Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang berbeda
dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar. Lewat karya-karya klasik
seorang ahli sosiolog Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat
oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri.
Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu
yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam
keadaan normal dan tetap langgeng.
Robert K Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori
lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan teori-teori fungsionalisme
adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif
ini,

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana fungsionalisme struktural menurut Robert K Merton?
2. Bagaimana Paradigma fungsional Merton?
3. Bagaimana kritik terhadap teori fungsionalisme?
4. Bagaimana Analisa Fungsional Sebagai Ideologi?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Pembaca dapat memahami fungsioanlisme struktural menurut Merton.
2. Pembaca dapat memahami paradigma fungsional Merton.
3. Pembaca dapat memahami kritik terhadap teori fungsionalisme.
4. Pemabaca dapat memahami Analisa Fungsional Sebagai Ideologi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Fungsionalisme Struktural Robert K.Merton

Teori Fungsionalisme Struktural menekankan pada keteraturan (order) dan


mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori
ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen atau
bagian-bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Dalam perspektif Fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yangagak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebaian
masyarakat.

Teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian seperti halnya peperangan,
ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan kemiskinan “diperlukan” dalam suatu
masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan dan kalaupun terjadi sutau
konflik maka penganut teori ini memusatkan perhatian kepada masalah bagaiman
acara menyelesaikan masalah tersebut agar masyarakat kembali mneuju suatu
keseimbangan.Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu
kecenderungan kearah keseimbanngan, yaitu suatu kecenderungan untuk
mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. 1

Meskipun Talcott Parsons adalah teoritisi fungsional-struktural yang paling


penting, beberapa pernyataan paling penting mengenai fungsionalisme sruktural di
dalam sosiologi dihasilkan paling penting mengenai fungsionalisme struktural
didalam sosiologi dihasilkan oleh siswanya, Robert Merton. Merton mengkritik
beberapa aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstream dan tidak dapat
dipertahankan. Akan tetapi, tidak kalah pentingnya, wawasan-wawasan
konseptualnya yang baru membantu memberi manfaat yang berkelanjutan bagi
fungsionalisme struktural.

1
Paul B. Horton,Chester L. Hunt, Sosiologi, (Jakarta : Erlangga) hlm. 18

2
Meskipun Merton dan Persons sama-sama diasosiasikan dengan
fungsionalisme struktural, ada perbedaan-perbedaan penting diantara mereka. Salah
satu alasan perbedaan itu ialah, sementara Parsons membela penciptaan teori-teori
yang bersifat melingkupi, Merton lebih menyukai teori-teori terbatas dengan
cakupan menengah. Alasan lainya, Merton lebih menyukai teori-teori Marxian
dibanding Parsons. Nyatanya, Merton dan beberapa mahasiswanya (khusunya Alvin
Gouldner) dapat dianggap telah mendorong fungsionalisme struktural lebih banyak
kearah kiri secara politis.2

2.2. Suatu Model Fungisonalisme Struktural

Merton mengkritik hal yang dia naggap sebagai tiga dalil dasar analisis
fungsional seperti yang dikembangkan oleh para antropologi seperti Malinowski dan
Radcliffe Brown. Pertama ialah dalil kestuan fungsional masyarakat. Dalil tersebut
menganggap bahwa semua kepercayaan sosialdan budaya dan praktik yang
distandarkan bermanfaat bagi masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan juga
sebagai individu didalam masyarakat. Pandangan itu menyiratkan bahwa berbagai
bagian sistem sosial nantinya akan menunjukkan level integrasi yang tinggi.

Dalil kedua ialah fungsionalisme universal. Yakni, diargumenkan bahwa


semua bentuk sosial dan budaya yang distandarkan mempunyai fungsi positif.
Merton beragumen bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan yang kita jumpai
di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat kebiasaan, ide, kepercayaan,
dan seterusnya, mempunyai fungsi-fungsi positif.

Contohnya, nasionalisme fanatik bisa sangat tidak bermanfaat di dunia yang


mempunyai segudang senjata nuklir.

Ketiga adalah dalil kebutuhan mutlak. Argumenya disini adalah bahwa semua
aspek masyarakt yang distandarisasikan tidak hanya mempunyai fungsi positif,
tetapi juga amenggambarkan bagian dari cara kerja keseluruhan yang mutlak ada.
Dalil tersebut menghasilkan ide bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional
adalah untuk masyarakat. Tidak ada strukktur dan fungsi lain yang dapat bekerja
sebaik struktur dan fungsi yang dijumpai didalam masyarakat sekarang ini.

2
George Ritzer.Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2014) hlm. 427

3
Kritik merton selanjutnya kepada Parsons ialah bahwa setidaknya kita harus
bersedia mengakui bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional yang
terdapat didalam masyarakat.

Pendirian Merton ialah bahwa semua dalil fungsional tersebut bersandar pada
penegasan-penegasan non-empiris yang didasarkan pada sistem-sistem teoritis
abstrak. Minimalnya, sosiolog bertanggung jawab untuk memeriksa masing-masing
penegasan itu secara empiri. Kepercayaan Merton bahwa pengujian-pengujian
empiris, bukan pernyataan-pernyataan teoritis, sangat penting bagi fungsional,
menuntunya mengembangkan “paradigma” analisis fungsionalnya sebagai suatu
paduan untuk penyatuan teori dan riset.

Sejak awal Merton menjelaskan bahwa analisis fungsional-struktural berfokus


pada kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, masyarakat-masyarakat dan
kebudayaan-kebudayaan. Dia menyatakan bahwaa setiap objek yang dapat
ditundukkan kepada analisis fungsional-struktural harus “menggambarkan suatu
item yang distandarkan” (yakni terpola dan berulang). Dia memaksudkan hal seperti
“peran-peran sosial, pola-pola kelembagaan, proses-proses sosial, pola-pola budaya,
emosi yang tepola secara budaya, norma-norma sosial, organisasi kelompok, struktur
sosial, alat-alat pengendali sosial dan sebagainya.

Fungsionalisme struktural seharusnya berfokus pada fungsi-fungsi sosial daripada


motif-motif individual. Menurut Merton fungsi-sungsi didefinisikan sebagai
“konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang dibuat untuk adaptasi atau
penyesuaian sistem tertentu”. Akan tetapi, ada suatu bias ideologis yang jelas ketika
orang hanya berfokus pada adaptasi atau penyesuaian, karena mereka selalu
merupakan konsekuensi-konsekuensi positif. Perlu dicatat bahwa fakta sosial yang
satu dapat mempunyai konsekuensi-konseksuensi negatif untuk fakta sosial yang
lainya.

4
Untuk mengoreksi pengalihan serius tersebut yang terjadi didalam
fungsionalisme struktural awal, Merton mengembangkan ide mengenai disfungsi.
Sebagaimana struktur-struktur atau lembaga-lembaga dapat berperan dalam
pemeliharaan bagian-bagian lain sistem sosial, mereka juga dapat mempunyai
konsekuensi-konsekuensi negatif untuknya.3

Merton juga mengajukan ide nonfungsi, yang dia definisikan sebagai


konsekuensi-konsekuensi yang benar-benar tidak relevan denegan sistem yang
dipertimbangkan. Bentuk- bentuk sosial “sisa-sisa” dari masa-masa historis yang
lebih awal mungkin termasuk disini. Meskipun mereka mungkin mempunyai
konsekuensi-konnsekuensi positif atau negatiff di masa silam, mereka tidak
mempunyai efek yang signifikan bagi masyarakat kontemporer.

Para fungsionalis pada umumnya telah membatasi diri kepada analisi atas
masyarakat sebagai suatu keseluruhan, tetapi Merton menjelaskan bahwa analisis
juga dapat dilakukan pada suatu organisasi, lemaga atau kelompok. Merton juga
memperkenalkan konsep fungsi nyata dan laten. Kedua istiah itu juga telah menjadi
tambahan penting bagi analisis fungsional. Dalam istiah-istilah yang sederhana,
fungsi-fungsi nyata adalah yang disengaja, sementara fungsi-fungsi laten tidak
disengaja.

Fungsi nyata perbudakan, misalnya, adalah untuk menningkatkkan


produktivitasa ekonommi selata, tetapi fungsi laten perbudakan menyeiakan banyak
sekali kelas sosial terbawah yang berfungsi meningkatkan status sosial kulit putih
selatan, baik yang kaya maupun yang miskin. Ide itu terkait dengan konsep merton
yang lain konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi. Tindakan-tindakan
mempunyai konsekuensi yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Meskipun
setiap orang sadar atas konsekuensi-konsekuensi yang disengaja, analisis sosiologi
diperlukan untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja.
Bagi sebagian orang hal itu benar-benar merupakan esensi sosiologi yang sangat
penting.

3
Ibid hlm 249.

5
Peter Berger telah menyebut hal tersebut “memperlihatkan hal yang
sebenarnya”, atau melihat kepada efek-efek yang nyata diluar maksud-maksud yang
dinyatakan. Merton menjelaskan bahwa konsekuensi-konsekuensi yang tidak
diantisipasi dan fungsi-fungsi laten adalah satu tipe konsekuensi yang tidak
diantisipasi, tipe yang bermanfaat untuk sistem yang ditunjuk.

Akan tetapi, ada dua tipe lainya konsekuensi yang tidak diantisipasi:
“konsekuensi-konsekuensi disfungsional untuk suatu sistem yang ditunjuk dan hal
itu terdiri dari disfungsi-disfungsi laten”, dan “komsekuensi-konsekuensi tidak
relevan bagi sistem yang mereka pengaruhi baik secara fungsional maupun
disfungsional...konsekuensi-konsekuensi non-fungsional”.

Untuk menjelaskan lebih jauh teori fungsional, merton menunjukkan bahwa


suatu struktur mungkin disfungsional bagi sistem sebagai suatu keseluruhan namun
dapat terus berlanjut. Merton berpendapat bahwa tidak semua struktur pastinya akan
dibutuhkan untuk bekerjanya sistem sosial. Beberapa bagian dari sistem sosial kita
dapat dilenyapkan. Hal itu membantu teori fungsional mengatasi hal-hal bias
konservatifnya yang lain. Dengan mengakui bahwa beberapa struktur dapat
diperluas, fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial yang bermakna.
Masyarakat kita, misalnya, dapat terus ada (dan bahkan ditingkatkan) dengan
pelenyapan diskriminasi terhadap berbagai kelompok minoritas.4

2.3. Fungionalisme Struktural Sebagai Teori: Akhir dari Suatu Masa Kejayaan

Model analisa Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuannya yang


menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik. Dia menggunakan penulis-penulis besar
seperti Weber, William I. Thomas dan Emile Durkheim sebagai dasar bagi karyanya.
Dipermukaan mungkin terlihat bahwa Merton sendiri tidak memiliki suatu teori
yang bulat, mengingat ia hanya menulis essai-essai yang mencoba menyempurnakan
berbagai aspek tulisan-tulisan klasik. Akan tetapi di dalam keseluruhan tulisan-
tulisannya kita menemukan suatu tema yang menonjol yaitu “arti pentingnya
memusatkan perhatian pada struktur sosial dalam analisa sosiologis.”

4
Ibid. 435

6
Karya awal Merton sangat dipengaruhi oleh Weber, seperti yang terlihat
dalam disertasi doktoralnya yang menganalisa perkembangan ilmu pada abad ke-17
di Inggris. Merton meneliti hubungan antara Protestanisme dan perkembangan ilmu,
yang banyak hal sama dengan karya klasik Weber ketika ia menunjukan korelasi
antara Etika Protestan dan perkembangan Kapitalisme. Di dalam menganalisa
berbagai tulisan dari “British Royal Society” Merton menunjukkan bahwa “beberapa
elemen ketika protestan terkandung di dalam dunia kegiatan keilmuan dan sangat
membekas pada sikap-sikap ilmiawan terhadap pekerjaan mereka”(Merton 1936:
3).5

Pengaruh Weber juga dapat d ilihat dalam batasa Merton tentang birokrasi.
Mengikuti Weber, Merton mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi
birokrasi modern.

1. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan


formal.
2. Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
3. Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan
organisasi.
4. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur
birokratis.
5. Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis.
6. Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-
aturan yang terbatas serta terperinci.
7. Otoritas pada jabatan, bukan pada orang.
8. Hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal.

Organisasi-organisasi berskala besar, termasuk universitas atau akademi,


memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber
dan Merton.

Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur, akan tetapi terus
membahas kepribadian sebagai produk organisasi struktural tersebut. Struktur

5
Poloma Margaret. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) Hal. 30-31

7
birokratis memberi tekanan terhadap individu sehingga mereka menjadi “disiplin,
bijaksana, metodis”.

2.4. Paradigma Analisa Fungsional Merton

Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang
kemudian disempurnakannya satu demi satu.

1. Kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai “suatu keadaan di mana
seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau
konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan
yang tidak dapat diatasi atau diatur. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional
yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta”. Sebagai
contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional
bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi
disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh
diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif. Ia juga
menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik
atau Protestan di kota Belfast) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan (bagi kota
Belfast). Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.6

2. Fungionalisme universal, berkaitan dengan postulan pertama. Fungionalisme


universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah
baku memiliki fungsi-fungsi positif. Merton merperkenalkan konsep disfungsi dan
fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsional. Merton
menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut
kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional, yang menimbang fungsi
positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama di Irlandia
Utara, dimana seseorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif
maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan apakah keseimbangan di antara
keduanya lebih menunjuk pada fungsi negatif atau positif.

6
Ibid Hal. 35

8
3. Postulat ketiga yang melengkapi trio postulat fungsionalisme, adlaah postulat
indespensability. Ia menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap
kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan meripakan bagian penting yang
tidak dapat diposahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton
postulat ini masih kabur. Belum jelas apakah fungsi suatu kebutuhan sosial, seperti
reproduksi anggota-anggota baru atau item sebuah norma, seperti keluarga batih
merupakan suatu keharusan.7

2.5. Kritik Terhadap Fungsionalisme


Fungsionalisme struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi
tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi tertentu
tentang hakikat manusia. Di dalam fungsionalisme, manusia diperlukan sebagai
abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau
struktur-struktur sosial. Di dalam perwujudan yang ekstrim, fungionalisme sktruktural
secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-
ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma atau aturan
masyarakat.
Di dalam tradisi pemikiran Dukheim untuk menghindari reduksionisme
psikologis, para anggota masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh
norma dan lembaga yang memelihara norma itu sendiri. Pandangan ini telah
melahirkan kritik sebagai “konsepsi sosiologi tentang manusia yang tersosialisasi
secara berlebihan” dan peringatan agar “membawa kembali manusia itu” kr dalam
analisa sosiologis. Orang sebagaimana yang disajikan oleh fungsionalisme ditentukan
oleh kendala-kendala sosial atau norma-norma yang hanya sedikit memberikan
tempat pada pilihan dan kreativitas manusia.8

7
Ibid Hal. 36-37
8
Ibid Hal. 43

9
Seperti Parsons, Merton menekankan tindakan yang berulang kali atau yang baku,
yang berhubungan dengan bertahannya suatu sistem sosial dimana tindakan itu berakar.
Merton menyatakan bahwa objek apapun dapat dianalisis secara struktural-fungsional harus
merepresentasikan unsur-unsur standar, yaitu yang berpola dan berulang. Ia menyebut hal ini
sebagai peran sosial, peran institusional, proses sosial, pola kultural, norma sosial, organisasi
kelompok, struktur sosial, dan alat kontrol sosial. Sesuatu yang baku di masyarakat belum
tentu fungsional.9 Adanya berbagai perbedaan kepentingan yang saling bertentangan antar
kelompok dan organisasi yang berbeda dalam suatu masyarakat yang kompleks akan
menyebabkan pola adaptasi yang fungsional bagi satu kelompok, namun justru disfungsional
bagi kelompok lain. Merton menunjukkan bahwa struktur bisa saja disfungsional untuk
sistem secara keseluruhan namun demikian struktur itu terus bertahan hidup (ada).10

Fungsi adalah bagian dimana unsur-unsur sosial atau budaya memainkan peranannya
dalam masyarakat yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem.11

2.6 Analisa Fungsional Sebagai Ideologi

Oleh kebanyakan kalangan ilmuwan, analisa fungsional dianggap sebagai suatu pola
yang konservatif, walaupun manfaatnya diakui. bahkan kadang-kadang analisa fungsional
dianggap reaksioner. Bagi mereka, analisa fungsional tidak lain daripada suatu versi baru dari
ajaran-ajaran yang berkembang dalam abad ke-18 mengenai kepentingan politik dan privat.
Analisa itu dianggap sebagai sekularisasi ajaran yang dikembangkan oleh Adam Smith.
Adam Smith dalam bukunya Theory of Moral Sentiments menyatakan bahwa ketertiban
harmonis lingkungan alam semesta adalah dibawah bimbingan Yang Maha Kuasa, yang
mengembangkan kesejahteraan manusia melalui proses pengembangan potensi pribadi.
Dengan demikian analisa fungsional merupakan suatu orientasi konservatif dari seorang ahli
ilmu sosial konservatif, yang akan mempertahankan tertib yang ada. Dengan lain perkataan,

9
Sugihartati, Perkembangan Masyarakat Informasi & teori Sosial Koontemporer, 8.

10 Ritzer, Teori Sosiologi Modern, 141.

11 Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, 564.

10
setiap proses perubahan akan ditentangnya walaupun sifatnya moderat sekalipun. oleh karena
itu, mereka yang mengagungkan analisa fungsional menyampingkan peringatan yang pernah
diberikan oleh Tocqueville yang mengatakan, bahwa apa yang disebut sebagai lembaga-
lembaga yang penting tidak lain hanya merupakan lembaga yang sudah biasa dalam proses
kehidupan manusia.

Catatan yang dibuat Myrdal bersifat intruktif, karena tertuju pada dua postulat yang
sering dipergunakan dalam analisa fungsional untuk mempertahankan pandangan bahwa
lembaga-lembaga senantiasa bersifat fungsional. Hal ini merupakan suatu teleologi yang
bersifat konservatif.

Apabila analisa fungsional dalam sosiologi terikat pada teleologi yang konservatif,
maka analisa itu harus tunduk pada postulat yang lebih ketat lagi. Analisa fungsional harus
tunduk pada reductio ad absurdum.12

12
ibid Hal 582-583

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Teori Fungsionalisme Struktural menekankan pada keteraturan (order) dan


mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini,
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen atau bagian-
bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dalam perspektif
Fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja
sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yangagak teratur menurut
seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebaian masyarakat.

Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Dengan demikian seperti halnya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan
kemiskinan “diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
perlahan dan kalaupun terjadi sutau konflik maka penganut teori ini memusatkan
perhatian kepada masalah bagaiman acara menyelesaikan masalah tersebut agar
masyarakat kembali mneuju suatu keseimbangan.Masyarakat dipandang sebagai suatu
sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan kearah keseimbanngan, yaitu suatu
kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.

3.2. Saran

Diharapkan kepada para pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat
mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, untuk
memotivasi penulis, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari
kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

12
13

Anda mungkin juga menyukai