1
Colin Campbell(1982) mengkritik pembedaan yang dilakukan Merton antara fungsi manifes
dengan fungsi laten. Di antaranya, ia menunjukkan bahwa gagasan Merton tentang hal ini begitu
kabur dan ia menggunakannya dengan berbagai cara ( misalnya, konsekuensi ayng dikehendaki
versus konsekuensi aktual dan makna permukaan versus realitas yang ada dibaliknya). Lebih
penting lagi, ia merasa bahwa Merton ( seperti halnya Parsons) tidak pernah secara tepat
mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme struktural. Akibatnya adalah kita
memperoleh campuran yang tidak pas antara intensionalitas (“manifesto”) teori tindakan dengan
konsekuensi-konsekuensi struktural (“fungsi”) fungsionalisme struktural. Karena kerancuan ini,
Campbell percaya bahwa pembedaan yang dilakukan Merton antara fungsi manifes dengan fungsi
laten tidak banyak digunakan dalam sosiologi kontemporer.
terantisipasi. Tindakan mengadung konsekuensi yang dikehendaki maupun yang
tidak dikehendaki. Meski setiap orang menyadari konsekuensi-konsekuensi yang
ridak dikehendaki; yang bagi beberapa kalangan justru menjadi inti dari sosiologi.
Peter berger (1963) menyebutnya “pembuktian kesalahn”, atau melihat ke balik
maksud-maksud yang dinyatakan guna mencari efek yang sebenarnya
ditimbulkan.
Merton menjelaskan bahwa konsekuensi-konsekuensi yang tidak
diantisipasi dan fungsi-fungsi laten tidaklah sama. Fungsi laten adalah suatu tipe
konsekuensi yang tidak terantisipasi, sesuatu yang fungsional bagi sistem yang
dirancang. Namun ada dua jenis konsekuensi ayng tak terantisipasi lain: “hal-hal
yang tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsional atau
disfungsional.... konsekuensi-konsekuensi nonfungsional’(Merton,
1949/1968:105).
Suatu klarifikasi lebih lanjut atas teori fungsional, Merton menunjukkan
bahwa suatu struktur bisa jadi disfungsional bagi sistem secara keseluruhan
namun mungkin saja terus ada. Orang dapat mengambil contoh bahwa
diskriminasi terhadap kulit hitam, perempuan, dan kelompok minoritas lain adalah
suatu yang disfungsional bagi masyarakat Amerika, namun itu semua ters ada
karena fungsional bagi sebagian sistem sosial; misalnya, diskriminasi terhadap
kaum perempuan biasanya bersifat fungsional bagi laki-laki. Namun, bentuk
diskriminasi ini bukan tanpa disfungsi, bahkan bagi kelompok yang
menganggpnya fungsional sekalipun. Laki-laki memang menderita akibat
diskriminasi terhadap perempuan; mirip dengan itu, kulit putih menderita akibat
perilaku diskriminatif terhadap kulit hitam. Kita dapat menyatakan pula bahwa
bentuk-bentuk diskriminasi ini pun memengaruhi pihak-pihak yang melakukan
diskriminasi dengan membiarkan terlalu banyak orang berada di bawah
perlindungan yang ketat dan meningkatnya kecenderungan konflik sosial.
Merton menjelasjab bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah
oleh bekerjanya sistem sosial. Beberapa bagian sistem sosial kita dapat
dihapuskan. Ini membantu teori fungsional mengatasi salah satu bias
konservatifnya. Dengan mengakui bahwa beberapa struktur dapat diubah,
fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial penuh makna. Masyarakat
kita, misalnya, dapat saja terus ada (dan bahkan diperbaiki) ketika diskriminasi
terhadap berbagai kelompok minoritas dihapuskan.
Klarifikasi Merton banyak bermanfaat bagi sosiolog (misalnya, Gans,
1972, 1994) yang ingin melakukan analisis struktural-fungsional.
Struktural Sosial dan Anomi. Sebelum meninggalkan bagian ini,
sebaiknya kita membahas terlebih dahulu salah satu kotribusi terhadap
fungionalisme struktural dan sosiologi yang paling terkenal (Adler dan Laufer,
1995; Merton, 1995; Menard, 1995)-yaitu analisis Merton (1968) tentang
hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Merton mendefinisikan
kebudayaan sebagai “serangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan
perilaku yang diberlakukan sama kepada seluruh anggota masyarakat atau
kelompok tertentu’ dan struktur sosial sebagai “serangkaian hubungan sosial
teratur yang memengaruhi anggora masyarakat atau kelompok tertentu dengan
satu atau lain cara”(1968:216; garis miring adalah tambahan). Anomi terjadi
“ketika terdapat disfungsi akut antara norma-norma dan tujuan kultural yang
terstruktur secara sosial dengan kemampuan anggota kelompok untuk bertindak
menurut norama dan tujuan tersebut”. (Merton, 1968:216). Jadi, karena posisi
mereka dalam steruktur sosial masyarakat, beberapa orang tidak mampu bertindak
menurut nilai-nilai normatif. Kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis
perilaku yang diceah oleh struktur sosial.
Sebagai contoh, dalam masyarakat Amerika, kebudayaan menekankan
pada keberhasilan materi. Namun, karena posisi meraka di dalam struktur sosial,
banyak orang tidak dapat meraih keberhasilan. Jika seseorang lahir dari kelas
sosial ekonomi yang lebih rendah dan akibatnya paling-paling hanya mampu
menempuh pendidikan sampai sekolah lanjutan atas, maka pendapat yang umum
diterima, kesempatannya untuk memperoleh kesuksesan ekonomi (misalnya,
melalui keberhasilan dalam dunia kerja konvensional) begitu tipis atau tidak ada
sama sekali. Dalam situasi semacam itu (dan itu semua tersebar di masyarakat
Amerika kontemporer) anomi bisa dikatakan ada, dan akibatnya, terdapat
kecenderungan ke arah perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, penyimpangan
sering kali menjadi cara-cara alternatif, tak dapat diterima, dan kadang-kadang
ilegal dalam meraih kesuksesan ekonomi. Jadi, menjadi pengedar narkoba atau
pekerja seks komesial untuk memperoleh kesuksesan ekonomi adalah contoh dari
penyimpangan yang ditimbulkan oleh disfungsi antara nilai kultural dengan cara-
cara sosial-struktural dalam memperoleh nilai-nilai tersebut. Inilah salah satu cara
yang ditempuh fugsionalis struktural dalam menjelaskan kejahatan dan
penyimpangan.
Jadi, dalam contoh fungsionalisme struktural ini, Merton melihat pada
struktural sosial (dan kultural), namun ia tidak secara langsung mencurahkan
perhatian pada fungsi struktur-struktur tersebut. Namun, selaras dengan
paradigma fungsionalnya, ia lebih fokus pada disfungsi, yang dalam kasus ini
adalah anomi. Lebih spesifik lagi, seperti telah kita ketahui, Merton
menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian berpendapat
bahwa disfungsi, dalam kasus ini adalah anomi. Lebih spesifik lagi, seperti telah
kita kerahui, Merton m,enghubungkan anomi degnan penyimpangan dan dengan
demikian berpendapat bahwa disfungsi antara kebudayaan dengan struktur akan
melahirkan konsekuensi disfungsional yaitu munculnya penyimpangan dalam
masyarakat.
Perlu dicatat bahwa dalam karya Merton tentang anomi tersirat sikap
kritis terhadap stratifikasi sosial (misalanya, terhadap upaya menghambat cara-
cara beberapa orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara sosial). Jadi,
kalo tulisan Davis dan Moore mendukung adanya stratifikasi masyarakat, karya
Merton mengindikasikan bahwa pada fungsionalis struktural dapat bersikap kritis
terhadap stratifikasi sosial tersebut.
Daftar Pustaka