Anda di halaman 1dari 8

Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan

pengetahuannya yang menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik. Dia menggunakan


penulis-penulis besar seperti Max Weber, William I. Thomas dan Durkheim
sebagai dasar dari karyanya.
Karya awal Merton sangat dipengaruhi Weber. Merton meneliti
hubungan antara Protestanisme dan perkembangan ilmu, yang dalam banyak hal
sama dengan karya klasik Weber ketika ia menunjukkan korelasi antara Etika
Protestan dan perkembangan Kapitalisme.
Merton juga menggunakan gaya berteori Parsons yang abstrak dan agak
muluk. Dia adalah salah satu murid Parsons yang pertama di Universitas
Harvard.Sejak awal tahun 1940-an, Merton bekerja di Universitas Columbia.
Ketika berada disana, dia banyak bekerja sama dengan Paul F. Lazarsfeld dalam
sejumlah proyek penelitian empiris di Biro Penelitian Sosial. Secara keseluruhan,
karya Merton mencerminkan suatu kepekaan yang lebih besar terhadap hubungan
dinamis antara penlitian empiris dan proses berteori daripada karya Parsons.
Tetapi dari segi teoritis, karya Merton sudah membuatnya menjadi terpandang
sebagai seorang penganalisa fungsional terkemuka dalam sosiologi masa kini
yang pendekatannya merupakan satu alternatif yang jelas terhadap gaya berteori
Parsons.
Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai postulat dasar analisis
fungsional sebagaimana dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowki dan
Radcliffe-Brown. Yang pertama adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat.
Postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sorial budaya
standar bersifat fungsional bagi individu dalam masyarakat. Pandangan ini
mengandung arti bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti menunjukkan
tingginya level integrasi. Namun, merton berpandangan bahwa meskipun hal ini
berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini dapat diperluas pada
masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks.
Fungsionlisme universal adalah psotulat kedua. Jadi, dinyatakan bahwa
semua bentuk dan struktural sorial kultural memiliki fungsi positif. Merton
berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang kira temukan di dunia
nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakinan, dan lain
sebagainya, memiliki fungsi positif. Sebagai contoh, nasionlisme buta bisa jadi
sangat disfungsional di dunia yang tengah mengembangkan persenjataan nuklir.
Yang ketiga adalah psotulat indispensabilitas. Argumennya adlah bahwa seluruh
aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga
merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini
mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional
diperlukan oleh masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi yang dapat bekerja
sebaik yang sekarang ada di dalam masyarakat. Kritik Merton, mengikuti Parsons,
adalah bahwa paling tidak kita harus bersedia mengakui bahwa ada berbagai
alternatif struktural dan fungsional di dalam masyarakat.
Pendapat Merton adalah bahwa seluruh postulat fungsional tersebut
bersandar pada pernyataan nonempiris yang didasarkan pada sistem teoretis
abstrak. Minimal, menjadi tanggung jawab sosiolog untuk menelaah setiap
postulat tersebut secara empiris. Keyakinan Merton adalah bahwa uji empiris,
bukan pernyataan teoretis, adalh sesuatu yang krusial bagi analisis fungsional.
Inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan “paradigma” analisis
fungsional sebagai panduan ke arah pengintegrasian teori dengan riset.
Dari sudut pandang tersebut Merton menjelaskan bahwa analisis
struktural-fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi,
masyarakat, dan kebudayaan. Ia menyatakan bahwa objek apa pun yang dapat
dianalisis secara struktural-fungsional harus “merepresentasikan unsur-unsur
standar (yaitu, yang terpola dan berulang)” (Merton, 1949/1968: 104). Ia
menyebut hal tersebut sebagai “peran sosial, pola-pola institusional, proses sosial,
pola-pola kultural, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi
kelompok, struktur sosial, alat kontrol sosial, dan lain sebagainya.”(Merton,
1949/1968: 104).
Para funsionalis struktural awal cenderung lebih memusatkan
perhatiannya pada fungsi-fungsi sebuah struktur atau institusi. Namun menurut
Merton, para analis awal itu cenderung mencampuradukkan motif-motif subjektif
individu dengan fungsi-fungsi sosial ketimbang pada motif individu. Fungsi,
menurut Merton, didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang disadari
dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuaian suatu sistem” (1949/1968: 105).
Namun, jelas terdapat bias ideologis ketika orang hanya memusatkan
perhatiannya pada adaptasi atau penyesuaian, karena selalu ada konsekuensi
positif. Namun perlu diketahui bahwa suatu fakta sosial dapat mengandung
konsekuensi negatif bagi fakta sosial lain. Untuk memperbaiki kelemahan serius
pada fungsionlisme struktural awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang
disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat memberikan konstribusi pada
terpeliharanya bagian lain sosial, mereka pun dapat mengandung konsekuensi
negatif bagi bagian-bagian lain tersebut. Perbudakan di Amerika Selatan belahan
selatan jelas mengandung konsekuensi positif bagi orang kulit putih di belahan
selatan, seperti tersedianya tenaga kerja murah, dukungan bagi ekonomi kapas,
dan status sosial. Ia pun mengandung disfungsi, misalnya, membuat warga selatan
terlalu tergantung pada ekonomi pertanian dan dengan demikian tidak siap
menghadapi industrialisasi. Bertahannya ketimpanganan antara Utara dan Selatan
dalam industrialisasi dapat dilacak, paling tidak sebagian, pada disfungsi institusi
perbudakan di Selatan.
Merton pun mengemukakan gagasan tentang nonfungsi, yang ia
definisikan sebagai konsekuensi yang tidak relevan bagi sistem tersebut.
Termasuk didalamnya adalah bentuk-bentuk sosial yang ‘masih bertahan” sejak
masa awal sejarah. Meskipun bentuk-bentuk tersebut mungkin mengandung
konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada efek signifikan yang
mereka berikan pada masyarakat sekarang. Satu contoh, meskipun beberapa orang
mungkin tidak sependapat, adalah Gerakan Pengekangan Diri Perempuan Kristen.
Untuk membantu menjawab pertanyaan apakah fungsi-fungsi positif
lebih penting daripada disfungsi, atau sebaliknya, Merton mengembangkan
konsep keseimbangan mapan. Namun, kita tidak pernah sekedar menambahkan
fungsi dan disfungsi positif karena persoalan ini begitu kompleks dan didasarkan
pada begitu banyak penilaian subjektif sehingga tidak dapat diperhitungkan dan
ditimbang bobotnya dengan begitu mudah. Manfaat konsep Merton terletak pada
cara dia mengarahkan sosiolog untuk bertanya tentang signifikansi relatif.
Kembali pada contoh perbudakan, pertanyaan menjadi apakah, dilihat dari segala
aspek, perbudakan lebih fungsional atau disfungsional bagi wilayah Selatan.
Memang, pertanyaan ini terlalu luas dan mengaburkan sejumlah persoalan
(misalnya, perbudakan hanya fungsional bagi kelompok-kelompok tertentu seperti
warga kulit putih pemilik budak).
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, Merton
menambahkan gagasan bahwa pasti ada level analisis fungsional. Pada umumnya,
para fungsionalis membatasi dirinya pada analisis masyarakat secara keseluruhan,
namun merton menjelaskan bahwa analisis dapat juga dilakukan terhadap
organisasi, institusi atau kelompok. Kembali pada masalah fungsi perbudakan
bagi wilayah Selatan, kita juga perlu membedakan beberapa level analisis dan
mempersoalkan fungsi dan disfungsi perbudakan bagi keluarga kulit hitam,
keluarga kulit putih, organisasi politik kulit hitam, organisasi politik kulit putih,
dan seterusnya. Menurut istilah, keseimbangan mapan, mungkin perbudakan lebih
fungsional bagi unit-unit sosial tertentu dan lebih disfungsional bagi unit-unit
sosial lain. Kita perlu membahas masalah ini pada level yang lebih spesifik untuk
membantu analisis fungisonal perbudakan bagi kawasan Selatan secara
keseluruhan.
Merton juga memperkenalkan konsep fugsi manifes dan fungsi laten.
Kedua istilah tersebut juga merupakan tambagan penting bagi analisis fungsional. 1
Secara sederhana, fungsi manifes adalah ayng dikehendaki, sementara fungsi laten
adalah yang tidak dikehendaki. Fungsi manifes perbudakan, misalnya, adalah
meningkatkan produktivitas ekonomi kawasan Selatan, namun ia memiliki fungsi
meningkatkan status sosial warga kulit putih di selatan, kaya atau miskin.
Gagasan ini terkait dengan konsep Merton yang lain-konsekuensi yang tidak

1
Colin Campbell(1982) mengkritik pembedaan yang dilakukan Merton antara fungsi manifes
dengan fungsi laten. Di antaranya, ia menunjukkan bahwa gagasan Merton tentang hal ini begitu
kabur dan ia menggunakannya dengan berbagai cara ( misalnya, konsekuensi ayng dikehendaki
versus konsekuensi aktual dan makna permukaan versus realitas yang ada dibaliknya). Lebih
penting lagi, ia merasa bahwa Merton ( seperti halnya Parsons) tidak pernah secara tepat
mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme struktural. Akibatnya adalah kita
memperoleh campuran yang tidak pas antara intensionalitas (“manifesto”) teori tindakan dengan
konsekuensi-konsekuensi struktural (“fungsi”) fungsionalisme struktural. Karena kerancuan ini,
Campbell percaya bahwa pembedaan yang dilakukan Merton antara fungsi manifes dengan fungsi
laten tidak banyak digunakan dalam sosiologi kontemporer.
terantisipasi. Tindakan mengadung konsekuensi yang dikehendaki maupun yang
tidak dikehendaki. Meski setiap orang menyadari konsekuensi-konsekuensi yang
ridak dikehendaki; yang bagi beberapa kalangan justru menjadi inti dari sosiologi.
Peter berger (1963) menyebutnya “pembuktian kesalahn”, atau melihat ke balik
maksud-maksud yang dinyatakan guna mencari efek yang sebenarnya
ditimbulkan.
Merton menjelaskan bahwa konsekuensi-konsekuensi yang tidak
diantisipasi dan fungsi-fungsi laten tidaklah sama. Fungsi laten adalah suatu tipe
konsekuensi yang tidak terantisipasi, sesuatu yang fungsional bagi sistem yang
dirancang. Namun ada dua jenis konsekuensi ayng tak terantisipasi lain: “hal-hal
yang tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsional atau
disfungsional.... konsekuensi-konsekuensi nonfungsional’(Merton,
1949/1968:105).
Suatu klarifikasi lebih lanjut atas teori fungsional, Merton menunjukkan
bahwa suatu struktur bisa jadi disfungsional bagi sistem secara keseluruhan
namun mungkin saja terus ada. Orang dapat mengambil contoh bahwa
diskriminasi terhadap kulit hitam, perempuan, dan kelompok minoritas lain adalah
suatu yang disfungsional bagi masyarakat Amerika, namun itu semua ters ada
karena fungsional bagi sebagian sistem sosial; misalnya, diskriminasi terhadap
kaum perempuan biasanya bersifat fungsional bagi laki-laki. Namun, bentuk
diskriminasi ini bukan tanpa disfungsi, bahkan bagi kelompok yang
menganggpnya fungsional sekalipun. Laki-laki memang menderita akibat
diskriminasi terhadap perempuan; mirip dengan itu, kulit putih menderita akibat
perilaku diskriminatif terhadap kulit hitam. Kita dapat menyatakan pula bahwa
bentuk-bentuk diskriminasi ini pun memengaruhi pihak-pihak yang melakukan
diskriminasi dengan membiarkan terlalu banyak orang berada di bawah
perlindungan yang ketat dan meningkatnya kecenderungan konflik sosial.
Merton menjelasjab bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah
oleh bekerjanya sistem sosial. Beberapa bagian sistem sosial kita dapat
dihapuskan. Ini membantu teori fungsional mengatasi salah satu bias
konservatifnya. Dengan mengakui bahwa beberapa struktur dapat diubah,
fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial penuh makna. Masyarakat
kita, misalnya, dapat saja terus ada (dan bahkan diperbaiki) ketika diskriminasi
terhadap berbagai kelompok minoritas dihapuskan.
Klarifikasi Merton banyak bermanfaat bagi sosiolog (misalnya, Gans,
1972, 1994) yang ingin melakukan analisis struktural-fungsional.
Struktural Sosial dan Anomi. Sebelum meninggalkan bagian ini,
sebaiknya kita membahas terlebih dahulu salah satu kotribusi terhadap
fungionalisme struktural dan sosiologi yang paling terkenal (Adler dan Laufer,
1995; Merton, 1995; Menard, 1995)-yaitu analisis Merton (1968) tentang
hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Merton mendefinisikan
kebudayaan sebagai “serangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan
perilaku yang diberlakukan sama kepada seluruh anggota masyarakat atau
kelompok tertentu’ dan struktur sosial sebagai “serangkaian hubungan sosial
teratur yang memengaruhi anggora masyarakat atau kelompok tertentu dengan
satu atau lain cara”(1968:216; garis miring adalah tambahan). Anomi terjadi
“ketika terdapat disfungsi akut antara norma-norma dan tujuan kultural yang
terstruktur secara sosial dengan kemampuan anggota kelompok untuk bertindak
menurut norama dan tujuan tersebut”. (Merton, 1968:216). Jadi, karena posisi
mereka dalam steruktur sosial masyarakat, beberapa orang tidak mampu bertindak
menurut nilai-nilai normatif. Kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis
perilaku yang diceah oleh struktur sosial.
Sebagai contoh, dalam masyarakat Amerika, kebudayaan menekankan
pada keberhasilan materi. Namun, karena posisi meraka di dalam struktur sosial,
banyak orang tidak dapat meraih keberhasilan. Jika seseorang lahir dari kelas
sosial ekonomi yang lebih rendah dan akibatnya paling-paling hanya mampu
menempuh pendidikan sampai sekolah lanjutan atas, maka pendapat yang umum
diterima, kesempatannya untuk memperoleh kesuksesan ekonomi (misalnya,
melalui keberhasilan dalam dunia kerja konvensional) begitu tipis atau tidak ada
sama sekali. Dalam situasi semacam itu (dan itu semua tersebar di masyarakat
Amerika kontemporer) anomi bisa dikatakan ada, dan akibatnya, terdapat
kecenderungan ke arah perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, penyimpangan
sering kali menjadi cara-cara alternatif, tak dapat diterima, dan kadang-kadang
ilegal dalam meraih kesuksesan ekonomi. Jadi, menjadi pengedar narkoba atau
pekerja seks komesial untuk memperoleh kesuksesan ekonomi adalah contoh dari
penyimpangan yang ditimbulkan oleh disfungsi antara nilai kultural dengan cara-
cara sosial-struktural dalam memperoleh nilai-nilai tersebut. Inilah salah satu cara
yang ditempuh fugsionalis struktural dalam menjelaskan kejahatan dan
penyimpangan.
Jadi, dalam contoh fungsionalisme struktural ini, Merton melihat pada
struktural sosial (dan kultural), namun ia tidak secara langsung mencurahkan
perhatian pada fungsi struktur-struktur tersebut. Namun, selaras dengan
paradigma fungsionalnya, ia lebih fokus pada disfungsi, yang dalam kasus ini
adalah anomi. Lebih spesifik lagi, seperti telah kita ketahui, Merton
menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian berpendapat
bahwa disfungsi, dalam kasus ini adalah anomi. Lebih spesifik lagi, seperti telah
kita kerahui, Merton m,enghubungkan anomi degnan penyimpangan dan dengan
demikian berpendapat bahwa disfungsi antara kebudayaan dengan struktur akan
melahirkan konsekuensi disfungsional yaitu munculnya penyimpangan dalam
masyarakat.
Perlu dicatat bahwa dalam karya Merton tentang anomi tersirat sikap
kritis terhadap stratifikasi sosial (misalanya, terhadap upaya menghambat cara-
cara beberapa orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara sosial). Jadi,
kalo tulisan Davis dan Moore mendukung adanya stratifikasi masyarakat, karya
Merton mengindikasikan bahwa pada fungsionalis struktural dapat bersikap kritis
terhadap stratifikasi sosial tersebut.
Daftar Pustaka

Ritzer, George. Goodman, Douglas J. 2010 Teori SOSIOLOGI. Jakarta: Kreasi


Wacana.
Poloma, Margaret M. 1994 Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Johnson, Doyle Paul. 1986 Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT
Gramedia

Anda mungkin juga menyukai