Anda di halaman 1dari 16

1

TEORI STRUKTURAL DAN FUNGSIONALISME


Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Teori-Teori Sosial”

Disusun Oleh:
Maher Khoirul Isro’ (211517027)
Zakiya Hannani Wafda (211517001)

Dosen Pengampu:
Andhita Risko Faristiana, M.A.

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
2020

1
2

2
1

PEMBAHASAN

A. Sejarah Teori Struktural Fungsionalisme


Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam
sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai
sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi
dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer
menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja
demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling
mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa
mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap
berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons,
"fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam
pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
Pemikiran struktural-fungsionalisme sangat dipengaruhi oleh pemikiran
biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu
terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap
dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan
structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.1
Struktural-fungsionalisme lahir sebagai reaksi terhadap teori
evolusionari. Jika tujuan dari kajian-kajian evolusionari adalah untuk
budaya manusia, maka tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme
adalah untuk membangun suatu sistem sosial, atau struktursosial, melalui
pengajian terhadap pola hubungan yang berfungsi antara individu-
individu,antara kelompok-kelompok, atau antara institusi-institusi sosial di
dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu. Jadi pendekatan

1 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Fungsionalisme-struktural. http://id.wikipedia.org


1
2

evolusionari lebih bersifat historis dan diakronis, sedangkan pendekatan


struktural-fungsional lebih bersifat statis dan sinkronis.2
Ada tiga asumsi yang dianut oleh fungsionalisme yaitu : 1) Realitas
Sosial dianggap sebagai suatu sistem, 2) Proses sistem hanya dapat
dimengerti dalam hubungan timbal balik antar bagian-bagian, 3) Suatu
sistem terikat dengan upaya mempertahankan integrasi.3 Dalam perspektif
ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja
sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur
menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang
stabil dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu
kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan
seimbang. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu
keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional; bila
perubahan sosial tersebut mengganggu keseimbangan, hal tersebut
merupakan gangguan fungsional,; bila perubahan sosial tidak membawa
pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional, sedangkan pemboman,
pembunuhan dan terorisme adalah gangguan fungsional, dan perubahan-
perubahan dalam kamus politik atau perubahan dalam lambang partai
adalah tidak fungsional.4

B. Tokoh-Tokoh Teori Struktural Fungsionalisme


1. Emile Durkheim
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan
organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut
memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus
dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam
keadaan normal. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak terpenuhi,

2 Amri Marzali, 2014. “struktural fungsionalisme”. Jurnal Antropologi. No. 52,


http://journal.ui.ac.id. 15 Februari 2020
3 Binti Maunah, Oktober 2016, “Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional”, Jurnal
Cendekia, Vol. 10, No. 2, 166 (http://cendekia.pusatbudaya.or.id, 17 Februari 2020)
4 Paul B. Horton, Chester L. Hunt, “Sosiologi : Edisi Keenam Jilid 1”, terj. Aminuddin Ram dan
Tita Sobari, (tk : PT. Gelora Aksara Pratama), hal : 18-19

2
3

maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Para


fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai
equilibrium, atau sebagai sistem yang seimbang, sedang keadaan
patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.5
Teori Fungsionalisme Emile Durkheim ini mengajukan asumsi
bahwa : 1) masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang
terdiri dari bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan, 2) bahwa
bagian-bagian suatu sistem yang berfungsi untuk memenuhi
kepentingan sistem secara menyeluruh, 3) kepentingan fungsional
dipergunakan dalam kondisi normal dan patologis, untuk mencegah
keadaan yang abnormal.6
Menurut Emile Durkheim, sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam
masyarakat dan proses-proses sosial. Dalam sebuah majalah sosiologi
yang pertama yaitu “L’annee Sociologique” dia mengadakan pembagian
sosiologi atas tujuh seksi, yaitu :
a. Sosiologi umum yang mencakup kepribadian individu dan
kelompok manusia,
b. Sosiologi agama,
c. Sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi
politik, organisasi sosial, perkawinan dan keluarga,
d. Sosiologi tentang kejahatan,
e. Sosiologi ekonomi yang mencakup ukuran-ukuran
penelitian dan kelompok kerja,
f. Demografi yang mencakup masyarakat perkotaan dan
pedesaan,
g. dan Sosiologi estetika.
Dia juga menekankan pentingnya penelitian perbandingan, karena
sosiologi adalah ilmu mengenal masyarakat. Disamping itu Durkheim
mengulas solidaritas dan angka bunuh diri dalam masyarakat bersahaja
sebagai bersifat mekanis, karena sifatnya spontan. Sedangkan pada
masyarakat yang komples bersifat organis.7 Dalam suatu sistem
5Margaret M. Poloma, ”Sosiologi kontemporer”. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000). Hal. 25-
26
6 Binti Maunah, Oktober 2016, “Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional”, Jurnal
Cendekia, Vol. 10, No. 2, 166 (http://cendekia.pusatbudaya.or.id, 17 Februari 2020)
7Soerjono, “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1982). Hal. 445-445
3
4

masyarakat akan muncul adanya bahaya/gangguan. Untuk itu


diperlukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya suatu
fenomena berdasarkan tujuannya. Durkheim memberikan prioritas pada
analisis yang menyeluruh terhadap keadaan masyarakat dan
memandang bagian-bagiannya mempunyai konsekuesni untuk mencari
keadaan yang normal, disamping adanya bahaya/gangguan untuk
mencapai tujuan. Fungsionalisme mempunyai pendapat bahwa suatu
fakta sosial terjadi karena adanya kebutuhan akan ketertiban sosial.
Oleh karena itu suatu sistem sosial dapat diprogramkan guna memenuhi
tujuan-tujuan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu sehingga mempunyai
fungsi dalam membangun unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan.8
2. Robert K. Merton
Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan
pengetahuannya yang menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik. Dia
menggunakan penulis-penulis besar seperti Max Weber, William I.
Thomas dan E. Durkheim sebagai dasar baginya. Di permukaan
mungkin terlihat bahwa Merton sendiri tidak memiliki suatu teori yang
bulat, mengingat ia hanya menulis esai-esai yang mencoba
menyempunakan berbagai aspek-aspek tulisan klasik. Akan tetapi di
dalam keseluruhan tulisan-tulisannya kita menemukan suatu tema yang
menonjol yaitu, “arti pentingnya memusatkan perhatian pada struktur
sosial dalm analisa sosiologis”.9
Di Amerika, meminjam contoh Merton, tujuan kultural yang paling
penting menuntut individu untuk bekerja keras dalam satu pekerjaan
yang normal secara kelembagaan dimana dia menerima pendapatan atau
gaji yang merepresentasikan kesuksesan moralnya. Akan tetapi, jika
ekonomi yang bersangkutan tidak menyediakan pekerjaan-pekerjaan
yang bisa menghasilkan pendapatan untuk semua anggota masyarakat
maka anggota yang tidak memiliki pekerjaan tidak akan mampu meraih
tujuan kultural bersama. Salah satu diantara tema-tema yang paling

8 Ibid., Pendidikan dalam,,,,,, hal. 166-167


9 Ibid, sosiologi kontemporer, hlm. 30-31
4
5

kontroversial dalam esai tersebut adalah gagasan bahwa individu-


individu yang ingin meraih tujuan-tujuan budayanya tetapi tidak
mampu menemukan cara-cara yang normal secara kelembagaan
(seperti, misalnya, suatu pekerjaan tetap) untuk bisa meraih tujuan-
tujuannya itu akan berinovasi dengan menggunakan cara-cara yang
menyimpang, seperti yang terjadi, misalnya, ketika seorang ibu miskin
mencuri susu untuk bayinya artau seorang manajer perusahan yang
ambisius yang gagal dalam kariernya menyalahgunakan wewenang atau
melakukan manipulasi lainnya untuk menimbulkan kesan bahwa
dirinya berhasil meraih sukses dalam hal keuangan.10
Karya awal Merton sangat dipengaruhi Weber, seperti yang terlihat
dalam disertasi doktoralnya yang menganalisa perkembangan ilmu pada
abad ke-17 di Inggris. Disini Merton meneliti hubungan antara
Protestanisme dan perkembangan Kapitalisme. Pengaruh Weber dapat
juga dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber,
Merton mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi
modern.11
a. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir
secara rasional dan formal.
b. Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas
yang jelas.
c. Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan
dengan tujuan-tujuan organisasi.
d. Jabatan dalam organisai diintegrasikan kedalam
keseluruhan struktur birokratis.
e. Status dalam birokrasi tersusun kedalam susunan yang
bersifat hierarkis.
f. Berbagai kewajiban serta hak didalam birokrasi dibatasi
oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci.
g. Otoritas pada jabatan, bukan pada orang.
h. Hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal.

10 Bryan S. Tuner, “Teori Sosial : Dari Klasik Sampai Post Modern”, terj. E. Setiyawati dan Roh
Shufiyati, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), hal 204-206
11Ibid., Margaret, Sosiologi Kontemporer, hlm. 30-31
5
6

Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur, akan


tetapi terus membahas kepribadian sebagai produk organisasi struktural
tersebut. Struktur birokratis memberi tekanan terhadap individu
sehingga mereka menjadi disiplin, bijaksana metodis. Tetapi tekanan ini
kadang-kadang menjurus kepada kepatuhan mengikuti peraturan secara
membabi buta tanpa mempertimbangkan tujuan dan fungsi untuk apa
aturan itu pada mulanya dibuat. Struktur birokratis dapat melahirkan
tipe kepribadian yang mematuhi peratutan tertulis daripada semangat
untuk apa peraturan itu ditetapkan.
Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan
pem-bendaharaan yang tidah tepat serta beberapa asumsi atau postulat
kabur yang terkandung dalam teori fungsialisme. Merton mengeluh
terhadap kenyataan bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan
untuk melambangkan konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan
konsep yang sama yang digunakan sebagai simbol dari istilah yang
berbeda. Konsep sosiologi seharusnya memiliki batasan yang jelas
bilamana mereka harus berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi
yang dapat diuji. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa
konsep analitis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan
ketidakpastian arti yang terdapat didalam postulat-postulat kaum
fungsional.
Merton mengutip tiga postulat yang terdapat didalam analisa fungsional
yang kemudian disempurnakan satu-persatu.12
1) Kesatuan fungsional masyarakat yang adaptasi dibatasi
sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial
bekerjasama dalam suatu tingkat keselarasan atau kosistensi
internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan yang tidak dapat dibatasi atau diatur”. Merton
menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari
suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta”. Sebagai
contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat

12Ibid., Hal. 35
6
7

bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi


dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional
(mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Paragidma
Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif)
tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh
fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Ia juga menegaskan apa
yang fungsional bagi suatu kelompok dapat tidak fungsional
begi keseluruhan, oleh karena itu batas-batas kelompok yang
dianalisa harus terperinci.
2) Fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh
bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-
fungsi positif”. Sebagaimana sudah kita ketahui, Merton
memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif.
Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsional. Merton
menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya
dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi-
konsekuensi fungsional, yang menimbang fungsi positif
terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama di
Irlandia Utara tadi seorang fungsionalis harus mencoba
mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian
menetapkan apakah keseimbangan diantara keduanya lebih
menunjuk pada fungsi negatif atau positif.
3) Postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa “dalam
setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki
sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian
penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem
sebagai keseluruhan. Menurut Merton postulat ini masih kabur.
Belum jelas apakah fungsi (suatu kebutuhan sosial, seperti
reproduksi anggota-anggota baru) atau item (sebuah norma,
seperti keluarga), merupakan suatu keharusan. Merton menulis
pendek kata postulat indispensability sebagaimana yang sering
7
8

dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi


dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa
fungsi tertentu yang bersifat mutlak dalam pengertian, bahwa
kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau
kelompok maupun individu) tidak akan ada.13
Apa yang ingin dilakukan oleh paradigma Merton kecuali
penjelasan konsep serta pembahasan tentang berbagai kekeliruan dalam
fungsionalisme yang mentah itu, ialah mengangkat ke permukaan
beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka yang menganut
analisa fungsionalis. Untuk menjawabnya kaum fungsionalis harus
mengingat bahwa apa yang mungkin fungsional bagi suatu kelompok
boleh jadi tidak demikian bagi kelompok lain. Lebih daripada itu para
sosiolog harus juga waspada untuk tidak melupakan fungsi laten ketika
sedang terbius oleh fungsi manifes yang lebih jelas terlihat itu.
Robert K. Merton dalam teorinya membagi fungsi menjadi
fungsi manifes atau fungsi yang diharapkan (intended) dan fungsi laten
atau fungsi yang tidak diharapkan (unintended). Dalam
pengembangannya memahami fungsi manifes dalam sosiologi sering
kali terpengaruhi oleh ilmu biologi, seperti halnya panca indra yang ada
dalam tubuh manusia, panca indra tersebut memiliki fungsi masing
biologis. Jadi jika mengacu kepada fungsi ini tentunya dapat dikatakan
bahwa keluarga memiliki fungsi reproduksi dan sosialisasi. Jadi fungsi
reproduksi keluarga sebagai pembuat keturunan, maka fungsi manifes
sosialisasi keluarga yaitu memberikan pendidikan, mengajarkan norma
terhadap anak. Dalam konteks ini, teori ini terfokus pada persoalan
dimana fungsi manifes sebagai salah satu fungsi untuk memberikan
pemahaman, penjelasan atau mensosialisasikan kepada anak dalam
rangka untuk menjadi anak yang memiliki moral, sehingga keluarga
bertanggung jawab dalam fungsinya sebagai pemelihara tatanan dan
lain-lain.

13Ibid., hal. 36-38


8
9

Sosiolog harus lebih waspada untuk tidak melupakan fungsi-


fungsi laten ketika sudah terbius oleh fungsi manifes yang lebih terlihat
dengan jelas. Robert K. Merton menggaris bawahi pendapat bahwa
sebuah institusi sosial memiliki fungsi yang bersifat laten (tersembunyi)
dan berbeda dengan motif-motif eksplisitnya. Misalnya, upacara minta
hujan yang dilakukan orang-orang Indian, hal ini berupaya atau
bermotif agar hujan segera turun, walaupun pada realitanya adalah tidak
demikian.
3. Talcott Parsons
Teori fungsional dari Talcott Parson menganggap bahwa
masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat para
anggotanya akan nilai kemasyarakatan. Penganut teori ini
menggambarkan manusia dan masyarakat cenderung ke arah sudut
deterministik. Manusia bertindak secara sengaja atau rasional, tetapi
tindakan itu dikendalikan oleh internalisasi norma-norma sosial.
Manusia digambarkan sebagai individu yang mampu memutuskan dan
mencari sendiri pemusatan kebutuhannya, tetapi dibatasi oleh norma
serta kondisi situasional.
Teori fungsionalisme structural Parsons yang paling terkenal
adalah skema AGIL. Yang memuat empat fungsi penting yang
diperlukan untuk semua sistem “tindakan” yaitu (Adaption, Goal
Attaintment, Integration, Latency). Masing-masing sub-sistem tersebut
(sistem kultural sosial, kepribadian, dan organism perilaku fungsional
imperative) yang disebut dengan AGIL tersebut.
a. Adaption. (Adaptasi), artinya sebuah sistem harus
menang-gulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem diharuskan
menyesuaikan diri dengan lingkungan serta lingkungan itu
dengan kebutuhannya. Sistem sosial (masyarakat) selalu
berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal. Adaptasi
merupakan fungsi penyesuaian diri yang berarti bahwa suatu
sistem sosial jika ingin bertahan, maka harus ada struktur atau

9
10

institusi yang mampu melaksanakan fungsi adaptasi terhadap


lingkungan sekitar.
b. Goal Attainment. (Pencapaian Tujuan), artinya sebuah
sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utama. Goal
Attainment ini merupakan tujuan yang akan dicapai oleh suatu
sistem yaitu kebutuhan sistem untuk memobilisasi sumber-
sumber dan energy guna mencapai tujuan sistem dan
menentukan suatu prioritas tujuan-tujuan tersebut.
c. Integration (Integrasi), artinya sebuah sistem harus
mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya,
sistem juga harus mengelola hubungan antar ketiga fungsi
lainnya. Setiap sistem selalu terintegrasi dan cenderung bertahan
pada equalibrian (keseimbangan). Kecenderungan ini
dipertahankan melalui kemampuan bertahan hidup demi sistem.
Integrasi ini merupakan suatu kebutuhan guna
mengkoordinasikan, menyesuaikan, mengendalikan relasi-relasi
antar aktor, unit dalam sistem agar sistem tersebut tetap
mempunyai fungsi.
d. Latency, (Pemeliharaan Pola), artinya sebuah sistem
harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi
individu maupun pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi, sistem sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-
bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku
menyimpang selalu diakomodasi melalui kesepakatan-
kesepakatan yang diperbaharui secara terus-menerus.
Dalam penerapan skema AGIL dapat dilihat bahwa pada
organisme perilaku yang merupakan sistem tindakan yang
melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri/mengubah
lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi
pencapaian tujuan dengan sistem dan memobilisasi sumber daya yang
ada untuk mencapainya. Sistem sosial menaggulangi fungsi integrasi
dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

10
11

Sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan


menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai-nilai yang memotivasi
mereka untuk bertindak.14
C. Kritik terhadap Teori Struktural Fungsionalisme
Pada masa strukturalisme yang kuat pada tahun 1940-an dan 1950-
an, ada dua garis pemikiran berstruktur yang berbeda tetapi berhubungan-
yang satu berkiblat di Perancis, yang lainnya di Inggris. Post-
struktturalisme-post-strukturalisme yang berkembang pada tahun 1960-an
dan 19070-an juga ada 2 macam. Akan tetapi, keduanya berusaha
memcahkan masalah-masalah yang tak terpecahkan oleh strukturalisme-
strukturalisme kuat yang karena sifat formal dan determinisiknya, tidak
mampu tunduk pada hukum kardinal pemikiran struktural-yaitu bahwa
struktur adalah suatu rekontruksi yang didasarkan pada arsip-arsip
peristiwa-peristiwa dan objek-objek dalam suatu bidang tertentu. Orang
menerima bahwa metode struktural tidak akan mampu, kecuali dalam
kasus-kasus langka, menghasilkan data numerik yang kuat dan mengatur
efek-efek struktur dengan ketepatan matematis. Yang lebih menyulitkan
lagi dalam strukturalisme itu adalah kecenderungan untuk membesar-
besarkan kemampuan struktur untuk mengatur peristiwa dan objek-objek.15
Seperti halnya semua teori, fungsionalisme struktrural juga
bertumpu pada sejumlah asumsi tertentu tentang hakikat manusia dan
masyarakat. Asumsi-asumsi tersebut cenderung bersifat konservatif lebih
terpusat pada struktur sosial yang ada daripada perubahan sosial.
Masyarakat dianggap terdiri dari bagian-bagian yang secara teratur saling
berkaitan. Fungsionalisme structural tidak hanya berlandaskan pada
asumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga
memantulkan asumsi-asumsi tertentu tentang hakikat manusia. Di dalam
fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstraksi yang menduduki
status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktu-
struktur sosial. Di dalam perwujudannya yang ekstrim, fungsionalisme

14 Ibid., Binti, Pendidikan dalam,,,,,, hal. 170-171


15 Ibid., Bryan. Teori Sosial,,,,,, hal. 206
11
12

structural secara implicit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang


memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai
dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Orang sebagaimana
disajikan oleh fungsionalisme ditentukan oleh kendala-kendala sosial atau
norma-norma yang hanya sedikit memberikan tempat pada pilihan dan
kreativitas manusia.16

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teori Strutural Fungsionalisme dilihat secara perspektif merupakan teori
yang mana masyarakat adalah suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara
terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut
seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Teori ini
lahir sebagai reaksi terhadap teori evolusionari. Tokoh-tokoh teori adalah Emile
Durkheim, Robert K. Merton, Talcott Parsons dan lain sebagainya.
Namun, sebagaimana semua teori, teori struktural fungsionalisme
memiliki kekurangan dan mendapatkan kritik bahwa teori ini hanya bertumpu
terhadap struktur sosial dan mengabaikan perubahan sosial. Namun, teori
Struktural Fungsionalisme sangat tepat apabila digunakan didalam suatu
kelompok yang berupa lembaga, birokrasi, organisasi dan kelompok-kelompok

16 Ibid., Margaret. Sosiologi Kontemporer,,,,,,, hal. 42-43


12
13

yang bersifat resmi, teratur dan memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti


pemerintah, perusahaan, organisasi layanan masyarakat dan lain-lain.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

B. Horton, Paul. Chester L. Hunt, “Sosiologi : Edisi Keenam Jilid 1”, terj.
Aminuddin Ram dan Tita Sobari. tk : PT. Gelora Aksara Pratama, tt

M. Poloma. Margaret, ”Sosiologi kontemporer”. Jakarta : Raja Grafindo Persada,


2000

Soerjono, “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1982

S. Tuner. Bryan, “Teori Sosial : Dari Klasik Sampai Post Modern”, terj. E.
Setiyawati dan Roh Shufiyati. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012

Marzali. Amri. 2014. “Struktural Fungsionalisme”. Jurnal Antropologi. No. 52,


http://journal.ui.ac.id. Diunduh pada 15 Februaru 2020

Maunah, Binti. Oktober 2016, “Pendidikan dalam Perspektif Struktural


Fungsional”, Jurnal Cendekia, Vol. 10, No. 2,
http://cendekia.pusatbudaya.or.id, diunduh pada 17 Februari 2020

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Fungsionalisme-struktural. http://id.wikipedia.org.

14

Anda mungkin juga menyukai