Anda di halaman 1dari 110

Dalam leksikon Jawa, guru umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan bisa digugu

lan ditiru ( Sunda: tiasa dipercanten sareng digugu sarta ditiru). Ini artinya bahwa sosok guru adalah
orang yang dapat dipercaya atau dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladan tingkah
lakunya. Di balik ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya asumsi bahwa apa yang dilakukan,
dikatakan, dan diajarkan guru adalah benar. Guru sangat dipercaya sehingga jarang orang
mempersoalkan ajarannya. Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena
itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai
teladan, guru sangat dihormati masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi
guru adalah kebanggaan. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe. Asumsi tempo dulu
bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, ungkapan guru
sebagai yang bisa digugu dan ditiru agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul
pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan
atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam umpatan kepada guru.
Pergeseran pandangan terhadap profesi guru itu disebabkan oleh berbagai hal. Keadaan dan
zaman telah berubah. Modernisasi media cetak dan media elektonik menjadikan guru yang semula
dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi tidak berlaku lagi. Jumlah warga masyarakat yang
berpendidikan lebih tinggi dari guru semakin banyak. Kecuali status sosial itu, status ekonomi
kebanyakan guru terutama, sangat memiliki andil yang cukup berarti terhadap pergeseran pandangan itu.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan, ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan. Dalam
hal ini, apakah ia memiliki keutamaan moral; kemampuan menghayati nilai yang baik dan buruk?
Banyak orang, termasuk guru, tahu tentang nilai-nilai moral. Tetapi, masih saja banyak yang berbuat
salah bahkan melakukan kejahatan yang disengaja. Terjadinya perbedaan atau bahkan pertentangan
antara pengetahuan dan tindakan seseorang itu banyak yang disebakan oleh kenyataan-kenyataan hidup
yang mungkin memang membuatnya begitu.
Minimnya gaji guru untuk memenuhi standar hidup layak yang berakibat pada rendahnya status
ekonomi, memaksa guru untuk bekerja pada bidang yang lain. Banyak guru yang melakukan pekerjaan
tak terhormat demi mencukupi kebutuhan minimum rumah tangganya. Bahkan ditemui banyak kasus
tindak kejahatan seperti pengedaran narkoba, penipuan, pencurian, pengatrolan atau jual-beli nilai rapor,
dan kasus-kasus kriminal lain yang melibatkan seorang guru. Kemudian, fenomena ini melibas gengsi
guru dari mata masyarakat. Guru yang zaman dulu dianggap memiliki keutamaan moral sekarang
dipandang tidak lebih dari kebanyakan orang.
Dewasa ini, ketika terdapat guru sudah dapat hidup layak dari segi ekonomi karena kerja
ekstranya atau karena mendapat jabatan di sekolah tempat kerjanya sehingga bisa memberikan
1

kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengubah status ekonominya, banyak yang berusaha


mengejar status atau segi lain. Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin menemukan kembali
gengsi dan kehormatan dirinya. Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bisa
memperpuruk gengsi dan kehormatannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus komaditi gelar akademis
yang merebak akhir-akhir ini, banyak guru yang terlibat sebagai konsumen.
Dahulu ada teori bahwa fenomena gila gelar disebabkan oleh suatu kekagetan akibat pendidikan
formal masih merupakan hal baru dalam budaya bangsa dan pelaksanaannya belum merata. Kemudian
dapat dimengerti bahwa orang yang sudah mendapat gelar akademis tertentu merasa menonjol di antara
sesama di lingkungannya. Lebih jauh dari itu timbul kesombongan dan sering disertai kecenderungan
memaksakan pendirian kepada orang lain. Sekarang, ketika pendidikan sudah semakin maju dan merata,
gelar masih menjadi pemukau yang manjur di kalangan masyarakat kita. Banyak orang yang ingin
memperpanjang namanya dengan berbagai gelar. Kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak
terentu dengan cara memperdagangkan berbagai gelar akademis.
Telah banyak diungkap bahwa kecanduan gelar tidak hanya merasuki kalangan pejabat dan
perguruan tinggi, tetapi sudah hampir memasyarakat, termasuk kalangan guru sekolah menengah. Di
Bandung misalnya, banyak guru dan kepala sekolah menengah yang bergelar master (M.B.A. dan
/atau M.Sc.). Bahkan ada sekolah swasta yang hampir 50 persen guru tetapnya memiliki gelar MBA
dan/atau MSc, dan ada yang sampai Dr (HC). Yang menjadi masalah, seperti yang akhir-akhir ini
dirisaukan oleh banyak kalangan, gelar-gelar bergengsi yang dimiliki oleh para guru dan kepala
sekolah itu diperoleh dengan jalur yang tidak semestinya. Pada umumnya, mereka bisa mendapatkan
gelar-gelar itu cukup dengan membayar sejumlah uang pada lembaga atau biro jasa (warung gelar)
yang menjual/ menawarinya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru-guru itu yang notabene guru sebagai ujung tombak
pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifantidak menghayati lagi moral, etika, dan
prilaku sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Para guru itu dapat
dikatakan bertindak hanya dengan kendali nilai-nilai yang beredar di pasaran tanpa didasari moral dan
prinsip etis yang logis. Ungkapan digugu dan ditiru seperti disebut di atas atau ungkapan guru
kencing berdiri, murid kencing berlari, kiranya (dalam hal ini) kembali menjadi alasan bagi prilaku
murid-murid yang bertindak serupa. Hal tersebut terbukti di Bandung ini juga, dan bukanlah fenomena
baru, banyak murid yang membeli rapor, nem, dan ijazah. Terdapat anak yang tiba-tiba diketahui
memiliki ijazah SMU tanpa harus menyelesaikan SMU-nya sampai tuntas. Ketika murid tersebut tidak
naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu perguruan tinggi. Yang aneh
lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di SMU tersebut, pada
2

tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan yang sangat
mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini. Terungkapnya kasus
pengatrolan nilai ujian akhir dan jual beli nilai yang dilakukan oleh oknum guru SMU di Bandung akhirakhir ini adalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan fakta ini sudah terbiasa terjadi di sekolahsekolah lain dan di wilayah-wilayah lain di negeri ini.
Kenyataan di atas sangat memprihatinkan. Mungkin sekali pendidikan budi pekerti tidak akan
banyak artinya dan kurang menyentuh pribadi anak jika masih terdapat fakta-fakta prilaku guru yang
kurang berbudi pekerti itu. Jika moral dan sifat budi pekerti luhur tidak dimiliki para pendidik, akan
dibuat bagaimanakah moral generasi muda bangsa ini kemudian? Keberhasilan usaha pendidikan bukan
pertama terletak pada tersedianya perlengkapan pendidikan yang serba canggih, melainkan lebih pada
kualitas sumber daya manusianya yaitu guru dan tenaga kependidikan yang lain.
Para guru pada dasarnya adalah pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan keterampilan
dari generasi terdahulu kepada generasi kemudian. Mereka adalah pelaku tugas pokok manusia dalam
hidup ini (the ultimate human task in life). Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai tujuannya yaitu
membentuk manusia yang manusiawi sehingga mampu menghadapi era perkembangan dan perubahan
global, diperlukan pendidik yang mentalnya kuat, moralnya tangguh, dan profesionalismenya tinggi.
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar
bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara
sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan
kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman
seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu,
teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi
yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam
hal ini adalah karya pendidikan.
Beranjak dari sikap dasar di atas, kita dapat mengatakan bahwa profesionalisme memiliki tiga
ciri utama yang saling mengait, yakni (a) adanya kapasitas atau stok keahlian yang besumber pada ilmu
pengetahuan dan teknologi yang benar dan mapan; (b) adanya moral, etika, serta perilaku atau tindaktanduk yang baik; dan (c) adanya pelayanan atau pengabdian yang tulus dari seorang individu terhadap
masyarakat dan lingkungan (bdk. Kunjara, 1998). Oleh karena itu, seseorang dikatakan profesional
apabila memenuhi kriteria seperti: memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada bidang
pekerjaan yang diemban (know what and show how), memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas

yang diemban (know how), dan memiliki sikap-sikap yang dituntut oleh pekerjaan yang diemban
(disiplin ilmu dan etika profesi).
Berlandaskan pemikiran di atas, kiranya cukup banyak ciri keutamaan bagi profesionalisme
seorang guru. Beberapa ciri keutamaan itu antara lain ketepatwaktuan, optimisme terhadap peserta didik,
solideritas, stabilitas, mawas diri, kesabaran, kesederhanaan, tahu membeda-bedakan, ketenangan,
ketekunan, idealisme, persiapan, dan menghargai profesi. Terhadap ciri keutamaan yang disebut terakhir
ini, profesi guru hendaknya dihargai dan dicintai oleh guru itu, bukan sebaliknya disalahgunakan dan
dilecehkannya sendiri. Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan
tenaga pengajar yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar
pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat
sebagai guru (Hidup, 27/2/00 hal. 19). Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan
dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi
yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat
dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral.
Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia
kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan
globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat
sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati
masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan
menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan
kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Profesi Kependidikan
B. Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut persiapan pendidikan yang relatif lama di perguruan tinggi
atau lembaga tertentu yang dikuasai oleh kode etik tertentu yang memenuhi karakteristik dan ciri-ciri tertentu
pula.
2. Profesional
Profesional adalah suatu proces of change atau proses perubahan mengenai suatu pekerjaan dari yang non
profesi menuju ke profesi yang sesungguhnya atau proses memprofesionalkan pekerjaan dengan memenuhi
sifat-sifat esensi profesi.
4

Kemampuan profesional guru/dosen yang dituntut dalam profesi kependidikan meliputi (1) Menguasai
materi pelajaran, 2) Menguasai program belajar, 3) Mengelola kelas, (4) Mampu menggunakan media/sumber
belajar, (5) Mampu mengelola interaksi belajar mengajar, (6) Menilai prestasi belajar siswa/mahasiswa, (7)
Menguasai landasan kependidikan, (8) Mengenal fungsi dan program belajar Bimbingan dan Penyuluhan, (9)
Mengenal dan dapat melaksanakan administrasi sekolah, (10) Memahami prinsip-prinsip dan mampu
menafsirkan hasil penelitian pendidikan.
Guru yang berkualitas ialah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya
sebagai poendidik. Dalam suatu studi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa guru yang bermutu memiliki
paling sedikit empat kriteria utama yaitu :
1.

Kemampuan profesional (profesional capacity)

2.

Upaya profesional (profesional Effort)

3.

Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (time devotion)

4.

Imbalan atas hasil kerjanya (profesional rent)


Ciri-Ciri guru yang Profesional dan Efektif menurut Davis Thomas (1997) adalah

1.

Memiliki Kemampuan Interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan emphaty, penghargaan


dan ketulusan kepada siswa

2.

Memiliki hubungan baik dengan siswa

3.

Mampu menerima, mengakui dan memperhataikan siswa secara tulus

4.

Menunjukkan minat dan antosias yang tinggi dalam mengajar

5.

Mampu menciptakan tumbuhnya kerjasama dan keharmonisan anggota kelompok.

6.

Mampu melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencana-kan kegiatan pembelajaran

7.

Mampu mendengarkan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berbicara

8.

Mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas.


Guru yang sukses mengajar menurut Bell (1993:37) adalah guru yang memiliki beberapa power

berikut ini :
1.

Guru yang memiliki Power With yaitu guru yang senantiasa dapat bekerjasama dengan siswa
(kolaboratif). Guru model ini senang memotivasi dan memimbing siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran tanpa pamrih.

2.

Guru yang memiliki Power For yaitu guru yang selalu berpikir untuk kepentingan proses belajarmengajar (rela berkorban)

3.

Guru yang memiliki Power On yaitu guru yang selalu menganggap dirinya lebih pandai dan tahu segalagalanya. Guru jenis ini tidak bersedia disalahkan, melainkan ia selalu menganggap dirinya benar dan selalu
ingin berada distas kapan dan dimana saja.

4.

Guru yang memiliki Power Off yaitu guru yang tidak mau ambil peduli dengan kesulitan yang dialami
siswa dalam proses pembelajaran.
Kemampuan Profesional (profesional capacity) adalah kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasi sesuai

dengan pekerjaannya. Secara sederhana kemampuan profesionalisme ini bisa ditunjukkan dengan kemampuan
guru dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya untuk selalu memperkaya dan
meremajakan pengetahuannya. Kemampuan Profesional guru bisa juga ditunjukkan dengan tinggi-rendahnya
score hasil tes yang mengukur kemampuan menguasaai materi pelajaran yang diajarkan. Guru yang bermutu
adalah mereka yang dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar, dan hasuil, dan untuk itu guru harus
menguasai keahlian baik dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun dalam metodologi pengajarannya.
Upaya profesional (Profesional Efforts) adalah upaya seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan
profesional yang dimilikinya kedalam tindakan mendidik dan mengajar secara nyata dan berhasil. Upaya
profesional guru tersebut ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar, baik keahlian menguasai materi
pelajaran, pengelolaan kegiatan belajar murid, maupoun upaya memperkaya serta meremajakan kemampuannya
dalam mengembangkan program pengajaran.
Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teachers time) menunjukkan intensitas waktu dari
seorang guru yang dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesinya. Teachers time ini merupakan salah satu
indikator penting dari mutu guru, seperti ditunjukkan oleh konsep waktu belajar (time on task) yang diukur
dari intensitas belajar siswa secara perorangan. Time on task ini ditemukan melalui berbagai studi dan berbagai
penelitian di berbagai negara termasuk Indonesia sebagai salah satu prediktor terbaik dari mutu hasil belajar
siswa. Guru dikatakan profesional jika pekerjaannya dapat menjamin kehidupan mereka. Pendapatan seorang
profesional sangat ditentukan oleh kemampuan dan prestasinya dalam bekerja.
B. Kriteria Profesi Kependidikan
Menurut komisi kebijaksanaan Pendidikan NEA Amerika Serikat (Dalam Oteng Sutisna, 1985 : 304)
menyebutkan ada enam macam kriteria profesi kependidikan yaitu :
1.

Profesi didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikhususkan.

2.

Profesi mengejar kemajuan dalam kemampuan para anggotannya


6

3.

Profesi melayani kebutuhan para anggotanya (akan kesejahteraan dan pertumbuhan profesional).

4.

Profesi memiliki norma-norma etis.

5.

Profesi mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di bidangnya (mengenai perubahan-perubahan


kurikulum, struktur organisasai pendidikan), persipan profesional.

6.

Profesi memiliki solidaritas kelompok profesional.


Guru yang profesional adalah guru yang memiliki sejumlah kemampuan dasar (KD). Hasan Walinono

(1985:5) mengemukakan kemampuan dasar tersebut adalah :


1.

Mengembangkan kepribadian

2.

Menguasai landasan kependidikan

3.

Menguasai bahan pelajaran

4.

Menyusun program pengajaran

5.

Melaksanakan program pengajaran

6.

Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan

7.

Menyelenggarakan program bimbingan

8.

Menyelenggarakan administrasi pendidikan

9.

Berintegrasi/berinteraksi dengan teman sejawat/kalangan pendidikan dan masyarakat.

10. Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.


Kesepuluh kemampuan guru yang dikemukakan di atas dijabarkan dalam bentuk yang lebih konkrit. :
Pertama, pengembangan kepribadian : (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Berjiwa Pancasila,
(3) Menghargai seni budaya sendiri, (4) Disiplin, (5) Kreatif dan inisiatif (6) Memiliki gagasan yang baik, (7)
Rendah hati dan terbuka, (8) Memiliki cinta kasih yang tinggi (9) Tidak mudah putus asa.
Kedua, menguasai landasan kependidikan : (1) Mengenal tujuan pendidikan pada satuan pendidikan yang
bersangkutan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, (2) Mengenal prinsip-prinsip pendidikan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar, (3) Mengenal fungsi satuan pendidikan dalam masyarakat.
Ketiga, menguasai bahan pelajaran : (1) Menguasai bahan pelajaran kurikulum satuan pelajaran yang
bersangkutan, (2) Menguasai bahan pengayaan, (3) Menguasai sumber lingkungan yang dimanfaatkan sebagai
bahan pengajaran.
Keempat, (1) Menetapkan tujuan pengajaran, (2) Memilih dan
pengembangkan bahan pengajaran, (3) Memilih dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai, (4)
Memilih dan memanfaatkan sumber belajar.

Kelima, melaksanakan program pengajaran : (1) Menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, (2)
Mengatur lingkungan ruang belajar, (3) Mengelola interaksi belajar mengajar.
Keenam, menilai hasil proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan : (1) Menilai prestasi murid untuk
kepentingan pengajaran, (2) Menilai hasil proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Ketujuh, menyelenggarakan program bimbingan : (1) Membimbing siswa yang mengalami kesulitan
belajar, (2) Membimbingan siswa yang berkelainan dan berbakat khusus, (3) Membina wawasan siswa untuk
menghargai berbagai pekerjaan di masyarakat.
Kedelapan, menyelenggarakan administrasi pendidikan : (1) Mengenal administrasi kegiatan pendidikan,
(2) Melaksanakan kegiatan administrasi kegiatan pendidikan.Kesembilan, berintegrasi/berinteraksi dengan
teman sejawat/kalangan pendidik dan masyarakat, (2) Berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka
menunaikan misi pendidikan.
Salah satu tujuan dari terbentuknya PGRI adalah untuk memeprtinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan
profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan guru. Sedangkan misi PGRI adalah :
1.

Misi politis/ideologis

2.

Misi perasatuan/oraganisatoris

3.

Misi profesi

4.

Misi kesejahteraan
Misi politis/idelogis yang dipikul oleh PGRI karena mengemban amanat yang tercantum dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa atas dasar ideologi negara
Pancasila dan UUD 1945. Misi perasatuan/Organisatorisberhubungan dengan bagaimana cara organisasi
PGRI ini memberi imbas/dampak terhadap pembangunan bangsa. Misi profesi berhubungan dengan usaha
organisasi profesi ini untuk mengembangkan kemampuan anggotanya supaya lebih profesional dan asfek
persyaratan profesi harus terpenuhi. Misi kesejahteraan berhubungan dengan perjuangan nasib para
anggotanya untuk memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak untuk memenuhi kebutuhan anggota dan
keluarganya.
C. Kode Etik Profesi Guru
Isi rumusan
1.

KODE ETIK GURU INDONESIA adalah sebagai beriku :

Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang berPancasila.
a.

Guru menghormati hak individu, Agama dan keperccayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari anak
didiknya masing-masing.
8

b.

Guru menghormati dan membimbing kepribadian anak didiknya.

c.

Guru menyadari bahwa Intelegensi, Moral dan jasmani adalah tujuan utama pendidikan.

d.

Guru melatih anak didik memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasinya agar dapat
menunjang masyarakat yang sedang membangun.

e.

Guru membantu sekolah didalam usaha menanamkan

pengetahuan keterampilan kepada

anak didik.
f.

Guru memiliki kejuruan profesional dalam menerapkan

Kurikulum sesuai dengan kebutuhan

anak didik masing-masing


g.

Menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didik masing-maasing.

h.

Guru hendaknya fleksibeldidalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didiknya
masing-masing.

i.

Guru memberi pelajaran di dalam dan luar sekolah berdasarkan kurikulum dan berlaku secara baik
tanpa membeda-bedakan jenis dan posisi sosial orang tua muridnya.

2.

Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi, tentang anak didik tetapi
menghindarkan diri segala bentuk penyalahgunaan.
a.

Komunikasi guru dan anak didik di dalam dan luar sekolah dilandaskan pada rasa kasih sayang.

b.

Untuk berhasilnya pendidikan, guru harus mengetahui kepribadian anak dan latar belakang orang
tuanya.

c.
3.

Komunikasi hanya diadakan semata-mata untuk kepentingan

pendidikan anak-anak didik.

Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid dengan
sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
a.

Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah

b.

Guru menciptakan hubungan baik dengan orang tua sehingga dapat terjalin pertukaran informasi timbal
balik untuk kepentingan anak didik.

c.

Guru senantiasa menerima dengan dada lapang setiap kritik membangun yang disampaikan orang tua
murid/masyarakat terhadap kehidupan sekolahnya.

d.

Guru turut bersama-sama masyarakat sekitarnya di dalam berbagai aktivitas.

e.

Guru mengusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-baiknya antara sekolah, orang tua murid, dan
masyarakat bagi kesempatan usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa pendidikan merupakan
tanggung jawab bedrsamaantara pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.

4.

Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang
lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
a.

Guru memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan.


9

b.

Guru menyebarkan dan turut merumuskan program pendidikan kepada dan dengan masyarakat
sekitarnya, sehingga sekolah tersebut berfungsi sebagai puasat pembinaan dan pengembangan
kebudayaan di tempat itu.

c.

Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai pembaharu bagi kehidupan
dan kemajuan daerahnya.

5.

Guru secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha


mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
a.

Guru melanjutkan studinya dengan :


1.

Membaca buku-buku

2.

mengikuti workshop/seminar, konfrensi dan pertemuanpertemuan pendidikan dan keilmuan


lainnya.

b.
6.

3.

Mengikuti penataran

4.

Mengadakan kegiatan-kegiatan penelitian.

Guru selalu berbicara, bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya.

Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja
maupun di dalam hubungan keseluruhan.
a.

Guru senantiasa saling bertukar informasi, pendapat, saling menasehati dan membentu satu sama
lain, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam penunaian tugas profesi.

b.

Guru tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang merugikan nama baik rekan-rekan seprofesinya
dan menunjang martabat guru, baik secara pribadi maupun secara keseluruhan.

7.

Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkat kan organisasi guru profesional sebagai
sarana pengabdiannya.
a.

Guru menjadi anggota dan membantu organisasi guru yang bermaksud membina frofesi dan
pendidikan pada umumnya.

b.

Guru senantiasa berusaha menciptakan persatuan diantara sesama pengabdi pendidikan.

c.

Guru senantiasa berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan dan program pemerintah dalam
bidang pendidikan kepada orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.

d.

Guru berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan pendidikan di lingkungan atau di daerahnya


sebaik-baiknya individu maupun untuk kelompok.

D.

Pendidik

10

Yang dimaksud pendidik disini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan
kepada anak didik dalam perkembangan rohani dan jasmaninya agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu
berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial dan sebagai individu (pribadi) yang
mandiri.
Orang dewasa yang terutama mempunyai tanggung jawab terhadap anaknya adalah orang tuanya.
Mereka adalah sarana pertama akan terciptanya anak sebagai mahluk Tuhan. Orang tua dinamai pendidik
kodrat. Karena orang tua tidak mempunyai kekuatan, kemampuan, waktu dan sebagainya untuk memberikan
pendidikan yang diperlukan oleh anaknya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawab kepadanya
kepada orang dewasa lain untuk membimbingnya : guru disekolah, guru agama dibidang pendidikan ketuhanan,
pemimpin kepemudaan pada organisasi pemuda, tokoh masyarakat didalam masyarakat dan sebagainya.
Agar pendidik dapat berfungsi sebagai medium yang baik dalam menjalankan kegiatan pendidikan, ia
harus memperlakukan beberapa peranan sebagai berikut :
a.

Ia wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik yang ada, dengan jalan : observasi, wawancara,
pergaulan, angket dan sebagainya.

b.

Ia wajib berusaha menolong anak didik dalam perkembangannya. agar pembawaan buruk tidak
berkembang dan sebaliknya pembawaan baik terus berkembang dengan subur mendekati puncak
kemungkinannya, dengan menyiapkan lingkuan yang di perlukan.

c.

Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan arah perkembangan yang tepat. Pendidikan
sebagai orang yang berpengalaman mampu melaksakan hal ini berhubungan ia sudah mengalami likulikunya jalan dan mengetahui sesatnya jalan yang menimbulkan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan.
Cabang pekerjaan yang telah di pilihnya sebagai pendidik tidak saja di pandang sebagai sumber nafkah
melainkan juga sebagai tempat tempat pengabdian kepada Nusa,bangsa dan Tuhan.

d.

Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam
usaha mencapai tujuan pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan.

e.

Ia wajip memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi
kesulitan denan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan dicapai.

f.

Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang
berdasarkan bakat yang ada padanya,namun mengembangkan bakat yang tidak ada padanya. Ia hanya dapat
mempengaruhi situasi, agar anak agar anak dalam situasi yang baik dapat berkembangan dengan lebih cepat
tidak sesat dan tidak membahayakan kelangsungan perkembangannya. Itulah yang dimaksud oleh Ki Hajar
Dewantara bahwa mendidik adalah tutwuri handayani. Artinya :Tutwuri atau mengikuti anak berkembang
sendiri dengan jalan sendiri dan andayani atau mempengaruhi agar perkembangan jalan lebih pesa, apabila
ada bahaya yang menimpa dapat diakhirinya.
11

g.

Pendidikan senatiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah ada hal-hal tertentu
dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan. Satu prinsip penting untuk melaksanakan
pendidikan adalah bahwa pendidik harus sudah memeliki norma-norma yang ingin di serahkan kepada anak
didik. hal ini sudah dibahas dalam bab v tentang kewibawaan dan tanggung jawab pendidik, karenanya
tidak akan di ulangi lagi disini. yang perlukan di tegaskan di sini adalah pendidik mutlak harus memiliki
norma-norma yang akan dipindahkan, termasuk menguasai isi atau bahan pendidikan yang akan
disampaikan kepada anak didik agar dengan demikian kewibawaan yang dipersyaratkan dalam kegitan
pendidikan dapat diwujudkan.

h.

Pendidikan perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja di sesuaikan dengan bahan atau isi
pendidikan yang akan disampaikan tetapijuga disesuaikan dengan kondisi anak didiknya. Hanya bila di
lakukan pemilihn metode atau teknik penyajian dengan cara yang demikian, kegiatan pendidikan yang
dijalankan akan menjadi pengalaman yang disenanngi oleh anak didik dan ini merupakan landasan untuk
keberhasilan usaha pendidikan tersebut. Oleh karena anak didik berbeda-beda sifatnya maka akibatnya
penggunaan yang hanya satu macam seperti metode ceramah saja, sudah jelas dari sudut pertimbangan ini
adalah tidak memadai dan karena itu bila dilaksanakan juga tidak akan memberi manfaat banyak di dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.

E.

Anak Didik
Yang dimaksud dengan anak didik disini adalah anak yang belum dewasa yang memerlukan bibingan

dan pertolongan dari orang lain yang sudah dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai mahluk Tuhan,
sebagai suatu pribadi atau individu sendiri. Anak didik disebut anak kandung apabila anak didik tersebut dalam
lingkungan pendidikan keluarga, siswa dan mahasiswa adalah anak didik dalam lingkungan pendidikan
disekolah dan lain-lain. Isi kurikulum (core curriculum content) yang berorientasi pada proses pembelajaran
murid secara maksimal pada intinya terdiri dari dua kategori yaitu:
Isi kurikulum yang berkaitan dengan kemampuan dasar untuk belajar (basic learning skils)seperti kemampuan
membaca (menyerap informasi melalui bahan bacaan secara tepat), berhitung (berlatih untuk memahami
logika angka dan ruang), menulis (menuangkan gagasan melalui tulisan atau lisan), mendengar dan
menyimak (menyerap informasi melalui pengamatan dan pendengaran), sertra mengenal permasalahan
lingkungan agar dapat berlatih untuk memecahkannya.
Isi kurikulum yang berkaitan dengan substansi belajar (basic leaning contents) seperti pengetahuan, wawasan,
nilai, sikap, dan keterampilan. Konten pelajaran tidak perlu harus disampaikan melalui kuliah atau ceramah
karena perolehan pengetahuan bisa dilakukan melalui kegiatan membaca buku-buku pelajaran, manual,
pengumuman, berita, serta pengamatan masalah di lapangan serta melalui mess media. Informasi yang
12

diperoleh peserta didik selanjutnya ditelaah (reviewed) dan dijelaskan dengan konsep ilmu pengetahuan
bersama guru dalam diskusi di kelas.
Pendekatan Teknis Kependidikan (technical approach); yaitu berkenaan dengan mutu pendidikan dapat
ditingkatkan melalui pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Pendekatan Pengelolaan
Pendidikan (Managerial Approach) yaitu mutu pendidikan ditingkatkan melalui penguatan kemampuan setiap
satuan lembaga pendidikan dalam menerapkan strategi khusus secara sendiri-sendiri.
F.

KEMAMPUAN AKADEMIK DAN NON AKADEMIK

1. Kemampuan akademik Guru diantaranya :


1.

Mengausasi materi pembelajaran sesuai dengan displin ilmunya

2.

menguasai meteri mengembangkan metodologi pembelajaran.

3.

ahli menyusun program pembelajaran dan melaklsanakannya.

4.

mampu menilai hasil & evaluasi pembelajaran.

5.

mampu memberdayakan siswa dalam pembelajaran.

2. Kemampuan non akademik Guru antar alain :


1.

menguasai paradiagma baru pendidikan.

2.

tidak buta teknologi

3.

memiliki iman dan taqwa seimbang antara kehidupan duniawi dan akhirat

3. Kriteria Ukuran Keberhasilan Mengajar :


1.

Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum;

2.

Keterlaksanaan mengajar oleh guru;

3.

Keterlaksanaan belajar oleh siswa;

4.

Motivasi belajar;

5.

Aktivitas Siswa dalam kegiatan belajar;

6.

Interaksi guru siswa;

7.

Kemampuan/keterampilan guru mengajar;

8.

Prestasi belajar yang di capai oleh siswa;

4. Syarat-Syarat Kemampuan Guru Antara lain :Pengetahuan (knowledge) di bidang tertentu terutama di bidang
keguruan dan pendidikan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.
1.

Keterampilan (Skill) di bidang keguruan sehingga mampu memimpin /menguasai kelasnya secara
efektif

13

2.

Kemampuan Menilai/mengevaaluasi (Evaluation) sehingga gurau mampu menilai/mengevaluasi


sejauh mana materi pellajaran telah disampaikan dan sejauh mana siswa mampu menguasai materi
pelajaran itu.

a.

Syarat-Syarat Profesional Guru (Oemar Hamalik 1986:76) :


1.

Persyaratan Fisik, yaitu kesehatan jasmani yang artinya seorang guru harus berbadan sehat dan tidak
memiliki penyakit menular yang membahayakan

2.
3.

Persyaratan Psykis, yaitu sehat rohani yang artinya tidak mengalami gangguan jiwa.
Perssyaratan Mental, yaitu memiliki sikap mental yang baik terhadap profesi kependidikan,
pengabdian serta memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya

4.

Persyaratan Moral, yaitu memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki sikap susila yang btinggi

5.

Persyaratan Intelektual, yaitu pengetaahuan dan keterampilan yang tinggi yang diperoleh dari
lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang memberikan bekal guna menunaikan tugas dan
kewajibannya sebagai pendidik.

F. Karak Teristik Kemampuan Guru.


a.

Memiliki Tanggung Jawab, antara lain :


1)

Tanggung Jawab Moral, yaitu setiap guru harus memiliki kemampuan menghayati perilaku dan etika
yang sesuai dengan moral Pancasaila dan mengamalakaannya dalam kehidupan sehari-hari.

2)

Tanggung jawab Pendidikan di Sekolah, yaitu setiap guru harus menguasai cara belajar-mengajar
yang efektif, mampu membuat Satuan Pelajaran (SP), mampu memahami kurikulum, dan mampu
mengajar di kelas.

3)

Tanggung jawab Kemasyarakatan, yaitu turut serta menyukseskan pembangunan dalam masayarakat,
yaaitu guru mampu membimbing, mengabdi dan melayani masyarakat.

4)

Tanggung Jawab Ke-Ilmuan, yaitu guru selaku ilmuan bertanggungjawab dan turut serta memajukan
ilmu yang menjadi spesialisasinya, dengan melaksanakan penelitian dan pengembangan.

G.

Fungsi dan peran Guru meliputi :


1.

Guru Sebagai Pendidik dan Pengajar, harus memiliki kestabilan emosional, bersikap realistis, jujur
dan terbuka, peka terhadap perkembangan, terutama tentang inovasi pendidikan.

2.

Guru Sebagai Anggota Masyarakat, harus pandai bergaul dengan masayarakat. Untuk itu guru harus
menguasai Psikologi Sosial, Keterampilan menyelesaaikan tugas bersama dalam kelompok.

14

3.

Guru Sebagai Pemimpin, Guru harus memilki kepribadian, menguasai Ilmu Kepemimpinan, Teknik
Komunikasi, dan menguasai berbagai aspek kegiatan organisasi yang ada di sekolah.

4.

Guru Sebagai Pelaksana Administrasi, Berhubungan dengan Administrasi yang harus di kerjakan di
sekolah. Untuk itu tenaga kependidikan harus memiliki kepribadian , jujur, teliti, rajin, menyimpan
arsip dan administrasi lainnya.

5.

Guru Sebagai Pengelola Kegiatan Belajar Mengajar, Harus menguasai berbagai metode mengajar
dan harus menguasai situasi belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas.

H.
1.

Kemampuan Guru dalam Proses Belajar Mengajar :


Kemantapan dan integrasi Pribadi. Seorang guru dituntut dapat bekerja secara teratur, konsisten, dan
kreatif dalam menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru. Oemar Hamaalik (19982:18) mengatakan
bahwa : Kemantapan dalam bekerja hendaknya merupakan karakteristik pribadainya, sehingga pola
hidup seperti ini terhayati pula oleh siswa sebagai pendidik. Kemantapan dan integritas pribadi ini tidak
terjadi dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui suatu proses belajar yang sengaja diciptakan.
Kemantapan pribadi berpengaruh pada tugas, demikian juga dengan kemantapan pribadi guru dalam
proses belajar mengajar yang diselenggaraaknnya. Kemanatapan dan integritas harus dimiliki oleh setiap
guru demi tercapainya tujuan pendidikan.

2.

Peka Terhadap Perubahan dan Pembaharuan. Guru harus peka terhadap apa yang sedang berlangsung di
nsekolah dan sekitarnya. Artinya apa yang dilakukan di sekolah tetap konsisten dengan kebutuhan dan
tidak ketinggalan jaman. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan dapat menambah atau mengurangi
kurikulum pelajaran sesuai dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah dan desentralisasi serta otonomi
pendidikan yang berlaku saat ini.

3.

Berpikir Alternatif. Guru harus mampu berpikir kreatif dan berwawasan luas dalam memecahkan masalah
yang dihadapi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut mampu berpikir secara alternatif ,
berpandangan kedepan dan berwawasan luas dalam menyelesaikan tugas dan permasalahan yang terjadi
di sekolah agar diperoleh ketenangan dan aktivitas belajar mengajar berlangsung dengan tertib, aman,
menyenangkan dan harmonis.

4.

Adil, Jujur dan Objektif Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jujur berarti tulus ikhlas
menjalanakan fungsinya saebagai guru sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Objektif artinya
menjalankan aturan dan kriteria yang telah ditetapkan tanpa pilih kasih.

5.

Disiplin dalam Melaksanakan Tugas. Disiplin muncul dari kebiasaan hidup dan kehidupan yang teratur,
serta mencintai dan menghargai pekerjaannya, disiplin memerlukan propses pendidikan dan pelatihan

15

nyang memadai. Untuk itu maka guru memerlukan pemahaman tentang landasan Ilmu Pendidikan dan
Keguruan.
6.

Ulet dan Tekun Bekerja. Keuletan dan ketekuanan bekerja tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih
merupakan sifat yang perlu dimiliki guru. Siswa akan memperoleh imbalan dari guru yang menampilkan
pribadi utuh, yang bekerja tanpa pamrih dan tanpa mengenal lelah. Guru tidak mudah berputus asa. Guru
harus ulet, dan tekun bekerja sehingga program pendidikan yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan
baik.

7.

Berusaha Memperoleh Hasil Kerja yang Baik. Dalam mencapai hasil kerja guru diharapkan selalu
meningkatkan kemamapuan diri, mencarai cara baru, agar mutu pendidikan selalu meningkat,
pengetaahuan umum yang dimilikinya selalu bertambah dengan menambah bacaan di luar buku pelajaran.
Dengan adanya usaha untuk menambah pengetahuan, pemahaman dan keterampilan, maka kemampuan
guru akan bertambah pula sehingga tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam proses belajar
mengajar.

8.

Simpatik, Menarik, Luwes, Bijaksana, dan Sederhana. Sifat Kemampuan Pribadi Guru dalam Proses
belajar Mengajar, memerlukan kematangan pribadi, kedewasaan sosial, pengalaman hidup bermasyarakat,
pengalaman belajar yang memadai, khususnya pengalaman dalam praktek mengajar. Oleh karena itu guru
harus menguasai benar hal-hal yang berhubungan dengan sifat Simpatik, Menarik, Luwes, Bijaksana, dan
Sederhana seperti disebutkan diatas.

9.

Bersifat Terbuka. Guru diharaapkan dapat menampung aspirasi berbagai pihak sehingga sekolah dapat
berfungsi sebagai agen pembanagunan dan guru berperan sebagai pendukungnya. Guru juga dituntut
berusaha meningkatkan serta memperbaiki suasana kehidupan sekolah berdasarkan kebutuhan dan
tuntutan berbagai pihak. Dengan demikian sifat terbuka akan dapat terwujud melalui proses belajar
mengajar yang demokratis.

10. Kreatif. Guru kreatif maksudnya guru harus mampu melihat berbagai kemungkinan yang menurut
perkiraannya sama baik. Kreativitas berhubungan erat dengan kecerdasan. Untuk mendapatkan kreativitas
yang tinggi, guru harus lebih banyak bertanya, belajar dan berdedikasi tinggi.
11. Berwibawa. Seorang guru harus berwibawa. Dengan adanya kebwibawaan proses belajar-mengajar akan
dapat terlaksana dengan baik, siswa mematuhi apa yang ditugaskan oleh guru.
I. Tugas dan Fungsi Utama Guru
Depdikbud (1984:7) mengindikasikan sedikitnya tiga tugas utama guru yaitu sebagai berikut :
1.

Tugas profesional yaitu; mendidik dalam rangka menyumbangkan kepribadian, mengajar dalam rangka
menyimbangkan kemampuan berpikir, kecerdasan dan melatih dalam rangka membina keterampilan.
16

2.

Tugas menusiawi, yaitu; membina anak didik dalam rangka meningkatkan danmengembangkan martabat
diri sendiri, kemampuan manusia yang optimal serta pribadi yang mandiri.

3.

Tugas kemasyarakatan, yaitu; dalam rangka mengembangkan terbentuknya masyarakat Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sementara itu Suharsimi Arikunto (1980:268) mengatakan, diharapkan guru mampu memerankan

fungsi-fungsinya seperti :
a.

Guru sebagai pengelola proses Kegitan Belajar Mengajar. Kelas merupakan suatu organisasi yang
semestinya dikelola dengan baik, mengacu pada fungsi-fungsi administrasi yang ada dan berlaku.

b.

Guru sebagai moderator. Menurut aliran baru dalam bidang pendidikan guru diharapkan bukan sebagai
penyampaian materi semata tetapi juga lebih sebagai moderator, yaitu pengatur lalu lintas pembicaraan, jika
ada jalur pembicaraan yang tidak dapat di selesaikan oleh siswa-siswi, maka gurulah yang wajib
mendamaikan perselisihan tersebut.

c.

Guru sebagai motivator. Siswa adalah manusia yang di tempeli oleh sifat memilih yang serba enak dari
pada harus susah-susah. Jika guru tidak dapat memancing kemauna siswa untuk aktif maka guru itu sendiri
yang akan merasakan kesulitan dalam proses pembelajaran kerena dapat ditebak bahwa siswa akan pasif
tanpa inisiatif.

d.

Guru sebagai fasilitator. Guru sebagai fasilitator memberikan kemudahan dan sarana kepada siswa agar
dapat aktif belajar sesuai dengan kemampuannya.

e.

Guru sebagai evaluator. Guru sebagai evaluator berperan setiap kegiatan selalu diikuti oleh motivasi jika
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan menginginkan terjadinya peningkatan atas kegiatan itu pada masamasa yang akan datang.
Menurut Jhon Bolla (1983:20) Kemampuan melaksanakan pembelajaran tampak melalui sikap dan

perilaku guru,terutama dalam hal ;


1.

Menggunakan metode,media,bahan yang sesuai dengan tujuan mengajar

2.

Berkomunikasi dengan siswa.

3.

Mendemonstrasikan khasanah metode mengajar.

4.

Mendorong dan menggalakkan keterlibatan siswa dalam pengajaran.

5.

Mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansisnya.

6.

Mengorganisasikan waktu, ruang dan perlengkapan pengajaran.

7.

Melaksanakan evaluasi pencapaian siswa dalam proses belajar-mengajar.

17

Indikator kemampuan guru menurut Suharsimi Arikunto (1989:285) adalah:


1.

Tingkat pendidikan (Ijazah pendidikan formal dan tambahan sertifikat penataran atau krusus-kursus
lainnya),

2.

Pengalaman belajar, dan

3.

Keperibadian guru.
Kemampuan mengajar Guru menurut Dirjen Dikti (1984:20) ditunjukkan melalui : Mampu

Menggunakan metode, media, dan bahan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pengajaran yaitu ;
1.

Mampu Berkomunikasi dengan siswa.

2.

Mampu Mendemonstrasikan khasanah metode mengajar.

3.

Mampu Mendorong dan menggalakkan keterampilan siswa dalam pengajaran.

4.

Mampu Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan relevansisnya.

5.

Mampu Mengorganisasikan waktu, ruang, bahan dan perlengkapan pengajaran.

6.

Mampu Melaksanakan evaluasi pencapaian belajar siswa dalam proses belajar-mengajar.


Selanjutnya kemampuan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh guru tersebut dipresentasikan sebagai

berikut :
a.

Kemampuan Menggunakan Metode dan Media Pengajaran.


Dalam mengajar seseorang guru dapat menggunakan berbagai metode dan media pengajaran sesuai

dengn tujuan pengajaran. Dalam memilih metode dan media mengajar Winarno Surachmad (1984:97) ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode mengajar, yaitu:
1). Faktor murid, meliputi pelajaran atau petatar.
2). Faktor tujuan, meliputi berbagai jenis dan fungsinya.
3). Faktor situasi, meliputi berbagai keadaan.
4). Faktor fasilitas, meliputi berbagai kualitas dan kuantitas.
5). Faktor pengajaran, meliputi penataran dan pelatihan yaitu guru yang memiliki sarat kemampuan
profesionalnya.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, diharapkan metode mengajar yang digunakan oleh guru
dapat sesuai atau cocok dengan materi pengajaran yang disampaikan, indikator pemilihan metode mengajar
yang tepat adalah :
1)

Metode yang Digunakan Sesuai Dengan Tujuan Pengajaran. Prinsip utama dalam memilih metode
mengajar adalah kesesuaian antara metode yang di pilih dengan mata pelajaran yang akan di sampaikan,
jika tujuan pengajaran hanya ingin memberikan informasi kepada siswa, maka metode yang tepat adalah

18

metode ceramah. Sedangkan jika tujuan pengajaran menghendakai agar siswa dapat ,mendemonstrasikan
sesuatu obje, maka metode mengajar yang terpat adalah metode demonstrasi.
2)

Metode yang Digunakan Sesuai Dengan Situasi Siswa. Dalam memilih metode mengajar yang akan
digunakan selain harus di dasarkan atas kemampuan guru juga harus di dasarkan pada kemampuan siswa.
Guru yang menggunakan metode mangajar yang tepat adalah guru yang dapat memperhatikan kemampuan
belajar siswa.

3)

Metode yang Digunakan Disesuaikan Dengan Fasilitas. Dalam kondisi seperti itu, guru hendaknya
mampu memilih metode yang tepat sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia.
Dalam kaitannya dengn penggunaan media pengajaran, guru handaknya mampu menyelesaikan media
pengajaran yang diterapkan dengan metode yang digunakan. Untuk itu dalam kondisi seperti itu guru
dituntut mampu :
a.

Memilih dan atau menggunakan media pengajaran yang tepat sesuai dengan tujuan pengajaran.

b.

Media yang di gunakan dapat mengaktifkan siswa baik secara fisik

c.

Media yang digunakan dapat memperjelas pemahaman siswa tentang materi pelajaran yang di
sampaikan.
Disamping dituntut mampu mengunakan media pengajaran yang tepat, guru juga di tuntut mampu

manyajikan materi pelajaran dengan tepat pula. Materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dapat diukur
melalui :
a.

Bahasa yang digunakan dalam menyajikan materi pelajaran tidak menimbulkan penafsiran yang
berbeda diantara siswa.

b.

b.

Materi yang disampaikan tidak menyimpang dari rencana pengajaran

c.

Mampu menggunakan contoh-contoh yang tepat sehingga mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa.

d.

Dapat melibatkan atau mengaktifkan siswa selama berlangsungnya proses belajar mengajar.

Kemampuan Berkomunikasi Dengan Siswa


Seseorang guru dituntut memiliki kemampuan mengajar yang baik dan mampu melakukan komunikasi

dengan siswa dengan baik pula. Kemampuan guru berkomunikasi dengan siswa dalam proses belajar-mengajar
ditandai dengan :
1). Memperhatikan situasi dan kondisi siswa
2). Memperhatikan kepentingan dan keinginan siswa.
3). Tidak memisahkan diri dari siswa.
4). Tidak menganggap siswa lebih rendah.
19

5). Melakukan pembicaraan sepenuhnya.


6). Melakukan kontak batin.
Kemampuan guru berkomunikasi dengan siswa dalam proses belajar mengajar sangat perlu dibina dan
lestarikan. Dengan melakukan komunikasi dengan siswa, guru dapat mengoreksi informasi baik yang
merupakan kelemahan maupun yang bersifat kelebihan siswa, dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan
siswa, memepermudah dan memperlancar jalannya guru dapat membina serta mambentuk kemampuan belajar
siswa sesuai dengan yang diharapkan. Dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan siswa, gampang bagi guru
untuk mencari faktor apa yang perlu dilakukan untuk pembinaan. Sedangkan siswa yang mempunyai kelemahan
gampang pula dibina dan diarahkan sesuai dengan tingkat potensinya, yang pada gilirannya prestasi belajar
yang optimal dapat tercapai.
c.

Kemampuan Menggunakan Metode Mengajar


Agar hasil pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal, diperlukan penggunaan metode mengajar

yang tepat sesuai dengan konteks bahan pelajaran yang disampaikan. Imansyah Alipandie (1984:71)
mengatakan Metode adalah cara yang sistematis yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya
dalam buku The Hol Basic Dictionary of American English mengatakan : Method ; regular way of doing
something. Pengertian ini dilengkapi Hadari Nawawi mengatakan : Metode dapat diartikan prosedur yang
tetap dalam melaksanakan sesuatu, yang di dalamnya berisi langkah-langkah atau mekanisme berlangsungnya
pekerjaan itu.
Bertolak dari pendapat diatas, dapat penulis simpulkan, metode mengajar adalah cara atau prosedur
yang dipergunakan seseorang guru dalam mengajar yang berisi langkah-langkah yang disusun secara
sistematis, guna mencapai tujuan mengajar. Dalam pengertian metode ter kandung beberap unsur seperti :
1)adanya cara/prosedur yang dipergunakan, 2)adanya langkah-langkah yang disusun secara sistematis, dan
3)adanya tujuan yang hendak dicapai.
Metode mengajar merupakan cara yang akan dipergunakan guru untuk mempermudah penyampaian
materi pelajaran, mendorong minat belajar siswa dalam proses belajar kearah hasil yang optimal. Cara mengajar
yang mempergunakan berbagai jenis metode dan dilakukan secara tepat akan memperbesar minat belajar siswa,
dan pada gilirannya akan mempertinggi hasil belajar siswa.
Metode mengajar berkaitan erat dengan tujuan mengajar. Metode mengajar merupakan alat untuk
mencapai tujuan mengajar. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan mengajar diperlukan metode mengajar yang
tepat dan sesuai dengan bahan yang akan diajarkan. Ketidakjelasan perumusan tujuan yang akan dicapai akan
mempengaruhi kesalahan pemilihan metode yang akan dipergunakan. Sebaliknya kejelasan dalam merumuskan

20

tujuan mengajar merupakan syarat bagi pemilihan metode yang tepat. Oleh karena itu, dalam pemilihan metode
mengajar guru hendaknya berpedoman kepada tujuan mengajar yang harus dicapai.
Tiap-tiap metode memiliki kelemahan dan kebaikan. Penggunaan metode ditangan satu guru belum
tentu baik untuk guru lainnya. Karena kebaikan dan kelemahan setiap metode mengajar masih bersifat relatif.
Untuk itu semua berpulang kepada masing-masing kemampuan guru menggunakannya untuk mengusahakan
dan mempertinggi efektifnya metode yang dipakai.
Tim Didaktik Kurikulum IKIP Surabaya (1987:39) menyebutkan sedikitnya ada empat langkah dalam
memilih metode mengajar yaitu :
1.

Selalu berorientai pada tujuan

2.

Tidak hanya terikat pada satu alternatif saja

3.

Kerap dipergunakan satu kombinasi dari berbagai metode

4.

Juga kerap kali dipergunakan berganti-ganti dari satu metode ke metode lainnya.
Selanjutnya Soejono (1980:144) mengatakan : Metode yang tepat adalah metode yang sesuai dengan

bahan pengajaran, sesuai dengan faktor dalam dan faktor luar, serta sesuai dengan tujuan mengajar.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pemilihan metode mengajar perlu
mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai berikut: 1)Tujuan yang akan dicapai, 2)Bahan yang akan
disampaikan, 3)Kondisi kelas dan lingkungan sekitarnya, 4)Waktu yang tersedia, 5)Kemampuan guru, 6)Sarana
dan prasarana belajar
Berikut ini dikemukakan beberapa metode mengajar yang dapat dipergunakan guru mata pelajaran
dalam mengajar PPKn. Menurut Sofyan Aman (1982;16) menyebutkan sebagai berikut :
a.

Metode tanya jawab

b.

Metode diskusi

c.

Metode karyawisata

d.

Metode inkuiri

e.

Metode pemecahan masalah

f.

Metode ceramah bervariasi

g.

Metode simulasi

h.

Metode permainan (game)

i.

Metode bermain peran (role playing)

21

Metode tanya jawab adalah suatu cara untuk menyajikan bahan pengajaran dalam bentuk pertanyaan
dari guru yang harus dijawab oleh siswa atau sebaliknya pertanyaan dari siswa yang harus dijawab oleh guru
baik secara lisan maupun secara tulisan.
Metode diskusi adalah metode penyajian bahan pelajaran dengan cara siswa membahas, bertukar
pendapat mengenai suatu topik atau masalah tertentu, guna memperoleh suatu kesepakatan atau
kesimpulan. Metode karyawisata adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dengan membawa siswa
langsung kepada objek yang akan dipelajari di luar kelas. Metode Inquiri adalah suatu kegiatan atau
penelaahan sesuatu dengan cara mencari kesimpulan, keyakinan tertentu melalui proses berpikir dan penalaran
secara teratur, runtut dan bisa diterima oleh akal. Metode Pemecahan Masalah adalah cara penyajian yang
menitik beratkan pemecahan suatu masalah secara rasional, logis. Metode Ceramah Bervariasi adalah suatu
cara penyajian dengan melalui penuturan (penjelasan lisan) oleh guru kepada siswa disertai dengan bermacammacam penggunaan metode pengajaran lain seperti tanya jawab, pembelian tugas, diskusi dan lain
sebagainya. Metode Simulasi adalah suatu cara penyajian untuk memperoleh pemahaman akan hakikat suatu
prinsip atau keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau pelatihan dalam siatuasi tiruan (tidak dengan
sesungguhnya). Metode Permainan (game) adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana siswa
melakukan permainan untuk memperoleh atau menemukan pengertian atau konsep tertentu. Metode Bermain
Peran (role playing). Adalah salah satu bentuk permainan pendidikan (educational games) yang dipakai untuk
menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan sudut pandang
dan cara berpikir orang lain (membayangkan diri sendiri seperti dalam keadaan orang lain). Pemeranan itu
dilakukan tanpa membawa naskah.
Dari kesembilan metode tersebut diatas, apabila dipergunakan guru dalam mengajar PPKn di
sekolahnya maka dapat tercipta program belajar siswa aktif dan situasi belajar dan sekaligus sebagai pertanda
perwujudan kemampuan guru menggunakan strategi pembelajaran.
d.

Kemampuan Melibatkan Siswa dalam Pembelajaran.


Kemampuan guru melibatkan siswa dalam pembelajaran sangat penting artinya dalam rangka mrncapai

prestasi belajar yang di harpkan. Siswa yang merasa dirinya di libatkan dalam suatu kegiatan, merasa dirinya
dihargai dan dihormati. Dalam kondisi demikian siswa mudah dipacu untuk meningkatakn kemampuan
belajarnya. Rasa hormat dan rasa di hargai yang tertanam dalam diri siswa akan menimbulkan kepercayaan
pada diri siswa. Timbulnya rasa kepercayaan pada diri seserang merupakan langkah utama untuk membuat
siswa berprestasi.
Keterlibatan serta keikutsertaan siswa dalam proses belajar mengajar akan merangsang siswa untuk
dapat berbuat banyak baik untuk kemajuan dirinyan yang berkenaan dengan pembinaan sekolah maupun dalam
22

kehidupan sehari-hari . dengan dem9kian secara taka di sadari telah terlatih mengunakan aspek pisikomotornya,
yang pada akhirnya terampildalam berbuat dan bertindak baik untuk kepentingan bersama maupun untuk
kepentingan dirinya sendiri, sikap terampil dan bertindak yang tertannan dalam diri siswa merupakan dasar
untuk menciptakan sumber daya, manusia yang handal dan tangguh. Agar siswa merasa terdorong untuk
ikut serta dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu melakukan :

e.

1.

Pemberitahuan tujuan pengajaran yang akan di capai.

2.

Mengajak siswa untuk mengungkapkan pengalamannya.

3.

Mengundang siswa untuk bertanya.

4.

Memberikan penguatan seperti memberikan pujian, penghargaan dll.

Kemampuan Menguasai Materi Pelajaran


Barangkali tidak ada yang lebih penting bagi seseoang guru yang akan mengajar selain menguasai

materi pelajaran yang akan di sampaikan. Kemampuan guru menguasai materi pelajaran, akan meningkatkan
kereadibilitas seoranmg guru di mata murid-muridnya.
Guru adalah orang yang di tiru dan di puja . selain prilaku, sikap dan tindak tanduk seseorang guru yang
harus di puji, kemampuan guru yang menguasai materi pelajaran yang akan di sampaikan juga harus manjadi
pantauan. Siswa akan merasa banga, kagum dan hormat kepada guru yang dinilainya memiliki kemampuan
lebih, terutama dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, sikap siswa yang telah tertanam rasa banga, kagum
dan hormat pada gurunya, akan mudah di bina dan di bentuk sesuai dengan keinginan guru, terutama dalam hal
peningkatan prestasi belajar. Kemampuan dan kelebihanyang di miliki seseorang akan sangat membantu guru
dalam menegakan kewajibannya. Kewibawaan merupakan syarat mutlak yang harus di miliki seseorang guru
yang baik. Dengan model kewibawaan yang di milikinya, seseorang guru dapat berbuat apa saja yang positif
terhadap murid-muridnya, ynag pada gilirannya denagn model kewibawaan guru dapat menguasai siswa,
menguasai kelas dan sekolah. Kemampuan menguasai siswa, kelas dan sekolah merupakan syarat untuk dapat
mencapai keamanan ketentraman, ketertiban, kebersihan, keindahan dan kekeluargaan di sekolah.
Agar sesdeorang guru dapat menuasai materi pelajaran, guru perlu membuat persiapan sebelum
mengajar, baik persiapan tertuliw maupun persiapan mental. Guru yang memiliki persiapan yang matang tidak
akan grogi dan atau salah tingkah manakala menyajian materi pelajaran. Guru yang memiliki persiapan yang
matang, tidak akan kehabisan bahan atau materi pelajaran yang di sampaikan. Kekurangan bahan atau materi
pelajaran merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan guru dalam mengajar. Kegagala mengajar akan
menurun kewibawaan seseorang tidak dapat berbuat banyak. Bahkan guru yang demikian identik dengan guru
yang tidak berhasil.

23

Kemampuan guru manguasai materi pelajaran tidak terlepas dari penguasaan metode mangajar.
Kemampuan guru menguasai metode mangajar akan merangsang kemampuan siswa belajar serrta materi
pelajaran yang di sampaikan akan mudah dicern adn di kuasai. Siswa yang apad gilirannya akan menciptakan
prestasi belajar siswa.
f.

Kemampuan Mengatur Waktu, Ruang dan Bahan Pengajaran.


Disamping di tuntut menguasai materi pelajaan, seseorang guru di tuntu pula mampu

mengorganisasikan waktu, ruang, bahan dan fasilitas mengajar.


Pengorganisasian waktu atau alokasi waktu mangajar sangat perlu di perhatikan. Setiap bidang studi
memiliki waktu yang sudah diatur sedemikian rupa dalam kurikulum sekolah. Seseorang guru di tuntut mampu
membaca situasi dan mampu penempati waktu yang sudah di tetapkan.
Kekurangan atau kelebiham dari alokasi waktu yang sudah di tetapkan akan mengangu pelajaran bidang
studi lain. Apa bila hal demikian berlangsung secvara terus menerus akan dapat menimbulkan kekacauan
sekolah. Kekacauan dalam proses belajar mengajar akan berakibat gagalnya guru manguasai sekolah. Sekolah
yang kacau tidak mungkin dapat mencapai prestasi belajar se[perti yang di harapkan.
Disamping waktu, guru juga harus dapat mangadakan pengaturan ruang yang tepat. Pengaturan ruang
belajar yang keliru akan berpengaruh terhadap kemampuan belajar siswa. Siswa menjadi malas, mengantuk,
lemah semangat dan malas beraktivitas yang pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar siswa.
Ruang belajar yang tidak menentang cahaya, tidak menghadap jalan raya, tidak lembab, tidak dekat atau
,mengeluarkan bau-bau yang tidak sedap dan tidak membuat siswa gaduh. Tidak semua sekolah yang memiliki
gedung dan lokal belajar yang cocok sesuai dengan keinginan. Tatapi di sinilah letak di tuntut kemampuann
sesorang guru, membuat pengaturan runag yang tepat, yang jelak menjadi baik, yang apik menjadi cerah, yang
kusam manjadi sempurna.
Untuk dapat berbuat seperti yang di auraikan di atas, seseorang guru harus bertanam rasa memiliki
sekolah yang tinggi dan rasa kecintaan yang dalam dan tulus iklas, bukan karena paksaan, tetapi lahir karena
kesadaran dan kesungguh-sungguhan.
Disamping di tuntut mampu mengorganisasikan waktu dan runag seperti di sebutkan di atas, seseorang
guru di tuntut mampu mengunakan sarana dan prasarana belajar akan membantu siswa memahami amteri
palajaranyang di sampaikan. Dengn demikian siswa merasa terdoreong untuk terus belajar dan belajar.
Kemampuan guru menciptakan fasilitas belajar akan membuat nilai tambah tersendiri bagi guru. Seskolah yang
memiliki fasilitas belajar yang lengkapakan memacu prestasi belajar siswa.
g.

Kemampuan Melaksanakan Evaluasi Belajar

24

Evaluasi adalah suatu tindakan atau proses nilai untuk menentukan dari pada sesuatu. (Wayan,
1986:6). Berkenaan denagn tiu (Reoijakers, 1980:36) menyebutkan :Evaluasi adalah memberikan informasi
tentang hasil belaja yang di berikan. Selanjutnya (David, 1974:81) menegaskan : Evalatioan is a continuous
process of collecting and interprenting information in order to assess desicion made in designing a learning
system.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan evaluasi adalah suastu kegiatan yang di
lakukan secara sengaja dan berencana untuk menentukan atau unutk memperoleh nilai dari suatu pelajaran atau
objek tertentu.
Evaluasi belajar adalah sesuatu kegiatan yag di lakukan oleh guru secara berencana,bertahap dan
berkesinambungan untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa serta penguasaan materi pelajaran oleh
siswa.
Tujuan evaluasi belajar menurut Depdikbut (1993:17) ; dalam Kurikulum (1994:3) adalah :
1.

Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki program belajar mengajar
dan mengadakan remedial program pada murid.

2.

Untuk menentukan kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid yang antara lain diperlukan untk
memberikan laporan kepada orang tua, menentukan kenaikan kelas dan menentukan lulus tidaknya murid.

3.

Untuk menempatan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan
murid.

4.

Untuk mengenal latar belakang (pisikologi, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan belajar
yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar dalam memecahkan kesulitan belajar.
Dalam mengetahui pengertian dan tujuan diadakannya evaluasi belajar, diharapkan guru dapat lebih

mampu mengadakan evaluasi. Evaluasi belajar tidak dapat dilakukan asal suka saja, tetapi evaluasi mengajar
harus memperhatikan :
a.

Garis-garis besar program pengajaran. (GBPP)

b.

Sejauh mana materi palajaran yang telah di sampaikan.

c.

Waktu yang tepat untuk melaksanakan evaluasi.

d.

Tingkat keukaran materi evaluasi.

e.

Fasilitas belajar yang di perlukan.

f.

Prinsip-prinsip evaluasi dan sebagainya.


Kemampuan mangadakan evaluasi yang baik dan banar, akan menggugah semangat siswa untuk belajar

secara optimal. Dengan pelaksanaan evaluasi yang tepat dan banar siswa bersaing/berkompotensi untuk
25

memperoleh nilai yang tinggi. Dengan dmikian secara tidak disadari siswa dirangsang untuk belajar yang pada
gfilirannya siswa dapat memperoleh prestasi belajar yang optimqal sesuai denagn yang di harapkan.
H.

Ciri-Ciri Berkemampuan Mengajar


Perkerjaan mendidik adalah suatu proses atau keahlian, oleh karena itu tidak semua orang memiliki

kemampuan untuk melaksanakan tugas mendidik. Hanya mereka yang disebut gurulah yang memporeleh
kemampuan untuk melaksanakan tugas mengajar di lembaga pendidikan formal. Untuk dapat berkerja secara
profesional diperlukan suatu sikap, yaitu sikap untuk mengembangmkan diri sebagai personal yang mampu
mengintergrasikan dirinya dalam sesenap aspek kehidupan. Mengembang-kan profesipnalisme guru berarti
meningkatkan kemampuan mengajar guru. Kemampuan mengajar guru merupakan suatu tuntutan yang mutlak
tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam menyongsong era globalisasi ini.
Berkenaan dengan kemampuan mengajar, Gagne (1985:134) menyebutkan sedikitnya sebelas langkah
yang harus dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan mengajar yaitu :
1.

Memperhatikan integritas pribadinya.

2.

memahami konsep-konsep dasar keilmuan untuk berpikir ilmiah dan bersikap profesional.

3.

memahami murid dengan prilaku yang simpatik.

4.

memahami hakekat dan penyelengaraan pendidikan.

5.

memahami proses pengembangan kurikulum.

6.

menguasai bahan atau materi pelajaran.

7.

merancang proses belajar mengajar

8.

melaksanakan peranannya dalam bimbingan dan penyuluhan.

9.

menyelengarakan administarsi sekolah.

10. memanfaatkan kondisi lingkungan sekolah muatan lokal demi kelangsungan proses belajar mengajar.
11. mengadakan penelitian sederhana.
Pengembangan kemampuan mengajar guru seperti disebutkan di atas merupakan upaya manusia yang
berdaya dan berhasil guna, yang pada giliranya akan mampu meciptakan kesiapan belajar siswa yang
diharapkan.
Kriteria suatu jabatan dapat disebut profesi termasuk jabatan guru apabila memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:
a.

Perkerjaan itu merupakan panggilan hidup.

b.

Memerlukan pengetahuian dan kecakapan tertentu atau keahlian khusus untuk melaksanakannya.

c.

Perkerjaan itu harus baku bersifat universal, didasari teori-teori, prinsip prosedur dan anggpan dasar
yang baku pula.
26

d.

Merupakan bidang atau wadah tempat pengabdian.

e.

Memerlukan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.

f.

Bersifat otonomi.

g.

Memiliki norma dan kaidah tertentu.

h.

Bertujuan memberikan pelayanan dengan objek yang jelas.

I.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengajar Guru.


Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui prestasi belajar siswa, harus didahului dengan

meningkatkan kualitas dan kemampuan dan mengajara guru. Kemampuan mengajar guru di pengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan kualitas mengajar guru secara profesional. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas dan kemampuan mengajar guru tersebut menurut Hamid
(2004) meliputi: a)tersedianya sarana dan prasaran pendidikan, b)pengaskuan terhadap individu guru yang sama
denagn individu (guru) lainnya, c)kondisi iklim yang dikembangkan mendorong pengembangan sikap dan
tangung jawab, d)sikap dan etika kerja serta motivasi kepercayaan unutk melaksanakan perkerjaan dan
kekempatan untuk menegmbangkan diri, e)keamanankerja yang memungkinkan perkerjaannya dengan rasa
penuh tangung jawab, f)tempat kerja yang mendukung penghasilan/dan atau insentif yang memadai dan lainlain.
Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, menurut Suharsimi Arikunto, (1980:227) ada babarapa
faktor yang dapat berpengaruh terhadap kualitas guru sebagai pengelola peroses pembelajaran,
yaitu:(a).pandangan terhadap profesi guru. (b) sikap terhadap ugas-tugas keguruan, dan (c) kemampuan umum
yang di miliki guru yang merupakan daya dukung untuk melaksanakan tugas-tugas keguruan.
Terwujudnya beberapa faktor seperti diuraikan di atas, akan menciptakan produktivitas kerja guru dan
kemampuan mengajar guru yang handal, yang apda gilirannya diharapkan mampu melahirkan siswa-siswa yang
berprestasi belajar yang tinggi.
Guru yang memiliki banyak daya dukung dapat dikatakan sebagai guru yang memilki kualitas tinggi.
Selanjutnya dengan didasarkan atas kualitasnya itu guru diharapakan akan sangup mamainkan peranan penting,
yang menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas tinggi agar tercapai prestasi belajar yang tinggi pula.
Untuk menciptakan guru yang prefosional atau kemampuan mengajar guru yang optimal diperlukan pembinaan
yang berlangsung secara terus menerus. perbaikan kemampuan mengajar guru yang profesional dan berkualitas
harus melalui kegiatan penataran, job trainding, in serviese training, pelatihan seminar-seminar, lokakarya dan
sebagainya.

J.

Kesiapan Belajar Siswa.


27

a. Kesiapan Belajar dan Prestasi Belajar


Menurut Winkel (1984:164) Kesiapan belajar dan Perstasi belajar adalah bukti yang dapat dicapai.
Menurut (Tim Bakti guru, Yogyakarta, 1989:17), belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat dinyatakan
dalam bentuk penguasaan, penggunaan, penilaian tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Berkenaan
dengan itu Depdikbud (1985:2) menyebutkan bahwa Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan
tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar baik potensi maupun aktualnya.
Berkaitan dengan uraian di atas, Hadari Nawawi (1976:25) menyebutkan Kesiapan belajar
menyangkut prestasi belajar. Prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi
pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor, yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi
pelajaran tertentu.
Bertolak dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kesiapan belajar adalah sebagai bukti
keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengalami proses belajar. Bukti belajar tersebut baru dapat
diperoleh bila mana siswa telah mengikuti ujian atau tes tertentu. Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa
dipengaruhi oleh kesiapan belajar. Prestasi belajar akan diketahui melalui test. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh siswa semakin tinggi pula presentasi belajarnya.
b.

Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Kesiapan Belajar.


Bimo Walgito (1983:124) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan/prestasi belajar

siswa adalah : a)fktor anak atau individu yang belajar, b)faktor lingkungan tempat tinggal anak dan,c)faktor
bahan atau materi yang dipelajari. Faktor individu anak yang belajar dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikis.
Kondisi fisik dan psikis anak yang baik akan memungkinkan mereka belajar secara optimal.
a.

Faktor Fisik; Faktor fisik anak yang belajar berpengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar siswa.
Seseorang siswa yang sehat fisiknya akan dapat mengembangkan kemampuan belajarnya dibandingkan
dengan seorang, siswa yang tidak sehat fisiknya. Untuk itu untuk menjaga kesehatan badan, siswa perlu
kesadaran untuk dapat berolah raga secara teratur, makan makanan yang bergigizi, teratur istrahat,
teratur berkerja dan selalu berpikir positif. oleh karena itu guru sebagai pendidik hendaknya dapat
menanamkan cara-cara disiplin dan teratur sejak dini.

b.

Faktor Psikis; Faktor fisikis berhubungan dengan rohniah dan kejiwaan. Faktor pisikis berkaitan
dengan denagn motif, perhatian intelegensinya, daya ingat, rasa aman dan sebagainya .
kendatupunseseorang siswa memiliki fisik yang kuat tetapi fisikisnya lemah, maka cendrung seseorang
siswa sulit mencapai prestasi yang baik. Oleh sebab itu untuk dapat berprestasi belajar yang tinggi, baik
pisik maupun pisikis dua-duanya harus sejalan, serasi dans seimbang.

c.

Faktor Lingkungan Tempat Tinggal; Disamping faktor individual yang belajar meliputi faktor fisik
dan psikis, masalah tempat tinggal/lingkungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa,
28

tempat tinngal yang aman dan nyaman akan sangat mendukung kegairahan belajar. Kegairahan belajar
yang berlangsung secara terus menerus akan berpengaruh positif terhadap kondisi kesiapan belajar
seseorang, termasuk faktor fisik dan fisikis yang pada akhirnya akan menciptakan kesiapan belajar yang
mantap dan pestasi belajar yang gemilang.
c.

Faktor Bahan/Materi Pelajaran


Disamping faktor individu yang belajar dan faktor lengkungan tempat tinggal. Faktor materi pelajaran

yang terlampau sukar akan mambuat siswa malas belajar dan malas berusaha. Jika kondisi demikian
berlangsung secara terus menerus akan berakibat fartal, tidak saja merugikan dirinya sendiri, tetapi juga akan
sangat merugikan sekolah dan target pencapaian hasil belajar.
Sedangkan materi pelajaran yang terlampau mudah akan mengundang siswa mengangap gampan, malas
belajar dan tidak berinisiatif. Jika kondisi demikian berlangsung terus menerus akan sangat merugikan dirinya
sendiri dan pencapaian tujuan sekolah. Oleh sebab itu seorang guru dituntut mampu memantau situasi dan
kondisi belajar siswa, baik dalam evaluasi belajar harian maupun evaluasi belajar formatif dan sumatif.
Kemampuan adalah kepemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dituntut dari seseorang
guru dalam melaksanakan tugas mengajar, Nana Sudjana (1989:36) menyebutkan kemampuan yang dituntut
dari seseorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar :
1.

Mampu manjabarkan bahan pengajaran dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pertanyaanpertanyaan problematis untuk di diskusikan dengan siswa, dalam bentuk skenario untuk di simulasikan dan
atau diadministrasikan melalui probelm solving, dalam bentuk konsep dan prinsip untuk di aplikasikan oleh
para siswa dan alain-lain.

2.

Mampu merumuskan Tujuan Intruksional kognitif tingkat tinggi seperti analisis, sistensis, evaluasi,
sekurang-kurangnya aplikasi.

3.

Menguasai cara-cara belajar yang efektif seperti cara belajar mandiri, cara belajar kelompok atau bersama,
cara mempelajari buku, cara bertanya atau mengajukan pertanyaan, cara mengemukakan pendapat.

4.

Memiliki sikap yang positif terhadap tugas profesionalnya, mata pelajaran yang diasuhnya, sehingga selalu
berupaya meningkatkan kemampuan melaksanakan tugasnya sebagai guru;
a.

Terampil dalam membuat alat peraga pengajaran sederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata
pelajaran yang diasuhnya, serta penggunaannya dalam proses pengajaran.

b.

Terampil menggunakan metode-metode mengajar yang mendorong CBSA seperti metode pemberian
tugas, metode diskusi dan metode demonstrasi, metode eksprimen, metode pemecahan masalah, dan
lain-lain.

29

c.

Terampil menggunakan model mengajar yang menumbuhkan CBSA sehinga di peroleh hasil belajar
yang optimal.

d.

Terampil dalam melakukan intraksi dengan para siswa dengan mempertimbangkan tujuan dan bahan
pengajaran, kondisi siswa, suasana elajar, jumlah siswa, waktu yang tersedia, dengan faktor yang
berkembang dengan diri guru sendiri.

e.

Memahami sifat dan karateristik siswa, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar,
minat terhadap mata pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil-hasil belajar yang dicapainya.

f.

Terampil menggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar para
siswa dalam proses belajar mengajar.

g.

Terampil mengelola kelas atau memimpin siswa belajar.


Dengan mewujudkan kemampaun mengajar tersebut, seorang guru diharapkan dapat menanamkan

kesiapan belajar siswa terhadap pelajaran yang disampaikan serta mudah diserap oleh siswa, sehingga dapat
memperoleh prestasi belajar yang diharapkan.
Sebaliknya, kemampuan mengajar guru yang rendah akan berakibat timbulnya sikap apatis, bosan, bahkan
benci dari para siswa yang menerimanya sehingga akhirnya akan menciptakan hasil belajar yang rendah pula.
BAB II
PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN
A.

Peran Guru dalam Proses Pembelajaran


Sesungguhnya amat banyak peran guru dalam implementasi KBK di sekolah. Diantara
peran yang amat banyak tersebut Zevin (Swarma (1999:8) menyebutkan tiga peran utama guru
yaitu : 1)guru sebagai didaktik (didactic roles), berfungsi sebagai sumber pengetahuan, 2)guru
sebagai reflektif (reflective roles) berfungsi sebagai pengembang konsep, dan 3)guru sebagai
afektif (affective roles) berfungsi sebagai pengembang keterampilan siswa
Soetrisno (2000:43) menambahkan peran guru dalam pembelajaran ada tiga bagian utama
yaitu ; 1)guru sebagai guru, 2)guru sebagai Kepala Sekolah dan 3)guru sebagai pengawas. Bertalian
dengan peran guru tersebut, Depdiknas (2001) menyebutkan paling sedikit tujuh peran guru dalam
pembelajaran yaitu :
1. Peran Guru sebagai guru
Guru sebagai guru yaitu setiap orang yang dengan sengaja memepengaruhi orang lain
untuk mencapai kedewasaannya. Guru dalam hal ini difokuskan pada pengertian guru secara formal
yaitu guru di sekolah. Guru hingga saat ini memiliki kelemahan yang sangat menghambat kemajuan
kualitas pendidikan yaitu; 1)Rendahnya kesadaran dalam melaksanakan tugas, 2)Rendahnya disiplin
30

secara menyeluruh, contohnya disiplin waktu dan disiplin dalam mencapai target dan 3)Rendahnya
kualitas pelaksanaan tugas pokok dalam proses belajar mengajar.
2. Peran Guru Sebagai Pengajar
Guru sebagai pengajar paling sedikit harus menguasai dan mempraktekan secara terampil
kemampuan dalam menjalan tugas pokoknya yaitu : 1)Merumuskan tujuan instruksional khusus,
2)Menentukan dan menguasai materi pelajaran, 3)Menentukan metode mengajar, 4)Mengadakan
evalusi, 5)Kemampuan menganalisis butir soal dan hasil evaluasi serta 6)kemampuan mengadakan
perbaikan dan pengayaan.
3. Peran Guru Sebagai Pendidik
Guru sebagai pengajar dan berperan mengantarkan siswa menjadi manusia dewasa yang
cerdas dan berbudi luhur atau manusia yang secara kognitif, afektif dan psikomotorik berkembang
secara seimbang. Oleh karena itu sebagai pendidik guru memiliki kualitas kepribadian prima dan
matang, mampu membentuk kebiasaan-kebiasaan siswa yang positif, memiliki keterampilan
membangkitkan minat siswa, kreatif, inovatif, dan berpikir secara antisipatif proaktif, yaitu secara
terus menerus melakukan pembaharuan terhadap ilmu yang dimilikinya (life long education)
4. Peran Guru Sebagai Pemimpin Kelas
Sebagai pemimpin, guru bertanggungjawab atas situasi dan kondisi proses kegiatan belajar
mengajar di kelas/sekolah. Oleh karena itu apa yang terjadi pada diri siswa selama berlangsungnya
proses kegiatan belajar mengajar di sekolah harus diketahui dan menjadi tanggung jawab guru. Oleh
karena itu adalah tidak dibenarkan apabila siswa berkeliaran di luar kelas/sekolah ketika
belangsungnya kegiatan belajar mengajar.
5. Peran Guru Sebagai Pemimpin/Kepala Sekolah
Baik buruknya kondisi suatu sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan profesional
Kepala Sekolah sebagai manajernya. Oleh karena itu seorang Kepala Sekolah paling sedikit harus
menguasai empat kemampuan dasar Kepala Sekolah (Soetrisno 2000:46) yaitu kemampuan :
1)Menyusun program kegiatan sekolah, 2)Menetapkan prosedur mekanisme kerja, 3)Melaksanakan
monitoring, evaluasi, supervisi dan membuat laporan kegiatan sekolah, 4)Meningkatkan dan
memantapkan disiplin guru dan siswa.
Guru sebagai Kepala sekolah paling sedikit harus mampu melaksanakan tujuh butir
kegiatan kepemimpinan pendidikan yaitu :
1)

Mengadakan prediksi

2)

Melakukan inovasi
31

3)

Menciptakan strategi

4)

Menyusun perencanaan

5)

Menemukan sumber-sumber pendidikan

6)

Menyediakan falitas pendidikan

7)

Melakukan pengendalian atau kontrol (Soetrisno 2000:46)


6. Peran Guru Sebagai Pengawas Sekolah
Guru sebagai pengawas dalam pendidikan memiliki fungsi kontrol dan pembinaan terhadap
keberhasilan pendidikan. Peran pengawas amat menentukan terhadap pencapaian target
kurikulum. Untuk itu seorang pengawas yang ideal harus mempunyai minimal empat kemampuan
mengawasi yaitu : 1)Membuat rencana kerja yang bersifat rasional, 2)Memonitor kerja guru dan
Kepala Sekolah serta hasilnya, 3)Mengorganisir pertemuan-pertemuan Kepala Sekolah, 4)Bersama
dengan Kepala Sekolah mengorganisir pertemuan guru.
Idealnya Pengawas diangkat dari Kepala Sekolah yang prestasi kerja tinggi, dan tidak hanya
di dasarkan atas faktor usia dan masa kerja saja seperti yang banyak terjadi selama ini. Hingga saat
ini sebagian besar Pengawas Sekolah diangkat berdasarakan faktor usia dan masa kerja, sehingga
mereka belum dapat melaksanakan tugas secara optimal. Oleh karena itu untuk kemajuan
pendidikan Soetrisno (2000:47) mengusulkan agar : 1)Pengawas diangkat dari orang yang
profesinya di bidang pendidikan yaitu dari Kepala Sekolah yang berprestasi, 2)Pengawas berkantor
di sekolah-sekolah yang ada di wilayah kerjanya, 3)Pengawas harus selalu mengadakan evalusi
terhadap proses pendidikan di sekolah-sekolah di wilayahnya dan melakukan tindak lanjut,
4)pengawas harus mampu bertindak secara tegas dan berani mengambil resiko.

B. Peran Guru dalam Manajemen Sekolah


Depdiknas (2001) mengindikasikan ada empat belas langkah peran guru dalam
memanajemen sekolah yaitu : 1)menciptakan proses kegiatan belajar mengajar yang efektif,
2) Menciptakan Kepemimpinan Sekolah Yang Kuat, 3)Menciptakan Lingkungan Sekolah Yang
Aman dan Tertib, 4)Mengelola Tenaga Kependididikan Sekolah Yang Efektif, 5) Memiliki Budaya
Meningkatkan Mutu, 6)Memiliki Teawork Yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis, 7)Memiliki
Kewenangan, 8)Menciptakan Partisipasi Yang Tingggi Dari Warga Sekolah dan Masyarakat, 9)
Memiliki Keterbukaan Manajemen, 10)Memiliki Kemauan Untuk Berubah dan Berkembang,
11)Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan/inovatif, 12)Memiliki Responsif dan

32

Antisipatif Terhadap Kebutuhan Sekolah, 13)Menciptakan Komunikasi Yang Baik, 14)Memiliki


akuntabilitas.
1. Langkah-Langkah Manajemen Sekolah
Depdiknas (2001) mengindikasikan empat belas langkah kepemimpinan Kepala Sekolah.
Keempat belas langkah kepemimpinan Kepala Sekolah tersebut dapat dideskripsi kasebagai berikut
:
a. Menciptakan Proses Kegiatan Belajar Mengajar Yang Efektif.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki efektitivitas proses
kegiatan belajar mengajar yang tinggi. Hal ini ditunjukan oleh sifat proses belajar mengajar yang
menekankan pada pemberdayaan (empowerment) peserta didik. Proses belajar mengajar (PBM)
tidak hanya sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan
sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan hati nurani dan dihayati(ethos) serta dipraktekan
dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). Proses belajar menagjar yang efektif juga
lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know) belajar bekerja (learning to
do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) belajar hidup bersama dengan orang lain (learning
to live together).
b. Menciptakan Kepemimpinan Sekolah Yang Kuat.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah, Kepala Sekolah memiliki peran
yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan segala sumberdaya
pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan Kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah yang ingin
dicapai sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh
kerana itu Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen yang tangguh agar mampu
mengambil keputusan dan inisiatif serta prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kepala sekolah
yang tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya
manusia untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Menciptakan Lingkungan Sekolah Yang Aman dan Tertib.
Sekolah memiki lingkungan (iklim) belajar yang amana, tertib, dan nyaman sehingga proses
belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning) . Karena itu, sekolah yang
efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktorfaktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan Kepala Sekolah sangat
33

penting sekali melindungi dan mengayomi agar semua warga sekolah merasa aman dan nyaman
bekerja.
d. Mengelola Tenaga Kependididikan Sekolah Yang Efektif.
Tenaga kependidikan terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah
merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah menyadari tentang hal
ini. Oleh karena itu pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan,
pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan
garapan penting bagi seorang Kepala Sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga
kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk
menyukseskan manajemen berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang mempunyai
komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e. Memiliki Budaya Meningkatkan Mutu.
Budaya mutu harus tertanam dihati sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku
selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut : (a)
informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili atau mengontrol orang;
(b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti dengan penghargaan (rewards)
atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk
bekerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir
keadilan (fairnes) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan
(h) warga sekolah harus merasa memiliki sekolah.
f. Memiliki Teamwork Yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis.
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh manajemen berbasis
sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individu.
Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah harus
merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
g. Memiliki Kewenangan.
Sekolah memeiliki kewenangan untuk melalukan yang terbaik bagi sekolah, sehingga
dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan diri
pada atasan. Untuk menjadi mandiri,sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk
menjalankan tugasnya.
h. Menciptakan Partisipasi Warga Sekolah dan Masyarakat

34

Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik bahwa


partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian dari kehidupannya. Hal ini dilandasi
oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki, makin rasa
memiliki, makain besar pula rasa tanggungjawab, dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar
pula tingkat dedikasinya.
i. Memiliki Keterbukaan Manajemen.
Keterbukaan/tranparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang
menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam
pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya,
yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
j. Memiliki Kemauan Untuk Berubah dan Berkembang
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Yang
dimaksud dengan perubahan disini adalah peningkatan, baik yang bersifat fisik maupun yang
bersifat psikologis. Artinya setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari
sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k. Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap
dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil
evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar
disekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan
mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara
terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu,
sitem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus
mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan
manajemen mutu.
l. Memiliki Responsif dan Antisipatif Terhadap Kebutuhan Sekolah
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan
mutu. Karena itu sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat.
Bahkan sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata
yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Menciptakan Komunikasi Yang Baik
35

Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah dan sekolah yang efektif memiliki
komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah dan juga antar sekolah dan masyarakat,
sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui.
Dengan cara ini maka leterpaduan semua warga sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
dan sasaran sekolah yang telah ditetapkan. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk
teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan
secara merata oleh warga sekolah.
n. Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggunganjaban yang harus dilakukan sekolah terhadap
keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akontabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang
dicapai dan dilaporkan kepada Pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan
hasil program ini, Pemerintah dapat menilai apakah program manajemen berbasis sekolah telah
mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil maka Pemerintah perlu memberikan
penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus
meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka
Pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerja yang dianggap tidak memenuhi
syarat. Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian
apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja
sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat
dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil maka orangtua
siswa dan masyarakat berhak minta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan
program manajemen berbasis sekolah yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak
akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun berikutnya.
2. Aspek-Aspek dalam Memanajemen Sekolah
Depdiknas (2002:21) mengusulkan sembilan aspek manajemen sekolah yang perlu dilakuan
oleh Kepala Sekolah KBK yaitu: (1)Membuat Perencanaan dan Evaluasi Program Sekolah,
(2)Melakukan Pengelolaan Kurikulum, (3)Melakukan Pengelolaan Proses Belajar Mengajar,
(4)Melakukan Pengelolaan Ketenagaan, (5)Melakukan Pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
(6)Melakukan Pengelolaan Keuangan, (7)Melakukan Pelayanan Siswa, (8)Melakukan Hubungan
Sekolah dengan Masyarakat, dan (9) Melakukan Pengelolaan Iklim Sekolah.
a. Membuat Perencanaan dan Evaluasi Program Sekolah

36

Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan


kebutuhannnya (School Based Plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan untuk
meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan
mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan
secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk membantu proses pelaksanaan
dan untuk mengevaluasi hasil program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering
disebut evaluasi diri. Evalusi ini harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkapkan
informasi yang sebenarnya.
b. Mengelola Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku
secara nasional. Pada hal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu dalam
implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi)
namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu sekolah diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Depdiknas (1992:32) mengatakan
bahwa :Sekolah dapat menambah kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional. Dasar
penambahan ini diatur dalam pasal 38 UU No.2 tahun 1989. Kurikulum dapat ditambah oleh sekolah
dengan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi lingkungan serta ciri khas satuan pendidikan
yang bersangkutan. Semua tambahan tersebut tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara
nasional dan tidak boleh menyimpang dari jiwa dan tujuan pendidikan nasional.
c. Mengelola Proses Kegiatan Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan bagian utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan
memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya
yang tersedia di sekolah. Secara umum strategi, metode, teknik pembelajaran dan pengajaran yang
berpusat pada siswa (studen Centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
d. Mengelola Ketenagaan Sekolah
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punisment) hubungan kerja,, sampai evaluasi kinerja
tenaga kerja sekolah (guru,tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali
yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen pegawai negeri, yang sampai saat ini masih
ditangani oleh birokrasi diatasnya.
e. Mengelola Fasilitas Sekolah.
37

Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan, hinghga sampai pengembangan. Hal ini di dasari oleh kenyataan
bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan falitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutahirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannnta secara langsung dengan proses
belajar mengajar.
f. Mengelola Keuangan Sekolah
Pengelolaan keuangan terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya
dilakukan oleh sekolah . Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling memahami
kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/ penggunaan uang sekolah sudah seharusnya
dilimpahkan kepada sekolah.Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatankegiatan yang mendatangkan penghasilan (Income generating activities), sehingga sumber keuangan
tidak semata-mata tergantung kepada Pemerintah.
g. Melayani Keperluan Siswa
Pelayanan siswa mulai dari peneriomaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan,
bimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai
pada pengurus alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesntralisasikan. Karena itu yang
diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h. Menjalin Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan,
kepedulian, dan dukungan dari dari masyarakat terutama dukungan moral dan finasial. Dalam arti
yang sebenarnya, hubungan sekolah dengan masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh
karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan
sekolah dengan masyarakat.
i. Mengelola Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasayarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
optimesme dan harapan/ ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatankegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah
yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan
sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya yang lebih intensif dan ekstentif.

38

Semoga akselerasi pertumbuhan peran guru mampu berkiprah membawa anak bangsa
negeri ini keluar dari krisis multidimensional dan siap hidup dalam era global dengan tetap thing
globally act locally dalam bingkai Negara Kesatauan Repulik Indonesia.
BAB III
KINERJA GURU
A. Kinerja Guru dan LPTK
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan
proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang,
terutama yang berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdian guru.
Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru didalam pelaksanaan proses
pembelajaran, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah
kepada sisi-sisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada
system yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak
kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti
kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga
perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru
frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan
tidak demikian halnya guru professional.
Selain itu, kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab
dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM
berkualitas pula. Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang
disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggungjawab
dan berkepribadian.
Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian
adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja terbentuk
bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masingmasing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah
pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat
menjadi sitawar sidingin di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan
39

dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak
terhadap kinerja guru yang bersangkutan.
Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang
sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadi kritikan sebagai
pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap
kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini,
dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebihlanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indicator sumber
daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya,
maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut
sangat ditentukan oleh kinerja guru.
Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas
dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang
belum menunjukkan kinerja baik, tentunya secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang
diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan
loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas.
Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran
sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi
yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang
digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.
Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya
komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap
tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu.Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada
era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif.
Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu
kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu
yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk
dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik.
Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih
baik dari kinerja hari ini. Semoga.
B.

Paradigma Baru Kode Etik Profesi Guru


40

JAKARTA - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan Pengurus Besar


Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) tengah menyusun kode etik profesi guru, yang dinilai
ketinggalan oleh profesi-profesi lain, seperti kode etik dokter, kode etik advokat dan kode etik profesi lainnya,
menyusul kebijakan pemerintah yang menyatakan guru sebagai sebuah profesi.
"Saat ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan PB-PGRI dan kalangan
akademisi dan praktisi lainnya telah menyiapkan draftnya dan dalam waktu dekat ini segera dibahas. Mudahmudahan dalam waktu dekat ini akan sudah disetujui," jelas Direktur Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Soewondo usai mengikuti upacara peringatan HUT PGRI, Kamis (25/11). Dia
mengharapkan pada tahun 2005 sudah selesai. Kita telah mengusulkan kepada pak menteri pendidikan nasional
supaya menjadi ketetapan menteri (mendiknas-red). Dengan begitu, nantinya posisi guru akan semakin kuat.
Berkaitan dengan kebijakan guru sebagai profesi, saat ini pihaknya telah mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Guru (RUU Guru). "RUU Guru yang kita persiapkan sudah memperoleh izin prakarsa
presiden, sehingga kita harapkan dalam rangka menjadikan guru sebagai profesi UU guru akan selesai," tambah
Soewondo. Direktur Tenaga Keguruan itu juga mengemukakan, selain pihaknya telah menyiapkan kode etik
guru dan undang-undang guru, tengah disiapkan juga program-program yang lain yang berkaitan dengan
kesejahteraan guru, perlindungan hukum dan sebagainya.
"Jadi, nantinya guru benar-benar lebih sejahtera sesuai harapan semua kita," jelasnya. Ketua Umum PBPGRI Prof.Dr.Muhammad Surya mengemukakan, PGRI sudah melakukan pendekatan ke Depdiknas dan DPR
agar selambat-lambatnya tahun 2005 sudah lahir undang-undang guru (UU Guru) karena proses penerbitan
RUU Guru telah mencapai tahapan amanat presiden (ampres). "Guru di satu sisi mengemban tugas menegakan
pendidikan nasional di negara kesatuan RI, tetapi di sisi lain profesi guru belum ditempatkan secara layak dalam
masyarakat khususnya terkait dengan mutu dan kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru hingga kini belum
memadai padahal guru perlu masa depan," kata Surya.
Surya menjelaskan, profesi guru di Indonesia tengah menghadapi sejumlah persoalan yang mendesak
untuk diselesaikan terkait dengan belum memadainya jumlah guru, mutu guru yang masih rendah, distribusi
guru antar daerah belum seimbang, kesejahteraan rendah serta manajemen guru yang belum standar.
Mengenai mutu guru, guru besar pada Universitas Pendidikan Indonesia (IKIP) Bandung itu
menegaskan, saat ini banyak dikeluhkan mutu guru di Indonesia selain mutunya banyak yang tertinggal juga
memiliki kualitas pengetahuan yang bervariasi. Sedangkan kemajuan iptek sekarang begitu pesat sehingga perlu
diupayakan peningkatan mutu guru agar mampu mengikuti perkembangan pengetahuan. Menyinggung
kekurangan guru, Surya mengemukakan, pemerintah menempuh jalan pendek dengan mengangkat guru honor
dan guru bantu sehingga mulai menjadi masalah.

41

"Apalagi menyongsong tahun 2011, guru-guru inpres sudah memasuki masa pensiun jumlahnya cukup
banyak hampir satu juta lebih. Karena itu, saya mengimbau kepada pemerintah agar mengatasi persoalan
kekurangan guru agar dipenuhi dengan kebijakan-kebijakan yang sebaik mungkin," katanya. (mya)
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan
menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan
pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru. Berdasarkan pengertian
tersebut, Standar Kompetensi Guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk
penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan
fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi dan jenjang pendidikan.
C.

Program Pengembangan Profesi


Teknologi Informasi berkembang dua kali lipat setiap lima tahun. Dengan demikian dinamika industri

ini, menuntut para profesional di bidang ini untuk secara rutin mengikuti aktifitas yang memungkinkan untuk
mendapat ketrampilan dan pengetahuan baru. Mengikuti pendidikan formal maupun dan partisipasi didalamnya
sangat penting.Sebagian besar organisasi-organisasi profesi TI di seluruh dunia, mengharapkan para anggotanya
menambah ketrampilan dan pengetahuan. Ketentuan ini dituangkan dalam peraturan keanggotaan organisasi
profesi tersebut untuk menjamin dan mendorong para anggota agar tetap mengikuti perkembangan disiplin ilmu
Teknologi Informasi (TI) Para profesional TI, sudah sejak lama Pengharapkan agar perhimpunan profesi TI
yang berkaitan mempelopori dalam memegang standard kemampuan yang kontinyu dalam profesi teknologi
informasi suatu negara.
Standard yang tepat dan teliti untuk profesi ini hanya memiliki sedikit relevansi jika tidak ada proses
yang menjamin kemutakhiran pengetahuan profesi TI. Secara logis dapat dikatakan, bahwa seseorang yang
memenuhi persyaratan pengetahuan dan keterampilan beberapa tahun yang lalu, belum tentu dapat memenuhi
persyaratan sebagai profesional TI pada era 1990-an.
Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme untuk memungkinkan baik perkumpulan profesi maupun
masyarakat dapat membedakan antara mereka yang melibatkan diri secara rutin dalam melanjutkan pendidikan
dan mereka yang tidak melakukan hal tersebut. Hal ini memperkuat kebutuhan akan perlunya setiap negara
anggota
SEARCC memperkenalkan dan menjaga program pengembangan profesi untuk anggota-anggotanya.
Definisi Pendidikan Berkesinambungan Untuk tujuan Kebijaksanaan Perhimpunan tentang Pengembangan
Profesi Berkesinambungan, didefinisikan sebagai berikut ini : Pendidikan berkesinambungan adalah studi yang
42

dijalankan oleh para anggota untuk memperluas atau memperbaharui pengetahuan atau ketrampilan mereka,
atau untuk mempersiapkan mereka untuk mengikuti perkembangan atau perubahan yang searah dengan karir
mereka.
Pendidikan berkesinambungan memegang peranan penting dalam akuisisi ketrampilan baru, seperti
dalam manajemen atau teknologi baru, relevan dengan perubahan dalam tanggung jawab karir. Walaupun ini
bukan satu-satunya jalan untuk menambah kemampuan profesional, pendidikan berkesinambungan merupakan
yang penting untuk tercapainya tujuan tersebut..Peran Pendidikan Kesinambungan Asosiasi masyarakat
komputer dan informatika SEARCC sudah sepantasnya Menerima pendidikan berkesinambungan sebagai suatu
elemen penting dalam pengembangan profesi. Pengalaman profesi, komponen pelengkap dalam pengembangan
profesi, juga harus dikenali melalui tingkat-tingkat keanggotaan pada suatu perkumpulan tertentu. Karena itu,
Kebijaksanaan Pendidikan
Berkesinambungan yang diusulkan adalah untuk : mempromosikan agar para anggotanya menjalani
pendidikan berkesinambungan dengan tingkat yang sesuai atau mampu menunjukkan tingkat yang tinggi dalam
pengembangan profesinya ; memberikan pengenalan formal terhadap prestasi seperti di atas. menjamin bahwa
kesempatan pendidikan lanjut yang sesuai akan disediakan. mempromosikan tunjangan untuk pendidikan
Berkesi-nambungan yang relevan oleh atasan profesi teknologi informasi sebagai bagian dari tugas normal
karyawan.
Pendidikan erkesinambungan adalah satu dari beberapa metode untuk tetap dapat engikuti
perkembangan teknologi, walaupun demikian diharapkan iterapkan metode-metode lain selain pendidikan
berkesinambungan diperhitungkan untuk menjamin pengembangan ofesi.Kebijaksanaannya ditujukan untuk
menetapkan persetujuan minimum yang terdefinisi bagi pengembangan ketrampilan profesi melalui
pendidikan. Australian Computer Society misalnya, mensyaratkan minimum 30 jam per tahun untuk
mempertahankan status Practising Computer Professional (PCP). New Zealand Computer Society (NZCS) di
pihak lain, mensyaratkan 10 jam pelatihan NZCS formal yang disahkan, dan 25 jam pelatihan pilihan yang
relevan agar keanggotannya dalam perhimpunan dapat diperbaharui.Pengakukan formal oleh Perkumpulan
untuk pendidikan berkesinambungan ditujukan untuk membedakan anggotanya dari non-anggota, dan
pengakuan tersebut harus diberikan untuk kesesuaian dengan kebijaksanaan perhimpunan dan bukan merupakan
penalti yang dijatuhkan untuk ke-tidak-sesuaian.Program pendidikan kesinambungan tidak menuntut bahwa
aktifitas pendidikan hanya berhubungan dengan pengetahuan dan ketrampilan baru dalam teknologi informasi.
Yang termasuk relevan dengan tujuan programmer adalah akuisisi atau ketrampilan interpersonal dan
ketrampilan bisnis umum. Karena itu, kursus-kursus dalam area keuangan, hubungan tenaga kerja, hukum,
pemasaran, kesehatan dan keselamatan, manajemen proyek, ekonomi, jaminan kualitas, ketrampilan negosiasi

43

dianggap sebagai aktifitas yang relevan. Bagaimana Program Tersebut Berjalan Perhimpunan anggota SEARCC
sebaiknya menyediakan saran dan mekanisme untuk :
1.

mengakreditasi dan melakukan pengakuan formal terhadap pusat pelaihan/kursus

2.

memberi anjuran pada anggota mengenai kursus-kursus relevan yang diakui

3.

memonitor partisipasi anggota pada kursus

4.

memberikan sertifikat

5.

memberikan informasi tentang status anggota individual

6.

memperbolehkan penunjukan label alamat anggota

7.

memonitor partisipasi atasan dalam program

8.

memberikan informasi mengenai tunjangan untuk pengembangan profesi oleh atasan secara individual

9.

mempromosikan keuntungan program pengembangan profesi untuk anggota, non-anggota, dan atasan.
Jika anggota mengikuti kursus/pelatihan, mereka mengembali-kan sebuah sertifikat keikut-sertaan ke

Perhimpunan untuk setiap kursus disamping lembar evaluasi untuk kursus-kursus tersebut. Evaluasi ini
digunakan untuk menentukan kualitas kursus. Kursus dengan penilaian yang buruk dibuang dari daftar kursus
yang disahkan. Anggota-anggota yang telah memenuhi jumlah kursus yang diperlukan dalam satu tahun
kalender mempertahankan status pengembangan profesi (PP) mereka, sampai waktu tersebut mereka
melengkapi jumlah jam pengembangan profesi untuk pendidikan relevan yang dipersyaratkan pada tahun
berikutnya. Kantor-kantor anggota SEARCC akan dapat memberi informasi mengenai status PP untuk penanya
yang memenuhi syarat seperti calon atasan atau klien. Anggota-anggota yang telah mendapat status PP dan yang
setuju untuk diakui akan dimasukkan dalam daftar pada suatu directory sementara status PP mereka masih
berlaku.
Pada akhir 1990-an akan terlihat suatu kedewasaan baru yang menandai matangnya profesi Teknologi
Informasi. Kedewasaan ini akan dihasilkan sebagai jawaban atas bertambahnya tuntutan atas mereka yang
bekerja dalam profesi ini. Masyarakat akan menuntut mereka agar lebih bertanggung jawab atas saran dan
sistem yang mereka berikan. Trend ini telah terlihat di area lain dengan adanya proses pengadilan untuk
fisikawan, pengacara, akuntan, insinyur dan profesioanl lain yang secara pribadi bertanggung jawab atas
kegagalan mereka yang riil maupun yang baru diduga.Untuk tetap eksis di dunia informasi masa datang, profesi
Teknologi Informasi akan perlu mempunyai tingkat pelatihan dan kecakapan yang luar biasa, ditambah dengan
komitmen yang kuat untuk pendidikan berkesinambungan dan pengembangan profesioal, sementara menerima
tanggung jawab untuk hasilnya, termasuk kegagalan.Perhimpunan anggota SEARCC manapun yang menunjang

44

program dengan jenis seperti dideskripsikan di sini memudahkan pengembangan profesi yang sedang berjalan
untuk anggota-anggotanya sehingga menguntungkan.

BAB IV
PERAN GURU MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
A.

Tuntutan Lulusan Bermutu


Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya

persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi
yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di
Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan
kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya
saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu
pendidikan.
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa
berlangsung dalam pendidikan, teknologi informasi dan profesionalisme guru, tantangan dunia pendidikan, dan
sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
B.

Paradigma Baru Pendidikan


Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya paradigma baru

pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini
diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).
1.

Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana

setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai
agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/ pelanggan. Karakteristik
mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses
belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung

45

menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa
tersebut.
2.

Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan

implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti
dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan
kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya,
paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan
tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3.

Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan

pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan
dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini
memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan
semua sumberdayanya.
4.

Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu

lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan
posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan
akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi
Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
5.

Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang

menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang
dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan
perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila
dilakukan secara berkesinambungan.
C.

Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan


46

Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) sedikitnya ada empat usaha mendasar yang harus
dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.

Menciptakan situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah-menang diantara
fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara
pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain
dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

2.

Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses
meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya
mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan
pengguna/langganan.

3.

Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu
terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang
yang konsisten dan terus menerus.

5.

Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan,
haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah
diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah
satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu
sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan

usaha jasa yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang
belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis,
1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang
biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima
manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya
ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut
sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yangketiga bersifat tersier
adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external
customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu
yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga
pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan
tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi
47

mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan
lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan
diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan
pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masingmasing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan
harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
D.

Peran Teknologi Informasi dan Profesionalisme Guru Meningkatkan Mutu


Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan

umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih
kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Sebagai
teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.
Adi Sasono (1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan
kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, karena apabila keliru,
suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal, yaitu :
1.

Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga
mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh
teknologi dan diperkuat lagi.

2.

Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau sebaliknya
meniadakan kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat mengarah pada
dehumanisasi.

3.

Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk
memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang
dirancang secara demokaratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa
memfasilitasi kemandirian masyarakat.

4.

Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi sehingga membebaskan
manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat
digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas
yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah to informate. Istilah ini bukan sekedar alternatif bagi
otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam
otomatisasi yang mempertimbang-kan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama
dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.

48

Menurut Adi Sasono (1999) revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas
tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan
ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala
sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi
antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan
individu.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio
dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer
personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian
data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut
telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono,
1999).
Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling
berhubungan dengan cepat, mudah, terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan
masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat
mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat
terbesar .
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti
diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan
teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan
sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian ini. Adanya
revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan
bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang
dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan.
FKIP yang mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan harus mampu melakukan tindakan yang tepat, sesuai
dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan masyarakat.
Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan
sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk
menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru
profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi
informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat. Keahlian yang
bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat
49

untuk menjadi guru profesional. Disinilah peran Perguruan Tinggi / FKIP dan Organisasi profesi guru (seperti
PGRI) sangat penting.
Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan. FKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga
kependidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus bekerjasama
dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan maupun secara personal). Untuk itu, maka
pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi
guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide
diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
E.

Tantangan Meningkatkan Mutu Pendidikan


Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan

informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan,
informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti : (1) secara
ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis
dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4) sesuai atau sejalan dengan
kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada.
Konsep bermakna ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan
dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling
pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar
makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi
makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), bukan
informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar
bermakna dan dibutuhkan sasaran.
Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat
pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki. Untuk itulah maka, pemilihan
informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai
medianya. Sejarah, kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali menawarkan
pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik,
lebih adil, dan lebih efisien.
Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam
pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan).
Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan
kita menyambutnya?
50

Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau
ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi
(sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan.
Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan
untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan
bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi
peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha
memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Bagi lingkungan lembaga kependidikan seperti FKIP, penerapan teknologi dalam pendidikan di era
global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis teknologi informasi mutakhir dalam praktek
pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan teknologi informasi mutakhir dapat berupa penggunaan
media elektronik seperti radio, TVm, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi
lainnya. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat,
cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
F. Moral dan Profesionalisme Guru
Dalam leksikon Jawa, guru umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan bisa digugu lan
ditiru ( Sunda: tiasa dipercanten sareng digugu sarta ditiru). Ini artinya bahwa sosok guru adalah orang yang
dapat dipercaya atau dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladan tingkah lakunya. Di balik
ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya asumsi bahwa apa yang dilakukan, dikatakan, dan diajarkan
guru adalah benar. Guru sangat dipercaya sehingga jarang orang mempersoalkan ajarannya.
Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena itu, jika orang membutuhkan
nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai teladan, guru sangat dihormati
masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi guru adalah kebanggaan. Begitulah
kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe.
Asumsi tempo dulu bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran.
Dewasa ini, ungkapan guru sebagai yang bisa digugu dan ditiru agaknya sudah usang dan mengalami
peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak
puas terhadap perkataan atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam umpatan kepada guru.
Pergeseran pandangan terhadap profesi guru itu disebabkan oleh berbagai hal. Keadaan dan zaman telah
berubah. Modernisasi media cetak dan media elektonik menjadikan guru yang semula dianggap sebagai satusatunya sumber informasi tidak berlaku lagi. Jumlah warga masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari

51

guru semakin banyak. Kecuali status sosial itu, status ekonomi kebanyakan guru terutama, sangat memiliki
andil yang cukup berarti terhadap pergeseran pandangan itu.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan, ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan. Dalam hal ini,
apakah ia memiliki keutamaan moral; kemampuan menghayati nilai yang baik dan buruk? Banyak orang,
termasuk guru, tahu tentang nilai-nilai moral. Tetapi, masih saja banyak yang berbuat salah bahkan melakukan
kejahatan yang disengaja. Terjadinya perbedaan atau bahkan pertentangan antara pengetahuan dan tindakan
seseorang itu banyak yang disebakan oleh kenyataan-kenyataan hidup yang mungkin memang membuatnya
begitu.
Minimnya gaji guru untuk memenuhi standar hidup layak yang berakibat pada rendahnya status
ekonomi, memaksa guru untuk bekerja pada bidang yang lain. Banyak guru yang melakukan pekerjaan tak
terhormat demi mencukupi kebutuhan minimum rumah tangganya. Bahkan ditemui banyak kasus tindak
kejahatan seperti pengedaran narkoba, penipuan, pencurian, pengatrolan atau jual-beli nilai rapor, dan kasuskasus kriminal lain yang melibatkan seorang guru.
Kemudian, fenomena ini melibas gengsi guru dari mata masyarakat. Guru yang zaman dulu dianggap
memiliki keutamaan moral sekarang dipandang tidak lebih dari kebanyakan orang.Dewasa ini, ketika terdapat
guru sudah dapat hidup layak dari segi ekonomi karena kerja ekstranya atau karena mendapat jabatan di sekolah
tempat kerjanya sehingga bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengubah status
ekonominya, banyak yang berusaha mengejar status atau segi lain.
Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin menemukan kembali gengsi dan kehormatan dirinya.
Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bisa memperpuruk gengsi dan kehormatannya
sendiri. Misalnya saja, dalam kasus komaditi gelar akademis yang merebak akhir-akhir ini, banyak guru yang
terlibat sebagai konsumen.
Dahulu ada teori bahwa fenomena gila gelar disebabkan oleh suatu kekagetan akibat pendidikan formal
masih merupakan hal baru dalam budaya bangsa dan pelaksanaannya belum merata. Kemudian dapat
dimengerti bahwa orang yang sudah mendapat gelar akademis tertentu merasa menonjol di antara sesama di
lingkungannya. Lebih jauh dari itu timbul kesombongan dan sering disertai kecenderungan memaksakan
pendirian kepada orang lain.
Sekarang, ketika pendidikan sudah semakin maju dan merata, gelar masih menjadi pemukau yang
manjur di kalangan masyarakat kita. Banyak orang yang ingin memperpanjang namanya dengan berbagai gelar.
Kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak terentu dengan cara memperdagangkan berbagai gelar
akademis.
Telah banyak diungkap bahwa kecanduan gelar tidak hanya merasuki kalangan pejabat dan perguruan
tinggi, tetapi sudah hampir memasyarakat, termasuk kalangan guru sekolah menengah. Di Bandung misalnya,
52

banyak guru dan kepala sekolah menengah yang bergelar master (M.B.A. dan /atau M.Sc.). Bahkan ada
sekolah swasta yang hampir 50 persen guru tetapnya memiliki gelar MBA dan/atau MSc, dan ada yang sampai
Dr (HC). Yang menjadi masalah, seperti yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh banyak kalangan, gelar-gelar
bergengsi yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah itu diperoleh dengan jalur yang tidak semestinya.
Pada umumnya, mereka bisa mendapatkan gelar-gelar itu cukup dengan membayar sejumlah uang pada
lembaga atau biro jasa (warung gelar) yang menjual/ menawarinya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru-guru ituyang notabene guru sebagai ujung tombak
pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifantidak menghayati lagi moral, etika, dan prilaku
sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Para guru itu dapat dikatakan bertindak
hanya dengan kendali nilai-nilai yang beredar di pasaran tanpa didasari moral dan prinsip etis yang logis.
Ungkapan digugu dan ditiru seperti disebut di atas atau ungkapan guru kencing berdiri, murid
kencing berlari, kiranya (dalam hal ini) kembali menjadi alasan bagi prilaku murid-murid yang bertindak
serupa. Hal tersebut terbukti di Bandung ini juga, dan bukanlah fenomena baru, banyak murid yang membeli
rapor, nem, dan ijazah. Terdapat anak yang tiba-tiba diketahui memiliki ijazah SMU tanpa harus menyelesaikan
SMU-nya sampai tuntas.
Etika murid tersebut tidak naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu
perguruan tinggi. Yang aneh lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di
SMU tersebut, pada tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan
yang sangat mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini.
Terungkapnya kasus pengatrolan nilai ujian akhir dan jual beli nilai yang dilakukan oleh oknum guru
SMU di Bandung akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan fakta ini sudah terbiasa
terjadi di sekolah-sekolah lain dan di wilayah-wilayah lain di negeri ini.Kenyataan di atas sangat
memprihatinkan. Mungkin sekali pendidikan budi pekerti tidak akan banyak artinya dan kurang menyentuh
pribadi anak jika masih terdapat fakta-fakta prilaku guru yang kurang berbudi pekerti itu. Jika moral dan sifat
budi pekerti luhur tidak dimiliki para pendidik, akan dibuat bagaimanakah moral generasi muda bangsa ini
kemudian?
Keberhasilan usaha pendidikan bukan pertama terletak pada tersedianya perlengkapan pendidikan yang
serba canggih, melainkan lebih pada kualitas sumber daya manusianya yaitu guru dan tenaga kependidikan
yang lain.
Para guru pada dasarnya adalah pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan keterampilan dari
generasi terdahulu kepada generasi kemudian. Mereka adalah pelaku tugas pokok manusia dalam hidup ini (the
ultimate human task in life). Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai tujuannya yaitu membentuk manusia

53

yang manusiawi sehingga mampu menghadapi era perkembangan dan perubahan global, diperlukan pendidik
yang mentalnya kuat, moralnya tangguh, dan profesionalismenya tinggi.
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi
individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap
altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur
dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa
yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh
niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya
pendidikan.
Beranjak dari sikap dasar di atas, kita dapat mengatakan bahwa profesionalisme memiliki tiga ciri utama
yang saling mengait, yakni (a) adanya kapasitas atau stok keahlian yang besumber pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang benar dan mapan; (b) adanya moral, etika, serta perilaku atau tindak-tanduk yang baik; dan (c)
adanya pelayanan atau pengabdian yang tulus dari seorang individu terhadap masyarakat dan lingkungan (bdk.
Kunjara, 1998).
Oleh karena itu, seseorang dikatakan profesional apabila memenuhi kriteria seperti: memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam pada bidang pekerjaan yang diemban (know what and show how),
memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas yang diemban (know how), dan memiliki sikap-sikap yang
dituntut oleh pekerjaan yang diemban (disiplin ilmu dan etika profesi).
Berlandaskan pemikiran di atas, kiranya cukup banyak ciri keutamaan bagi profesionalisme seorang
guru. Beberapa ciri keutamaan itu antara lain ketepatwaktuan, optimisme terhadap peserta didik, solideritas,
stabilitas, mawas diri,kesabaran,kesederhanaan, tahu membeda-bedakan, ketenangan, ketekunan, idealisme,
persiapan, dan menghargai profesi. Terhadap ciri keutamaan yang disebut terakhir ini, profesi guru hendaknya
dihargai dan dicintai oleh guru itu, bukan sebaliknya disalahgunakan dan dilecehkannya sendiri.
Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar yang
memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ,
mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (Hidup, 27/2/00
hal. 19). Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang.
Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi
penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak
memiliki keutamaan moral. Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan
global dunia kita.

54

Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi
merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar
hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan
semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan
keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan
pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.

BAB V
MODEL PEMBELAJARAN TERPADU
A.

Model Pembelajaran
Ditinjau dari jumlah mata pelajaran yang dijadikan bahan ajar dalam proses pembelajaran,
model pembelajaran dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yakni (1) model pembelajaran mata
pelajaran secara terpisah (separeted subject matter), (2) model pembelajaran terpadu (integrated
subject matter), dan (3) model pembelajaran mata pelajaran terkorelasi (correlated subject
matter). Penggolongan ini berdasarkan kepada penggolongan organisasi kurikulum, yakni: (1)
kurikulum terpisah (separated curriculum), (2) kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan (3)
kurikulum terkorelasi (correlated curriculum). Timbul pertanyaan mendasar, mengapa proses
pembelajaran perlu memadukan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain, atau satu
mata pelajaran dengan bahan ajar tertentu, sehingga menjadi satu menu yang akan disajikan dalam
proses pembelajaran?
Pertama, alasan empirik, karena pada hakikatnya pengalaman hidup ini sifatnya kompleks
dan terpadu, artinya menyangkut berbagai aspek yang saling terkait. Pergi ke pasar, sebagai misal,
merupakan kompleksitas pengalaman hidup yang tidak hanya bersifat sosial (berhubungan dengan
orang lain), ekonomi (memenuhi kebutuhan rumah tangga), tetapi juga matematika (terkait dengan
hitung-menghitung harga), dan biologi (tekait dengan soal barang dan bahan yang kita beli), dan
sebagainya. Dengan demikian, proses pembelajaran di sekolah sebenarnya dapat dilaksanakan
dengan meniru model pengalaman hidup dalam masyarakat, karena proses pembelajaran yang
demikian lebih sesuai dengan realitas kehidupan kita.
Kedua, alasan teoritis ilmiah, karena keadaan dan permasalahan dalam kehidupan akan terus
berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, ilmu
ruang angkasa menjadi lebih terbuka setelah pesawat ulang-alik dapat mendarat di bulan. Komputer
55

kini menjadi mesin informasi yang telah masuk di rumah kita tanpa permisi. Itulah sebabnya, maka
bahan ajar di sekolah sudah pasti harus diperkaya dengan muatan-muatan tentang perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.
Mengingat banyaknya permasalahan yang timbul dalam kehidupan, banyak materi baru yang
diusulkan oleh masyarakat untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah, misalnya lingkungan hidup,
ilmu kelautan, pengetahuan tentang narkoba, masalah HIV dan AIDS, pendidikan moral dan budi
pekerti, keimanan dan ketaqwaan, reproduksi sehat dan pendidikan seks, bursa efek, dan masih
banyak lagi. Untuk memasukkan hal-hal tersebut menjadi mata pelajaran tersendiri, sudah barang
tentu tidak mungkin dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Dengan kata lain, muatan ilmu pengetahuan dan informasi yang semakin bertambah itu tidak
mungkin dapat dimasukkan ke dalam kurikulum menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Oleh
karena itu, diperlukan satu organisasi kurikulum yang isinya lebih merupakan pilihan bahan ajar
yang secara khusus dipersiapkan sebagai menu untuk proses pembelajaran. Dari sinilah muncul fusi
mata pelajaran yang melahirkan kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan kemudian
melahirkan kurikulum inti (core curriculum). Para pengembang kurikulum berfikir harus back to
basic dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam pelaksanaan kurikulum, timbullah model
pembelajaran terpadu, dengan tujuan agar proses pembelajaran dapat mengakomodasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta permasalahan yang begitu kompleks dalam
masyarakat.
Itulah sebabnya, proses pembelajaran memang tidak harus dilaksanakan ibarat dengan
kacamata kuda, artinya dilaksanakan tanpa melihat kiri-kanan atau hanya melihat satu disiplin ilmu
tanpa mengaitkannya dengan kehiduoan dalam arti luas. Justru dalam pelaksanaannya para guru
seharusnya berusaha mengaitkan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dengan mata
pelajaran atau bahan dasar lain yang kontekstual dalam kehidupan masyarakat. Tanpa mengaitkan
mata pelajaran dengan konteks kehidupan yang nyata dalam masyarakat, maka proses
pembelajarannya akan menjadi hambar dan kurang bermakna bagi bekal kehidupan anak dalam
masyarakat.
B.

Model-Model Pembelajaran Tepadu


Pertama, model pembelajaran terpadu antara dua mata pelajaran dalam struktur kurikulum
yang berlaku. Misalnya antara mata pelajaran Matematika dan mata pelajaran Bahasa Indonesia, atau
mata pelajaran Matematika dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (ips), dsb. Kedua, model
pembelajaran terpadu antara satu mata pelajaran tertentu dengan bahan ajar yang tidak berdiri sendiri
56

sebagai mata pelajaran, misalnya antara mata pelajaran Pendidikan Agama dengan bahan ajar
pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup, antara mata pelajaran Biologi dengan pendidikan
reproduksi sehat dan HIV/AIDS, antara mata pelajaran PPKn dengan bahan ajar pendidikan budi
pekerti, mata pelajran Bahasa Indonesia dengan bahan ajar keimanan dan ketaqwaan,
dsb. Ketiga, model pembelajaran terpadu beberapa mata pelajaran, lebih dari dua mata pelajaran,
misalnya mata pelajaran Matematika, Sains, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan
Kesenian yang dimasukkan ke dalam satu proyek kegiatan pembelajaran (metode proyek).
C. Pusat Sumber Belajar (PSB) Terpadu
Pusat Sumber Belajar/Learning Resources Center (PSB/LRC) dapat diartikan sebagai
pusat jaringan pelayanan informasi sumber belajar yang dikelola dengan prinsip kemitraan baik
yang berupa informasi sumberdaya manusia, sumberdaya bahan belajar dan sumberdaya alat bantu
pembelajaran. Sumber belajar adalah input instrumental dalam sistem pembelajaran meliputi
sumberdaya manusia (brainware) yaitu narasumber, fasilitator, instruktur, dan Widyaiswara; bahan
belajar (software) seperti: kurikulum, modul, textbook, bahan bacaan/reference, literatur/
kepustakaan dan metodologi pelatihan (klasikal/ in Class, diklat jarak jauh, kalakarya); sarana dan
prasarana (hardware) seperti: perpustakaan, ruang belajar, laboratorium, dan peralatan (antara lain:
perangkat keras dan perangkat lunak) yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan efektivitas dan
efisien proses belajar.
Dengan kata lain secara sederhana yang dimaksudkan Sumber belajar adalah terdiri dari
orang, pesan, media (bahan dan alat),teknik dan lingkungan. Sedangkan Pusat Sumber Belajar
adalah tempat dimana Sumber Belajar dikumpulkan, diorganisir dan dimanfaatkan untuk belajar.
Kemitraan adalah merupakan kerja sama yang memperhatikan kesetaraan, keterbukaan,
saling menghargai, dan adanya persamaan kepentingannya. Kerjasama kemitraan ini dilakukan
antara institusi pendidikan dan pelatihan, institusi pendidikan kesehatan, institusi pelayanan
kesehatan, organisasi profesi kependidikan kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
lain yang bergerak di bidang kesehatan maupun kediklatan.
1.

LANDASAN FILOSOFI
Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang butuh berkomunikasi dengan orang
lain, sehingga terjadi interaksi dengan orang lain dalam usahanya mempertahankan hidup dan
mengembangkan kehidupannya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia mengembang-kan
pola komunikasi untuk memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan sosialnya.
Epistimologi kefilsafatan menunjukkan bahwa adanya prinsip-prinsip jaringan kemitraan telah

57

melandasi pola komunikasi dalam kehidupan manusia semenjak dahulu kala seperti jaringan
korespondensi, jaringan telekomunikasi dan jaringan internet.
Aksiologis kefilsafatan menunjukkan besarnya manfaat yang dapat dipetik dalam proses
komunikasi antar individu manusia dalam berbagai bentuk dan menggunakan berbagai media
komunikasi yang dimilikinya. Proses pembelajaran diklat pada prinsipnya adalah proses komunikasi
dalam penyampaian bahan belajar kepada peserta diklat.
Atas dasar pemikiran tersebut maka pengorganisasian berbagai komponen sistem
komunikasi memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Demikian halnya
jaringan kemitraan Pusat Sumber Belajar juga berperan penting dalam proses pembelajaran.
2.

LANDASAN HUKUM

1.

Undang undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2.

Undang-undang Nomer 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

3.

Undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

4.

Undang-undang nomor 8 Tahun 2000 tentang Hak-Hak Konsumen

5.

Peraturan Pemerintah Nomer 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

6.

Keputusan Presiden Nomer 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Departemen.

7.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 130 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen.

D. RUANG LINGKUP PUSAT SUMBER BELAJAR TERPADU


Ruang lingkup Pusat Sumber Belajar yang akan dikembangkan adalah bermacam-macam
pelayanan bagi pebelajar (learner) meliputi :
1.

Learning Resources.
Yaitu merupakan segala sumber belajar bagi pebelajar yang berminat belajar sendiri atau belajar
jarak jauh, yang dilakukan secara elektronik ( telelearning/digital library)

2.

Skill Exchanges.
Yaitu pertukaran keterampilan yang terdiri dari kemampuan, keterampilan dan pengalaman para
pakar, dan memberikan pelayanan pembimbingan bagi yang membutuhkannya.

3.

Peer-Matching.
Merupakan jaringan komunikasi yang memungkinkan pebelajar dapat menemui kawan belajar untuk
menjawab masalah yang dipelajarinya.

4.

Reference Services to Educator-at-Large.


58

Merupakan pelayanan rujukan bagi seluruh fasilitator secara luas, yaitu dengan memberikan alamat
serta uraian tentang para profesional/pakarl dan setengah profesional/pakar, dan fasilitator yang tidak
terikat.
5.

Learners Network.
Merupakan suatu jaringan bagi mereka yang belajar/pebelajar, sebagai tempat pertemuan dari para
anggota masyarakat pebelajar. Jaringan ini akan memfasilitasi pengetahuan atau keahlian lokal
dalam membentuk dan membangun peluang-peluang belajar.

6.

Learners Problem Solving Network.


Jaringan penyelesaian masalah peserta belajar suatu kelompok diskusi unituk memecahkan masalahmasalah masyarakat setempat dalam mengembangkan jaringan belajar setempat.

7.

The Opportunities Portfolio.


Dilakukannya pemutahiran dokumen elektronik dan diterbitkan (dicetak), paling sedikit setahun
sekali sehingga dapat mengidentifikasi peluang belajar setempat dan sumber belajar yang ada agar
dapat berbuat dengan sumber yang ada.
Fokusnya pada idea, hal yang istimewa, proyek, pelayanan yang inovatif, dan pendekatan
alternatif.
Bila dilihat dari sistem pembelajaran dalam proses diklat, ruang lingkup Pusat Sumber Belajar dapat
digambarkan dalam matriks sebagai berikut:
Sumber
belajar

Ma

Elektr
n

on

ik

Lain

a
l
SDM
Bahan belajar
Metode &
teknologi
belajar
Sarana
prasarana

59

1. Mengembangkan Sumber Belajar yang berbasis printing material (manual), seperti daftar tenaga
ahli, daftar katalog, buku-buku panduan dan buku acuan.
2. Mengembangkan Sumber Belajar yang berbasis elektronika, antara lain : mengembangkan jaringan
kerja dengan komputer

(Internet, Intranet) untuk Computer Assistence Learning/ Computer

Assistence Instructur, CD ROM untuk Computer Base Learning/ Computer Base Instructur , dan
dengan homepages untuk tenaga ahli, abstrak buku, hasil penelitian diklat dan virtual library.
3. Mengembangkan Sumber Belajar lain, yaitu dengan menggunakan bahan belajar dari lingkungan
pebelajar (learner) , antara lain phenomena alam, obyek kesehatan, dll.
E. MODEL KEMITRAAN
Dalam pengembangan jaringan Pusat Sumber Belajar digunakan konsep model kemitraan
diantara berbagai institusi Sistem Pusat Sumber Belajar yang memiliki satu atau beberapa komponen
sumber belajar.
Gambaran sederhana model Pusat Sumber Belajar adalah sebagai berikut:
Komponen-komponen Intitusi yang terkait tersebut terdiri dari :
1.

Instansi pembina Teknis Kesehatan Pusat.

2.

Institusi-institusi pendidikan dan pelatihan (diklat),antara lain:

a. Pusdiklat, Bapelkes, LAN, Pustekkom


b. Institusi-institusi pendidikan, terdiri dari : Perguruan Tinggi
Negeri dan swasta; Akademi Negeri dan swasta serta Sekolah Kejuruan Kesehatan (Perawat,
Farmasi, Perawat Gigi, analis Kesehatan dan lain-lain).
3.

Institusi Kesehatan

a. Institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta ( Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik).
b. Unit Pelaksana Teknis Departemen Kesehatan
4.

Istitusi Administrasi dan Manajemen seperti: LAN, Depnaker,


Lembaga
manajemen terapan.

5.

Organisasi profesi, terdiri dari:

a. IDI, PPNI, IBI, PERSAGI, HAKLI, POGI dan lainnya.


b. IPTPI, PS ANRI, IDLN dan lainnya.
6.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk masyarakat, terdiri dari peserta Diklat, masyarakat
pengguna diklat dan pengguna pelayanan kesehatan.

60

Komponen Sumber Belajar dari Institusi yang tergabung dalam Jaringan PSB antara lain :
1.

Informasi keahlian/kepakaran (tenaga pelatih/ widyaiswara).

2.

Informasi Bahan ajar (Learning material) antara lain berupa Buku Kepustakaan, Kurikulum, Modul
baik printed, electronik, dan interactive.

3.

Informasi Sarana Belajar antara lain : Kelas, Laboratorium Kelas, Laboratorium Lapangan, alat
bantu diklat berupa : AVA, model, dll.

4.

Informasi kegiatan diklat antara lain: jurnal diklat kesehatan, kerjasama, donor,dll.
Untuk kemudahan operasionalisasi PSB, perlu ada institusi yang berperan sebagai Pusat
Jaringan PSB. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Untuk tingkat Pusat, sebagai Pusat
Jaringan PSB adalah Pusdiklat Kesehatan, sebagai anggota Jaringan PSB adalah Institusi /
Organisasi Profesi / LSM yang tergabung dalam Jaringan PSB. Disetiap PSB ada yang diserahi
tanggung jawab mengelola (Pengelola PSB).
Di daerah, sebagai Pusat Jaringan dapat ditunjuk Institusi Diklat yang ada, berdasarkan
kesepakatan.
Dengan demikian untuk terwujudnya Jaringan Pusat Sumber Belajar tidak diperlukan pembangunan
gedung baru.

F. FUNGSI DAN TUGAS JARINGAN PSB


1.

Fungsi

Pusdiklat Kesehatan sebagai Pusat Jaringan Pusat Sumber Belajar, mempunyai fungsi sebagai berikut :

2.

a.

Fungsi Penyediaan Informasi

b.

Fungsi Pelayanan Informasi Sumber Belajar

c.

Fungsi Pengembangan

d.

Fungsi Produksi dan Pemasaran

e.

Fungsi Koordinasi

TUGAS

Untuk menjalankan fungsi tersebut maka Pusat Jaringan Pusat Sumber Belajar mempunyai tugas :
a.

Fungsi Penyediaan Informasi dengan tugas :

1). Menginventarisasi informasi Sumber Belajar dari berbagai sumber ( PSB dan lain-lainnya ).
2). Membuat Data Base.
3). Up dating secara periodik.

61

b.

Fungsi Pelayanan Informasi Sumber Belajar dengan tugas :


1). Mensosialisasikan adanya jaringan PSB kepada User.
2). Memberikan informasi Sumber Belajar sesuai kebutuhan User.
3). Memberikan konsultasi pengembangan Sumber Belajar.
c.

Fungsi Pengembangan dengan tugas :

1). Mendisain Diklat sesuai kebutuhan User.


2). Mengembangkan SDM Pusat Sumber Belajar melalui Diklat.
3). Memperluas jaringan lintas sektor.
d.

Fungsi Produksi dan Pemasaran dengan tugas :

1). Memproduksi/ menghasilakan bahan ajar dalam berbagai bentuk media ( cetak, elektronik,
interaktif, dll. )
2). Memasarkan produk dan jasa PSB.
e.

Fungsi Koordinasi dengan tugas :

3. Meningkatkan kerjasama antar PSB melalui pertemuan-pertemuan ( Seminar, Lokakarya, dll ).


BAB VI
TUJUAN STRATEGI DAN SASARAN PUSAT SUMBER BELAJAR
A.

TUJUAN
1.

TUJUAN JANGKA PANJANG


Menciptakan Pusat Jaringan PSB menjadi pusat layanan jaringan informasi berbagai sumber belajar
diklat kesehatan yang dapat diandalkan.

2.

TUJUAN JANGKA PENDEK


Membantu pengguna atau peserta diklat dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan baik brainware,
software maupun hardware agar diperoleh proses belajar yang efektif baik melalui institusi dalam
jaringan maupun langsung secara individual atau kelompok.
B. STRATEGI
Strategi yang ditetapkan dalam pelaksanaan pengembangan Pusat Sumber Belajar meliputi strategi
pengembangan jaringan dan strategi pengembangan kapasitas Pusat Sumber Belajar yang
dikelompokkan sebagai berikut:
1.

Strategi Pengembangan Jaringan PSB yaitu :

a. Kemitraan
62

b. Orientasi Pasar
c. Pelayanan Prima
2.

Strategi Pengembangan Kapasitas Pusat Sumber Belajar yaitu meliputi :

a. Pengembangan SDM pengelola PSB (Brainware).


b. Pengembangan substansi (content), antara lain : informasi narasumber/ kepakaran, bahan belajar
(buku kepustakaan, kurikulum dan modul) dan Sarana Diklat serta alat bantu belajar.
c. Pengembangan Hardware dan Software kebutuhan pelaksanaan Jaringan PSB.
Dalam Pengembangan Kapasitas Pusat Sumber Belajar ini perlu mengikuti perkembangan IPTEK
dan tuntutan kebutuhan pasar.
C. SASARAN
Sasaran dalam pengembangan Pusat Sumber Belajar Diklat Kesehatan adalah dihasilkannya :
1.

Kesepakatan Kosep PSB.

2.

Pengorganisasian PSB.

3.

Informasi Sumber Belajar.

4.

Model Data base jaringan PSB

5.

Sumberdaya tenaga (brainware) sesuai dengan kebutuhan pengembangan jaringan.

6.

Hardware dan software yang dibutuhkan dalam pengembangan jaringan sesuai dengan
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

7.
D.

Pemanfaatan, evaluasi dan pengembangan PSB.

KEBUTUHAN SUMBER DAYA PENGELOLAAN PSB.


1.

Sumber Daya Manusia (Brain ware):

a.

Pengelola /Koordinator PSB

b.

Dibutuhkan minimal 5 orang tenaga pengelola dengan kriteria tenaga yang menyenangi bekerja
dengan komputer, dengan spesialisasi sebagai berikut :

1). Seorang tenaga perancang dengan pendidikan minimal S1 Kesehatan dan telah mengikuti pelatihan
disain system.
2). Seorang tenaga programmer dengan pendidikan minimal D3 kesehatan/Komputer dan telah
mengikuti pelatihan tentang Pengembangan WEB.
3). Seorang tenaga disain grafis (D3)
4). Seorang tenaga pengelola jaringan (internet, LAN)
63

5). Seorang Operator komputer dengan pendidikan minimal SLTA dan telah mengikuti pelatihan
tentang dasar-dasar komputer dan pengelolaan PSB.
c.

Anggota PSB

d.

Dibutuhkan minimal 4 orang tenaga pengelola dengan kriteria tenaga yang menyenangi bekerja
dengan komputer, dengan spesialisasi sebagai berikut :

1.

Seorang tenaga programmer dengan pendidikan minimal D3 kesehatan/Komputer dan telah


mengikuti pelatihan tentang Pengembangan WEB.

2.

Seorang tenaga disain grafis (D3)

3.

Seorang tenaga pengelola jaringan (internet, LAN)

4.

Seorang Operator komputer dengan pendidikan minimal SLTA dan telah mengikuti pelatihan
tentang dasar-dasar komputer dan pengelolaan PSB.

2.

Perangkat Keras (Hard ware):

a. Jaringan Komputer ( LAN , WAN).


b. Komputer server
c. Komputer work station untuk pengembangan & pemeliharaan web
d. Komputer work station untuk electronic library
e. Komputer work station untuk pengembangan Sistem Informasi Diklat
f. Digital Camera
g. Digital Video Camera
h. CD writer
i.

Scanner

j.

Printer

3.

Perangkat Lunak (Soft ware)

a.

Program Aplikasi untuk Pengembangan Web (Front Page, HTML, Java Script, dll)

b.

Personal Web Server

c.

Situs web PSB

d.

Program Aplikasi untuk Disain Grafis (Photoshop, Corel Draw, Microsoft Image Composer, dll)

e.

Program Aplikasi untuk Animasi mulitimedia (GIF Animator, Photoshop Animator, 3DFX, 3D
Kinetik, dll)

f.

Windows NT, Linux, dll

E.

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PSB

64

Dalam rangka pengembangan PSB perlu disusun langkah-Langkah kegiatan pengembangan


yang mengacu pada strategi dan sasaran PSB.
Secara rinci langkah-langkah kegiatan pengembangan PSB adalah sbb.:
1.

Tahun Pertama

a. Menyusun konsep PSB.


b. Menginventarisasi institusi / organisasi profesi/ LSM yang berkaitan dengan Diklat Kesehatan.
c. Menyepakati Konsep PSB melalui Seminar dan Lokakarya serta kesepakatan mewujudkan PSB yang
berkaitan dengan Diklat Kesehatan, berdasarkan prinsip kemitraan.
d. Mengidetifikasi Sumber Belajar di setiap PSB.
e. Melengkapi kebutuhan Hardware dan Software.
f. Menyusun Model PSB.
2.
a.

Tahun Kedua.
Mensosialisasi Model PSB.

b. Menyusun pengorganisasian PSB, meliputi : Naskah kerjasama dan mekanisme pengelolaan PSB,
serta Tupoksi pengelola PSB.
c. Merekrut SDM PSB melalui pelatihan.
d. Menginventarisasi Sumber Belajar dari setiap anggota PSB.
3.

Tahun Ketiga.

a.

Membuat data base Sumber Belajar.

b.

Mensosialisasi data base Sumber Belajar

c.

Mengelola Pusat jaringan PSB

d.

Pertemuan reguler anggota PSB.

e.

Peremajaan data (up date data) Sumber Belajar.

4. Tahun Ke empat
a.

Peremajaan data (up date data) Sumber Belajar.

b.

Pertemuan reguler anggota PSB.

c.

Evaluai Pengelolaan PSB

d.

Perbaikan dan Pengembangan PSB.


BAB VII
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TERPADU

A.

Rasional
65

Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menyatakan bahwa Negara bertujuan mencerdaskan


kehidupan Bangsa. Dalam upaya mewujudkan tujuan dimaksud, setiap warga negara memiliki hak
untuk mendapatkan pengajaran (pasal 31 ayat 1 UUD 1945). Secara operasional, dukungan tersebut
dinyatakan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5,
bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti
semua orang berhak memperoleh pendidikan, termasuk warga negara yang memiliki kesulitan
belajar seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia) dan menghitung (diskalkulia)
maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras). Dengan
demikian, warga negara Indonesia yang memiliki kelainan dan atau kesulitan belajar dapat
mengikuti pendidikan di sekolah reguler sesuai dengan tingkat ketunaan dan kesulitannya
(pendidikan terpadu).
Kebijakan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah
mahkluk bhineka yang mengemban misi utama sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan serta menciptakan kedamaian bersama. Terdeteksi maupun
tidak, setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda dan dapat dikembangkan melalui
pendidikan dan pengalaman hidupnya.
Potensi setiap manusia dapat dikembangkan secara optimal jika tercipta suatu lingkungan
yang kondusif, karena tugas utama pendidikan adalah mengantarkan terciptanya lingkungan
dimaksud. Di samping itu, landasan hukum yang melatarbelakangi pendidikan terpadu antara lain:
(a) Konferensi Internasional di Jomtien-Thailand pada tahun 1990 yang merekomendasikan agar
seluruh masyarakat dunia mengimplementasikan konsep pendidikan untuk semua (education for all),
(b) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang the standard rules on the equalization of
opportunities for persons with disabilities, (c) Deklarasi Salamanca, Spanyol tahun 1994 tentang
tindak lanjut implementasi pendidikan untuk semua, serta (d) Hak-hak anak (child rights) yang
menyatakan bahwa semua anak termasuk anak luar biasa (dengan kebutuhan pelayanan pendidikan
khusus) memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai
dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, pendidikan terpadu (integratif) sangat
diperlukan dalam rangka mewujudkan landasan hukum tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Mulyono (1997) berpendapat bahwa kecenderungan
pendidikan di Indonesia adalah integratif, sesuai dengan falsafah Pancasila dan semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Dengan demikian, pendidikan dipandang sebagai upaya sadar untuk mengembangkan
segenap potensi (kognitif, psikomotorik, dan afektif) kemanusiaan setiap peserta didik hingga derajat

66

yang optimal. Kualitas potensi setiap peserta didik memang berbeda-beda, dan hal itu yang
menyebabkan terjadinya perbedaan antara individu yang satu dengan lainnya.
Disadari atau tidak, pada diri peserta didik terdapat salah satu keunggulan dari aspek potensi
tersebut. Hal itu tidak terbatas hanya pada anak normal, melainkan juga pada anak yang memiliki
ketunaan (the hidden potential excellence). Sebagai bukti empirik, Amstrong dalam Mulyono (1997)
memberikan beberapa contoh orang yang menyandang tunarungu memiliki prestasi tingkat nasional
maupun internasional seperti: Samuel Jhonson, Thomas Alva Edison, Granvill Redmond, Marlee
Matlin, Ludwig Van Beethoven, dan Helen Keller.
Di Indonesia, pendidikan untuk anak-anak penyandang ketunaan selama ini diselenggarakan
di 954 sekolah luar biasa (SLB) dan di 94 sekolah terpadu (terbatas pada anak-anak tunanetra).
Sampai dengan tahun 1995/1996 jumlah siswa yang mendapatkan pelayanan pendidikan luar biasa
baru mencapai 43.163 orang anak, 831 orang anak di antaranya belajar di sekolah terpadu. Di antara
831 orang anak tersebut, 758 orang anak belajar di SD, 31 orang anak di SLTP dan 42 orang anak di
SMU. (Puslit, 2000) Jumlah tersebut kurang dari 0,01% dari seluruh populasi anak SD sampai
dengan SM. Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia (2.13%), Inggris (10%),
Canada (5%), dan Amerika Serikat (10%), jumlah itu terlihat sangat kecil. Apabila perkiraan
populasi anak berkelainan di Indonesia berkisar 2%, maka yang memerlukan pelayanan pendidikan
luar biasa (PLB) sekitar 600.000 anak di tingkat SD. Jumlah tersebut belum termasuk anak-anak
yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus, yaitu anak-anak dengan kesulitan belajar baik
umum maupun khusus dan anak-anak berbakat yang selama ini belajar di sekolah reguler.
Secara faktual, sebagian dari anak-anak penyandang ketunaan tersebut pada umumnya
belajar di sekolah luar biasa. Namun, karena keterbatasan pelayanan khusus bagi mereka di sekolah,
maka anak tersebut mempunyai potensi besar untuk mengulang kelas dan akhirnya tidak menutup
kemungkinan putus sekolah. Pada tahun 1997/1998 hasil studi Puslit menunjukkan bahwa 27 % anak
SD mengulang kelas dan 13 % putus sekolah. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami kesulitan
belajar secara umum atau lebih dikenal dengan beban belajar dan atau karena kesulitan belajar
khusus pada bidang-bidang tertentu, seperti kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menghitung
(diskalkulia), dan kesulitan menulis (disgrafia). Selain penyandang ketunaan dan yang berkesulitan
belajar, ada pula yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus seperti mereka yang mempunyai
keunggulan baik secara umum maupun keunggulan di bidang tertentu (gifted and talented).
Sekalipun demikian, kenyataannya anak-anak yang tergolong berbakat sampai saat ini belum
terlayani secara serius dan optimal.

67

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dalam upaya meningkatkan partisipasi anakanak penyandang ketunaan serta untuk mengoptimalkan potensi mereka yang mempunyai kebutuhan
pelayanan pendidikan khusus telah dikembangkan pendidikan terpadu di tingkat sekolah dasar. Pusat
Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas telah berinisiatif melakukan ujicoba terbatas pendidikan
terpadu di beberapa SD Negeri dan Swasta di wilayah Gugus 3 Karangmojo Kecamatan
Karangmodjo, Kabupaten Gunung Kidul sejak tahun ajaran 1999/2000.
B.

Pengertian Pendidikan Terpadu


Secara bebas pengertian pendidikan terpadu adalah suatu sistem pembelajaran di sekolah
reguler di mana peserta didiknya terdiri atas anak normal di sekolah reguler, yang memiliki
ketunaan, dan kesulitan belajar serta dilaksanakan secara terpadu atau lebih dikenal dengan
integrated (Puslit, 1999). Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor:
002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan terpadu ialah model
penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama-sama anak
normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga
pendidikan yang bersangkutan.
Penggunaan istilah integrasi atau terpadu untuk melayani anak luar biasa dalam kehidupan
masyarakat telah dikenal di Indonesia sejak tahun 60-an. Prinsip the least restrictive environment
(lingkungan yang paling tidak terbatas) dan normalization (normalisasi) juga telah dikenal. Bahkan,
jika terdapat penyandang cacat yang tinggal di pantai, pantai-pantai yang disiapkan merupakan
lingkungan yang terintegrasi dengan anak-anak normal. Berkaitan dengan anak penyandang
ketunaan, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72/1991 menyebutkan bahwa kelainan peserta didik
terdiri atas ketunaan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku. Ketunaan fisik meliputi
tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa; sedangkan, ketunaan mental meliputi tunagrahita ringan dan
tunagrahita sedang. Adapun kelainan perilaku meliputi tunalaras.
Secara rinci pengertian dari masing-masing ketunaan adalah: (1) tunagrahita adalah
kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat/buta. Termasuk
tunanetra seseorang yang kurang kuat daya penglihatannya; (2) tunarungu adalah kerusakan atau
cacat pendengaran yang mengakibatkan sesorang tak dapat mendengar atau tuli atau pekak.
Termasuk di sini seseorang yang kurang daya pendengarannya; (3) tunadaksa adalah kelainan atau
gangguan/cacat tubuh, termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan fisik dan kesehatan, seperti
celebral palsy, epilepsi, artritis, diabetis, dan asma; (4) tunagrahita adalah keterbelakangan mental
(termasuk disini keterbelakangan mental ringan dan keterbelakangan mental sedang); dan (5)
68

tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga , sekolah, dan masyarakat (Puslit,
1999).
Istilah lain dalam pendidikan terpadu, yang pada prinsipnya mengarahkan agar anak yang
berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan belajar bersama-sama (dengan anak normal) adalah
inklusi. Pendapat ini dikemukakan oleh Sapon-Shevin dalam O. Neil (1994/1995) yang dikutip Widji
Suparno (1999/2000). Ia menyebutkan bahwa inklusi merupakan sistem pelayanan pendidikan luar
biasa yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa belajar bersama dengan teman-teman
mereka di kelas di sekolah-sekolah yang terdekat.
Stainback dan Stainback dalam Sunardi (1994) menyebutkan bahwa pengertian inklusi
adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah tersebut menyediakan
program pelayanan pendidikan yang diberikan guru sesuai dengan tingkat perkembangan peserta
didik dan layak untuk diberikan pada setiap jenis kebutuhan sesuai kenutuhan. Selanjutnya, Rogers
dan Moore dalam Sunardi (1997) mendefinisikan inklusi sebagai bentuk pelayanan dan bantuan
yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum, yang pada
akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah itu, sehingga tercipta suasana
pembelajaran yang kondusif. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
inklusi merupakan pendidikan terpadu yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki
kebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal lainnya di sekolah umum.
C. Pendidikan Luar Biasa (PLB)
Perkembangan PLB di Indonesia akhir-akhir ini cenderung mengalami perkembangan yang
mengarah pada perubahan sistem yang telah ada. Para ilmuwan PLB menghendaki agar
pembelajaran PLB tidak dilakukan secara terpisah (segregated),melainkan secara
terpadu (integrated) dengan pendidikan umum. Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
memberi peluang kepada semua anak usia sekolah, tanpa kecuali penyandang cacat, untuk
memperoleh pendidikan minimal SLTP.
Dengan demikian, anak penyandang cacat/ketunaan dapat belajar secara bersama-sama atau
terpadu dengan anak normal lainnya pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Pelaksanaan
pembelajaran terpadu khususnya bagi peserta didik penyandang tunanetra telah dimulai dilaksanakan
di beberapa sekolah dasar reguler pada tahun 1987 (Sunardi, 1997). Hal tersebut telah ditetapkan
pula dengan SK Mendikbud No. 0222/0/1979 tentang Penyelenggaraan Perintisan dan
Pengembangan Pendidikan Terpadu bagi Anak Luar Biasa pada sekolah dasar.
69

Secara historis, sebagian besar penyelenggara PLB di negara-negara maju pada pertengahan
tahun 70-an dilaksanakan secara terpisah, dimana sekolah tersebut memberikan pelayanan khusus
bagi sekelompok anak yang memiliki ketunaan tertentu yang sejenis (Foremen Phil, 1996). Ketunaan
dimaksud misalnya tuna penglihatan (tunanetra), tuna pendengaran (tunarungu), tuna bicara
(tunawicara), tuna intelektual (tunagrahita), tuna fisik (tunadaksa) dan sebagainya. Adakalanya,
terutama dalam memberikan pelayanan maupun pendekatan PBM, masing-masing ketunaan tersebut
didasarkan atas hipotesis bahwa kemungkinan besar anak yang memiliki ketunaan akan belajar di
tempat atau lingkungan yang terpisah. Secara teori, untuk menyelenggarakan PLB yang terpisah,
minimal perlu disediakan kelas kecil dan pengajaran serta peralatan yang sesuai dengan
ketunaannya.
Namun, setelah tahun 70-an terjadi perubahan yang kuat ke arah pendidikan anak dengan
kebutuhan khusus di sekolah/kelas reguler. Beberapa istilah yang dipergunakan dalam hubungannya
dengan proses perubahan tersebut adalah integrasi (integration), inklusi (inclusion), mainstreaming,
dan normalisasi (normalization). Masing-masing istilah tersebut memiliki makna yang berbeda,
namun kesemuanya secara tidak langsung menyatakan bahwa peserta didik yang memiliki ketunaan
akan menggunakan sarana-sarana pendidikan yang sama dengan yang digunakan oleh anak normal
lainnya (Foremen Phil, 1996).
D. Implikasi Perkembangan PLB di Negara Maju
Perkembanghan sistem layanan PLB di negara-negara maju sepenuhnya terpisah dan
cenderung mengarah pada layanan terpadu terjadi di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara
Skandinavia. Di Inggris misalnya, menurut laporan Warnock (1978) yang dikutip Sunardi (1997),
terdapat dua alasan pokok sebagai indikator adanya perkembangan sistem layanan dari layanan
terpisah ke layanan terpadu, yaitu: (1) semakin sedikitnya anak luar biasa yang belajar di sekolahsekolah khusus, dan (2) semakin banyak anak penyandang cacat belajar di sekolah reguler. Menurut
Sunardi (1997), dari tahun 1982-1987 anak yang belajar di sekolah khusus turun 8%, sedangkan
anak cacat yang belajar di sekolah reguler naik mencapai 21%. Antara tahun 1987 sampai dengan
1991, jumlah murid di sekolah khusus turun 9%, sedangkan jumlah anak luar biasa di sekolah
reguler meningkat 31%. Puncak perkembangan ke arah integrative terjadi tahun 1991 dengan
diratifikasinya Educational Act (Undang-Undang Pendidikan) yang menjabarkan konvensi Peraturan
Pemerintah yang menegaskan bahwa anak luar biasa mempunyai hak untuk dibantu mencapai
kemandirian dan integrasi sosial secara optimal.

70

Pada waktu konsep mainstreaming dan least restrictive environment disosialisasikan di


negara-negara Skandinavia (1960), PLB di Amerika Serikat masih mencari bentuk. Pada saat itu
efektivitas sistem layanan PLB secara terpisah mulai dipertanyakan. Hal tersebut terjadi karena anak
penyandang cacat mental (tunagrahita) atau gangguan emosi-sosial ringan dan anak berkesulitan
belajar disediakan layanan di tempat khusus, sedangkan para penyandang cacat yang lebih berat
diberikan layanan di panti-panti atau sekolah khusus. Dengan menggunakan analogi pendidikan
terpadu bagi kelompok minoritas di Amerika Serikat (di antaranya penduduk berkulit hitam), para
pakar PLB berpendapat bahwa anak-anak luar biasa pun sebaiknya dididik secara terpadu dengan
teman-teman yang normal. Di samping itu, didapatkan bukti secara empiris bahwa telah banyak
terjadi salah identifikasi anak luar biasa karena intrumen penjaringan yang diskriminatif. Penyediaan
layanan pendidikan secara terpisah ternyata secara ekonomis tidak efisien. Selain itu, anak-anak
yang memiliki ketunaan tertentu yang dididik dalam lingkungan belajar yang terpadu secara
akademik dan sosial ternyata lebih unggul daripada anak-anak yang dididik secara terpisah (Sunardi,
1997).
Berdasarkan hasil implementasi konsep mainstreaming dan least restrictive environment di
negara-negara Skandinavia yang dinyatakan berhasil, Presiden Kennedy menugaskan beberapa pakar
PLB ke negara-negara tersebut untuk mempelajari konsep dimaksud untuk selanjutnya diterapkan di
Amerika Serikat (Sunardi, 1997). Akibat perkembangan konsep tersebut, disusunlah Public Law 94142 yang pada tahun 1975 dikenal dengan Education for All Handicapped Children Act. UndangUndang tersebut menekankan: (1) zero reject, yaitu tidak ada satu sekolah pun yang menolak anak
bersekolah karena cacat; (2) non discriminatory assessment atau tes identifikasi yang tidak
diskriminatif berdasarkan budaya, bahasa, dan suku; (3) individualized educational plan, yaitu
program pembelajaran yang diindividualkan; dan (4) least restrictive environment, yakni pendidikan
pada lingkungan yang paling tidak terbatas (Sunardi, 1997).
Semenjak adanya Undang-Undang tersebut, di Amerika Serikat terjadi banyak perubahan
terhadap layanan PLB. Menurut Shanker (1995) dalam Sunardi (1997), paling tidak ada empat
perkembangan dalam dua dasawarsa, yaitu: Public Law 98-199 tahun 1983, yang mengharuskan
sekolah merencanakan program transisi pada tingkat sekolah lanjutan, mengadakan pelatihan bagi
orangtua serta menyediakan pusat informasi. Layanan PLB diperluas sampai dengan sekolah
lanjutan. Bagi anak yang lebih tinggi usianya diperlukan program transisi dari rumah ke sekolah dan
masyarakat atau sebaliknya. Isi materi kurikulum lebih diperkaya dengan program sosialisasi dan
kemasyarakatan.

71

Public Law 99-457 tahun 1986, yang menekankan layanan khusus bagi penyandang cacat
usia balita merupakan keharusan. Untuk itu, jenis ketunaan setiap anak harus diketahui sedini
mungkin. Oleh karenanya, pemeriksaan secara intensif bagi anak balita harus dilakukan, sehingga
apabila terdapat tanda-tanda atau kecacatan pada balita tersebut, intervensi, dan stimulasi sedini
mungkin dapat mengurangi dampak negatif kecacatannya.
Law 101-479 tahun 1990-1991, yang prinsipnya merupakan penggantian istilah handicap
dengan disabilities. Dengan demikian the Educational for all Handicapped Children Act diganti
dengan theIndividuals with Disabilities Educatiom Act. Konsekuensi selanjutnya, jangkauan layanan
PLB juga diperluas bagi anak penderita autistik dan gegar otak berat. Begitu pula jenis layanan yang
disediakan diperluas dengan layanan rekreasi penyembuhan (therapheuthic recreation), teknologi
bantu (assistive technology), pekerjaan sosial (social work) dan bimbingan rehabilitasi (counceling
rehabilitation).
Keputusan Konggres 1994 memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan Public Law tahun
1990-1991 tentang the Individuals with Disabilities Education Act. Secara mendasar rekomendasi
hasil Konggres tersebut mendorong pelaksanaan integrasi (inclusion) penyandang cacat di kelaskelas biasa di sekolah reguler. Lebih lanjut, beberapa pakar pendukung konsep inclusion berpendapat
bahwa inclusion merupakan satu-satunya alternatif penempatan pendidikan bagi semua anak luar
biasa (Douglas Binklen, Steven J, Tailor, Mara Sapon-Shevin; Margerth C. Wang; Maynard C.
Reynolds, Herbert J. Welberg) dalam Sunardi (1997).
Rekomendasi tersebut didukung oleh organisasi profesi seperti Association for Supervision
and Curriculum Development, National Association of State Boards of Education dan The
Association of Persons with Severe Hadicaps. Sekalipun demikian, beberapa pakar meragukan
konsep tersebut dan masih mendukung penerapan beberapa alternatif penempatan peserta didik
seperti pada konsep-konsep mainstreaming (James Kauffman dan Martha Snell, Douglas Fuchs dan
Lynch Fuchs) dalam Sunardi (1997).
Perbedaan pendapat tersebut mempermasalahkan tingkat efisiensi penerapan konsep baru dan
bukan merupakan prinsip dasar konsep itu. Padahal untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi
perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan konsep tersebut. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa timbulnya keraguan lebih mempertimbangkan hasil pelaksanaan
konsep dan bukan prinsip dasar konsep. Sebagai salah satu indikator yang tidak begitu serius dari
keraguan pandangan terhadap konsep baru itu ternyata organisasi profesi PLB di Amerika Serikat
(The Council for Exceptional Children) tetap mendukung agar anak luar biasa sedapat mungkin
dididik bersama dengan teman sebayanya yang normal. Meskipun demikian, organisasi tersebut
72

menyarankan beberapa alternatif penempatan peserta didik penyandang ketunaan tertentu di sekolah
terpadu (ONeil, 1993, dalam Sunardi, 1997).
E.

Perkembangan PLB di Indonesia

1.

Perkembangan sampai dengan tahun 1984.


Perkembangan PLB di Indonesia secara berangsur-angsur mendapat perhatian dari
pemerintah dan masyarakat, terutama setelah adanya UU Pendidikan Nomor 12 tahun 1954.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Namun
demikian, lembaga yang mengelola, mengawasi, dan mensupervisi mengalami perubahan seiring
dengan perubahan tata usaha negara. Dari tahun 1954 sampai dengan tahun1963 lembaga PLB, yaitu
SLB, dan lembaga pendidikan guru PLB, yaitu SGPLB, dikelola dan diawasi oleh instansi yang
sama, dan organisasi pengawasanya mengalami perkembangan.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa lembaga yang mengawasi PLB adalah sebagai
berikut: (a) Tahun 1954 diawasi oleh seksi Pengajaran Luar Biasa (Bagian dari Balai Pendidikan
Guru yang berkedudukan di Bandung), (b) Tahun 1955 diawasi oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa
yang merupakan bagian dari Jawatan Pengajaran dan berkedudukan di Jakarta, (c) tahun 1957
diawasi oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa yang merupakan bagian dari Jawatan Pendidikan Umum
dan berkedudukan di Jakarta.
Pada tahun 1963 terjadi perubahan struktur organisasi pada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yaitu terjadi pemisahan pengawasan antara SLB dengan SGPLB sebagai berikut: (a)
PLB diawasi oleh Dinas PLB yang merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan Prasekolah (TK),
Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Luar Biasa (SLB), (b) Lembaga Pendidikan Guru PLB dikelola
oleh Dinas Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis yang merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan
Menengah dan Guru, (c) IKIP Bandung mempelopori program Sarjana Muda PLB dengan lebih
menekankan pada upaya menghasilkan tenaga ahli dalam PLB dan dikelola oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.
Pada tahun 1980 terjadi pemisahan pengelolaan PLB dan LPKPLB, dimana PLB dikelola
oleh Sub Direktorat Pembinaan SLB di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Ditjen Dikdasmen,
sedangkan lembaga pendidikan guru SLB dikelola oleh Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga
Teknis, Ditjen Dikdasmen, dan program Sarjana PLB tetap dikelola oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Sampai dengan tahun 1984 telah didirikan sekitar 400 SLB, dan sebagian besar
dikelola oleh organisasi swasta berbentuk Yayasan. SLB diklasifikasikan menjadi enam kelompok
berdasarkan jenis ketunaan, yakni: SLB-A untuk menyandang tunanetra, SLB-B, untuk penyandang
73

tunarungu dan wicara, SLB-C untuk penyandang tunagrahita, SLB-D untuk penyandang tunadaksa,
SLB-E untuk penyandang tunalaras, SLB-G untuk penyandang tunaganda. Semua SLB
pembelajarannya dilaksanakan secara terpisah.
2.

Perkembangan Setelah Tahun 1984


Tahun 1984 memiliki arti penting bagi perkembangan PLB di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena adanya kemauan politik pemerintah (political will) untuk menyelenggarakan Program Wajib
Belajar 6 Tahun. Ini berarti bahwa semua anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikannya
minimal sampai dengan pendidikan sekolah dasar (SD).
Program tersebut ditindaklanjuti dengan perintisan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 tahun yang perintisannya dimulai tahun 1989 dan diimplementasikan pada tahun 1994. Dengan
demikian, semua anak usia sekolah tanpa kecuali diharapkan memperoleh kesempatan mengikuti
pendidikan sampai dengan SLTP. Gerakan wajib belajar tersebut secara langsung mempunyai
dampak positif, sebab anak penyandang ketunaan tertentu tidak semuanya dapat tertampung di SLB
yang ada, sehingga harus isalurkan/ditampung di sekolah umum atau kelompok belajar. Oleh arena
jumlah SLB yang ada sangat terbatas dan letak sebagian besar SLB berada di perkotaan, serta
sebagian besar SLB dikelola oleh swasta, maka kondisi tersebut mendorong pemerintah (Depdikbud)
untuk mencari upaya pemecahannya dengan beberapa alternatif, yaitu: Pengenalan bentuk pelayanan
PLB yang baru melalui SDLB,. dilakukan melalui dana proyek Inpres tahun 1984 dan telah didirikan
208 buah SLB di 200 kabupaten/ kotamadya yang sama sekali belum memiliki SLB.
Ujicoba di beberapa SD umum/biasa untuk menerima anak yang memiliki ketunaan tertentu
(tunanetra) dengan syarat anak yang bersangkutan memiliki kemampuan akademik yang normal.
Sekolah yang demikian selanjutnya disebut sekolah dasar (SD) Terpadu. Pendirian SLB Pembina di
berbagai daerah di Indonesia sekaligus mempunyai tujuan untuk penelitian, pelatihan, dan
pendidikan dalam bidang PLB.
Menurut Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Ditgutentis) (1991) yang dikutip
Sunardi (1997), sampai dengan tahun 1990, jumlah SLB di Indonesia mencapai 525 dengan rincian
502 SLB dikelola oleh Yayasan Swasta dan 23 SLB negeri dikelola oleh Depdikbud. Jumlah tersebut
telah mencakup penyelenggara PLB di tingkat SLTP dan SM. Lebih lanjut pada tahun 1994
diberlakukan kebijakan Depdikbud tentang penggunaan kurikulum 1994, khusus untuk PLB.
Kebijakan tersebut telah memilah-milah jenjang PLB yaitu: SDLB, SLTPLB, dan SMLB. Dengan
berlakunya kebijakan itu, ada kecenderungan anak penyandang ketunaan yang memiliki kemampuan
akademik yang normal didorong untuk berintegrasi dengan SD, SLTP, dan SMU. Tingkat SLP dan
74

SMU memberi peluang lebih pada anak yang memiliki ketunaan untuk berkembang lebih baik,
mengingat kurikulum jenjang tersebut memberikan banyak program keterampilan. Di samping itu,
jenjang pendidikan calon guru PLB yang dianggap layak dari 2 tahun setelah SM diubah menjadi
program sarjana di IKIP/FKIP Universitas.
Dampak dari kebijakan tersebut adalah dialihfungsikannya beberapa SGPLB ke SLTP dan
SM, sedangkan lainnya dialihkan ke jurusan PLB pada IKIP/FKIP universitas terdekat. Selanjutnya,
kurikulum program sarjana PLB disempurnakan dan tingkatkan untuk menghasilkan calon guru PLB
yang sesuai dengan tuntutan kemajuan iptek.
Nampaknya perubahan PLB di Indonesia tidak begitu pesat seperti di negara maju lainnya
dan bentuk layanannya masih cenderung terpisah. Walaupun telah dikembangkan layanan baru
dengan cara mengintegrasikan ke sekolah umum/biasa, tetapi hasilnya masih belum
menggembirakan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang berbagai permasalahan dalam layanan PLB
di sekolah terpadu dan upaya pemecahannya, seluruh aspek/komponen yang mempengaruhi
pendidikan terpadu PLB perlu diteliti/dikaji secara hati-hati dan cermat. Sistem layanan PLB yang
terbaik hingga kini masih diperdebatkan. Sebagai contoh, di kalangan pendukung konsep inclusion
menghindari pemakaian istilah luar biasa, sementara kelompok yang lain tetap menginginkan
pemakaian istilah tersebut. Apa pun yang masih menjadi polemik di kalangan para ahli PLB,
nampaknya semuanya mengarah pada perbaikan dan atau pengembangan PLB sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ditunjang oleh berbagai aturan/kebijakan dan kebutuhan masa kini dan mendatang.
3.

Komponen Pendidikan Terpadu


Komponen pendidikan terpadu pada prinsipnya tidak berbeda dengan komponen pendidikan
lainnya yang terdiri atas masukan (input), unsur penunjang, proses KBM, dan keluaran/hasil
(output). Komponen-komponen tersebut merupakan lingkup yang dipertimbangkan dalam
pengembangan sekolah terpadu
Aspek masukan (input) dalam hal ini adalah peserta didik yang memiliki ketunaan serta
memiliki kemampuan akademik yang normal sehingga dapat mengikuti pembelajaran di sekolah
biasa. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam aspek masukan adalah: (a) cara mengidentifikasi,
(b) cara menempatkan, (c) cara melayani, (d) cara mengukur kemampuan akademik serta latar
belakang pengalaman/ pendidikan anak sebelum mendaftar di sekolah terpadu. Dalam hal
penempatan, Alan Bowd (1988) mengklasifikasikan dalam 8 kelompok yaitu: (1) kelas reguler; (2)
kelas berkala (part-time class) dengan pembelajaran khusus kadang-kadang di kelas reguler; (3)

75

kelas khusus sesuai dengan ketunaan; (4) kelas kombinasi; (5) sekolah hari-hari khusus; (6) berada
di sekolah khusus (special residential school); (7) di rumah sakit; dan (8) homebound.
Aspek proses dalam pelaksanaan pendidikan terdapat beberapa komponen yang saling
mempengaruhi adalah sebagai berikut. Tenaga Kependidikan dalam hal ini dibatasi pada tenaga
pendidik yaitu guru kelas dan guru pembimbing khusus (GPK). Dalam melaksanakan proses belajarmengajar, guru sebagai tenaga pendidik memiliki arti yang sangat penting dalam keberhasilan
pendidikan. Mantan Presiden Suharto, pernah dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa peranan
guru merupakan titik sentral dan strategis dalam kegiatan pendidikan. Di samping itu guru yang
diperlukan bukan hanya guru yang cerdas dan mampu mengajar, tetapi guru yang memiliki karakter
yang dapat menjadi teladan bagi peserta didik (Pidato Pelantikan Anggota BPPN masa bakti 19931998). Dengan kata lain, kualitas dan kinerja guru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses
pendidikan.
Kualitas guru tidak terlepas dari latar belakang pendidikan, kompetensi, dan pengalaman
mengajar serta kinerja dalam melaksanakan tugas pokoknya. Selanjutnya, ketersediaan guru (kelas
dan pembimbing khusus) yang memadai juga dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan
pembelajaran guru pembibing khusus adalah guru khusus yang bertugas di sekolah umum,
memberikan bimbingan dan pelayanan kepada anak cacat yang mengalami kesulitan dalam
mengikuti pendidikan di sekolah terpadu. Guru pembimbing khusus minimal lulusan SGPLB dan
atau sederajat.
Sarana prasarana pendidikan sebagai alat bantu mengajar merupakan salah satu aspek yang
dapat mempermudah/mempercepat pembelajaran suatu konsep/topik tertentu. Sarana-prasarana
pendidikan dapat berupa gedung, alat peraga praktik, peralatan praktik, bahan praktik, buku teks,
buku penunjang serta media pendidikan. Sarana pendidikan yang telah dimiliki sekolah serta
kelengkapannya, khususnya bagi peserta didik penyandang ketunaan tertentu dapat mempengaruhi
kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam
pelaksanaan pendidikan terpadu adalah sarana dan prasarana yang ada pada lembaga pendidikan
tersebut, kecuali alat-alat khusus bagi penyandang ketunaan tertentu.
Kurikulum sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, idealnya
kurikulum disusun secara luwes/fleksibel, yang memperhatikan tahap perkembangan peserta didik
dan kesesuaiannya dengan lingkungan dan kebutuhan, sehingga benar-benar dapat memenuhi
kebutuhan minimal peserta didik. Oleh karena itu, penerapan kurikulum dalam pendidikan terpadu,
perlu memperhatikan jenis dan tingkat ketunaan, kemampuan individu, serta kebutuhan khusus agar
anak dapat berkembang secara wajar. Kurikulum yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
76

pendidikan terpadu adalah kurikulum yang berlaku pada sekolah yang bersangkutan. Dengan kondisi
seperti itu, apakah kurikulum yang berlaku dalam sistem pendidikan terpadu bersifat luwes? Hal ini
tentunya disesuaikan dengan tingkat ketunaan dan kesulitan peserta didik serta peran GPK sangat
menentukan.
Metode sebagai cara untuk mencapai tujuan pembelajaran, seharusnya telah diketahui dan
dikuasai oleh guru kelas/guru pembimbing khusus. Namun demikian, apakah setiap guru
menggunakan metode mengajar yang bervariasi sesuai dengan topik dan atau tingkat kesukaran?
Disadari sepenuhnya bahwa idealnya seorang guru kelas maupun guru pembimbing khusus dapat
mengajar dengan berbagai metode, untuk peserta didik yang normal maupun memiliki ketunaan.
Akan tetapi asumsi yang kuat cenderung menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin dapat
dilaksanakan oleh guru kelas tanpa diberi pelatihan khusus dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena
itu, di setiap sekolah terpadu diperlukan guru pembimbing khusus. Untuk itu, berbagai metode
mengajar yang diterapkan oleh guru kelas dan Guru Pembimbing Khusus dalam melaksanakan
pendidikan terpadu perlu diteliti lebih lanjut.
Penilaian merupakan satu kesatuan yang utuh dengan proses belajar mengajar. Oleh karena
itu, penilaian diperlukan untuk memperoleh informasi tentang kegiatan dan kemajuan belajar peserta
didik, dan secara tidak langsung dapat menggambarkan pelaksanaan kurikulum dan kinerja guru.
Menurut Ngalim Purwanto (183) hasil penilaian dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Oleh
karena itu, dalam menyusun tes hasil belajar perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tes harus
dapat mengukur hasil belajar sesuai dengan tujuan instruksional; (b) dibuat serepresentatif mungkin ;
(c) dibuat dengan cermat dan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri; serta (d) soal tes harus dijamin
validitas, reabilitas, objektivitas, serta kepraktisannya. Penilaian terhadap hasil belajar anak dengan
kebutuhan pendidikan khusus pada pendidikan terpadu dilaksanakan oleh guru kelas dan atau guru
mata pelajaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada sekolah yang bersangkutan. Namun
demikian, dengan adanya otonomi pendidikan, maka ada kemungkinan masing-masing sekolah
memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Artinya, aspek keluwesan sangat dipertimbangkan daripada
mengikuti aturan secara kaku. Dengan demikian, murid yang berkelainan akan diperlakukan sama
dengan murid yang tidak menyandang kelainan dan atau ada perbedaan perlakuan. Hal ini sangat
dimungkinkan bagi penyandang ketunaan dan kesulitan belajar sesuai dengan karakter tingkat
ketunaan dan kesulitan belajar.
Manajemen merupakan faktor yang menentukan dalam mengatur dan mempengaruhi
mekanisme proses pembelajaran di sekolah. Oleh karenanya, manajemen sekolah penyelenggaraan
pendidikan terpadu perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut terutama dalam aspek-aspek
77

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan demikian, gambaran umum manajemen yang
cocok untuk diterapkan dan dikembangkan di sekolah terpadu dapat ditentukan sesuai dengan
potensi sumber daya pendidikan yang ada.
Aspek penunjang pelaksanaan SD terpadu pada dasarnya secara legal dilindungi oleh UUD
1945 pasal 31 ayat 1 dimana setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran.
Secara operasional, UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5,
menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal
ini berarti bahwa anak berkesulitan membaca, menulis, dan menghitung maupun penyandang
ketunaan lainnya seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Di samping itu, Surat Keputusan Mendikbud
Nomor 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 dan No.0222/0/1979 secara resmi mendukung pelaksanaan
pendidikan terpadu bagi anak berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan lainnya di sekolah
umum dan dilayani secara terpadu. Dengan demikian, warga negara Indonesia yang memiliki
kelainan dan atau kesulitan belajar dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler sesuai dengan
tingkat ketunaan dan kesulitannya (pendidikan terpadu).
Aspek luaran (output) meliputi kualitas dan kuantitas peserta didik menamatkan pendidikan
pada jenjang sekolah dasar. Kualitas luaran pendidikan terpadu diharapkan dapat setara dengan
prestasi peserta didik normal dalam mata pelajaran-mata pelajaran tertentu sesuai dengan potensi
masing-masing individu. Sedangkan secara kuantitas, diharapkan luaran anak berkesulitan belajar
dan penyandang ketunaan secara ringan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi. Dengan demikian, luaran pendidikan terpadu diharapkan dapat sejajar dan mampu bersaing
dengan peserta didik yang normal.
4.

Pendidikan Terpadu Binaan Puslitjak


Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (Puslitjak) Balitbang Depdiknas telah melakukan
ujicoba terbatas pendidikan terpadu di sekolah dasar sejak tahun anggaran 1999/2000. Ujicoba
tersebut dilaksanakan di Gugus 2 Sukoliman, Kecamatan Karangmodjo yang meliputi SDN
Karangmodjo 3, SDN Sukoliman 2, SDN Gedongan 1, SDN Gedongan 2, SDN Pangkah, SDN
Karangwetan dan SD Muhammadiyah Sumberrejo. Peran Puslitjak dalam ujicoba dimaksud adalah
sebagai fasilitator dengan memanfaatkan berbagai narasumber dari instansi yang terkait. Model SD
terpadu yang dikembangkan diharapkan dapat diterapkan di sekolah dasar pada umumnya, terutama
yang dalam lingkungan radius tertentu terdapat SLB, sehingga lebih terbantu dari aspek penyediaan
guru pembimbing khusus.
78

Narasumber dalam pemberian pelatihan terdiri dari unsur Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen,
Dosen PLB Universitas Sebelas Maret-Surakarta, Guru SLB Ngawis Gunung Kidul, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat Yogyakarta. Pelatihan yang diberikan meliputi cara-cara: (a) mengidentifikasi
anak berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan, (b) melayani anak berkesulitan belajar dan (c)
melayani anak penyandang ketunaan. Sasaran pelatihan adalah guru kelas dan kepala sekolah pada
masing-masing SD serta penilik sekolah yang termasuk dalam gugus 3 Karangmojo, Kecamatan
Karangmodjo. Di samping itu, staf Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kantor Dinas Propinsi
yang relevan dengan pendidikan SD/SDLB.
Pemberian dana dari Puslitjak bersifat pendukung dalam penyelenggaraan pelatihan dan
keperluan lain yang sifatnya insidentil. Dengan demikian, apabila ada keperluan dana tambahan, hal
tersebut merupakan tanggung jawab Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Karangmodjo dan Dinas
Pendidikan Kabupaten setempat. Dengan kata lain, apabila diperlukan dana untuk keperluan KBM
dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan terpadu, pihak daerah (Pemda) setempat berkewajiban
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Tenaga kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan terpadu terdiri atas guru kelas, guru
mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan
terpadu, masing-masing guru telah memiliki pembagian tugas seperti berikut.
Guru kelas, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif sehingga
peserta didik yang membutuhkan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang belajar
di kelas atau di sekolah terpadu bersama-sama dengan peserta didik lainnya yang normal, (b)
melaksanakan proses belajar-mengajar untuk semua mata pelajaran di kelas yang menjadi tanggung
jawabnya (kecuali Penjaskes dan pendidikan Agama), (c) memberikan program remidial atau
pengayaan pada anak yang memiliki kebutuhan pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhan masingmasing, (d) menyusun Satuan Pelajaran (Satpel) dan melaksanakannya bersama-sama dengan guru
pembimbing khusus.
Guru mata pelajaran, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim belajar yang kondusif
sehingga peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang
di kelas, (b) bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan proses belajar-mengajar mata
pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, (c) memberikan program remidial atau pengayaan pada
anak yang memerlukan pelajanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan mereka, (d)
menyusun Satuan Pelajaran dan melaksanakannya bersama-sama dengan guru pembimbing.
Guru pembimbing khusus, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim belajar yang kondusif
sehingga peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang
79

di kelas, (b) memberi bimbingan langsung kepada setiap siswa yang memerlukan pelayanan
pendidikan khusus serta mengoptimalkan potensinya, bimbingan dapat dilakukan di dalam sekolah
maupun di luar sekolah, (c) memberi bantuan kepada guru kelas/mata pelajaran agar dapat
memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus yang
menjadi tanggung jawabnya, (d) melaksanakan administrasi murid sesuai dengan bidang tugasnya.
Sarana Prasarana pendidikan yang diperlukan dalam pembelajaran sekolah terpadu pada
umumnya sama dengan kebutuhan sekolah umum lainnya. Dengan demikian, mereka dapat
menggunakan sarana dan prasarana yang ada di sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan
terpadu. Namun demikian, dalam kasus-kasus tertentu (seperti penyandang ketunaan) perlu
dilengkapi alat bantu belajar-mengajar tersendiri. Misalnya, alat bantu dengar, alat ukur
pendengaran, dan kamus sistem isyarat bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu; kacamata, teleskop,
riglet, dan huruf braile bagi anak tunanetra; alat rampp dan kursi roda bagi anak tunadaksa; dan
sebagainya. Keperluan alat tersebut tidak harus disediakan oleh sekolah, namun dapat meminjam
dari SLB yang terdekat dan atau pinjam ke instansi lain yang memilikinya, seperti LSM atau
Yayasan Penyelenggara Anak Cacat. Dalam hal ini dibutuhkan ketangguhan managerial skills kepala
sekolah dan guru dalam mewujudkan kerja sama secara intensif dengan pihak luar.
Kewenangan sekolah ujicoba diberi tugas dan wewenang antara lain untuk (a)
mengidentifikasi anak yang mempunyai kesulitan belajar (membaca, menulis dan menghitung) dan
anak yang mempunyai ketunaan ringan di setiap kelas, (b) mendata jumlah peserta didik yang
memerlukan pelayanan khusus, (c) melaporkan hasil pendataan kepada kepala sekolah, (d)
berkonsultasi dengan Guru Pembimbing Khusus, (e) memberi pelayanan seoptimal mungkin
terhadap anak yang memerlukan pelayanan khusus, (e) melakukan evaluasi kemajuan peserta didik,
(f) melakukan kerjasama dengan pihak terkait, seperti dokter, LSM yang relevan, SLB, Kantor Dinas
Kabupaten, Propinsi dan Pemda setempat, (g) melakukan kontak dengan orang tua siswa yang
memiliki pelayanan khusus secara berkelanjutan.
Pengembangan pendidikan luar biasa di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan
perubahan yang positif. Sebagai salah satu indikator perubahan tersebut dapat dilihat pada jumlah
lembaga penyelenggara SLB baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Pola
pembelajaran dari terpisah (segregated) menjadi terpadu (integrated), dimana pelaksanaan wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun memberi peluang bahwa anak yang memiliki kesulitan belajar dan
penyandang ketunaan dapat bersekolah di sekolah reguler. Hal ini ditunjang oleh SK Mendikbud
nomor 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 tentang model pendidikan terpadu dan nomor 0222/0/1979 tentang

80

penyelenggaraan perintisan sekolah terpadu di sekolah dasar. Pendidikan terpadu di SD


diselenggarakan dan dibina oleh Direktorat PLB.
Puslitjak Balitbang Depdiknas juga merintis dengan pola pendekatan lain dengan pendekatan
yang biasanya dilakukan oleh sebuah "proyek" pada umumnya (semuanya serba lengkap dibantu
pusat). Perbedaan yang menonjol adalah sifat pembinaan, dimana Puslitjak hanya berfungsi sebagai
fasilitator di bidang pelatihan guru, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Kebutuhan lain yang
diperlukan dalam pengembangan model SD terpadu dilakukan dengan cara memanfaatkan potensi
sumber daya manusia dan sumber daya pendidikan yang ada di daerah setempat. Replikasi ke SD
lain akan dilakukan dengan cara imbas, dimana guru, kepala sekolah dan penilik sekolah yang telah
diberi bekal pelatihan tentang pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki kesulitan
belajar dan penyandang ketunaan mengimbaskan ke sekolah lain.
Agar pengembangan ini dapat direplikasikan ke SD lainnya sesuai dengan tujuan
pengembangan model ini, maka beberapa hal perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Cetak biru
(blue print) model SD terpadu perlu disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan
kelayakan program dan disosialisasikan ke daerah. Untuk itu perlu dilakukan jaringan kerjasama (net
working) secara intensif dengan pihak terkait (Pemda, LSM, Kantor Cabang, Dinas
Kabupaten/Propinsi, SLB, Depsos, dll) untuk menentukan pembagian tugas masing-masing sesuai
dengan profesi, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Di samping itu, dalam menyelenggarakan
pelatihan hendaknya diciptakan suatu metode pelatihan yang bervariasi, misalnya pengenalan
pola/sistem pendidikan terpadu dengan melihat video sekolah terpadu, kunjungan ke SLB terdekat,
diskusi kelompok, dan rencana aksi (action plan) setelah pelatihan. Seyogyanya pihak Direktorat
PLB perlu menindak lanjuti hasil kemajuan sementara hasil ujicoba SD terpadu yang dikembangkan
oleh Puslitjak dalam upaya pembinaan lebih lanjut.
F.

Program Kemitraan
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron antara program
pendidikan di sekolah dengan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung di dunia
kerja/industri. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di SMK perlu dijalin
kerjasama/program kemitraan antara sekolah dengan DU/DI dan memerlukan partisipasi masyarakat
secara umum;
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, telah dibentuk Majelis Pendidikan Kejuruan tingkat
Nasional (MPKN), tingkat Propinsi (MPKP) dan tingkat sekolah (Majelis Sekolah/MS) yang
81

keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur yang terkait antara lain dari DU/DI, Asosiasi Profesi,
Pemda, Kadinda, Dikmenjur (Pusat dan Daerah) serta unsur sekolah dan masyarakat setempat.
Melalui MPK ini telah terbentuk pula Kelompok Bidang Keahlian (KBK) untuk 89 Bidang Keahlian
Profesi, yang bertugas melakukan analisis jabatan keahlian dan kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan DU/DI;
Perkembangan pelaksanaan PSG di SMK selama kurun waktu lima tahun ini telah
menunjukkan angka yang cukup menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan data
siswa (SMK Negeri dan Swasta) yang melaksanakan praktik kerja industri dalam rangka PSG dan
industri yang berpartisipasi sebagai berikut :

TAHUN

JML.

JML.

PELA

SISW

INDUSTR

JARA

I YANG

PRA

BERPART

KTIK

ISIPASI

KERJ
A
DIIN
DUS
TRI
1994/199

36.700

6.078

62.487

11.214

409.734

50.603

410.378

61.590

590.000

72.868

5
1995/199
6
1996/199
7
1997/199
8
1998/199
9
Peluang Kerjasama Industri Dengan SMK
82

Melalui jaringan kemitraan telah membuka peluang bagi industri untuk bekerjasama dengan
SMK, dan dari kerjasama tersebut pihak dunia usaha/industri dapat mengambil manfaat antara lain :
1.

Dapat mendeteksi secara dini potensi siswa SMK, untuk menjamin perolehan tenaga yang sesuai
dengan keperluan usahanya;

2.

Dapat memanfaatkan fasilitas dan tenaga kependidikan yang tersedia di SMK untuk kegiatan
pelatihan khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan;

3.

Karakteristik Kurikulum SMK yang luwes dan adaptif, memberikan peluang untuk melayani
pelatihan yang bersifat spesifik (kompetensi khusus) sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pihak
DU/DI ;

4.

Dapat memanfaatkan peralatan praktik baik yang berskala produksi (production unit)maupun
berskala pelatihan (training Unit), untuk mengembangkan produksi barang dan jasa, sehingga
mampu meningkatkan efisiensi di perusahaannya.

5.

Penempatan siswa prakerin di lini produksi juga sangat membantu perusahaan dalam melakukan
efisiensi, karena pengeluaran untuk tenaga kerja dapat ditekan secara optimal.

G.

Keuntungan Program PSG Bagi PEMDA


Sedangkan untuk masyarakat luas dalam hal ini PEMDA setempat, keuntungan yang dapat
diperoleh dari program kemitraan ini, antara lain :

1.

Melalui program prakerin mampu memberikan bekal kemampuan profesional bagi tamatan SMK,
sehingga dapat memberi sumbangan bagi perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja, yang pada
gilirannya dapat lebih meningkatkan produksi yang bermutu. Hal tersebut akan berpengaruh
langsung dalam peningkatan pendapatan daerah setempat;

2.

Program PSG merupakan salah satu upaya untuk menyiapkan tenaga terampil yang mampu
bersaing dan memiliki jiwa kemandirian yang tinggi, hal ini praktis akan membuka peluang untuk
mengurangi angka pengangguran di wilayah setempat;

3.

Pengembangan industri yang merupakan bagian integral dari program pengembangan wilayah
/PEMDA, idealnya harus dirancang secara terpadu dengan program pengembangan SDM yang
sebagian dapat disiapkan melalui program pelatihan di SMK setempat.

83

BAB VIII
PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU
A.

Rasional
Memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan, para peramal masa

depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala
aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih
rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia
pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang
sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan
transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara
pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar
mereka.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk
mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan
sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan
dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum
dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum
1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998)
mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya
kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi
oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan
dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996)
Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang
keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar
Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan
profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan
materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan
yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
84

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah
berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu
mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.
B.

Pendidikan Abad Pengetahuan


Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi

landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi
pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang
dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka
pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke
bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke
penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek
kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt
(1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara
bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4)
dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi
canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan
kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di
desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai
dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu
menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan
nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di
Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi
dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli
yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang
keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan
bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi
pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya
hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan
karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai
lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

85

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas
belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi
tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika,
dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar
sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam
bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad
pengetahuan.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional
dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya
secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf,
kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang
tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam
nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin,
profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan
kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi
muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang
mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan
pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan
paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari
belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat
konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik
(akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke
kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke
penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.
Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan
yang bersifat kompetitif. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan Praktek pembelajaran yang terjadi
sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad
pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999)
86

mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan
campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri
sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut ini;

Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan

Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing,
konsultan

3. Belajar diarahkan oleh kuri-

2. Guru sebagai kawan belajar

kulum.

3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.

4. Belajar dijadualkan secara ketat

4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu

dgn
waktu Yang terbatas

yang
terbatas fleksibel sesuai keperluan

5. Terutama didasarkan pd fakta

5. Terutama berdasarkan proyek dan

6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip

masalah

dan

6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan

survei

survei

7. Pengulangan dan latihan

7. Penyelidikan dan perancangan

8. Aturan dan prosedur

8. Penemuan dan penciptaan

9. Kompetitif

9. Colaboratif

10. Berfokus pada kelas

10. Berfokus pada masyarakat

11. Hasilnya ditentukan sblmnya

11. Hasilnya terbuka

12. Mengikuti norma

12. Keanekaragaman yang kreatif

13. Komputer sbg subyek belajar

13. Komputer sebagai peralatan semua

14. Presentasi dgn media statis

jenis

15. Komunikasi sebatas ruang kls


16. Tes diukur dengan norma

belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh
dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasehat,
kawan sebaya dan diri sendiri.
87

Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;


1.

Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan
prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek
dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.

2.

Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak
reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.

3.

Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad
Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh
praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad
Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara
metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi
pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang
dibanding metode-metode baru.

4.

Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan
prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan
difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke
peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajarsendiri.

5.

Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan
modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa
dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan
katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang
membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan
lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
Yang paling penting dalam pengembangan profesionalisme adalah pengembangan paradigma baru

pembelajaran yang mampu memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik
pada preservice dan inservice guru-guru. Di banyak hal, paradigma ini menggambarkan redefinisi profesi
pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk
merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap
berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip
pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad
pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai
tantangan ini.
88

Pengembangan Profesionalisme Guru.Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada


penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997)
mengemukakan bahwa profesionalis-me bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan
yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
C. Standar Pengembangan Profesionalisme
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di
Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar
sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar
pengembangan profesi guru yaitu;
1.

Standar pengembangan profesi A ; adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode
inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasanpenjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;

2.

Standar pengembangan profesi B; adalah pengembangan profesi untuk guru sains


memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan
pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga
tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari
konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap
pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu
siswa belajar;

3.

Standar pengembangan profesi C; adalah pengembangan profesi untuk para guru sains
memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang
baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang
masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;

4.

Standar pengembangan profesi D; adalah program-program profesi untuk guru sainsharus koheren
(berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatankesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di

Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar
profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal
89

Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional guru
dituntut memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru
menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3)
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan
bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar
ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di
abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan
sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi
di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat
Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang
berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi
guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan
birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan
profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan
berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains
dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan
satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan
pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan
dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6)
peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran
serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan
penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar
melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan
yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya
pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa
pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang
verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang
90

invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu
sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor,
evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan
peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga
membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu
peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang
berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek
intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus
mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap
eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang
tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra
pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang
cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul
yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan
seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita
umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia
paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk
atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi.
Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi
pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu,
ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru
yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya
sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak
terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual
korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil
kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji
berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya professional-isme guru
disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
91

disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar
profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya
Perguruan Tinggi /LPTK sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya
kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4)
kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti
sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1)
masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru
terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih
setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya
kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat
tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai
organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan
PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat
meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai
mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan
rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi
guru.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan
profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih
tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma
II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun
demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya
untuk melakukan perubahan. Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah
adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang
telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru,
misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk

92

berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya
(Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan
prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja,
penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan
kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang
termasuk guru. Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab
bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau
yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru
dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru.
Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau
guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru
sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan
profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban
kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika
Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman
kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua berubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi
guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
Kesimpulan dan Saran. Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan
bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat
penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional
dengan bernuansa pendidikan. Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh
kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan
kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi
memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan
yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru

93

merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam
hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
BAB IX
IMPLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN INTERNET
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA
A.

Pendahuluan
Dimana saja kita membaca, saat ini, sulit untuk menghindari dari informasi atau tulisan tentang

teknologi informasi (information technology, IT) dan Internet. Hal ini tidak saja terjadi di negara Amerika, akan
tetapi di Indonesia juga. Surat kabar dan majalah dipenuhi dengan cerita sukes dan gagal dari individu atau
perusahaan yang merangkul IT dan Internet. Tulisan singkat ini akan sedikit mengulas implikasi IT terhadap
dunia Pendidikan di Indonesia. Sebelum mebahas lebih lanjut, mari kita bahas dahulu apa yang dimaksud
dengan IT dan Internet. Teknologi Informasi adalah sama dengan teknologi lainnya, hanya informasi merupakan
komoditas yang diolah dengan teknologi tersebut. Dalam hal ini, teknologi mengandung konotasi memiliki nilai
ekonomi. Teknologi pengolah informasi ini memang memiliki nilai jual, seperti contohnya teknologi database,
dan security. Kesemuanya dapat dijual. Bentuk dari teknologi adalah kumpulan pengetahuan (knowledge) yang
diimplementasikan dalam tumpukan kertas (stacked of papers), atau sekarang dalam bentuk CDROM. Tumpukan kertas inilah yang anda dapatkan jika anda membeli sebuah teknologi.
Apa memang benar ? informasi? merupakan sebuah komoditas? Jawaban singkat adalah ya. Sebagai
contoh, jika seorang pilang mengetahui bahwa besok nilai tukar rupiah akan jatuh dengan drastis, maka ia akan
bergegas ke bank untuk menukarkan rupiah dengan dollar. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa ada berita
tentang terungkapnya skandal pejabat negara , maka kita akan segera mencari tahu tentang berita tersebut.
Contoh-contoh di atas menujukkan bahwa informasi telah menjadi komoditas yang berharga. Itulah sebabnya
kita memiliki surat kabar, majalah, tabloid dan sekarang berubah menjadi situs web seperti Kompas.com,
Pikiran-Rakyat.com, Detik.com, dan masih banyak situs web lainnya.Kesemuannya mengandalkan informasi
sebagai komoditas.
B.

Implikasi Perkembangan IT dan Internet


Komputer telah mulai menjadi suatu hal yang biasa di Indonesia. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap

kantor kabupaten telah terdapat komputer. Bahkan pada daerah-daerah tertentu komputer telah dipakai sampai
pada taraf kecamatan atau bahkan sampai kalurahan. Demikian pula halnya dengan keluarga. Jumlah keluarga
yang mempunyai komputer menunjukkan peningkatan sebagai hasil kemajuan dari pembangunan ekonomi. Ini

94

berarti bahwa jumlah masyarakat yang mempunyai akses terhadap komputer meningkat dari waktu ke waktu.
Lebih jauh ini berarti bahwa program pendidikan berbasis komputer dapat dikembangkan untuk kelompok ini.
Teknologi lain yang telah diterapkan di Indonesia yaitu jaringan komputer Internet. Jaringan Internet
adalah jaringan komputer yang mampu menghubungkan komputer di seluruh dunia sehingga informasi,
berbagai jenis dan dalam berbagai bentuk seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dipakai secara bersamasama. Telah banyak perusahaan swasta yang menyediakan jasa sambungan ke jaringan Internet. Perusahaan ini
juga telah mempunyai cabang di kota-kota kecil selain kota besarnya.
Sebagai contoh adalah PT Pos Indonesia. Pada Divisi Teknologi dan Sistem Informasi PT Pos Indonesia,
saat ini juga telah menjadi salah satu penyedia jasa sambungan ke Internet (Wasantara-Net) dan telah membuka
cabang di setiap ibukota propinsi (Wasantara-Net, 1996). Pengembangan Nusantara-21 dimulai pada tahun 1996
dan target service points pada tahun 2001 cukup memberikan tantangan bagi dunia pengajaran, pendidikan dan
latihan. Target tersebut antara lain bahwa pada tahun 2001, 70 persen dari SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi
di seluruh Nusantara harus bisa menjadi service points. Target yang lain adalah pada tahun 2001 itu juga seluruh
rumah sakit di Indonesia akan mempunyai hubungan dengan rumah sakit di negara lain untuk pertukaran
informasi, riset gabungan dan diskusi ilmiah. Pada tahun 2001 itu pula direncanakan akan ada pusat informasi
di 27 kota propinsi dan 250 kota kabupaten untuk menyebarluaskan program keluarga sejahtera dan keluarga
berencana.
Arti dari penerapan IT oleh Deparpostel adalah semakin besarnya peluang masyarakat untuk mengakses
komputer dan jaringan Internet beserta kandungan informasi yang ada di dalamnya. Walaupun belum mampu
melayani seluruh rakyat Indonesia, tetapi prosentasi masyarakat yang akan terlayani akan jauh lebih besar dari
keadaan sekarang ini. Tuntutan untuk menyediakan layanan bagi seluruh rakyat secara serentak tentunya juga
tidak realistis. Namun, bagi dunia pendidikan hal ini berarti tersedianya saluran atau sarana yang dapat dipakai
untuk menyiarkan program pendidikan. Karena sifat Internet yang dapat dihubungi setiap saat, artinya
masyarakat dapat memanfaatkan program-program pendidikan yang disediakan di jaringan Internet kapan saja
sesuai dengan waktu luang mereka sehingga kendala ruang dan waktu yang mereka hadapi untuk mencari
sumber belajar dapat teratasi.Tulisan ini hanya membahas implikasi dalam Dunia Pendidikan saja. Seperti kita
ketahui bahwa objek-objek tersebut menjadi komoditas yang cukup strategis didalam penerapan IT.
C.

Teknologi Informasi dan Pendidikan Indonesia


Dunia pendidikan di Indonesia dalam waktu dekat akan mendapatkan bahan obrolan baru, dengan

digulirkannya rencana penerapan e-Education pada Pendidikan di Indonesia. Bukan tidak mungkin hal ini
merupakan jawaban yang ditunggu-tunggu oleh berbagai pihak yang memendam keprihatinan dan kegelisahan
terhadap sistem pendidikan nasional Indonesia.
95

Dunia Pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti
dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan
urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.
Berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan telah dilakukan selama ini, melibatkan baik pemerintah
maupun pihak swasta, sekalipun bersifat sektoral dan tidak pernah menjadi isu nasional. Dimulai dengan
berbagai kebijakan dan program pemerintah yang bercirikan pemerataan kesempatan pendidikan (broad-based),
sampai dengan pendirian sekolah-sekolah unggulan oleh pihak swasta yang mengutamakan kualitas; dengan
pijakan yang beragam pula, mulai dari kewajiban konstitusional dan moral untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, sampai dengan mempersiapkan bangsa menuju tatanan global yang semakin kompetitif dan
mementingkan kualitas.
Apabila kita amati dengan seksama, apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan pada dunia
pendidikan , mungkin jauh lebih sulit dari menggantang asap. Berbagai hal dapat saja dipersalahkan sebagai
pokok masalah yang menghambat kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Namun demikian, proses belajar
mengajar konvensional yang mengandalkan tatap muka antara guru dan murid, dosen dengan mahasiswa,
pelatih dengan peserta latihan, bagaimanapun merupakan sasaran empuk yang paling mudah dibidik oleh suarasuara kritis yang menghendaki peningkatan kualitas pada dunia pendidikan.Masalah ini pula kiranya yang
dibidik oleh para penggagas IT untuk Pendidikan di Indonesia. Dalam dunia modern yang hiruk pikuk di mana
segala sesuatunya bergerak dengan cepat dan harus diselesaikan dalam waktu ang nyaris bersamaan, tatap muka
di ruang kelas dipandang tidak efisien, terlalu membuang-buang waktu, dan pada gilirannya ternyata juga tidak
efektif. Dengan perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, multimedia, dan informasi;
mendengarkan ceramah, mencatat di atas kertas sudah tentu ketinggalan jaman.
Bila hal seperti itu sudah merupakan kelaziman di Amerika Serikat pada dasawarsa yang telah lalu,
maka Indonesia baru mulai mempelajari berbagai kemungkinan pengembangan dan penerapan IT untuk
pendidikan memasuki milenium ketiga ini. Baru-baru ini Telkom, Indosat, dan Institut Teknologi Bandung
(ITB) menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan IT untuk pendidikan di Indonesia, dimulai dengan
proyek-proyek percontohan.Telkom menyatakan akan terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas
infrastruktur jaringan telekomunikasi yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung (backbone) bagi
pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan serta implementasi-implementasi lainnya di Indonesia.
Bahkan, saat ini Telkom mulai mengembangkan teknologi yang memanfaatkan ISDN (Integrated
Sevices Digital Network) untuk memfasilitasi penyelenggaraan konferensi jarak jauh (teleconference) sebagai
salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh.Banyak hal dapat diajukan untuk membenarkan pengembangan dan
penerapan IT untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia.
Kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyaknya pulau yang terpencar-pencar dan kontur permukaan
96

buminya yang seringkali tidak bersahabat, biasanya diajukan untuk menjagokan pengembangan dan penerapan
IT untuk pendidikan yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya sesegera mungkin di
Indonesia.
Namun demikian, upaya pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan di Indonesia juga
mensyaratkan pengkondisian di berbagai sektor lain yang saling terkait dengan operasional pendidikan itu
sendiri. Kesiapan pemerintah dipertanyakan dalam hal ini, apakah infrastruktur hukum yang melandasi
operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan
IT untuk pendidikan ini.Permasalahan kedua, pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia
dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan, dihadapkan baik kepada pihak
pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah, bagaimana ia
dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan.
Permasalahan ketiga, keempat, kelima? dan seterusnya, kiranya harus mendapatkan porsi pembahasan
tersendiri. Tersendiri, karena berbicara mengenai apa yang hakiki, yang esensial dari sesuatu masalah biasanya
memakan waktu dan energi yang tidak sedikit. Namun demikian, pembicaraan yang panjang, melelahkan, dan
tak akan ada habis-habisnya ini toh harus dilakukan juga; karena berbicara mengenai teknologi apa pun, ketiga
komponen esensial darinya piranti (equipment), cara penggunaan, dan tentu saja manusianya harus dipenuhi
semua.
Berbagai perkembangan teknologi yang disaksikan sejarah, dari mulai kapak perimbas sampai Internet,
menjalani suatu proses rumit yang secara ringkas menempuh langkah-langkah mengetahui apa (yang menjadi)
kebutuhan (know-what), mengapa (ada) kebutuhan (know-why), bagaimana (memenuhi) kebutuhan (knowhow).
1.

Implikasi di bidang Pendidikan


Sejarah IT dan Internet tidak dapat dilepaskan dari bidang pendidikan. Internet di Indonesia mulai

tumbuh dilingkungan akademis (di UI dan ITB), meskipun cerita yang seru justru muncul di bidang bisnis.
Mungkin perlu diperbanyak cerita tentang manfaat Internet bagi bidang pendidikan. Adanya Internet membuka
sumber informasi yang tadinya susah diakses. Akses terhadap sumber informasi bukan menjadi masalah lagi.
Perpustakaan merupakan salah satu sumber informasi yang mahal harganya. (Berapa banyak perpustakaan di
Indonesia, dan bagaimana kualitasnya?.) Adanya Internet kemungkinkan seseorang di Indonesia untuk
mengakses perpustakaan di Amerika Serikat berupa Digital Library. Sudah banyak cerita tentang pertolongan
Internet dalam penelitian, tugas akhir. Tukar menukar informasi atau tanya jawab dengan pakar dapat dilakukan
melalui Internet. Tanpa adanya Internet banyak tugas akhir dan thesis yang mungkin membutuhkan waktu yang
lebih banyak untuk diselesaikan.
97

Permasalahan kedua, pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang
merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan, dihadapkan baik kepada pihak pemerintah maupun
pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah, bagaimana ia dapat menciptakan
iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang endidikan.Permasalahan ketiga,
keempat, kelima? dan seterusnya, kiranya harus mendapatkan porsi pembahasan tersendiri. Tersendiri, karena
berbicara mengenai apa yang hakiki, yang esensial dari sesuatu masalah biasanya memakan waktu dan energi
yang tidak sedikit. Namun demikian, pembicaraan yang panjang, melelahkan, dan tak akan ada habis-habisnya
ini toh harus dilakukan juga; karena berbicara mengenai teknologi apa pun, ketiga komponen esensial darinya
piranti (equipment), cara penggunaan, dan tentu saja manusianya harus dipenuhi semua. Berbagai
perkembangan teknologi yang disaksikan sejarah, dari mulai kapak perimbas sampai Internet, menjalani suatu
proses rumit yang secara ringkas menempuh langkah-langkah mengetahui apa (yang menjadi) kebutuhan
(know-what), mengapa (ada) kebutuhan (know-why), bagaimana (memenuhi) kebutuhan (know-how).
Kerjasama antar pakar dan juga dengan mahasiswa yang lletaknya berjauhan secara fisik dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Dahulu, seseorang harus berkelana atau berjalan jauh untuk menemui seorang
pakar untuk mendiskusikan sebuah masalah. Saat ini hal ini dapat dilakukan dari rumah dengan mengirimkan
email. Makalah dan penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui Internet, via email,
ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharring dan mailing list. Bayangkan apabila seorang mahasiswa
di Sulawesi dapat berdiskusi masalah teknologi komputer dengan seoran pakar di universitas terkemuka di
pulau Jawa. Mahasiswa dimanapun di Indonesia dapat mengakses pakar atau dosen yang terbaik
di Indonesia dan bahkan di dunia. Batasan geografis bukan menjadi masalah lagi.
Sharring information juga sangat dibutuhkan dalam bidang penelitian agar penelitian tidak berulang
(reinvent the wheel). Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat digunakan
bersama-sama sehingga mempercepat proses pengembangan ilmu dan teknologi.Virtual university merupakan
sebuah aplikasi baru bagi Internet. Virtual university memiliki karakteristik yang scalable, yaitu dapat
menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang banyak. Jika pendidikan hanya dilakukan dalam kelas biasa,
berapa jumlah orang yang dapat ikut serta dalam satu kelas? Jumlah peserta mungkin hanya dapat diisi 40 - 50
orang. Virtual university dapat diakses oleh siapa saja, darimana saja.
Pesatnya perkembangan IT, khususnya internet, kemungkinkan pengembangan layanan informasi yang
lebih baik dalam suatu institusi pendidikan. Dilingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan IT lainnya yaitu
diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-University). Pengembangan e-University
bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidika, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan
informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik didalam maupun diluar perguruan tinggi tersebut melalui

98

internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu dengan menyediakan
materi kuliah secara online dan materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.
Khusus untuk dunia pendidikan secara umum di indonesia ada satu layanan situs internet yang
menyajikan kegiatan sistem pendidikan di indonesia. situs ini dimaksudkan untuk merangkum informasi yang
berhubungan dengan perkembangan pendidikan yang terjadi dan untuk menyajikan sumber umum serta jaringan
komunikasi (forum) bagi administrator sekolah, para pendidik dan para peminat lainnya. Tujuan utama dari
situs ini adalah sebagai wadah untuk saling berhubungan yang dapat menampung semua sektor utama
pendidikan.
Disamping lingkungan pendidikan, misalnya pada kegiatan penelitian kita dapat memanfaatkan internet
guna mencari bahan atau pun data yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut melalui mesin pencari pada internet.
Situs tersebut sangat berguna pada saat kita membutuhkan artikel, jurnal ataupun referensi yang dibutuhkan.
Inisiaif-inisiatif penggunaan IT dan Internet di luar institusi pendidikan formal tetapi masih berkaitan
dengan lingkungan pendidikan di Indonesia sudah mulai bermunculan. Salah satu inisiatif yang sekarang sudah
ada adalah situs penyelenggara ?Komunitas Sekolah Indonesia?. Situs yang menyelenggarakan kegiatan
tersebut contohnya plasa.com.
Bagi Indonesia, manfaat-manfaat yang disebutkan di atas sudah dapat menjadi alasan yang kuat untuk
menjadikan Internet sebagai infrastruktur bidang pendidikan. Untuk merangkumkan manfaat Internet bagi
bidang pendidikan di Indonesia:
1.

Akses ke perpustakaan;

2.

Akses ke pakar;

3.

Melaksanakan kegiatan kuliah secara online;

4.

Menyediakan layanan informasi akademik suatu institusi


pendidikan;

5.

Menyediakan fasilitas mesin pencari data;

6.

Meyediakan fasilitas diskusi;

7.

Menyediakan fasilitas direktori alumni dan sekolah;

8.

Menyediakan fasilitas kerjasama;

9.

Dan lain - lain.

2. Kendala di Indonesia
Bangsa Indonesia sejauh ini selalu saja terlambat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan umat
manusia, sehingga mereka tidak tahu bahwa jangkauan komunikasi yang jauh, media yang mampu menampung
segala bentuk informasi, daninformasi yang beraneka ragam adalah hal-hal penting yang dibutuhkan manusia
jawaban atas pertanyaan ?apa?. Akhirnya mereka pun tidak tahu bahwa ternyata perkembangan teknologi
99

sampai saat terakhir seperti pemancar radio dan televisi, telepon, dan sebagainya belum memadai untuk
memenuhi kebutuhan - kebutuhan itu jawaban atas pertanyaan ?mengapa?. Terlebih lagi, mereka tentu tidak
tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, yang mana adalah Internet dan sebagainya itu
jawaban atas pertanyaan ?bagaimana?.
Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya ingin kita gunakan secepatnya. Namun
ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal
mungkin. Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan sumber daya manusia, proses transformasi
teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. Jaringan telepon masih
belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal.
Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih
dan semakin murah.Penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke
Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar
jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung Internet.
Mengingat sangat drasitisnya perkembangan IT, apabila kita tidak awas terhadap berbagai pengaruh tadi,
bukan tidak mungkin kita terperangkap dalam perubahan-perubahan tersebut, alias sekadar jadi "budak"
teknologi. Segala sesuatu dalam hidup kemudian diperhamba oleh teknologi, bahkan bisa mengurangi interaksi
dan sosialisasi dengan individu-individu lain. Dalam teknologi Internet dan radio digital, misalnya, pada
kenyataannya telah melahirkan sebuah komunitas baru yang virtual (maya alias tidak nyata). Pasti ada
perubahan perilaku pada mereka yang menjadi pecandu Internet. Mereka berkomunikasi di sebuah dunia lain,
mungkin tanpa pernah mengenal atau bertatap langsung dengan rekannya di dunia tersebut.Kendati demikian,
berbagai kenyataan tersebut hendaknya tidak dilihat dengan penuh kecemasan. Sebab yang terpenting adalah
menumbuhkan kesadaran mengenai fenomena ini untuk kemudian mencoba mengambil sejumlah peluang yang
tersaji di hadapan mata. Misalnya bagaimana memanfaatkan Internet atau radio digital untuk membanjirinya
dengan informasi-informasi mengenai implementasi dibidang pendidikan pada khususnya Perkembangan IT
yang-antara lain-melahirkan media baru, seperti radio Internet, bisa jadi secara sepintas akan dilihat sebagai
ancaman. "Misalnya ancaman serbuan yang dahsyat dari nilai-nilai budaya asing yang disebarluaskan lewat
media-media tadi. Namun, dengan kreativitas, ancaman ini justru bisa diubah menjadi peluang. Dengan
memanfaatkan keglobalan mediamedia baru tersebut, kita malah bisa menawarkan nilai-nilai keindonesiaan
dalam percaturan informasi ini.
Teknologi-teknologi baru ini juga membawa dampak dalam etika jurnalistik dapat dicontohkan,
penggunaan berbagai peralatan canggih untuk melakukan peliputan memungkinkan memperoleh bahan berita
tanpa diketahui oleh subyek berita. Akan tetapi, kenyataan ini bisa memunculkan dilema, yakni apakah kita
harus mendahulukan bahan berita yang mesti didapat, ataukah kita menjunjung tinggi etika. Khususnya didunia
100

pendidikan, perlunya bimbingan tenaga edukatif sebagai pengontrol langsung dilingkungan akademik dan orang
tua dilingkungan rumah untuk bersama-sama memberikan penjelasan secara gamblang/tidak ditutup-tutupi
kepada peserta didik. Sehingga dengan demikian mereka tidak mencari sendiri informasi tersebut, yang
mungkin akan menjerumuskan mereka ke hal-hal yang tidak baik. Dilain pihak bahwa lingkungan akademik
dapat memproteksi keberadaan situs-situs yang tidak dikehendaki melalui suatu program yang sudah banyak
disediakan di pasaran.Tulisan yang singkat ini semoga dapat memberikan tambahan wawasan bagi para
pembaca sekalian, bahwa IT dan Internet sudah tidak dapat kita hindari. Bahkan, semestinya IT dan Internet kita
gunakan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia.
BAB X
REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA
Krisis multidimensi telah membawa bangsa Indonesiaterpuruk dalam berbagai aspek
kehidupan. Dan sudah kurang lebih 5 tahun sejak krisis melanda, negara-negara tetangga yang juga
terkena krisis seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tampak sudah bangkit. Lain halnya dengan
Indonesia, walaupun sudah terlihat tanda-tanda perbaikan akan tetapi bangsa kita ini ternyata sangat
lambat dan bahkan sulit keluar dari krisis.
Kesalahan pemerintah masa lalu, dimana pembangunan hanya ditekankan pada pembangunan
ber-sifat fisik dan agak mengabaikan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), telah
memberikan konsekuensinya. Indonesia lebih sulit untuk keluar dari krisis dibandingkan negara lain
yang mengalaminya juga.
A.

Arti Penting Pendidikan


Banyak ahli telah mengungkap-kan pentingnya pengembangan SDM, khususnya melalui
peranan pen-didikan, dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut teori human capitalpendidikan
memberi pengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan pro-duktivitas
kerja. Theodore W. Schultz pada tahun 1961 mengungkapkan bahwa Pendidikan merupakan salah
satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia, selain kesehatan dan migrasi. Robert M. Solow
pemenang Nobel bidang ekonomi pada tahun 1987 menekankan peranan ilmu pengetahuan dan
investasi sumber daya manusia dalam memacupertumbuhan ekonomi (Wahyudi, 2000). Dan dari
teori Solow yang kemudian dikembangkan menjadi teori baru pertumbuhan ekonomi (The New
Growth Theory) tersebut dapat disimpulkan bahwa pen-didikan merupakan dasar pertum-buhan
ekonomi. Ke-cenderungan juga mem-perlihatkan pada abad ke-21 akan muncul ekonomi baru yang
berbasiskan ilmu pengetahuan.

101

Seperti yang telah di-ungkapkan Schutz dan Solow serta ahli-ahli ekonomi lain bahwa
pendidikan merupakan faktor penting dalam pertum-buhan ekonomi melalui peningkatan kualitas
SDM. Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya
sekarang tak lepas dari peranan pen-didikan. Sistem pen-didikan Jepang yang baik telah
menghasilkan manusia-manusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan
dalamPerang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang
mengalah-kannya dalam perang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan
Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini,
dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya.
Keadaan di Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber
daya alam (SDA) yang relatif lebih banyak, negara kita ternyata jauh tertinggal.
Arif Rahman, pakar pendidikan, mengungkapkan bahwa keadaan kita seperti sekarang ini
(rendahnya kualitas SDM) merupakan konsekuensi dari terabaikannya sektor pendidikan dalam
pembangunan. Ini terlihat dari rendahnya proporsi APBN untuk sektor pendidikan. Anggaran
pendidikan kita jauh ter-tinggal dari Malaysia dan Singapura yang tak kurang 20% dari APBN-nya
dialokasikan untuk pendidikan.
Beberapa waktu yang lalu, banyak kalangan memprihatinkan akan kualitas SDM kita karena
dianggap rendah dan tertinggal. Rendahnya kualitas SDM tersebut kemudian dihubung-hubungkan
dengan lemah-nya sistem pendidikan nasional. Bahkan, Anwar Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR
RI) mengatakan bahwa saat ini dunia pendidikan di Indonesia memang sedang dalam bahaya.
Sebenarnya bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia ini sehingga banyak kalangan berpendapat demikian?.
B.

Kondisi Pendidikan Indonesia


Saat ini dunia pendidikan Indonesia mengalami beberapa masalah yang perlu segera
dibenahi. Masalah-masalah tersebut meliputi: pemerataan, mutu, relevansi, danefisiensi.
Keberhasilan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut amat menentukan masa depan bangsa kita.
Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun
2000 menunjukkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai
94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
102

Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan
usia dini masih sangat terbatas.

Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan

menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut.
Masalah kedua dalam duniapendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi
pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi
untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki
dunia kerja.
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan.
Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA(Internasional Association
for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan
membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk
siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran. Hal
ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain
itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA,
1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia
berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi
menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat
dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia(Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan
103

penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 padatahun 1996, ke-99
tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999. Menurut survei Political and Economic
Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara
di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama
Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di
dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih
rendah juga. Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat
pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48%
berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pen-didikan tetapi, pengajaran merupa-kan titik sentral pendidikan dankualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi
tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru. Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru
Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai
seorang supir. Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin(Wakil ketua Komisi VI DPRRI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang
mengung-kapkan bahwa dalam hal pe-ningkatan kesejahteraan guru hen-daknya jangan hanya dilihat
dari satu sisi saja. Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru
sebagai profesi. Katanya, Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu
memang tingkat kesejah-teraannya harus dinaikkan. Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua
orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang/penghasilan saja. Ada juga orang yang
menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.

104

Akan tetapi, terlepas dari pan-dangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono,
sebagai manusia biasa guru tentunya memer-lukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara
layak. Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi.
Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak. Dan
dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru. Hal ini
berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa men-datang.
Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional.
Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata,
terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat
rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana
pendidikan yang tidak fleksibel. berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pendidikan terhadap APBN. Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3
persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang
menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing. Padahal berdasarkan
penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran
sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pendidikan. Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari
GDP.
C. Pembaharuan Sistem Pendidikan
Buruknya kondisi pendidikan memunculkan usulan pembaharuan sistem pendidikan
nasional. Di-samping itu pembaharuan sistem pendidikan dilakukan karena krisis ekonomi. Hal
tersebut diungkapkan oleh Boediono, Penyesuaian sistem pendidikan dilakukan karena adanya
krisis ekonomi. Menurutnya krisis ekonomi pada tahun 1998 telah menyebabkan perubahan
struktur dalam masyarakat. Karenanya, di-butuhkan suatu penyesuaian sistem pendidikan untuk
menanggapi tun-tutan perubahan tersebut, tambah Boediono.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dibuat sebelum
masa reformasi, tidak sesuai demokrasi, otonomi, dan desentralisasi dalam kehidupan ber-bangsa
dan bernegara. Hubungan-nya dengan pendidikan, ketiga prinsip tersebut akan memberikan dampak
yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Sehingga perlu ada
revisi untuk undang-undang ini.

105

Oleh karena itu DPR melalui Komisi VI yang menangani bidangPendidikan menyerap
aspirasi masyarakat untuk merevisi Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pem-bahasan Revisi
Rancangan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) ini dibantu oleh
Komite Reformasi Pendidikan (KRP) Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendi-dikan
Nasional. Dan mengutip keterangan dari Anwar Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI) bahwa
setelah melewati seluruh mekanisme yang ada diharapkan pada bulan Agustus 2002 RUU Sisdiknas
ini sudah dapat diundangkan.
Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
yang menerapkan sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerin-tahan dimana pendidikan
termasuk dalam bidang yang didesentralisasi-kan ke pemerintah kota/kabupaten, pembaharuan
sistem pendidikan harus segera juga dilakukan. Sistem pendidikan yang lama disusun berdasarkan
prinsip manajemenpendidikan yang sentralistik, tidak sesuai lagi dengan prinsip otonomi pendidikan
sebagai implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah. De-ngan kata lain sistem desentralisasi
pendidikan harus segera dilak-sanakan.
Menurut Boediono, yang nantinya akan didesentralisasikan dalam pendidikan adalah
pengelolaan pendidikan. Pengelolaan pendidikan SD, SMP dan SMU/SMK nantinya akan
diserahkan pada Kabupaten/Kotamadya. Akan tetapi, tambah-nya, hal tersebut juga disesuaikan
dengan kemampuan daerahnya masing-masing. Jadi tidak ada ke-bijakan one fit for all, katanya.
Mengenai desentralisasi pendi-dikan ini, diusulkan sebuah model desentralisasi pendidikan
yang dikenal sebagai Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). MBS
mendesentralisasikan kekuasa-an/kewenangan, pengetahuan, in-formasi, dan penghargaan kepada
sekolah. Melalui MBS sekolah me-miliki kewenangan dalam pengam-bilan keputusan yang terkait
lang-sung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Tujuan MBS adalah me-ningkatkan kinerja
sekolah dan terutama kinerja belajar siswa menjadi lebih baik. Kalau kita menengok pengalaman
reformasi pendidikan di banyak negara yang dimulai pada dekade 1980-an. Banyak sekolah di
Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pen-didikan dengan
model MBS.
Salah satu hal yang banyak mendapat kritikan dari masyarakat tentang pendidikan nasional
adalah mengenai kurikulum. Kurikulum yang ada selama ini dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan jaman. Dan dalam pemba-haruan sistem pendidikan nasional,
kurikulum juga masuk dalam daftar. Mengenai kurikulum Boediono (Kepala Balitbang Depdiknas)
mengatakan bahwa dalam desen-tralisasi pendidikan nanti kurikulum bukan merupakan salah satu
hal yang didesentralisasikan. Dalam sistem pendidikan yang baru nanti akan diterapkan Kurikulum
106

Berbasis Kompetensi, lanjutnya. Dalam kuri-kulum tersebut diidentifikasikan kemampuan


dasar (basic competencies) yang harus dikuasai siswa untuk mata pelajaran dan jenjang tertentu.
Dengan demikian kemampuan se-bagai hasil belajar yang akan dicapai siswa pada jenjang SD,
SLTP, dan SMU dapat ditentukan dengan standar yang jelas. Disamping itu nantinya materi
pengajaran dapat dikembangkan sesuai dengan ke-mampuan siswa di masing-masing daerah dan
disesuaikan dengan kondisi lokal.
Mengenai kualitas guru dalam sistem pendidikan yang baru akan lebih diperhatikan. Dan
menyangkut hal ini akan dilakukan peningkatan kesejahteraan guru. Selain itu dilak-sanakan
kualifikasi minimum untuk guru/dosen. Dalam draf RUU Sis-diknas (pasal 34) tercantum ketentuan tentang kualifikasi minimum untuk tenaga pendidikan, yaitu: (1) untuk guru pada pendidikan
dasar dan menengah adalah lulusan S1-Kependidikan atau lulusan S1-Non-Kependidikan plus Akta
IV, (2) untuk guru pada pendidikan kejuruan di tengah menengah adalah satu tingkat lebih tinggi dari
kompetensi tamatan yang dihasilkannya plus Akta IV, (3) untuk dosen program diploma 1 sampai 3
adalah lulusan S1 atau yang setara, (4) untuk dosen program diploma 4 dan S1 adalah lulusan S2,
dalam disiplin ilmu yang diterap-kannya, (5) untuk dosen programpascasarjana adalah lulusan S3
atau guru besar. Dengan peningkatan kesejahteraan guru dan kualifikasi minimum bagi tenaga
pendidikan diharapkan kualitas pengajaran guru/dosen dapat meningkat.
Mengenai keluhan tentang minimnya pendanaan untuk pen-didikan, dalam RUU Sisdinas
coba diatasi dengan pencantuman keten-tuan tentang pengalokasian dana pemerintah untuk
pendidikan yaitu sebesar 20% dari APBN, 20% dari APBD Propinsi dan 20% dari APBD
Kota/Kabupaten semuanya di luar gaji guru. Diharapkan dengan pen-cantuman tersebut
pembangunan pendidikan Indonesia akan semakin membaik.
Kondisi pendidikan yang seperti sekarang ini, memang pembaha-ruan/reformasi pendidikan
mutlak harus dilakukan agar bangsa kita tidak semakin tertinggal. Gerakan reformasi hendaknya
tidak hanya dalam hal politik dan ekonomi saja. Reformasi bidang sosial dan budaya juga harus
dilakukan dan dalam hal ini pendidikan memainkan peranan yang penting. Reformasi pendidikan
merupakan panacea (obat mujarab) bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis.
AnwarArifin mengungkap-kan bahwa dalam hal perbaikan dunia pendidikan ini pemerintah
harus mempunyai political will. Tanpa itu akan sangat sulit, tambahnya. Selain itu yang tak kalah
pentingnya adalah adanya peran serta masyarakat dan seluruh stake-holderpendidikan untuk
menyukseskan sistem pen-didikan yang baru nanti karena sistem pendidikan yang sebagai-manapun
bagusnya tidak akan sukses tanpa peran serta dari mereka, termasuk kita semua.

107

Diharapkan dengan reformasi pendidikan Indonesia akan terbentuk suatu sistem pendidikan
yang baik, yang akan menciptakan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Dengan SDM yang
berkualitas tinggi tersebut bangsa kita dijamin akan makmur dan sejahtera karena kemampuannya
mengolah sumber daya alam yang berlimpah. Dan dalam jangka pendek diharapkan Indonesia akan
cepat bangkit dari krisis. Oleh karena itu pemerintah harus melaksanakan reformasi pendidikan
sekarang juga walaupun hal itu terasa amat terlambat. Terlambat masih lebih baik daripada tidak
sama sekali. Dan sekarang kita tinggal menunggu apakah itu akan dilakukan atau sebaliknya dan
bangsa kita menjadi semakin bodoh dan miskin.
D.

Tantangan Masa Depan Profesi Keguruan


Dalam satu dasawarsa terakhir ini semakin terasa benar tantangan dan problematik bagi
profesi keguruan. Di tengah kian pesatnya perkembangan iptek yang berimplikasi pada perubahan
tatanan dan nilai-nilai kehidupan, profesi keguruan tampak terpuruk ke dalam berbagai situasi yang
dilematis. Kini, sosok guru bukan lagi sebagai figur satu-satunya sumber informasi bagi para anak
didik. Hadirnya beragam perangkat teknologi informasi yang semakin canggih seolah-olah telah
mengesampingkan peran sentral guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Masa yang disebutsebut sebagai "era internet" telah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin
mengakses setiap perkembangan terbaru dibidang iptek, dengan segala bias jangkauannya yang
seakan telah "menelan" dunia.
Pada satu sisi, perkembangan dunia iptek yang demikian mengagumkan itu memang telah
membawa manfaat luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang
sebelumnya menuntut kemampuan fisik cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh
perangkat mesin-mesin otomatis. Sistem kerja robotis telah mengalihfungsikan tenaga otot manusia
dengan pembesaran dan percepatan yang menakjubkan.
Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi baru aneka kapasitas komputer,
seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan
aktivitas manusia. Ringkas kata, kemajuan iptek yang telah kita capai sekarang benar-benar telah
diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat
manusia. Namun, pada sisi lain, pesatnya kemajuan iptek ternyata juga cukup banyak membawa
pengaruh negatif. Semakin kuatnya gejala "dehumanisasi", kita tergerusnya nilai-nilai kemanusiaan
dewasa ini, merupakan salah satu oleh-oleh yang dibawa kemajuan iptek tersebut. Bahkan, sampai
tataran tertentu, dampak negatif dari peradaban yang tinggi itu dapat melahirkan kecenderungan
pengingkaran manusia sebagai homo-religousus atau makhluk teomorfis.
108

Potret buram semacam itu sudah tentu akan menjadi ancaman serius bagi peradaban umat
manusia apabila kemajuan iptek yang luar biasa itu tidak diimbangi dengan pembinaan imtak atau
mental-spiritual yang memadai. Sebab, dari situ akan lahir sosok-sosok manusia baru yang
kehilangan rasa kemanusiaan dan keilahiannya. Sebagaimana kita mafhum, alat-alat teknologi
canggih memang tidak punya hati dan akal --dua komponen yang merupakan tipikal kemanusiaan.
Seberapa canggih pun sebuah perangkat komputer, sudah tentu tidak akan pernah mampu
menandingi kepekaan emosional manusia. Maka, dalam posisi inidalah peran guru masih dipandang
relevan dan bahkan sangat signifikan di tengah pesatnya kemajuan iptek sekarang ini.
Dalam konteks keindonesiaan, dunia pendidikan kita kini sudah dihadapkan pada tingkat
kerawanan moral-religius yang memprihatinkan. Indikasinya dapat kita saksikan lewat berita-berita
media massa sepanjang sepuluh tahun terakhir ini; makin seringnya terjadi tawuran antarpelajar, kian
menipisnya rasa hormat anak terhadap guru dan orang tua, terjadinya kasus-kasus kriminal dan
narkoba yang melibatkan pelajar atau mahasiswa, serta semakin mengecilnya rasa keimanan dan
ketakwaan pada banyak generasi muda kita dewasa ini. Potret buram semacam itu sudah tentu akan
lebih terasa pada dunia pendidikan di kota-kota besar karena memang gejala semacam itu terutama
tumbuh subur di lingkungan masyarakat perkotaan. Oleh karenanya pula, pada sekolah-sekolah di
wilayah perkotaan--sekolah-sekolah lanjutan pada khususnya --tantangan profesi keguruan akan
terasa lebih berat dibandingkan rekan-rekan mereka yang bertugas di sekitar kota-kota kecil dan
pedesaan.
Kenyataan di atas tidak mengandaikan bahwa guru-guru di pedesaan sama sekali lepas dari
problem dan tantangan. Abad globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya sistem informasi
melalui berbagai jaringan komunikasi berteknologi tinggi merupakan keniscayaan yang sulit
diramalkan. Gejala-gejala kerawan sosial yang kini pada umumnya baru melanda komunitas
masyarakat urban di kota-kota besar bukan mustahil akan segera mewabah pula hingga ke pelosokpelosok desa. Semakin memasyarakatnya televisi, parabola, laser disc, video compact disc, bahkan
internet, sudah tentu akan membawa pengaruh yang sama terhadap dinamika masyarakat pedesaan.
Jadi, sungguh bijaksana apabila kalangan tenaga kependidikan di wilayah pedesaan atau kota-kota
kecil banyak belajar dari rekan-rekan mereka yang sudah lebih dahulu merasakannya guna
menentukan langkah-langkah antisipatif dimasa datang, mumpung belum terlambat.
Memang, pola kehidupan masyarakat kota dan desa dalam dikotomi sosiologis disebut the
two cultures -- merupakan variabel yang secara signifikan memberi warna tersendiri bagi peradaban
suatu bangsa. Namun, sebagaimana telah disinggung, arus globalisasi yang kini kian nyata kita
rasakan pengaruhnya hingga ke seluruh pranata sosial dan strata kehidupan masyarakat, kiranya
109

dikotomo kota-kota sudah kian mengabur. Lahirnya berbagai alat komunikasi canggih yang kian
memasyarakat itu, mau tidak mau, juga melahirkan keserbamungkinan -- dampak positif maupun
negatifnya. Dalam konteks ini, peran profesi keguruan tetap diyakini banyak pakar masih
memberikan andil yang tak tertandingi, terutama dalam kapasitas mereka sebagai salah satu
komponen "penjaga" moral-value and standard, di samping orang tua dan masyarakat pada
umumnya. Namun, perlu kita sayangkan, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kedua komponen
lain itu tampak memposisikan sosok guru sebagai "figur bayaran". Dalam arti, mereka seolah lepas
dari tugas-tugas kependidikan dan menyerahkan masalah tersebut sepenuhnya kepada para guru atau
sekolah. Buktinya, kebanyakan mereka kurang peduli terhadap kehidupan sekolah dan beban berat
para guru dengan segala sisi manusiawinya.
Sebagai bandingan berharga, menarik untuk dipelajari kiat Amerika Serikat dalam upaya
pembinaan mutu guru-gurunya sehubungan dengan kemajuan iptek dan abad globalisasi. Pada 29
April 1996, Presiden Bill Clinton telah meluncurkan program "Blue Ribbon Schools" untuk
mencetak sosok-sosok pendidik masa depan yang disebut The 21st Century Teacher, Guru abad ke21. Caranya, dari sekitar tiga juta guru di seluruh negara adidaya itu dipilih seratus ribu guru terbaik
yang akan membagikan kelebihannya kepada rekan-rekan seprofesi lainnya melalui jaringan
internet. Setiap guru sudah tentu memiliki akses ke internet dan mampunyai peluang yang sama
untuk ikut berdiskusi atau sumbang pikiran. Barangkali, program "Sekolah Pita Biru" yang telah
digerakkkan Amerika Serikat itu kini juga sudah mulai dicobaterapkan oleh negara-negara maju
lainnya, kendatipun belum menjadikannya sebagai suatu gerakan.
Sayang, kondisi semacam itu tampaknya masih niscaya bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Di tengah krisis ekonomi dan kekacauan politik negara kita yang kian rawan belakangan ini, agak
sulit kita berharap dapat melakukan gerakan serupa dengan kiat Amerika Serikat itu. Dengan kondisi
kesejahteraan guru yang pas-pasan -- dalam kamus sosialogi mungkin masih tergolong dalam "laow
income earners" --bagaimana mungkin barang luks semacam komputer bisa terjamah secara merata
di kalangan guru kita, apalagi yang dipelosok-pelosok desa? Namun, tanpa mengurangi rasa hormat
kepada mereka, toh kita masih boleh memanfaatkan dana "utang luar negeri" untuk terus
mentradisikan wahana dialog semacam PKG, KKG, KKKS, atau MGMP. Sebab, esensinya sama
dan memang cuma itu yang dapat kita lakukan sekarang.

110

Anda mungkin juga menyukai