Anda di halaman 1dari 25

TEORI ROBERT K.

MERTON

Robert K. Merton (04 Juli 1910-23 Februari 2003) adalah seorang sosiolog asal Amerika yang mengakui
bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi sosiologis, dan dia juga mengakui bahwa fungsionalisme
struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial. Paradigma analisa fungsional Merton,
mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analisis dasar dari berbagai analisa fungsional dan
menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat didalam postulat-postulat kaum fungsional. Robert K.
Merton mengutip tiga postulat yang terdapat didalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya
satu demi satu. Yang pertama yaitu postulat kesatuan fungsional masyarakat, yang dapat dibatasi sebagai
suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau
konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi,
seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan
maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level
integrasi. Terdapat dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi
generalisasipada masyarakat yang lebih besar.

Postulat yang kedua adalah Fungsionalisme universal, seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki
fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Robert K. Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur, adat
istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur
sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut
depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan. Dan yang terakhir postulat
ketiga adalah Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hanya amemiliki fungsi positif namun juga
merespresentasikan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara
fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangan Merton pun sama dengan parson bahwa ada
berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari .

Menurut seorang sosiolog yang bernama Emile Durkheim yaitu masyarakat itu harus mempunyai suatu
tujuan yang jelas dan tujuan tersebut harus dicapai semaksimal mungkin. Terdapat juga solidaritas yang
dibedakan menjadi dua, yaitu kesamaan dan perbedaan. Jika kesamaan itu termasuk dalam teori Emile
Durkheim. Sedangkan perbedaan itu termasuk teori dari Robert K. Merton. Masyarakat bisa disebut
dengan organ jika tujuan prestasinya tercapai dengan baik. Masyarakat itu harus ada jika mempunyai ikatan.
Robert K. Merton menjelaskan berbagai perbedaan dalam masyarakat yaitu dengan tujuan dan cara harus
selaras. Menurut Robert K. Merton, masyarakat selalu berbeda posisi. Masyarakat adalah nilai yang memiliki
fungsi yang berbeda. Penempatan sosial didalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena suatu posisi,
seperti halnya yaitu yang pertama adalah posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain.
Masyarakat keatas itu posisinya yaitu stratifikasi, sedangkan masyarakat kesampinf itu posisinya yaitu
diferensiasi. Kedua posisi tersebut tidak merujuk kepada perebutan tetapi kepada tujuan karena tujuan itu
sangat penting. Yang kedua adalah posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup
masyarakat daripada posisi lainnya. Fungsional adalah setiap posisi-posisi selalu menjalankan fungsinya.
Fungsional struktural adalah hubungan timbal balik. Dan yang terakhir (ketiga) adalah posisi-posisi sosial yang
berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula. Posisi tersebut harus sesuai dengan harapan
masyarakat. Oleh karena itu, muncul Ends atau Goals. Terdapat tiga tahapan dalam teori Robert K. Merton ini,
diantaranya yaitu Pertama, Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional yaitu Teori Fungsionalisme
Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan
pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih
menekankan pada orientasi subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada
konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku. Menurut Robert K. Merton konsekuensi-
konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan atau
fungsi manifest, akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang
tidak dimaksudkan dan tKedua, Disfungsi dan Perubahan Sosial yaitu Menurut Robert K. Merton dinyatakan
bahwa idak diketahui.Konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional
dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah
pada integrasi dan keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat
disfungsional akan memperlemah integrasi. Ketiga, Kelompok Referensi (Reference Group) yaitu Teori
Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif dari individu dalam
berperilaku. Merton mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi, empat diantaranya merupakan perilaku
menyimpang, yaitu :

Komformitas Perilaku yang mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai
tujuan tersebut (cara konvensional dan melembaga). Maksudnya adalah cara dijalankan dan ends atau
goals juga dijalankan. Contohnya yaitu Arlan belajar dengan sungguh-sungguh agar nilai ulangannya
bagus dan Gelar DR dapat dicapai dengan cara kuliah.

Inovasi Perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang
oleh masayarakat (termasuk tindak kriminal). Maksudnya yaitu caranya tidak sama dan ends atau goals
nya yang sama. Contohnya yaitu untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM), Erik tidak mengikuti
ujian, melainkan melalui calo dan siswa ingin mendapatkan nilai bagus dalam ujian dia melakukan
tindakan mencontek atau mencari bocoran jawaban. Individu dalam masyarakat beradaptasi dengan
masyarakat. Ritualisme adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya. Namun
masih tetap berpegangan pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, dalam arti ritual atau upacara
dan perayaan masih diselenggarakan tapi maknanya telah hilang, Contohnya yaitu walaupun tidak
mempunyai keahlian atau keterampilan di bidang komputer, Mita berusaha untuk mendapatkan ijazah
itu agar diterima kerja di perusahaan asing.

Pengunduran/Pengasingan Diri Meninggalkan, baik tujuan konvensional maupun cara


pencapaiannya yang konvensional, sebagaimana yang dilakukan oleh pecandu obat bius, pemabuk,
gelandangan maupun orang-orang gagal lainnya. Contohnya yaitu tindakan siswa yang membakar
dirinya sendiri karena tidak lulus Ujian Akhir Nasional. Dalam pengasingan diri juga terdapat Retritsm.
Orang yang menjalankan retritism adalah Anomi (tidak punya nilai). Ends dalam pengasingan diri
merupakan disfungsional. Retiritism adalah masyarakat tidak mampu memaksa individu untuk
melakukan sesuatu. Individu yang teranomi berkumpul, maka akan membentuk suatu kelompok. Yang
biasa disebut dengan kelompok belajar.

Pemberontakan (Rebellism) Penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai
dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru, misalnya para reformator agama. Contohnya
yaitu pemberontakan G 30S/PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi
laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam
stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan
disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton
dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten ,
menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat
mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara
intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naf dalam
mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran
fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya
mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu
struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial.
Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosial dapat membuka jalan
bagi perubahan sosial.
FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS

Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering
dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang
menghadirkan suatu tinjauan sistematis atau fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas
diantara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksilorasi dan prediksi. Talcott Parsons melahirkan teori
fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya Parsons menganalogikan perubahan sosial dalam masyarakat
seperti halnya pertumbuhan pada makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses
diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda
berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan, Parsons termasuk dalam golongan yang memandang
optimis sebuah proses perubahan. Pendekatan fungsional berusaha untuk melacak penyebab perubahan sosial
sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka.
Pendekatan ini merupakan suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad
sekaran.
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang
berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen
konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang
diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan
mutlak yang harus ada supaya termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya
AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency. Demi
keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1. Adaptasi (adaptation) Supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya.
2. Pencapain tujuan (goal attainment) Sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha
mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu.
3. Integrasi (integration) Masyarakat harus mengatur hubungan di antara komponen-komponennya supaya
dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada Setiap masyarakat harus mempertahankan,
memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan
dan mepertahankan motivasi-motivasi itu.
a. Sistem Tindakan

Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang terkenal.Parsons meyakini bahwa
terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency.
Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Sistem mengandaikan adanya
kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya
mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi
tercapainya tujuan atau maksud tertentu.

Defenisi sistem-sistemmenurut Talcott Parsons adalah sebagai berikut:

a) Sistem organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang paling dasar dalam arti biologis, yakni
aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana
manusia itu hidup.

b) Sistem kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan aktor atau
pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti
motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan.

c) Sistem sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan
tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-
kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial
selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan).

d) Sistem budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan religius, bahasa, dan
nilai-nilai.

b. Skema Tindakan

Empat komponen skema tindakan:

1) Pelaku atau aktor: aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons
melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.
2) Tujuan (goal): tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
3) Situasi: tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam
situasi ialah prasarana dan kondisi.

4) Standar-standar normatif: ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai
tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku.
c. Perubahan Sosial

Konsep perubahan sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk menyesuaikan diri demi
terciptanya kembali equilibrium. [9] Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat
evolusioner dan bukannya revolusioner. Konsep tentang perubahan yang bersifat evolusioner dari Parsons
dipengaruhi oleh para pendahulunya seperti Aguste Comte, Hebert Spencer, dan Emile Durkheim.

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi satu kesatuan atas dasar
kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan
sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu
keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem sosial yang satu
sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan. [10]

Talcott Parsons menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi
dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan yang ada di Amerika, juga dipengaruhi
oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang
menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.

Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan
antara kehidupan organisme biologis dengan struktur social dan berpandangan tentang adanya keteraturan
dalam masyarakat.

Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan
dan kelangsungan suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parsons itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika
dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup
dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih
lanjut maka optimism teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Gouldner (1970:142) bahwa
untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas strukturalnya, seperti
yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas
personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.

Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari
berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala
kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori
fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup
sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain:
faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi
dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori ini melihat adanya
ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus yang akan mewujudkan
keseimbangan baru. Variable yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya.
Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Gagasan-gagasan inti dari fungsionalisme ialah perspektif holistis (bersifat menyeluruh), yaitu sumbangan-
sumbangan yang diberikan oleh bagian-bagian demi tercapainya tujuan-tujuan dari keseluruhan, kontinuitas dan
keselarasan dan tata berlandaskan consensus mengenai nilai-nilai fundamental. Teori fungsional ini menganut
faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian
pengalaman secara sistematis. Sehingga dalam melakukan pengkajian haruslah mengikuti aturan ilmu
pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris berdasarkan tujuan membangun
ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan untuk menemukan hukum-hukum
universal (generalisasi) dan bukan mencari keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori
fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara
keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji relitas universal tersebut maka
diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain,
keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.

Pendekatan fungsionalisme struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut ini.

1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

2. Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem
sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis.
4. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan
penyimpangan.

5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan atau bertahap), melalui
penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.

6. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di
antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa
Teori Parsonsian dapat dibagai ke dalam 3 fase :

1. Fase Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik (segi kemauan) dari
tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan sosiologi yang positivistis, utilitarian, dan
reduksionis.

2. Fase Kedua. Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekangan teori tindakan sosial yang
mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan suatu teori tindakan kebutuhan-kebutuhan
yang sangat penting.

3. Fase Ketiga. Fase ini terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari sistem-sistem sosial
dan kesibukannya dalam mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba
untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara teori
sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan metodologis dan epistemologis dari apa
yang dinamakan sebagai konsep sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis dan
metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.

KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT PARSONS

Parsons menggunakan masyarakat Amerika sebagai bentuk masyarakat yang terstruktur dengan baik.
Namun jika menggunakan konsep AGIL yang telah diungkapkan Parsons, ia telah gagal menganalisis
masyarakat Inggris yang pada saat ini masih berbentuk kerajaan. Seperti yang diungkapkan Parsons sebelumnya
bahwa era evolusi akhir tidak boleh terkontaminasi dengan budaya kerajaan. Tujuan utama Parsons sendiri
adalah menginginkan adanya keseimbangan masyarakat melalui perubahan sosial, namun masyarakat Inggris
sendiri tetap stabil meskipun tidak mencapai era The New Lead Society seperti yang dipaparkan oleh Parsons.
Pada unit analisis AGIL pun terdapat beberapa fakta yang dapat menyangkalnya, contohnya pada suku Badui
dalam, masyarakat suku ini tidak beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, yang berarti menurut analisis
AGIL, tidak memenuhi fungsi adaptation maka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dari sistem masyarakat
tersebut. Tetapi nyatanya masyarakat suku Badui dalam tetap dapat eksis tanpa fungsi adaptation tersebut.

Pada intinya Parsons menjelaskan teori fungsionalisme strukturalnya kepada suatu pemahaman
mengenai sistem yang mengacu kepada konsep equilibrium dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya untuk
dapat memahami atau mendeskripsikan suatu sistem maka harus ada suatu fungsi mengenai hal tersebut. Maka
dari itu Parsons percaya, bahwa ada empat persyaratan mutlak yang harus ada suypaya fungsionalis masyarakat
dapat berjalan, yakni AGIL. pada dasarnya Parsons melihat bahwa AGIL ini mampu menjadi sebuah fungsi
sebagai keteraturan yang harus dimiliki dan dijalankan setiap masyarakat. AGIL mempunyai arti : Adaptation
(Adaptasi), Goal attainment (Pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) dan Latensi (Pemeliharaan pola).
Dengan adanya hal ini, Parsons yakin bahwa tingkat keseimbangan dalam masyarakat akan tersusun dan terjaga
sehingga terhindar dari adanya kerusakan fungsional antar pribadi di dalamnya, hal ini, menimbulkan banyak
asumsi-asumsi yang kontroversial yang seharusnya Parsons teliti lebih lanjut, bahwa jika fungsi AGIL ini hanya
mampu melenggangkan atau mempertahankan suatu kekuasaan atas kedudukan individu, maka tidak mungkin
suatu sistem organisme yang ia jelaskan mampu terlaksana, serta ia terlalu merendahkan konsepsi mengenai
perubahan sosial secara revolusioner yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Dalam teorinya ini, Parsons lebih
tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan daripada aktor sebagai peran yang menduduki suatu kendali sistem,
bukannya mempelajari bagaimana aktor tersebut mampu menciptakan dan memelihara sistem tetapi sebaliknya.

Hal yang patut untuk di kaji lebih dalam mengenai kelemahan teori fungsionalisme-struktural & AGIL
bahwa pandangan pendekatan ini terlalu bersifat umum atau terlalu kuat memegang norma, karena menganggap
bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena
analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parsons bisa diilustrasikan, bahwa tidak
mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu
tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam
masyarakat. Teori Parsons tersebut, terlalu mengedepankan strukturalisasi pencapaian yang menekankan konsep
equilibrium dalam dalam sistem di masyarakat secara fakta, serta ia terlalu subjektif dengan angan-angannya
bahwa setiap individu senantiasa mensosialiasikan diri terhadap lingkungan dan lingkungan juga menyesuaikan
fungsinya terhadap diri, dan ia lebih menekankan pada aspek perubahan sosial secara evolusioner di bandingkan
revolusioner akibat dasar pemikiran sistem biologisnya.

Adapun kritik lainnya terhadap Talcott Parsons adalah pemikirannya tentang masyarakat yang terlalu
menekankan pada keseimbangan dalam masyarakat, sehingga ia kurang memperhatikan tentang perubahan dan
mobilisasi sosial. Ini berarti dia melepaskan postivisme Comte dari fungsionalisme. Parsons juga gagal
membuktikan keempirisan dari teorinya sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya, walaupun menurut
dasar logikanya, ia menggunakan logika deduksi.

KESIMPULAN

1. Masyarakat adalah satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu
yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system
yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
2. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik
untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.

3. Sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis, gradual (perlahan-
lahan atau bertahap) melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
4. beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan
adalah harus memenuhi imperatif fungsional sebagai berikut: Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan
Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).

5. Bahwa tindakan manusia dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar yang selalu
didorong oleh kemauan (voluntaristik) untuk mencapai tujuan dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati.
Pemikiran Dahrendorf Tentang Konflik

Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Dahrendorf adalah Karl Marx. Dia mengambil gagasan dasar dari
teori, hipotesis, dan konsep-konsep Marx. Seperti halnya dengan ahli lainnya, lahirnya teori konflik merupakan
kritik terhadap teori struktural fungsional dimana teori ini menekankan bahwa masyarakat disusun atas
ketertiban dan keteraturan pada struktur. Para penganut aliran teori konflik mengkritisi teori structural
fungsional dengan mengatakan bahwa teori tersebut mengabaikan konflik yang terjadi pada masyarakat. Marx
sebagai tokoh utama dan pertama teori konflik ini melihat bahwa masyarakat tersusun atas dua kelas yaitu
borjuis (penguasa dan pemilik modal) dan proletar (masyarakat kelas rendah). Kedua kelas ini saling
bertentangan terutama oleh dalam memperjuangkan sumber-sumber ekonomi.

Teori fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral.
Sedangkan teori konflik melihat bahwa seluruh keteraturan dalam masyarakat disebabkan adanya pemaksaan
terhadap anggotanya oleh para penguasa. Merujuk pada konsep Marx hal ini berarti masyarakat proletar hidup
dan bertingkah laku karena adanya pemaksaan untuk melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh kaum
burjuis. Golongan fungsionalis fokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama dalam masyarakat.
Sedangkan kritik teori konflik memfokuskan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat.

Selain mengkritik teori fungsional struktural tradisional yang dibangun oleh Talcot Parsons karena gagal
memahami masalah perubahan, Dahrendorf juga mengkritik toeri konflik Marx. Jika Marx bersandar pada
pemilikan alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi. Dalam terminologi
Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak
menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Diamembangun teori konflik dengan separuh penolakan, separuh
penerimaan, dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai
teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai menganalisa fenomena sosial.
Teori kelas Marx dan teori konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan tidak
lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Dahrendorf berpendapat bahwa pekerjaan masyarakat
semakin heterogen karena adanya peningkatan keterampilan, peningkatan persamaan, dan arti hak-hak warga
dalam politik, peningkatan kemakmuran materiil masyarakat, peningkatan upah kerja, dan berdirinya berbagai
mekanisme institusional dalam membahas isu konflik. Pemikiran Dahrendorf ini lebih bersifat umum karena
bisa diterapkan pada masyarakat kapitalis maupun sosialis yang berpusat pada struktur otoritas perusahaan
industry dari pola kepemilikan.

Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap kegagalan dalam menganalisa masalah konflik
sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Bersama Coser,
Dahrendorf telah berperan sebagai corong teoritis utama yang menganjurkan agar perspektif konflik di
pergunakan dalam rangka memahami dengan baik fenomena sosial.
Pemikiran Dahrendorf mengenai konflik dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:

1. Dekomposisi modal, menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki
oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi
modal.
2. Dekomposisi Tenaga kerja, di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa
orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang
yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan
spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya
agar berkembang dengan baik.
3. Timbulnya kelas menengah baru, pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan
yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.

Pemikiran Dahrendorf juga dipengaruhi oleh Max Weber terutama dalam melahirkan konsep kekuasaan
dan otoritasnya. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan seseorang meskipun
mendapat perlawanan. Sedangkan otoritas diartikan sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan.
Dalam konsep otoritas disebutkan bahwa yang menjalankan otoritas dan yang tunduk pada otoritas tersebut
mempunyai kepentingan yang bertentangan sehingga orang yang menyadari akan kepentingan kelasnya dan
membentuk kelompok konflik kelas untuk mengubah struktur otoritas tersebut. Otoritas tidak terletak dalam diri
seseorang melainkan pada posisi. Letak otoritas ini pada posisi menyebabkan sifat otoritas tentatif dan dapat
berubah pada tempat dan waktu yang berbeda. Sebagai contoh seorang wali nagari pada satu nagari tidak
memiliki otoritas di nagari lain.

Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang
ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh
orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian
menantang kelas sosial lainnya.

Dahrendorf juga menganalisis hubungan antara kelompok, konflik, dan perubahan. Menurutnya ada tiga
tipe kelompok yaitu:
1. kelompok semu yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama;
2. kelompok kepentingan yaitu kelompok yang memiliki struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program
dan anggota perorangan. Kelompok ini merupakan agen riil dari konflik kelompok;
3. kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik kelomok actual.

Kelompok-kelompok tersebut merupakan konsep dasar untuk menjelaskan konflik sosial. Kelompok dalam
masyarakat tidak pernah berada dalam posisi ideal sehingga selalu ada factor yang mempengaruhi terjadinya
konflik sosial. Berkaitan dengan ini Dahrendorf mengatakan, jika anggota kelompok direkrut secara acak dan
ditentukan oleh peluang, kelompok kepentingan dan kelompok konflik tidak akan muncul. Jika rekrutmen
anggota kelompok berdasarkan struktur akan sangat memungkinkan munculnya kelompok kepentingan hingga
kelompok konflik.

Berkaitan dengan perubahan, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik akan menyebabkan perubahan dan
perkembangan. Setelah konflik selesai, anggota masyarakat akan melakukan perubahan dalam struktur sosial.
Jika konflik yang terjadi sangat besar akan menyebabkan perubahan yang radikal dan bila konflik disertai
tindak kekerasan akan menyebabkan perubahan struktur yang tiba-tiba.

Analisis Konflik Dahrendorf

Dalam menganalisis konflik masyarakat, yang pertama dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai peran
otoritas di dalam masyarakat. Dahrendorf mengkombinasikan pendekatan fungsional (tentang struktur dan
fungsi masyarakat) dengan pendekatan konflik dalam menganalisis antar kelas sosial masyarakat. Berkaitan
dengan hal ini, Zetlin menyarankan dalam menganalisis masyarakat harus membedakan dua metateori dalam
masyarakat yaitu system sosial terintegrasi secara fungsional (teori fungsional), dan metateori kedua adalah
struktur sosial dijalankan melalui tekanan dan paksaan (teori konflik).

Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan
kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk
menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan
kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah
hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah
konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya,

Kritik Terhadap Teori Konflik Dahrendorf

Pendekatan konflik dikritik karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas serta cendrung berideologi radikal.
Ada beberapa kritik terhadap teori Dahrendorf yaitu:

1. tidak secara tegas mencerminkan pemikiran Marxian


2. lebih banyak kesamaannya dengan teori fungsionlisme structural daripada teori Marxian dan memiliki
kelemahan yang sama dengan teori fungsionlisme structural;
3. hampir seluruh teori konflik bersifat makroskopik dan sangat sedikit yang ditawarkan dalam memahami
Teori Lewis A. Coseri ( Teori Konflik )

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya
agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami
konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang
memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang
berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun
yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok NegaraArab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu
hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat
(savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari
kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan
dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau
gaji dinaikkan.
2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam
masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain.
Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan
melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap
permusuhan atau agresi. Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat.
Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk
saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya,
tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk
membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara
konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin
dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-
hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas
diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para
partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila
konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan
tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia
menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik
kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik
dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser
sangat menentang para ahlisosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja.
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian
Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu
hubungan.
Ralf Dahrendorf ( Teori Konflik )

Sejarah Awal
Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi. Segera
setelah penampilan karya Coser, seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas
dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami
oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957-
1958).[15] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh
penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. Seperti halnya Coser, Ralf
Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori tersebut merupakan
perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat
bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
Inti Pemikiran
Ralf Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik
dan konsensus. Sehingga teori sosiologi harus dibagi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi
konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoriritis konflik harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan tersebut.
Dahrendorf mengakui bahwa terbentuknya sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari adanya dua unsur yakni
konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lainnya.[16]
Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis mengenai
pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan Mustahil menyatukan
teori untuk menerangkan masalah yang telah
membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat. Untuk menghindarkan dari teori tunggal
tersebut, Dahrendorf membangun teori konflik Masyarakat.[17]
Dahrendorf mulai dengan dan sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa,
menurut fungsionalis, sistem sosial dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau oleh konsensus bersama oleh
kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik bahwa masyarakat dipersatukan oleh ketidakbebasan yang
dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa
perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.
Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa
berbagai posisi dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam
diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis
Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi
otoritas diharapkan mengendalikan bawahan.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu hanya ada dua kelompok konflik yang memegang
posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. Di dalam setiap asosiasi, orang
yang berada pada posisi dominan berupaya
mempertahankan staus quo,sedangkan orang yang berada dalam posisi subordinat berupaya mengadakan
perubahan. Konflik kepentingan didalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini
berarti legitimasi otoritas mulai terancam.
Ralf Dahrendorf kemudian memaparkan tentang kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan
tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan
kepentingan yang sama. Kedua adalah kelompok kepentingan. Ketiga adalah kelompok konflik yang muncul
dari berbagai kelompok kepentingan.
Aspek terakhir teori konflik dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf
mengakui pentingnya pemikiran Lewis A Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam
mempertahankan status quo. Akan tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu
bagian realitas sosial, konflik juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan.
Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan
tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah
radikal. Bila konflik disertai dengan tindakan kekerasan maka akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.
KRITIK UTAMA DAN UPAYA MENGHADAPINYA
Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan
stabilitas, sedangkan fungsionalisme structural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga
dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme structural dikritik karena ideology konservatifnya. Bila
dibandingkan dengan fungsionalisme structural, teori konflik tergolong tertinggal dalam perkembangannya. Teori ini
hamper tak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.[18]
Teori konflik Dahrendorf menjadi sejumlah analisis kritis. Hasil analisis kritis itu sebagai berikut:

1. Model Dahrendorf tidak secara jelas menjelaskan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan.
2. Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf lebih banyak persamaannya dengan
fungsionalisme struktural dibandingkan dengan teori Marxian.
3. Seperti halnya teori fungsionalisme struktural teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan
akibatnya sedikit sekali untuk kita memahami pemikiran dan tindakan individu.
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang
diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Artinya setiap
hubungan sosial di mana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas
orang itu sendiri. Jadi maksudnya kita bisa melihat atau mengoreksi diri kita dengan melalui orang lain. Esensi
dari teori ini adalah simbol dan makna. Makna adalah hasil dari interaksi sosial. Ketika kita berinteraksi
dengan orang lain, ita berusaha mencari makna yang cocok dengan orang tersebut. Kita juga berusaha
mengintepretasikan maksud seseorang melalui simbolisasi yang dibangun.
Seperti namanya, teori ini berhubungan dengan media simbol dimana interaksi terjadi. Tingkat kenyataan
sosial sosial yang utama yang menjadi pusat perhatian interaksionisme simbolik adalah pada tingkat mikro,
termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi.yang berbeda secara kontras yang terdapat
dalam interaksionisme simbolik. Bagi interaksionisme simbolik, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola
interaksi. Organsisasi muncul dari proses ineraksi. Akar dari teori interaksionisme simbolik yang merupakan
yang terpenting dalam karya Mead adalah pragmatisme dan behaviorisme. Pragmatisme adalah pemikiran
filsafat yang meliputi banyak hal. Ada beberapa aspek pragmatisme yang mempengaruhi orientasi sosiologis.
Namun diantara empat aspek itu ada tiga yang penting bagi interaksionisme simbolik. Pertama, adalah
memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia nyata. Kedua, memandang baik aktor maupun
dunia nyata sebagai proses dinam.is dan bukan sebagai struktur statis. Ketiga, arti penting yang dihubungkan
kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial. Sementara behaviorisme berpendapat bahwa
manusia harus dipahami berdasarkan apa yang harus dilakukan. Pemikiran terpenting dalam interaksionisme
simbolik adalah pemikiran George H. Mead. Menurut Mead dari dunia sosial itulah muncul kesadaran, pikiran,
diri, dan seterusnya atau yang terkenal dalam buku Mead yaitu Mind, Self, and Society. Menurut Mead dalam
tindakan sosial ada empat tahapan yang saling berhubungan. Yaitu impuls, persepsi, manipulasi, dan
konsumiasi. Mead juga mengatakan bahwa dalam tindakan sosial ada mekanisme dasarnya yaitu sikap isyarat.
Sikap isyarat ini bisa berupa isyarat signifikan dan isyarat nonsignifikan. Isyarat sisgnifikan ini berupa bahasa
yang merupakan fakttor penting dalam pekembangan khusus kehidupan manusia. Bahasa ini menjadi simbol
sisgnifikan yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang bisa membuat isyarat suara tapi isyarat suara
itu tak sisgnifikan bagi binatang lain. Hanya manusia yang bisa membuat simbol signifikan yang disebut
bahasa. Bahasa ini punya fungsi menggerakkan tanggapan yang sama di pihak individu yang berbicara dan juga
di pihak lannya. Isyarat signifikan ini merupakan isyarat yang jauh lebih efektif dan memadai untuk saling
menyesuaikan diri dalam tindakan sosial menurut Mead daripada isyarat nonsignifikan. Yang paling penting
dari teori Mead ini adalah fungsi lain simbol signifikan, yakni memungkinkan proses mental,berpikir. Simbol
sisgnifikan ini juga berarti interaksi simbolik. Artinya orang dapat saling berinteraksi tidak hanya melalui
isyarat tapi juga melalui simbol sisgnifikan. Bahkan interaksi dengan melalui simbol yang signifikan berupa
bahasa, kita akan lebih mudah untuk saling memahami makna yang ingin disampaikan. Dengan begitu interaksi
akan berlangsung jauh lebih efektif daripada hanya menggunakan isyarat atau simbol yang tak signifikan
saja. Menurut Mead pikiran dalam diri manusia adalah terletak pada proses sosial. Pikiran merupakan bagian
integral dari proses sosial dan proses sosial ini hadir lebih dulu dari pikiran. Pendapat Mead ini ada benarnya.
Jika yang muncul lebih dulu adalah pikiran, maka manusia tidak akan tahu tentang apa yang harus dilakukannya
dengan pikiran yang dimiliki karena tidak adanya suatu proses sosial dalam kehidupannya. Proses sosial yang
muncul lebih dulu akan menuntun atau memberikan arah kemana pikiran itu. Dalam konsep pikiran ini juga
melibatkan konsep diri. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek dan objek. Diri muncul melalui
aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead diri baru muncul saat pikiran itu berkembang. Mustahil
untuk memisahkan keduanya karena diri adalah proses mental. Diri juga berarti kemampuan untuk
menempatkan diri secara tak sadar pada tempat orang lain dan bertindak seperti yang mereka lakukan. Sehingga
orang dapat memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Mead merunut asal-
usul diri melalui dua tahap dalam perkembangan anak-anak. Pertama adalah tahap bermain (playing). Pada
tahap ini anak-anak mengambil sikap orang lain yang berada diluar permainannya untuk dijadikan sikapnya
sendiri. Tapi mereka tidak paham mengenai pengertian yang lebih umum dan terorganisir mengenani diri
mereka sendiri. Kedua adalah tahap permainan. Dalam tahap permainan anak-anak mengambil peran orang lain
yang masih terlibat dalam permainan sehingga kepribadian tertentu mulai muncul dan mereka mulai mampu
menentukan apa yang akan mereka kerjakan dalam suatu kelompok khusus. Dalam tahap permainan ada konsep
pemikiran dari Mead yang terkenal disebut dengan generalized other. Artinya adalah sikap seluruh anggota
komunitas. Generalized other ini mencerminkan kecenderunagn Mead memprioritaskan kehidupan sosial,
karena melalui generalisasi orang lainlah kelompok mempengaruhi perilaku individu.Diri menurut Mead juga
terdiri dari dua tahap, yakni I dan me. I adalah aspek kreatif dan takdapat diprediksi dari diri, dan me
adalah sekumpulan sikap terorganisir orang lain yang diambil oleh aktor. Menurut pandangan pragmatis I
memungkinkan individu hidup nyaman dalam kehidupan sosial sedangkan me memungkinkan terjadinya
perubahan masyarakat.Suatu analisa yang lebih terperinci mengenai konsep diri diberikan dalam model McCall
dan Simmons mengenai identitas peran. Identitas-peran terdiri dari gambaran diri yang bersifat ideal yang
dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki berbagai posisi sosial. Identitas-peran ini diungkapkan
secara terbuka dalam pelaksanaan peran, dan tingkat dukungan sosial yang diterima orang lain akan membantu
menentukan pentingnya suatu identitas-peran tertentu dalam konsep diri seseorang secara keseluruhan. Erving
Goffman merupakan salah satu tokoh terkenal dalam teori sosiologi. Karya terpentingnya
dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of Self in Everyday Life. Ia terkenal dengan
konsep dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukkan drama di atas
pentas yang di dalamnya ada yang disebut frontstage (panggung depan) dan backstage (panggung belakang).
Juga ada bidang ketiga yaitu bidang residual, yang tak termasuk panggung depan dan belakang. Tujuan
Goffman yang utama adalah untuk menunjukkan pentingnya proses-proses di mana individu berusaha untuk
mementaskan suatu definisi sistuasi tertentu, dengan tekanan khusus yang diberikan kepada usaha untuk
memperoleh dukungan sosial bagi konsep-dirinya, yang di proyeksikan si individu itu dalam interaksinya
dengan orang lain.Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis
antara aktor dan audien. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas
penampilan diri. Saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain.
Tetapi aktor menyadari bahwa audien dapat menggangu penampilannya, maka dari itu aktor berusaha
menyesuaikan diri dengan pengendalian audien, Kunci pemikiran Goffman adalah bahwa jarak peran adalah
fungsi status sosial seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering menunjukkan jarak sosial karena
alasan yang berbeda dengan orang yang berada pada posisi status lebih rendah.Tokoh lainnya dalam
interaksionisme simbolik adalah William I. Thomas. Ia memberi sumbangan penting bagi perkembangan teori
ini berhubungan dengan definisi situasi seseorang atau yang lebih dikenal dengan Theorem Thomas, yakni
Kalau orang mendefinisikan situasi sebagai riil, maka akan riil pula dalam konsekuensinya.Misalnya saja jika
seorang perempuan didefinisikan oleh orang lain sebagai wanita nakal karena sering pulang malam, maka
tidak ada pilihan selain perempuan tersebut akan berlaku sesuai dengan yang dicapkan oleh orang lain. Padahal
perempuan tersebut juga belum terbukti sebagai wanita nakal. Namun, tidak sepenuhnya benar dengan teori
yang dikemukakan Thomas. Semua itu tergantung bagaimana sikap individu menanggapi definisi negatif yang
diberikan orang lain tersebut. Ada individu yang menanggapinya dengan berusaha mengubah sikap dan
memberi penjelasan pada orang-orang tersebut tentang apa yang sebenarnya. Jadi, semua kembali pada
individunya masing-masing. Terakhir akan dibahas mengenai pemikiran dari pencipta istilah interaksonisme
simbolik, yaitu Herbert Blumer. Blumer adalah penganut pemikiran Mead. Ia menciptakan istilah
interaksionisme simbolik pada tahun 1937. Ia juga yang membukukan pemikiran-pemikiran Mead menjadi
sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Blumer melihat interaksionisme simbolik berperang di dua front.
Pertama adalah behaviorisme-reduksionisme dan yang kedua adalah fungsionalisme struktural. Blumer adalah
orang yang paling menentang teori fungsionalisme struktural yang memandang perilaku individu ditentukan
oleh kekuatan eksternal berskala luas. MenurutBlumer, masyarakat tidak tersusun dari struktur makro.
masyarakat terdiri dari manusia yang bertindak, dan kehidupan masyarakat dapat dilihat sebagai terdiri dari
tindakan mereka. Jadi maksudnya kehidupan dalam suatu masyarakat dipandang baik atau buruk oleh orang
lain adalah tergantung dari tindakan anggota masyarakatnya. Tindakan manusia sebagai individu dalam suatu
kelompok/masyarakat menentukan kehidupan masyarakatnya.Blumer juga mengakui bahwa struktur yang
berskala luas itu penting. Namun menurut interaksionisme simbolik, peran struktur berskala besar itu sangat
terbatas dan tak lebih dari suatu wadah tempat berlangsungnya aspek kehidupan sosial. Struktur berskala luas
itu membatasi tindakan manusia bukan menentukan tindakan manusia. Blumer juga mempunyai asumsi dasar
interaksionisme simbolik yang dikembangkan dari ide-ide/pemikiran dasar Mead. Yaitu, manusia bertindak
terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, makna diciptakan dalam
interaksi antar manusia, makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, individu-individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, konsep diri memberikan sebuah motif penting
untuk berperilaku, orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, dan struktur
sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Teori pertukaran menurut George Casper Homans
Asumsi dasar teori pertukaran yaitu:
a. Manusia adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan untung dan rugi.
Teori pertukaran melihat bahwa manusia terus-menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku
alternatif, dengan pilihan mencerminkan cost and reward (biaya dan ganjaran) yang diharapkan
berhubungan dengan garis-garis perilaku alternatif ini. tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan
tindakan ekonomis. Suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan untung rugi. Dalam
interaksi sosial, aktor mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang
dikeluarkannya (cost benefit ratio). Oleh sebab itu, semakin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh
semakin besar kemungkinan suatu perilaku akan diulang. Sebaliknya, makin tinggi biaya atau ancaman
hukuman (punishment) yang akan diperoleh, maka makin kecil kemungkinan perilaku yang sama akan
diulang.
(1) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang
lain dan
(2) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Perilaku sosial terjadi melalui interaksi sosial yang mana para pelaku berorientasi pada tujuan. Misalnya untuk
memperoleh kasih saying, orang harus berorientasi pada perolehan kasih saying ini. perolehan kasih sayang ini
hanya mungkin dilakukan melalui interaksi dengan orang lain. Perilaku untuk mendapatkan kasih sayang ini
memerlukan sarana bagi pencapaiannya.
b. Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari
pertukaran itu. Sebuah tindakan pertukaran tidak akan terjadi apabila dari pihak yang terlibat ada yang
tidak mendapatkan keuntungan dari suatu transaksi pertukaran. Keuntungan dari suatu pertukaran, tidak
selalu berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang-barang atau jasa, tetapi juga bisa ganjaran
intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan, dll.

Teori-Teori Pertukaran Menurut Beberapa Ahli

Menurut George C. Homans


Unsur utama dari pertukaran sosial adalah cost (biaya), reward (imbalan), profit (keuntungan). Cost adalah
perilaku seseorang yang dianggap sebagai biaya Entah mengharapkan imbalan atau tidak. Sedangkan reward
adalah imbalan terhadap cost. Dari reward yang didapat seseorang bisa saja mendapatkan kenutungan yang
lebih besar dari cost yang dikeluarkan. Keuntungan tersebut disebut profit. Namun tidak semua reward yang
didapat manghasilkan keuntungan bagi seseorang yang mengeluarkan reward. Sebab dalam pertukaran sosial
seseorang tidak terlalu mengutamakan profit yang banyak. Seseorang hanya menginginkan reward atas cost
yang dia keluarkan. Contoh : seorang anak menolong Ibu yang mengalami kesulitan dalam membawa barang
belanjaan. Kemudian sebagai ucapan terima kasih Ibu tersebut memberi uang seribu rupiah kepada anak yang
menolongnya. Perbuatan menolong anak tersebut adalah cost dan Ibu tersebut menerima reward. Sebagai
umpan balik maka si anak mendapatkan reward uang seribu rupiah walaupun mungkin anak ersebut menolong
dengan ketulusan. Hubungan timbal balik diatas akan merujuk pada kuantitas dan nilai. Kuantitas adalah
intensitas atau frekuensi yang dimana suatu perilaku dinyatakan dalam suatu jangka waktu tertentu atau
sejumlah perilaku yang terjadi. Sedangkan nilai adalah tingkat dimana sesuatu suatu perilaku tertentu didukung
atau dihukum. Nilai dan kuantitas adalah sebuah persamaan yang tidak saling berhubungan antar satu sama lain.
George Homans menerangkan bahwa hubungan pertukaran sosial yang dilakukan manusia dapat dijelaskan
melalui 6 proposional dasar. Proposisi yang dimaksud adalah :
Proposisi sukses Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu mendapakan ganjaran maka,
kian kerap ia akan melakukan tindakan itu.
Artinya bahwa apabila seseorang berhasil memperoleh ganjaran (tidak mendapat hukuman) maka orang tersebut
cenderung mengulangi tindakan tersebut. Contoh : anak yang mengerjakan tugas pasti akan mendapat nilai
sebagai imbalannya. Perilaku yang selaras dengan proposisi sukses meliputi tiga tahap yaitu : pertama, tindakan
seseorang. Contoh : seorang anak SD mengerjakan soal ulangan . Kedua, hasil yang diberikan. Contoh : sebagai
imbalannya, anak tersebut mendapatkan nilai 75. Ketiga, pengulangan dari tindakan sebelumnya. Contoh :
seorang anak akan selalu mengerjakan tugas agar mendapat nilai.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan proposisi sukses adalah pertama, perulangan tingkah laku karena
mendapatkan ganjaran ini tidak bisa berlangsung tanpa batas. Jadi, tidak ada tindakan yang dilakukan tanpa
batas. Kedua, semakin pendek jarak antara cost dan reward maka, semakin sering frekuensi seseorang
melakukan tindakan tersebut. Ketiga, reward yang mengandung profit lebih tinggi akan memancing seseorang
untuk melakukan tindakan yang sama daripada perulangan padakegiatan yang memiliki profit tetap dan teratur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proposisi sukses hanya merupakan sebagian kebenaran yang tidak
dapat betahan dalam suatu pengujian empiris.
Proposisi stimulus
Jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa dimana
tindakan seseorang memperoleh gajaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu
itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan sama atau yang agak sama.
Yang dimaksud Homans adalah objek atau tindakan tersebut dilakukan dengan memperoleh ganjaran tertentu
sperti yang ia inginkan. Homans membuat generalisasi mengenai yaitu tingkat keberhasilan/ kecenderungan
untuk melakukan tindakan serupa secara berulang-ulang. Contoh : seseorang yang bermain judi dan menang
akan berjudi lagi dengan harapan menang lagi. Namun tidak semua orang akan melakukan generalisasi terhadap
tindakan tertentu.
Proposisi nilai
semakin bernilai hasil tindakan bagi seseorang, semakin cenderung ia melakukan tindakan serupa.
Proposisi ini menekankan bahwa dalam tindakan ada ganjaran (reward yang bersifat positif) dan hukuman
(bersifat negatif) atas tindakan yang dilakukan oleh individu. Reward diperoleh seseorang apabila dia
melakukan tindakan yang bersifat positif. Sedangkan hukuman akan diperoleh apabila seseorang melakukan
tindakan yang bersifat negatif. Dengan demikian diharapkan seseorang akan melakukan tindakan yang positif
dengan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif. Namun, Homans menekankan bahwa sebaiknya hukuman
terhadap suatu tindakan tidak dilakukan. Lebih baik mendorong orang lain agar melakukan tindakan yang
bersifat positif.
Proposisi kelebihan-kekurangan
Semakin sering seseorang mendapat ganjaran, maka semakin berkurangnya nilai imbalan yang dia terima
Pada proposisi ini yang menjadi faktor utama penentu kejenuhan adalah waktu. Contoh : apabila seorang siswa
selalu mendapatkan ranking satu. Maka siswa tersebuta akan mengalami kejenuhan terhadap kondisi tersebut.
Walaupun mendapat ranking satu adalah sebuah kebanggaan.
Proposisi deprivasi dan satiasi
Proposisi A :Apabila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran seperti yang diharapkan atau mendapat
hukuman yang tidak diharapkan, maka semakin besar kemungkinan bahwa dia menjadi marah dan melakukan
tindakan agresif dan tindakan agresif itu menjadi bernilai baginya.
Contoh : Apabila seorang bayi merasa lapar dan si Ibu tidak segera memberikan makanan. Maka, bayi tersebut
kan marah. Pada proposisi ini emosi adalah bukti tingkah laku manusia. Dimana dia akan marah apabila dia
tidak memproleh apa yang diinginkannya.
Proposisi B : ketika seseorang mendapat imbalan dari apa yang dia harapkan, khususnya gnjaran yang lebih
besar dari apa yang dia harapkan atau tidak mendapat hukukman yang diperhitungkannya maka, ia akan
melakukan hal-hal positif yang ia harapkan
Contoh : apabila sang Ibu merespon dari tangisan bayi tersebut dengan cara memberikan susu atau makanan
maka, sang Bayi akan berhenti menangis. Sebab di telah mendapatkan apa yang dia inginkan.
Proposisi rasional
Kalau memilih tindakan alternatif, seseorang akan memilih tindakan, sebagai mana dipersepsikan kala itu,
yang jika nilai hasilnya (V) dikalikan probabilitas keberhasilan (p) adalah lebih besar.
Pada proposisi rasionalitas, Homans menhubungkan prinsip rasionalitas dengan proposis-proposisi yang lebih
behavioristik. Dalam proposisi rasionalitas, benar tidaknya seseorang melakukan sebuah tindakan tergantung
pada persepsi mereka terhadap behavioralitas sukses
B. Menurut Peter Blau
Peter M. Blau menunjukkan bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang berupa
struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi
dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang berupa
pujian.
Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah

(1) suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi
dengan orang lain;

(2) suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang
dimaksud.

Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih
sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan
jasa.
Harapan-harapan yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Peter M. Blau, yaitu

(a) ganjaran atau penghargaan;

(b) lahirnya diferensiasi kekuasaan;

(c) kekuasaan dalam kelompok; dan

(d) keabsahan kekuasaan dalam kelompok.


Untuk jelasnya dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu
didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

Peter M. Blau berpendapat bahwa

(1) individu-individu dalam kelompok-kelompok yang sederhana (mikro) satu sama lain dalam pertukaran
sosial mempunyai keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun penghargaan; dan

(2) tidak semua transaksi sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial yang seimbang.
Pertukaran sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan diferensiasi kekuasaan karena
dalam pertukaran tersebut ada pihak yang merasa lebih berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di
lain pihak ada yang dikuasai serta merasa ditekan.
Kekuasaan menurut Peter M. Blau adalah kemampuan orang atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya
pada pihak lain.
Adapun strategi atau cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang lain yaitu
memberikan sebanyak mungkin kepada pihak lain yang membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan
statusnya yang lebih tinggi dan berkuasa, agar mereka yang dikuasai merasa berutang budi dan mempunyai
ketergantungan.
Dalam pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang terjadi pula dalam suatu
kelompok. Dalam kelompok akan terjadi persaingan antarindividu, dan tiap individu akan berusaha memperoleh
kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain. Agar orang itu terkesan lebih menarik dari orang lain
syaratnya dapat menarik perhatian orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau
orang yang dapat menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan. Kelebihan orang
yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan karena kepandaiannya, kejujurannya,
kesopanannya ataupun kebijaksanaannya. Dari tiap-tiap kelompok akan ada yang menonjol dan yang menonjol
itu akhirnya akan muncul satu orang yang paling menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut
maka muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin
(pemegang kekuasaan) akan memperoleh penghargaan sebagai akibat tanggung jawab yang dapat dipenuhinya.
Sementara orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena tugas yang
diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan yang ada.
Perintah yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh pemimpin yang sah. Agar perintah dipatuhi maka
pemimpin (pemegang kekuasaan) harus mempunyai wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh pemegang
kekuasaan digunakan untuk merekrut anggota dalam kelompok.

Anda mungkin juga menyukai