarela ke hukum Eropa. Hukum mengenai konflik hukum yang timbul
dari transaksi antar golongan adalah Hukum Perkawinan, Pengakuan dan Pengesahan anak
haram, Hukum Pertanahan, dan Perjanjian Kerja
Di bidang hukum pertanahan, pemindahan tanah yang diatur menurut hukum adat dan
dimiliki oleh orang Indonesia Asli kepada orang Indonesia bukan orang Indonesia yang
mengakibatkan tanah yang tidak diatur oleh hukum adat dilarang dengan peraturan yang
ditempatkan dalam Lembaran Negara tahun 1875 Nomor 179 tanggal 4 Agustus 1975. Tujuan
dari Perda tersebut adalah untuk melindungi Pribumi Indonesia yang secara ekonomi lemah
dari manipulasi oleh kelompok lain yang lebih kuat dari segi ekonomi Larangan itu, kemudian,
adalah untuk menghindari perampasan kepemilikan tanah oleh Penduduk Asli Indonesia.
Tanah yang diatur oleh hukum Eropa menjadi tanah Eropa; sedangkan yang di bawah hukum
adat disebut tanah adat. Orang Indonesia asli boleh memiliki tanah Eropa dan hukum Eropa
berlaku atas tanah itu.
Dalam R.O. itu dirancang pengadilan yang yurisdiksi pribadinya atas orang Eropa serta
yang diberi status yang sama dengan orang Eropa dan pengadilan yang yurisdiksinya atas orang
Indonesia Asli serta yang diperlakukan sama dengan orang Indonesia Asli
Pengadilan tersebut yaitu:
(a) Pengadilan yang didirikan oleh Penduduk Asli Orang Indonesia yang berada di
beberapa wilayah Belanda-India, yang diresmikan dengan hakim Pribumi yang diadili
di bawah aturan dan prosedur yang dibuat oleh Orang Indonesia asli. Pengadilan
semacam ini berada di luar Jawa dan Madura, yaitu Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat,
Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Barat Machine Translated by Google Kalimantan,
Kalimantan Selatan dan Timur, Manado, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan Bali.
(b) Pengadilan kerajaan didirikan di wilayah Kerajaan yang memiliki pemerintahan
sendiri, kecuali Paku Alaman dan Pontianak, yang yurisdiksinya terbatas pada sengketa
antara keluarga kerajaan
(c) pengadilan agama ada di daerah-daerah di mana: Pengadilan Negeri yang terletak atau
merupakan bagian dari pengadilan yang didirikan oleh Penduduk Asli Indonesia jika
pengadilan tersebut terletak di daerah di mana satu-satunya Pengadilan yang didirikan
oleh penduduk asli Indonesia atau mereka menjadi bagian dari Kerajaan pengadilan
jika mereka berada di wilayah pemerintahan sendiri
(d) Pengadilan Pedesaan ada untuk masyarakat pedesaan. Pengadilan semacam ini
didirikan di daerah-daerah di mana Pemerintah Pengadilan ada. Di daerah-daerah di
mana pengadilan-pengadilan Pribumi-Indonesia didirikan ada, Pengadilan Pedesaan
menjadi bagian dari pengadilan. Demikian pula, di Kerajaan yang diperintah sendiri
wilayah, Pengadilan Pedesaan adalah bagian dari mereka
Pengadilan Negeri dipecah menjadi pengadilan yang diperuntukkan bagi Orang Asli
Indonesia dan yang diperuntukkan bagi orang Eropa. Pengadilan untuk Penduduk Asli
Indonesia adalah: (a) Districtsgerecht: pengadilan yang diadakan dan diadministrasikan di
distrik-distrik tempat kepala distrik menjabat sebagai hakim; (b) Regentschapsgerecht:
pengadilan untuk Pribumi Indonesia yang diadakan dan diselenggarakan di daerah kabupaten
dimana bupati atau wakilnya bertindak sebagai hakim; (c) Landraad: adalah pengadilan biasa
dipimpin secara profesional oleh hakim terpelajar yang terletak di setiap ibukota kabupaten;
dan (d) Rechtspraak ter Politierol: ditunjuk untuk ringkasan kasus yang berada di bawah
yurisdiksi Landraad. Pengadilan di Politierol ditangani oleh Asisten Gubernur sebagai hakim
tunggal.
Sedangkan pengadilan untuk orang Eropa adalah: (a) Residentiegerecht: pengadilan
untuk orang Eropa yang didirikan di semua kota di Belanda India tempat Landraad berada; (b)
Raad van Justitie: pengadilan biasa bagi orang Eropa baik secara sipil maupun kasus-kasus
kriminal. Pengadilan ini juga merupakan lembaga penyelesaian bagi sengketa antara
pengadilan yang berada di bawah yurisdiksinya. Kemudian, pengadilan tersebut juga
merupakan pengadilan banding untuk keputusan Residentiegerect dan Landraad, dan (c)
Hoogerechtshof: pengadilan untuk upaya banding terakhir. Namun juga pengadilan untuk
pejabat tinggi di lembaga peradilan dan administrasi serta untuk anggota Volksraad, Dewan
Perwakilan Rakyat Belanda-India, yang melakukan kejahatan.
Pengadilan Eropa mengadili pada tingkat pertama tindakan perdata dan penuntutan
terhadap: (a) Raja, Pengurus Tinggi, dan Bupati yang tidak lagi berkuasa; (b) Istri, Kerabat,
Afinitas hingga sepupu seperempat Raja, Pengurus Tinggi, dan Bupati tanpa memandang
berkuasa atau tidak; (c) Wakil Bupati, Kepala Distrik, dan otoritas Belanda-India lainnya,
Kepala Pejabat Agama (penghulu kepala), Jaksa, anggota Landraad tim penuntut, Panitera
untuk Landraad dan Landgerecht; (d) Penduduk Asli Indonesia bergelar "Raja" meskipun dia
tidak memerintah; (e) Anggota dewan lokal non-Eropa, yaitu Penduduk Asli Indonesia dan
Cina, anggota Institut Kustodian, dan Kepala Orang Timur Asing; (f) Perwira Angkatan Darat
dan Angkatan Laut Belanda-India non-Eropa sekalipun pemberhentian dengan hormat dalam
hal mereka tidak diadili di Pengadilan Militer.
Sistem hukum Indonesia merupakan bagian dari sistem hukum perdata. Harus mencatat
bahwa ada dua sistem hukum utama di dunia, sistem hukum umum dan sistem hukum sipil.
Sistem hukum perdata yang diturunkan dari sistem hukum ketat Romawi tidak berlaku doktrin
tatapan decisis. Dalam sistem ini hakim diberikan keleluasaan yang luas untuk menafsirkan
hukum. Karena Indonesia adalah jajahan Belanda, maka sistem hukum Indonesia adalah milik
sistem hukum sipil. Sama seperti sistem hukum kontinental, yang tidak menerapkan doktrin
tatapan decisis, hakim Indonesia tidak terikat pada hukum perkara. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang berlaku saat ini adalah UUD 1945, yang telah diubah empat
kali setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Otoritas militer Jepang, yang mulai memerintah
Indonesia sejak mereka memperoleh kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda yang tanpa
syarat menyerah kepada pada tanggal 9 Maret 1942, menghapuskan pluralisme peradilan dan
mengeluarkan Undang-undang yang disebut Osamu Stirei untuk melaksanakan tugas mereka
administrasi. Osamu Stirei berisi aturan umum, dalam hal pelaksanaan pemerintahan militer
pada saat diperlukan dan dalam keadaan keadaan darurat. 25 Maret 1947 Republik Indonesia
yang wilayahnya hanya Yogyakarta mengadakan perjanjian dengan Belanda di Linggarjati
untuk berhenti perselisihan mereka, yang kesepakatannya disebut “Perjanjian Linggarjati”.
Subjek soal “Perjanjian Linggarjati” adalah berdirinya Negara Amerika Serikat Indonesia di
bawah naungan Uni Belanda-Indonesia dipimpin oleh Ratu Belanda. Namun, kesepakatan
tersebut tidak berhasil. Disebabkan oleh tindakan militer Belanda terhadap pemimpin
Indonesia. Tindakan yang dijuluki sebagai "tindakan polisi" itu ditujukan kepada polisi
pemimpin Indonesia. Dari pihak Indonesia saya menyebutnya "Agresi Pertama". Belanda
kembali ke meja perundingan di Januari 1948. Perjanjian ditandatangani di kapal “Renville”,
karena itu perjanjian itu disebut “Perjanjian Renville”. Dalam perjanjian, itu diletakkan
menurunkan persyaratan perlucutan senjata dan pemulihan keamanan. Perjanjian ini juga
terkoyak oleh agresi kedua Belanda yang pecah pada tanggal 19 Desember 1948. Belanda
menjadikan wilayah yang dijajah sebagai negara tiruan, seperti Timur Negara Indonesia,
Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, dll. yang masing-masing dipimpin oleh Presiden
masing-masing. Negara-negara boneka mendirikan Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(Konferensi untuk Konsultasi Federal) umumnya dikenal sebagai BFO. Pada tanggal 29
Oktober 1949, Konferensi Meja Bundar Den Haag sampingan menghasilkan rancangan
Konstitusi untuk Negara Federal yang akan datang, yang diratifikasi dengan penandatanganan
Piagam Perjanjian. DPR RI dan BFA perwakilan, kemudian, menyetujui konstitusi. Konstitusi
itu menjadi Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberi nama
sebagai Konstitusi Federal. Setelah pemulihan kedaulatan Indonesia dilakukan di Amsterdam
dan pemindahan kekuasaan dilakukan di Jakarta Pada tanggal 27 Desember 1949, Republik
Indonesia Serikat berdiri di bawah konstitusi. Di bawah negara federasi seperti itu, Republik
Indonesia yang wilayahnya adalah Yogyakarta dan sekitarnya menjadi salah satu negara bagian
Amerika Serikat Republik Indonesia. NKRI hanya bertahan delapan bulan. Pada tanggal 20
Juli 1950, Komite Bersama menghasilkan Pernyataan Bersama yang menyetujui persiapan
pembentukan Negara Kesatuan dan merancang rancangan UUD Sementara. UUD Sementara
1950 memuat Hakikat UUD 1945 yang asli dilengkapi dengan sebagaimana mestinya
ketentuan Konstitusi Federal. Pasal 137 konstitusi menetapkan prosedur mengadopsi konstitusi
baru. Ayat (1) Pasal menyatakan bahwa kecuali setidaknya dua pertiga dari anggotanya
menghadiri sesi, Dewan Konstituante tidak memenuhi syarat untuk mencapai keputusan
tentang rancangan baru konstitusi. Ayat (2) Pasal yang sama mengatur bahwa yang baru
Konstitusi akan berlaku jika rancangan itu disetujui oleh setidaknya dua pertiga dari mereka
yang hadir dan disahkan oleh Presiden sebagaimana mestinya. Namun pada pemilihan umum
1955 sidang-sidang Dewan Konstituante dihadiri kurang dari dua pertiga dari anggotanya.
Akibatnya, Dewan gagal memenuhi kualifikasi ditentukan dalam Pasal 137 UUD Sementara
1950 dalam konstitusi. Mencegah terjadinya krisis yang berujung pada kekacauan, Presiden
Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Perintah 5 Juli 1959 tentang Pemberlakuan
Kembali UUD 1945 dan pencabutan UUD Sementara sekaligus, pembubaran Dewan
Konstituante, dan pembentukan Rakyat Sementara Majelis Permusyawaratan dan Badan
Pertimbangan Agung Sementara. Sejak itu, UUD 1945 versi asli ditambah penjelasannya, yaitu
dibentuk melalui Peraturan Presiden, menjadi konstitusi yang berlaku utuh hingga munculnya
era reformasi. Era reformasi membawa perubahan terhadap UUD 1945, yang sebelumnya
dianggap sebagai kitab suci UU No.5 Tahun 1985. Pasal 7 UUD 1945 versi asli. UUD menjadi
pintu masuk bagi mengubah kitab yang tidak lagi dianggap suci. Pasal tersebut mengatur
bahwa Presiden Indonesia menjabat untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali
untuk istilah berturut-turut. Dalam versi asli konstitusi, tidak ada ketentuan tunggal yang
mengatur pembatasan masa jabatan presiden. Tidak adanya ketentuan seperti itu dalam versi
asli UUD 1945 Konstitusi menyebabkan manipulasi konstitusi oleh mereka yang memegang
kekuasaan. Pemerintahan orde baru di bawah Soeharto telah mempraktekkan politik rekayasa.
Mengambil alih kekuasaan setelah kudeta yang konon gagal oleh so disebut Gerakan 30
September atau Gerakan 30 September dijuluki G 30-S, sang jenderal mengatur dan mengatur
pemerintahan demokrasi semu. Karena manipulasi seperti itu, disepakati oleh Soeharto MPR
bahwa UUD perlu diubah. Itu Perubahan pertama UUD 1945 dilakukan pada Sidang Paripurna
Rapat Umum Permusyawaratan Rakyat ke-12 tanggal 19 Oktober 1999. Amandemen keempat
UUD 1945 disahkan pada Rapat Tahunan MPR 2002.

Anda mungkin juga menyukai