Anda di halaman 1dari 17

KURIKULUM UNTUK KEHIDUPAN:

(Implementasi Kurikulum Menuju Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Pembelajaran Holistik/Kaffah dan
Bermakna bagi Kehidupan di Era Revolusi 4.0)
Oleh
Zulfikri Anas
Direktur Institut Indonesia Bermutu
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Litbang Kemendikbud

Abstrak

Revolusi industri generasi keempat (4.0) ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot pintar,
kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan
manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. Era ini ditandai dengan melimpahnya informasi dalam
semua segi kehidupan. Pada masa ini ilmu pengetahuan telah menjadi barang publik yang sangat mudah
didapatkan oleh siapa saja dan di mana saja. Setiap individu dapat melakukan apa saja dan bisa jadi tanpa
melihat latar belakang pendidikan formalnya. Sehubungan dengan hal tersebut sesuai dengan fungsinya,
kurikulum merupakan jembatan untuk mendekatkan peserta didik dengan persoalan-persoalan kehidupan
sehingga mereka mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan demi persoalan yang mereka hadapi.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang mampu mengakomodasi berebagai kepentingan nyata dalam
kehidupan. Sejalan dengan itu, pembelajaran yang baik adalah pembeajaran yang menghadirkan persoalan-
persoalan kehidupan ke dalam kelas. Dalam kontek ini, berbagai konsep, teori dan metode keilmuan
berperan sebagai alat (tools) bukan menjadi tujuan pembelajaran. Melalui proses pembelajaran setiap anak
belajar untuk memahami persoalan secara holistik karena setiap fenomena kehidupan, sekecil apapun
dibangun oleh berbagai aspek. Tidak ada persoalan tunggal yang berdiri sendiri dan persoalan itu bersifat
dinamis. Semua kebijakan pemerintah tentang pendidikan akan segera tertinggal oleh dunia nyata begitu
ditetapkan. Oleh karena itu, keberadaan guru menjadi penentu keberhasilan pendidikan karena gurulah yang
membuat kurikulum itu menjadi hidup dan dinamis sehingga mampu mengantisipasi cepatnya perubahan
yang terjadi dalam kehidupan.

I. Persoalan Kita Hari Ini terkait Mutu Pendidikan

“Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah”


(Margaret mead, Antropolog, dalam Escobar DKK: 1994).

 “Abigail mendapatkan banyak sekali lembar kerja di kelas, juga pekerjaan rumah. Ia belajar untuk
mendapatkan nilai bagus. Sekolahnya bangga dengan standar nilai yang tinggi. Murid-murid berprestasi
dapat dikenal dari daftar siswa terbaik, pemberian piagam penghargaan, dan dipasangnya stiker
penghargaan di mobil mereka. Guru Abigail adalah seorang pembicara kharismatik yang sangat
menguasai kelasnya. Para siswa  mengangkat tangan dengan sabar menunggu giliran bicara. Sang guru
menyiapkan rencana pembelajaran dengan mendetail jauh hari sebelumnya, menggunakan buku teks
terbaru dan memberikan kuis secara berkala untuk memastikan bahwa siswanya berada di jalur yang
benar. “Apa yang salah dengan gambaran ini?. SEMUANYA!” (Kohn, 2009:1).
 
Mengapa Margaret Mead dan Alfie Kohn berkesimpulan demikian?. Bila kita simak gambaran ini, terlihat
sekali bahwa siswa dalam posisi seperti “robot”, jadi obyek dan sasaran ambisi orang tua dan guru, dan
semua orang. Ambisi orang tua telah “merampas” masa depan anaknya sendiri. Adakah ini terjadi pada
kita?  Alfie Kohn seorang peneliti di bidang pendidikan di Amerika menyimpulkan, banyak yang belum
menyadari bahwa sekolah-sekolah terbaik yang selama ini diburu banyak orang ternyata itu pilihan
terburuk bagi keberlangsungan pendidikan jangka panjang anak.
 
Banyak cerita tentang anak-anak hebat waktu sekolah, namun gagal dalam kehidupan. Ternyata ia hanya
mampu menjawab soal-soal ujian dengan baik, namun tidak mampu menyelesaikan persoalan dalam
kehidupan nyata. Di Malaysia ada cerita tentang Sufiah Yusof, lahir di Inggris dalam keluarga jenius, ayah

1
dan ibunya jenius, dan kuliah di Oxford dalam usia yang sangat muda. Semasa sekolah selalu juara, hari-
demi hari dilalui dengan belajar dan belajar. Namun apa daya, semua orang kaget begitu memasuki usia
remaja, ia tenggelam dalam kehidupan malam yang tang menentu, hobi barunya berpose tanpa busana di
berbagai media.
 
“As I grew older, I began to clash with my father. He was violent at times. He pushed me so far
academically, I become more confident for any girl my age. I grew up to quikcly. Oxford was a amazing
place but I was too young. By the time I was 15, I wanted to be in control my life. I fought back” (DU
Faizah, 2009:26).
 
Kisah serupa juga dialami oleh Edith, di usia 5 tahun ia sudah mampu menuntaskan membaca ensiklopedi
Britannica. Usia 6 tahun ia mampu membaca enam buku dan koran New York Times setiap harinya. Usia
12 tahun Edith masuk Universitas, dan ketika usia 15 tahun ia pun menjadi guru  matematika di Michigan
State University.  Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak “jenius”  karena terkait dengan kapasitas
otak yang memang sangat tak terhingga.  Namun, kabar tentang Edith selanjutnya tidak terdengar lagi”
(DU Faizah, 2009:23).
 
Siswa merasa guru sering menzholimi perasaan mereka. Misalnya guru yang cenderung mengajar text
book. Buku seolah-olah menjadi kitab suci yang tidak bisa diubah dan dikritisi. Siswa harus
mengemukakan pendapatnya sesuai dengan buku. Apapun itu, buku menjadi sumber acuan yang pertama
dan utama. Ketika siswa mencoba untuk mencari referensi pada sumber lain, guru malah menjatuhkan
mental siswanya dengan mencemoohkan, menyalahkan siswa (Afdhal, 2014) .

Beberapa pengalaman pahit siswa di sekolah (Pengalaman Calon Pengajar Muda, Indonesia Mengajar):

 Ada guru yang mengajar dengan kaku, tidak bisa mengakui kalau muridnya yang benar dan dia sudah
salah memaksakan apa yang dipahaminya kepada muridnya. Suatu kali ada soal mana yang lebih berat
5 kg besi dengan 5 kg kapas, guru tersebut memaksakan jawabanya 5 kg besi dan tidak menerima
jawaban muridnya, yaitu sama berat.
 I used to hate school hingga saya SMA. Baru pada saat kuliah saya belajar dengan gigih karena saya
merasa untuk pertamakalinya saya memiliki kebebasan belajar sesuai dengan minat tulus saya.
 Ketika saya sekolah perhatian hanya terpaku pada pelajaran-pelajaran yang dianggap penting untuk
kelulusan sehingga siswa tidak diajak berkembang sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang
dimilikinya.
 Pengalamannya ketika bapak/ibu guru memberikan nilai yang baik kepada siswanya hanya karena ikut
les yang dipunyai oleh guru tersebut.
 Pembelajaran yang membosankan karena siswa disusruh mencatat yang didiktekan oleh guru, dan
kebanyakan yang aktif hanya guru dan beberapa murid saja. Guru kurang bersemangat untuk menggali
potensi murid-murid yang lain. Dan untuk penilaiannyapun sangat str. Kurangnya motivasi dari guru
juga membuat murid-murid tidak terlalu bersemangat belajar, cenderung semaunya sendiri
 Siswa jadi kurang kreatif, takut bermimpi dan berimajinasi akhirnya takut bercita-cita.
 Ketika saya tidak bisa melakukan penghitungan kemudian dihukum di depan kelas. Saya jadi merasa
benci dengan guru yang bersangkutan dan mata pelajaran tersebut.

Kurikulum diharapkan dapat menjadi jembatan untuk mempertautkan berbagai kesenjangan juga tidak
luput dari berbagai persoalan. Ketika kita melontarkan pertanyaan kepada peserta di berbagai forum
diskusi, seminar atau diklat kurikulum, “Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata
“KURIKULUM”?. Berikut beberapa jawabannya. “Kurikulum membuat otak eror, membingungkan,
memusingkan, memberatkan, dan membebani, ribet, dan selalu berubah-ubah”. Jawaban itu tidak hanya

2
muncul dari guru, pengawas, dan praktisi saja, orang tua dan bahkan siswa juga merasakan hal yang
sama.

Apa yang sesungguhnya terjadi?. Sebagai ilmu, keberadaan kurikulum sama dengan ilmu-ilmu lain, yaitu
menjadi alat ampuh untuk membantu manusia mewujudkan cita-cita dan membuat mimpi menjadi
kenyataan. Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum, sesuatu yang tadinya mustahil bisa menjadi nyata.
Ilmu aerodinamika membantu manusia menemukan alat untuk menerbangkan pesawat yang dulunya
mungin mustahil. Sebuah benda yang beratnya puluhan ratusan atau ratusan ton bisa terbang dengan
lincah di udara. Sesuatu yang tadinya mungkin tidak masuk akal.

Demikian juga seharusnya kurikulum, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, kehadiran kurikulum
seharusnya memudahkan, menyenangkan, menggairahkan, dan membuat sesuatu yang mustahil menjadi
nyata. Rasanya sulit diterima akal sehat, ketika semua bidang ilmu hadir menjadi “pahlawan” bagi
kehidupan manusia, sementara kurikulum dirasakan sebaliknya. Dengan adanya kurikulum, guru merasa
terbelenggu, orang tua dan siswa merasa terbebani, bahkan akhir-akhir ini, presidenpun merasa ‘galau”
sehingga Beliau merasa perlu memanggil Mendikbud agar persoalan ini selesai. Ada apa?

“Kamu harus tahu bahwa tiada satupun yang lebih tinggi, atau lebih kuat, atau pun lebih baik, ataupun lebih
berharga dalam kehidupan nanti dari pada kenangan indah.  Terutama kenangan indah pada masa kanak-
kanak. Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang indah, kenangan
berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan terbaik. Apabila seseorang menyimpan
banyak kenangan indah di masa kecilnya, maka seluruh kehidupanya akan terselamatkan” (Destoyevsky’s
Brothers Karamazov: DU Faizah:2009,28).

II. Dampak Revolusi Industri Generasi Keempat (4.0) terhadap Kehidupan

Kehidupan di era Revolusi industri generasi keempat (4.0) ini diwarnai oleh hadirnya kecerdasan buatan
dan kemampuan teknologi yang membuktikan bahwa tidak ada yang dapat disembynikan di alam ini.
Semua terbuka dan transparan, ilmu pengetahuan apa saja dapat diakses dengan mudah oleh siapapun
dan di manapun. Kemampuan teknologi hasil karya manusi hampir menyamai kemampuan manusianya.
Sehubungan dengan itu. Daniel Pink (2009) menyebut era ini sebagai era berkelimpahan produk, segala
sesuatu dapat diperoleh dengan mudah, kapanpun dan di manapun, termasuk ilmu pengetahuan dan
informasi. Informasi yang positif dan negatif sama-sama tersedia dan sama-sama mudah diakses oleh
siapapun. Anak yang sehari-hari kita kenal sebagai anak baik-baik, rajin beribadah, rajin belajar, namun
kita tidak tau persis tadi malam sebelum tidur dia lihat apa di laptop atau di telepon genggamnya. Pada sisi
lain, mesin atau komputer mampu menggantikan pekerjaan yang selama ini dilakukan manusia.

Kondisi ini mengingatkan kita bahwa tidak ada yang mampu menyelamatkan kita dari kesengsaraan dan
kemudaratan kecuali kesadaran tentang kehadiran manusia sebagai utusan Allah, khalifah di muka bumi,
makhluk yang diberi kekuatan akal pikiran dan nurani. Untuk menyelamatkan anak-anak, sebagai orang
yang lebih dulu lahir dari mereka, para pendidik dan orang tua, atau siapa saja yang berhubungan dengan
dunia pendidikan harus menyadari bahwa di dalam diri setiap individu anak tersimpan kekuatan untuk
menghadapi itu semua.

Allah memperhitungkan dengan matang untuk apa seseorang dilahirkan, setiap anak manusia terlahir
membawa pesan yang berbeda dan unik. Apapun kondisinya, ia adalah sang pembawa amanah yang tak
tergantikan, apalagi oleh mesin hasil ciptaanya sendiri. Keunikan setiap anak adalah bahagian dari
kesepakatan antara dia dengan Illahi jauh sebelum ia lahir. Dunia pendidikan, di manapun adanya, apapun
bentuknya, seperti apapun kondisinya berperan sebagai wahana membantu setiap individu untuk
menemukan keunikan itu sejak dini. Apabila dalam perjalanan hidupnya, seorang tidak tidak menemukan

3
keunikannya, dapat dipastikan itu akibat kekeliruan dunia pendidikan. Intervensi yang keliru dan berlebihan
mengakibatkan seseorang kehilangan ruang yang seharusnya ia tempati.

Daniel Pink menyebut era sekarang dengan era high touch atau high concept, atau istilah awamnya era
sentuhan tingkat tinggi. Pada masa ini, kemampuan berpikir linier sudah tidak memadai lagi karena semua
hal yang bekerja secara linier telah digantikan oleh mesin atau komputer, bahkan dalam kondisi tertentu,
kekuatan berpikir linier sebuah mesin atau komputer mampu mengungguli kemampuan manusia sehingga
satu perangkat mesin atau komputer mampu menggantikan puluhan, ratusan, bahkan ribuan manusia.
Untuk mengungguli kemampuan mesin dan komputer diperlukan pola pikir multi dimensi yang tidak hanya
bicara soal fungsi tetapi juga desain, tidak hanya bicara argumen tetapi juga cerita, tidak hanya fokus tetapi
juga simponi, tidak hanya logika tetapi juga empati, tidak hanya keseriusan tetapi juga permainan, tidak
hanya akumulasi tetapi juga makna. Kemampuan-kemampuan tersebut adalah unsur-unsur penting
kemanusiaan yang tidak dapat dicopy dan digantikan oleh mesin.

Orang yang sukses bukan lagi bukan orang yang memiliki atau menyimpan banyak ilmu, tetapi orang yang
mampu memberikan sentuhan yang berbeda dan unik, sekecil apapun. Dalam situasi ini, keberhasilan
lembaga atau perusahaan sama sekali tidak bergantung pada ukuran besar kecilnya lembaga tersebut.
Berapa banyak perusahaan besar ambruk tiba-tiba sementara perusahan atau lembaga kecil yang selama
ini tidak dikenal, tiba-tiba muncul menggantikan lembaga yang selama ini eksis.

Kelincahan dan kecekatan dalam membangun sebuah sistem menjadi kunci keberhasilan meraih
kesuksesan dengan tepat dan cepat. Terkait dengan kondisi faktual negeri yang kaya dengan keunikan
dan potensi, maka ini menjadi peluang luar biasa asal kita mampu menyusun dan menerapkan kurikulum
yang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap individu untuk mengeksplorasi kemampuan
uniknya. Untuk memaksimalkan pencapaian kemampuan tersebut diperlukan kemampuan berpikir kritis
(critical thinking skills), kolaborasi (collaboration), kreatifitas (creativity), dan kemampuan berkomunikasi
(communication).

III. Kurikulum: Jembatan Dunia Ilmu Pengetahuan dengan Kehidupan

Kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Hidup matinya pendidikan bergantung ruh yang membuat
jantung itu berdenyut. Ada dua sumber kekuatan utama yang membuat ruh itu ada, yaitu substansi dan
cara pengelolaan kurikulum. Apa sesungguhnya substansi kurikulum?, jawabannya: alam dan segala
bentuk kehidupan di dalamnya. Sementara keseluruhan isi jagat raya adalah ciptaan Sang Maha Pencipta.
Dengan demikian, kurikulum menjadi jembatan yang mengantarkan kita pada puncak kesadaran bahwa di
balik semua kekuatan yang kita miliki ada Tuhan Yang Mahakuasa. Artinya, semakin dalam kajian ilmiah
yang kita lakukan, semakin paham tentang berbagai rahasia alam dan kehidupan, semakin tinggi ilmu yang
kita miliki, semakin dekat kita dengan-Nya.

Artinya, muara dari semua pembejalaran setiap disiplin ilmu adalah penguatan kepribadian, akhlak dan
karakter. Untuk itu, kekuatan sebuah kurikulum bukan hanya terletak pada cakupan dan kedalaman
substansi, melainkan juga cara pengelolaannya. Substansi dan cara pengelolaan saling bersinergi, tanpa
pengelolaan yang benar, substansi yang hebat akan kehilangan daya, demikian sebaliknya. Agar substansi
kurikulum dapat dikelola dengan baik, maka semua kebijakan tentang kurikulum harus mudah dipahami,
mudah dijabarkan, mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan kondisi yang ada di sekitarnya
(flexible), mudah dikelola oleh guru ( manageable), terukur ketercapaianya (measurable), terlihat
(observable) dan dapat diprediksi hasilnya ( predictable). Demikian pula dengan materi pelajaran yang
tadinya sulit dipelajari oleh siswa menjadi mudah ( learnable). Artinya, kehadiran kurikulum pada dasarnya
adalah untuk memudahkan melancarkan proses pendidikan, bukan mempersulit apalagi merepotkan
semua pihak (guru, siswa, dan orang tua).

4
Agar semua pihak menyadari hakikat kurikulum, barangkali kita bisa melihat sejenak latar belakang
lahirnya kutrikulum di dunia pendidikan. Kurikulum berasal dari bahasa Latin, yaitu “curere” yang berarti
lintasan pacuan. Text-book pertama yang membahas ini ditulis oleh John Franklin Bobbit pada tahun 1918.
Untuk pertama kalinya istilah Kurikulum di populerkan sebagai word for race-course yang bermakna
sebuah “lintasan” yang ditempuh dalam proses belajar. Sesuai dengan akar kata tersebut, Bobbit
memaknai kurikulum sebagai pengalaman-pengalaman yang dilalui agar seorang anak menjadi dewasa,
atau untuk menjadi sukses sebagai masyarakat yang dewasa ( for success in adult society).

Sejak itu, istilah ini menjadi populer di kalangan pendidikan yang kemudian disebut dengan “ curriculum”.
Hanya saja, definisi kurikulum demikian menempatkan siswa seperti “kuda” yang dipacu, para peserta
berderet sejajar di garis start, lalu berlomba adu kecepatan dan kekuatan, siapa yang paling dulu masuk
garis finish, dialah pemenangnya. Pertandingan akan selesai bagi yang kalah, dan berlanjut bagi yang
menang. Begitu juga dunia pendidikan di negeri ini. Anak yang menang akan mendapatkan fasilitas dan
pelayanan yang hebat, sementara anak yang kalah akan mendapatkan hukuman, dan kalau perlu segera
di keluarkan dari arena pertandingan!. Pemikiran ini mengingkari makna pendidikan yang sesungguhnya.

Selanjutnya, melalui pemahaman yang lebih luas dan mendalam, Todd (1965) dari Curriculum
Development and Instructional Planning, Nederland menggambarkan kurikulum sebagai “pengalaman
pendidikan (belajar) yang terencana atau yang direncanakan oleh sekolah (satuan pendidikan) yang dapat
diselenggarakan kapanpun (any time) dan di manapun (any where) serta dalam keberagaman konteks
sekolah sebagai bagian dari masyarakat”. Ada beberapa katan kunci di sini, yaitu (1) pengalaman
pendidikan/belajar yang direncanakan ( planned educational experiences ), (2) tidak terbatas oleh ruang dan
waktu (any where, any time), (3) kontekstual dan fleksibel ( multiple context of the school ), (4) menjadi
bagian dari masyarakat setempat (caring communities).

Pengalaman belajar yang direncanakan artinya semua hal yang terkait dengan perilaku siswa selama
dalam usia belajar yang terencana dan terkendali. Pengertian kata kendali yang dimaksudkan di sini
adalah sebuah kesadaran atau kesengajaan yang direncanakan. Ketika ada pelajaran mengenai sampah,
para peserta didik sangat paham mengapa sampah harus dibuang pada tempatnya. Semua mata pelajaran
menyatakan hal itu secara tertulis sesuai dengan peran masing-masing Gurupun selalu mengingatkan hal
itu, baik melalui ceramah di kelas, maupun di berbagai kesempatan lain, dan siswapun memahaminya
dengan mudah.

Kurikulum dapat dilihat dari tiga sisi, pertama, kurikulum sebagai produk kebijakan berupa dokumen
tertulis, kedua, kurikulum sebagai proses berupa iklim atau suasana yang terjadi di sepanjang proses
pendidikan, dan ketiga kurikulum berupa hasil yang diperoleh masing-masing anak mencakup
pengetahuan, ketarampilan dan sikap secara menyeluruh. Sebagai dokumen tertulis, kurikulum memuat
kemampuan yang ingin dicapai dan dicita-citakan oleh suatu bangsa, substansi atau materi yang perlu
dipelajari, strategi pembelajaran, dan rambu-rambu atau acuan untuk menindaklanjuti hasil evaluasi yang
dilakukan di sepanjang proses pembelajaran. Dokumen tersebut sengaja disusun agar proses
pembelajaran menjadi terarah, efisien, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian,
keberadaanya akan memudahkan proses pencapaian tujuan. Semua yang tertuang dalam dokumen
kebijakan ini sering diistilahkan dengan intended curriculum.

Sebagai proses, kurikulum berupa segala bentuk aktivitas yang terjadi di sepanjang pembelajaran
berlangsung, baik di sekolah maupun di luar sekolah, pada saat jam pelajaran maupun di luar jam
pelajaran. Proses dimaksud dapat berupa kegiatan yang sengaja di rancang maupun kegiatan yang terjadi
tanpa disadari. Kegiatan-kegiatan itu terjadi tidak terlepas dari pola pikir atau mindset orang- orang yang
berada di balik proses itu, yaitu pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/komite, tokoh masyarakat, dan

5
tentunya siswa sebagai tokoh sentral di dunia pendidikan. Apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat
oleh pendidik, orang tua, masyarakat, dan siswa sangat menentukan kualitas dan efektifitas proses yang
terjadi. Hal ini sering disebut sebagai implemented curriculum.

Kualitas dan efektifitas proses pembelajaran dari awal sampai akhir, di manapun dan kapanpun
kejadiannya akan mempengaruhi kualitas hasil pembelajaran. Harapannya, hasil yang diperoleh sama
persis kualitasnya dengan cita-cita yang sudah dituangkan dalam dokumen tertulis. Seberapa jauh terjadi
perubahan yang terjadi sebagai hasil proses belajar dikenal dengan istilah achieved curriculum. Ketiga hal
tersebut, dokumen tertulis (intended curriculum), proses yang terjadi (implemented curriculum), dan hasil
yang diperoleh (achieved curriculum) saling terhubung seperti segitiga sama sisi. Prinsip utama segitiga
sama sisi adalah ketiga sisinya sama panjang, ketiga sudutnya sama besar, memiliki tiga buah simetri lipat
dan tiga buah simetri putar. Prinsip ini menunjukkan bahwa ketiga sisi memiliki kekuatan yang seimbang,
keberadaan satu sisi mempengaruhi sisi yang lainnya. Demikian pula dengan ketiga sisi kurikulum
tersebut, apa yang dihasilkan sama dengan apa yang dicita-citakan, dan itu dapat terwujud apabila proses
yang terjadi mengakibatkan hasil yang diperoleh sama dengan cita-cita yang diharapkan.

Ketiga sisi itu saling menguatkan satu sama lain, ketika itu terjadi, maka kurikulum yang digunakan dapat
dijadikan jaminan terjadinya perubahan pada diri seperta didik sesuai dengan potensi masing- masing.
Kurikulum yang demikian akan mampu menjawab tantangan kehidupan masa kini maupun di masa depan.
Sebaliknya, ketika sisi-sisi itu jalan sendiri-sendiri, tidak saling menguatkan, maka pendidikan akan
kehilangan keampuhannya.

Sekolah menjandi arena yang menyediakan ruang yang se-luas-luasnya bagi setiap individu untuk
mengembangkan potensi diri dan menemukan arah jalan hidup sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
Tidak ada pemisahan antara anak unggul dengan tidak unggul. Keunggulan setiap anak justeru akan
terlihat makin jelas ketika mereka saling berkolaborasi membengun keutuhan dalam kehidupan.

Apa yang terlintas dalam pikiran, terucap dalam perkataan, tercipta dalam suasana atau iklim
pembelajaran, serta terwujud dalam tindakan para pendidik atau siapapun yang terkait dengan proses
pendidikan pasti akan berpengaruh kepada pembentukkan pola pikir, perkataan, tindakan, dan sikap
(attitude) peserta didik. Itulah kurikulum yang sesungguhnya, ia bersemayam dalam diri manusia dan hidup
di sepanjang masa, serta mampu menghadirkan masa depan kehadapan siswa hari ini. Kurikulum adalah
sesuatu yang “hidup” dan berada di tempat terpenting, yaitu alam pikiran dan hati nurani para pendidik.
Alam pikiran dan hati nurani adalah alam yang tanpa batas, alam yang terbuka buat siapa saja, ia justeru
makin ramah, makin lembut ketika berhadapan dengan anak yang paling merepotkan, nakal, susah dididik.

Oleh karena kurikulum “hidup” dalam alam pikiran dan hati nurani para pendidik, makan sesunggunya
Kurikulum itu berupa ruang maha luas, melingkupi keseluruhan ruang di cakrawala yang tanpa batas.
Sebagai ruang yang “bebas”, kurikulum bukan membatasi apalagi menyekat, melainkan menyediakan
berbagai pilihan yang mewadahi keunikan, kepentingan, dan kebutuhan setiap anak. Keberadaan
kurikulum membuat pendidikan menjadi terjamin mutunya apapun kondisi lembaganya (dari sekolah yang
beralaskan tanah, beratap rindangnya pepohonan sampai ruangan permanen mewah ber-AC), di manapun
sekolah (lembaga pendidikan) berada (di desa terpencil di ujung bukit, di lembah, di pantai dan di kota),
bagaimanapun keadaannya (diampu oleh satu orang guru sampai sekolah yang kebanjiran guru, apapun
kondisi muridnya. Dengan adanya kurikulum, semua kondisi adalah penguat dan keterbatasan berubah
menjadi kekuatan.

Itulah istimewanya kurikulum. Keberadaan kurikulum menghancurkan dinding pembatas antara siswa yang
berbeda kemampuan, kurikulum yang menjadikan perbedaan sebagai kekuatan yang mengutuhkan karena
Allah tidak mengenal produk gagal. Apabila hari itu kelas "didatangi" anak yang bermasalah, nakal, lemah,

6
tak berdaya dan menurut sekolah unggulan sudah tidak pantas lagi berada di sekolah mereka.....dia justeru
memperlakukan anak itu dengan senang hati karena dalam pandangannya itu merupakan uluran tangan
Illahi yang akan merangkulnya, masuk dalam pelukan dan ridho-Nya. Dia memiliki keyakinan, apabila ia
menolak kehadiran anak tersebut, itu sama dengan menepis tangan Tuhan yang datang merangkulnya.

Kurikulum itu sangatlah simpel. Keberadaanya untuk memperlancar proses pembelajaran dan menjadi
skenario untuk memberikan pelayanan terbaik kepada setiap peserta didik. Kurikulum akan meberikan
layanan memperlalukan setiap anak sebagai manusia unggulan, tanpa kecuali, apapun kondisinya, setiap
individu pasti memiliki keunggulan karena masing-masing individu telah diperhitungkan dengan matang
untuk apa dilahirkan. Melalui pelayanan terbaik itu setiap individu mampu menemukan jalan terbaik untuk
membangun dirinya agar keberadaanya bermakna bagi kehidupan.

Begitu sederhananya kurikulum itu, namun menjadi rumit ketika pikiran kita telah merumitkannya. Ketika
kita terperangkap dalam pemikiran bahwa pendidikan bermutu akan dapat diwujudkan melalui pengaturan
administrasi yang ketat, kaku sehingga tidak responsif terhadap kebutuhan domistik (lokal), sesungguhnya
kita telah mengorupsi sisi kemanusiaan, kreatifitas menjadi terkekang, inovasi menjadi mandeg, jati diri
menjadi hilang, kearifan menjadi luntur, persoalan menjadi beban, lalu akhirnya tergilas oleh kehidupannya
sendiri.

Oleh karena itu, dalam Permendikbud Nomor 159 tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum ditegaskan
bahwa perlunya kesesuaian antara Ide Kurikulum dan Desain Kurikulum; kesesuaian antara Desain
Kurikulum dan Dokumen Kurikulum; kesesuaian antara Dokumen Kurikulum dan Implementasi Kurikulum;
dan kesesuaian antara Ide Kurikulum, Hasil Kurikulum, dan Dampak Kurikulum. Hal ini diperlukan untuk
menjaga konsistensi antara kurikulum sebagai ide, dokumen, proses dan hasil dapat terjaga. Dengan cara
itu, tujuan pendidikan dapat dicapai.

IV. Alam Terkembang Jadi Guru: Proses Belajar untuk Mematangkan Diri dan Menguatkan Karakter

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” (Bab I, Pasal I, Ayat (1) UUSPN No. 20 tahun 2003).

Pendidikan merupakan upaya memberikan pelayanan tanpa henti kepada setiap anak agar mereka yang
tadinya tidak tahu apa apa-apa menjadi tahu, tadinya tidak bisa apa-apa menjadi bisa, dan yang tadinya
mau, malas, tidak disiplin, tidak efsien, menjadi sebaliknya. Sederhananya, anak yang tadinya tidak
mengenal huruf menjadi mampu membaca setelah ia berlatih melafalkan, menuliskan, mengurutkan dan
merangkainya menjadi kata, kalimat, paragraf, cerita dan seterusnya. Setelah mampu membaca, karena
gurunya sangat kreatif mengciptakan iklim pembelajaran, akhirnya anak menjadi gemar membaca, apapun
yang ia baca, dan iapun dapat ilmu dari berbagai sumber, jadilah ia anak cerdas. Anak yang tadinya tidak
mengenal angka, dilatih dan dikondisikan oleh guru sehingga ia mengenal angka dan bilangan, lalu dengan
cara yang sangat menyenangkan guru bisa menjadikan anak mampu menggunakan logika angka/bilangan
untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup.

Makna apa yang diperoleh anak setelah belajar Pernapasan? (IPA). Pernapasan berlangsung secara
otomatis walau kita sedang tertidur lelap. Proses itu melibatkan kegiatan penyerapan O2 dan pengeluaran
CO2 (eksterna), dan penggunaan O2 oleh tubuh serta pembentukan CO2 (interna). Terdapat sebuah
mekanisme luar biasa yang melibatkan berbagai oragn tubuh, semua berkolaborasi sesuai fungsi masing-
masing, baik pada saat proses inspirasi (pemasukan udara) maupun proses ekspirasi (pengeluaran udara).
Organ yang terlibat diantaranya, hidung, pharynx, laring, trakhea, bronkus, bronkeolus, alveoli, dan paru-

7
paru. Mekanisme itu berjalan mengikuti hukum kesimbangan, baik keseimbangan antara volume dan aliran
udara, maupun keseimbangan asam dan basa yang berperan agar kita tetap hidup. Sebuah peristiwa
alamiah yang membawa kita ke alam kesadaran akan kesempurnaan Illahi.

Kehidupan seekor ikan menceritakan kepada kita bagaimana Allah menciptakan keseimbangan yang maha
sempurna. Siri-sirip yang berpasangan berfungsi sebagai pengatur gerak maju dan mundur (sirip dada dan
sirip perut), sirip tunggal untuk keseimbangan (sirip punggung dan sirip belakang). Sirip yang mudah
digerakkan berfungsi juga untuk kemudi dan menghentikan gerakan (rem). Ikan memili linea lateralis yang
berfungsi sebagai indra untuk mencegah terjadinya hambatan atau kecelakaan dalam berenang, sendiri
atau berkelompok. Sebuah sistem yang luar biasa. Dan yang paling penting, bangkai ikan halal dimakan,
dan tentunya semua itu tidak terlepas dari keistimewaan kehidupan ikan.

Gerak melingkar menyebabkan bumi, planet, tata surya dan segenap isinya berjalan secara seimbang. Ini
menggambarkan kedesiplinan dan kekonsistenan masing-masing pada orbitnya. Percepatan sentripetal,
kecepatan sudut dan kelajuan linier, dan frekuensi dan periode. Allah menyediakan bumi tempat yang
nyaman bagi manusia dan makhluk lainnya.

Pembelajaran tentang pengukuran waktu dan ruang mengingatkan kepada kita bahwa hidup terus mengalir
dan membuat kita makin waspada betapa pentingnya pemanfaatan waktu. Setiap detik, menit, jam, hari
dan seterusnya…..itu adalah kesempatan yang diberikan Allah kepada untuk selalu memperbaiki diri
menata hidup agar selamat di dunia dan akhirat.

Pada saat anak belajar tentang Bidang Miring (Fisika) mereka jadi paham bahwa kita membutuhkan
berbagai alat bantu yang memudahkan kita untuk melakukan sesuatu yang sulit. Semua persoalan selalu
memiliki solusi, dan semua bergantung kepada kita bagaimana kita mampu memanfaatkan segala
kekuatan yang kita miliki. Bidang miring juga mengingatkan bahwa semakin tinggi kita mendaki, semakin
besar resiko yang akan kita hadapi. Selalu waspada adalah cara-cara bijak agar langkah maju kita kita
tidak terhenti akibat keragu-raguan.

Untuk apa kita belajar lambang dan urutan bilangan?, bagaimana cara membelajarkan, seperti apa
kurikulumnya?. Merupakan pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum menjalankan proses
pembelajaran. Semua orang dewasa paham tentang urutan bilangan, 1,2,3..dan seterusnya, namun
apakah setiap orang dewasa bisa menjadi guru untuk mengajarkan itu?, tentu tidak. Hanya orang- orang
yang paham tentang tujuan dan nilai-nilai apa yang harus ditumbuhkan melalui pembelajaran itu. Guru
harus paham betul bahwa kita bukan sekedar mengajari anak untuk hafal urutan, bisa membilang,
menjumlah, mengurang, mengali, dan membagi.

Belajar matematika bukanlah belajar hitung-menghitung. Hitung menghitung hanyalah keterampilan teknis
dan merupakan aspek terkecil dalam sebuah kompetensi matematis. Setelah angka 1, disusul angka 2,
dan seterusnya. Untuk apa kita paham tentang urutan bilangan?. Inti pembelajaran ini adalah
menanamkan nilai-nilai keteraturan, kedisplinan, konsistensi agar logika dan nalar kita tertata dengan baik
sehingga kita mampu memilih solusi yang tepat dalam menuntaskan serangkaian kegiatan. Di dalam hidup
kita dihadapkan pada berbagai pilihan, mulai dari bangun tidur, apa yang harus dilakukan pertama, kedua,
ketiga dan setrusnya, begitu juga setelah sampai di sekolah, pertama kita harus apa, kedua harus apa dan
seterusnya. Begitu juga pada saat menunggu giliran, siapa yang pertama, kedua, dan seterusnya.

Pelajaran tentang urutan bilangan melatih kita untuk menentukan prioritas agar pekerjaan kita menjadi
efektif. Ada “anak pintar”, nilai matematikanya sempurna, namun ia mudah sekali mogok belajar ketika
keinginannya tidak dipenuhi walaupun orang tuanya telah menjelaskan bahwa permintaannya itu ditunda
dulu karena ada yang lebih diprioritaskan saat ini. Perilaku seperti ini juga akan dibawa sampai dewasa.

8
Perilaku anak ini mengindikasikan kita telah gagal membelajarkan matematika, sekalipun ia juara
olimpiade.

Lewat penjumlahan, perkalian, dan pembagian kita belajar memprediksi dan beretika. Anak terlatih
nalarnya dengan mengenal apa hakikat besar, kecil, bulat, pecahan dan sebagainya. Jika saya butuh uang
Rp. 10.000, sementara saya baru punya Rp.5.000, berapa saya harus mencari tambahan?, dan darimana
saya memperolehnya?. Sepotong roti diperuntukan bagi 3 anak, agar adil, maka roti tersebut dibagi tiga
sama besar, satu potongnya bernilai 1/3. Lewat matematika kita belajar tentang disiplin, keteraturan,
konsisten, kesetaraan, keadilan, keharmonisan, keseimbangan, dan nalar. Semua itu merupakan nilai-nilai
kemanusiaan yang kita peroleh setelah belajar matematika.

Ketika kita memahami dengan benar tentang sifat-sifat lingkaran dan bola melalui matematika, kita akan
mengerti mengapa semua unsur di alam ini berbentuk lingkaran atau bola. Bicara tentang dimensi ruang
atau bentuk fisik di alam ini, mulai dari partikel yang terkecil (atom) sampai bumi, dan galaksi semua
berbentuk lingkaran atau bola. Itu bila kita bicara dimensi ruang. Di samping dimensi ruang, kita hidup
dalam dimensi waktu. Dan ternyata, dimensi waktupun dibangun dengan pola yang sama. Pagi, siang,
malam, dan bertemu pagi lagi, begitu seterusnya. Dari tidak ada, lalu terjadi pembuahan, berkembang,
terus tua, dan terus kembali lagi tidak ada, hilang wujud fisiknya. Lahir, tumbuh, dewasa, dan lahir kembali.
Air jatuh dari langit, terus berjalan ke laut dan kembali lagi ke langit, begitu seterusnya. Hidup adalah
siklus.

Ada satu dimensi lagi, yaitu norma, hukum, atau aturan yang membuat kehidupan itu ada. Tanpa ada
norma yang mendasarinya, semua tata kerja setiap unsur yang membentuk sistem, mahkluk, benda, atau
peristiwa apapun maka kehidupan ini tidak akan terjadi. Hukum itulah yang membuat setiap komponen
dalam sistem, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling dalam sampai paling
luar semua saling terhubung dan menyatu. Semua unsur, partikel yang membentuk suatu benda tersebut
terhubung secara melingkar, itulah yang kita sebut dengan orbit. Akibatnya, tidak ada satu "ruang" atau
"rongga" pun yang memisahkan antara zat, benda, atau apapun sesama ciptaan Illahi. Semuanya terpadu.
Tidak ada jarak yang memisahkan. Sifat dasar melingkar itulah yang menyebabkan tidak adanya ruang
setitikpun di alam ini. Normapun bekerja berdasarkan siklus, kebaikan akan kembali ke kita sebagai
kebaikan, dan kemudaratan, juga akan kembali kepada kita dalam bentuk yang sama.

Sebuah batu atau benda apapun yang ada di sekitar kita, sesungguhnya juga menyatu dengan kita yang
dihubungkan oleh partikel udara, gelombang atau sejenisnya. Antara sesama kita yang berjauhan
sekalipun, juga selalu terhubung, buktinya kita bisa berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun kita mau,
sepanjang ada media atau alat yang kita gunakan. Alat itu dapat bekerja karena ada media yang
menghubungkan, itulah frekuensi atau gelombang. Bahkan ruang hampapun, masih terhubung, buktinya
cahaya matahari tetap bisa tembus ke dalam pusat bumi sekalipun. Kita tahu bahwa cahaya atau suara
bisa merambat jika ada media penghubung yang tanpa putus.

Semua partikel atau titik yang terhubung lalu membentuk sebuah benda, makluk, peristiwa, sistem, atau
apapun wujudnya, dan kemudian semua benda itu kita susun rapat sehingga tidak ada rongga, baik secara
horizontal, maupun vertikal, wujud akhirnya tetap sebuah lingkaran. Artinya, sesungguhnya semua dimensi
kehidupan selalu membentuk pola melingkar, bundar, dan bulat.

Mengapa demikian?, dari semua benda yang ada, hanya lingkaran atau bundaran yang bentuknya paling
stabil untuk menghasilkan energi sebagai dasar menciptakan keseimbangan dalam keterpaduan.
Keseimbangan dalam keterpaduan merupakan hukum dasar dari semua sisi kehidupan dan alam jagat
raya. Setiap partikel yang sejenis maupun yang berbeda bila saling mengikat dengan kekuatan dan energi
yang seimbang, ia akan menyatu dan padu, pada akhirnya ia akan membentuk lingkaran atau bundaran.

9
Keterpaduan yang utuh itulah yang menyebabkan sebuah lingkaran atau bundaran itu menjadi benda
yang paling stabil, kokoh, dan tangguh dibandingkan dengan benda-benda bentuk lainnya. Oleh karena
itulah milyaran planet di tata surya ini bisa seimbang, teratur, dan stabil, dan menyatu dalam bentuk
sebuah lingkaran atau bola maha dan maha besar.

Begitulah hukum dasar kehidupan, termasuk perilaku kita. Apapun yang kita lakukan, semua akan berbalik
ke kita. Kita tanam kebaikan, ia akan kembali ke kita, dan ia akan kembali dengan berlipat ganda ketika
kita ikhlas melakukannya. Demikian juga keburukan, semua akan kembali ke kita. Ketika kita melakunnya
secara sadar, dan semakin sadar melakukannya, atau semakin di sengaja, maka kembalinya ke kita
semakin berlipat ganda. Antara kesadaran untuk melakukan kejahatan dengan keikhlasan berbuat baik
berada dalam satu dimensi. Sama-sama menghasilkan balikan yang berlipat ganda.

Untuk itu, tidak satupun alasan bagi kita untuk tidak berbuat baik, kapanpun, di manapun, sendirian atau di
tempat yang ramai. Dan yakinlah tidak akan ada satupun ruang untuk bersembunyi bagi kita untuk lari dari
akibat buruk perilaku kita. Tak satupun titik tempat kita berlari, di manapun kita bersembunyi akan tetap
bisa ditemukan karena dengan hukum dasar yang membangun kehidupan yang saling terangkai
membentuk lingkaran yang utuh, membuat semua peristiwa yang terjadi bisa diukur dan dilacak. Demikian
pula tentang kebohongan, di alam ini tidak ada tempat buat menyembunyikan kebohongan, karena
sepintar apapun kita menyimpannya, ia akan tetap bisa dilacak dan ditemukan. Pada waktunya ia akan
muncul dengan sendirinya, menunjukkan dirinya dan ketika saat itu datang tidak bisa lagi berkutik. Semua
akan terbukti. Itu sudah hukum alam.

Apa yang akan diperoleh anak setelah belajar tentang fotosintesis?. Rasa takjub akan muncul ketika anak
paham bahwa yang bertugas menembus tanah yang keras adalah ujung akar yang paling halus dan paling
rapuh. Sang akar akan terus berjuang menylinap begitu ia ketemu batu yang keras, bahkan pondasi
rumahpun mampu ia tembus. Itu dilakukan untuk menjalankan tugas yang diamanahkan padanya, yaitu
mencari zat-zat makan yang dibutuhkan oleh daun. Dari sekian banyak zat-zat yang dikandung oleh tanah,
sang ujung akar mampu mebedakan mana yang racun dan mana yang bukan, ia tahu haq dan bathil.
Begitu ia mendapatkan seonggok makanan, ia mengambil secukupnya, lalu dikirim ke daun. Sampai di
daun, zat makanan tadi diproses dengan bantuan sinar matahari, daunpun menggunakan cahaya matahari
secukupnya, walau ia menerimanya secara gelondongan, dan proses itu menghasilkan oksigen.

Pelajaran tentang fotosintesis ini menumbuhkan sikap kerja keras, pantang menyerah, bersyukur, peduli,
antikorupsi (integritas), tanggung jawab, takjub akan kekuasaan Illahi, akhirnya pola pikir, perilaku dan
karakter anak menjadi lebih baik sejalan dengan makin tinggi ilmu yang dikuasai.

Melalui pendekatan saintifik ini akan muncul efek tidak langsung ( nurturant effect) terhadap sikap mental
dan perilaku siswa. Efek tidak lngsung ( nurturant effect) adalah efek yang muncul dengan sendirinya dari
dalam diri siswa melalui proses perubahan internal. Sebagai contoh, setelah siswa belajar dan memahami
keanekaragaman adat berbagai suku bangsa tetangga maka muncullah suatu proses empati terhadap
masyarakat tetangga tersebut. Contoh lain, jika selama ini siswa mendapat informasi tentang sifat-sifat
negatif suku bangsa tertentu dan informasi tersebut membentuk sikapnya terhadap suku bangsa tersebut,
namun dengan proses pembelajaran saintifik ini diharapkan akan muncul pandangan yang lebih positif dan
obyektif.

Bagaimana proses yang digunakan untuk dapat mencapai hal itu? Agar semua pengetahuan dapat
mengkristal menjadi keterampilan dan sikap, maka proses pembelajaran harus di lakukan dengan
menggunakan pendekatan saintifik (ilmiah), mulai dari: mengamati, menanya, mengeksplorasi,
mengasosiasi/menalar, dan mengkomunikasikan. Orang yang memiliki sikap ilmiah, selalu berbicara
sesuai dengan fakta dan data, fakta dan data tersebut perlu didukung oleh fakta-fakta dan data lain

10
sehingga terhindar dari prasangka atau praduga tanpa dasar, selanjutnya data dianalisis dengan
menggunakan nalar dan mengasosiasikan dengan berbagai pandangan (teori) yang ada dan fakta lain, lalu
ditarik kesimpulan, dan terakhir fakta, data dan hasil kesimpulan tersebut dikomunikasikan dengan baik,
dengan bahasa yang mudah dimengerti, dengan bahasa yang santun.

Pendekatan saintifik memberikan sejumlah pengalaman empiris yang akan membentuk keterampilan
(skills) dan sikap. Pada saat mengamati, menanya, mengeksplorasi, mencoba, mepraktikan,
mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, menarik kesimpulan secara langsung dan tidak langsung
setiap anak akan belajar bagaimana melatih ketajaman berpikir, kepekaan, ketelitian, kecermatan, rasa
ingin tahu, kejujuran (membiasakan diri untuk tidak memanipulasi data), menganalisis, berpikir kritis,
analitis, dan sistematis, tekun atau pantang menyerah, percaya diri,kerjasama, toleran, emphaty, dan
menghargai pendapat orang lain. Di samping itu, ketika semua itu diperoleh oleh setiap siswa melalui
sebuah proses atau pengalaman nyata, maka mereka tentunya tidak akan mengabaikan begitu saja apa
yang diperoleh, artinya, mereka akan menghargai apa yang didapatkan, lalu mensyukurinya sebagai
anugerah dari Illahi. Nah, dengan demikian, antara konten (materi) melebur dengan metode dalam sebuah
proses saintifik untuk membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berilmu pengetahuan,
berketerampilan dan memiliki sikap yang baik, serta akhlak mulia.

Agar proses yang terjadi dapat mengarah pada tujuan yang diinginkan, yaitu terbentuknya sikap, maka
proses yang demikian harus berlangsung secara terpadu ( blended), di mana kegiatan pembelajaran
didominasi oleh kegiatan yang mengaktifkan siswa sehingga pengetahuan yang diperoleh adalah
pengetahuan yang berasal dari pengalaman empiris. Pengetahuan yang terbentuk bukan karena diberikan
oleh orang lain, namun melalui proses yang dibangun dari pengalaman, semuanya diperoleh dari
serangkaian kegiatan yang melibatkan semua indra, yaitu mengetahui, mencoba, dan menemukan akan
“abadi” dalam diri peserta didik. Data dan informasi tersebut akan terinternalisasi menjadi keterampilan dan
sikap secara utuh. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian akan sulit dilupakan dan akan eksis
sampai ia dewasa kelak. Natinya, kita akan hidup dari pengetahuan yang tersisa, dan proses pembelajaran
yang demikian akan menyisakan banyak hal sampai kapanpun, apalagi jika diuji di ujian akhir nasional,
pasti melekat sebagai kompetensi.

Sikap sudah pasti ada hubungannya dengan pengetahuan, kita memiliki sikap disiplin, taat aturan, peduli,
toleran, pasti muncul karena kita memahami atau mengetahui apa saja yang terkait dengan sikap tersebut.
Setiap mata pelajaran memiliki kontribusi terhadap pembentukkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Sebagai contoh, pengetahuan kita tentang bahasa, tata bahasa,dan kosa kata akan mempengaruhi
keterampilan menulis dan berbicara serta sikap sehingga menghasilkan tutur bahasa yang enak, santun,
efisien dan mudah dipahami. Artinya, Orang yang berpengetahuan luas tentang bahasa, maka cara dan
sikap ia dalam menyampaikan pendapat pasti dengan cara yang menyenangkan pendengar, tidak
menyinggung orang. Ini menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa juga berkontribusi dalam
pembentukkan akhlak mulia.

Semua mata pelajaran berperan mengutuhkan kemampuan anak sebagai manusia yang cerdas yang
dilambangkan dengan sosok insan kamil. Matematika, IPA, IPS, Agama, Seni Budaya dan seterusnya
akan berkontribusi sesuai dengan kekhasannya masing-masaing. Fisika adalah mata pelajaran yang
menjadi wahana pembentukkan karakter anak melalui fenomena yang terbangun atas prinsip, hukum, dan
dalil Fisika. Dalam membangun karakter peserta Fisika dikuatkan oleh dalil-dalil atau aksioma Matematika,
dan melalui kajian ilmiah yang makin mendalam, peserta didik akan menmukan hukum dasar yang
membangunnya, yaitu kesimbangan.

Semakin jauh penggalian secara ilmiah akan makin terbukti ada sebuah hukum yang paling dasar di balik
itu semua, yaitu sunnatullah. Melalui contoh ini dapat terlihat dengan jelas keterkaitan antara sikap

11
spiritual, sosial dengan substansi atau konten pembelajaran semua bidang. Melalui perantaraan bahasa,
peserta didik dapat mengkomunikasikan hasil rumusan berupa kesimpulan yang diperoleh melalui berbagai
pembuktian atau percobaan tentang hukum-hukum yang mendasari sebuah fenomena terjadi. Dengan
sendirinya, penyampaian ini akan berdampak pada proses penyadaran dari dalam dirinya, maupun bagi
orang lain.

Dalam konteksi ini, mata pelajaran Agama tampil dengan dalil untuk menguatkan kesimpulan- kesimpulan
yang diperoleh. Memang proses ini tidak akan berdampak langsung pada setiap kali pertemuan, namun
jika semua mata pelajaran membiasakan diri untuk saling berkoordinasi, lama kelamaan akan terbentuk
kesadaran bahwa ilmu pengetahuan itu adalah kunci dalam pembentukkan karakter, kepribadian dan
kompetensi. Hasil akhir dari semua rangkaian pembelajaran tersebut, setiap peserta didik menjadi pribadi
yang cerdas, literat, berkarakter dan kompeten. Itulah sosok insan kamil.

Tentunya, semua itu bisa terjadi apabila pembelajaran tidak terperangkap dalam pola pikir verbal atau
verbalisme, melainkan pembelajaran yang berbasis aktivitas. Kegiatan pembelajaran berbasiskan aktivitas
yaitu mengaktifkan semua indera peserta didik dalam membangun kompetensinya masing- masing.
Pembelajaran berbasis aktifitas “dibungkus” dengan pendekatan ilmiah (saintifik) dalam menumbuhkan
kepekaan melalui kegiatan mengamati, menanyakan hal-hal yang membutuhkan penjelasan yang lebih
jauh, mengumpulkan informasi yang lebih lengkap. Setelah memperoleh informasi, siswa didorong untuk
berfikir secara nalar dalam rangka menganalisis informasi-informasi yang diperoleh itu sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan yang obyektif dan tepat. Setelah siswa mendapat kesimpulan yang obyektif dan
tepat maka, maka siswa didorong untuk berani mengkomunikasikan dan menyebarluaskan melalui
berbagai media kepada pihak lain terkait. Dengan demikian, pembelajaran saintifik akan mebiasakan
peserta didik untuk selalu berbicara berdasarkan data atau fakta.

V. Penilaian Otentik: Mencegah Kepalsuan

Penilaian dilakukan untuk menelusuri dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesalahan
dalam proses pembelajaran. Hasil penilaian memastikan apakah kompetensi peserta didik tercapai secara
menyeluruh, mencakup semua aspek kemampuan. Hasil penilaian tersebut berupa data yang akurat yang
akan memperjelas tindakan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan keampuhan proses
pembelajaran. Dengan demikian, hasil penilaian akan memberikan gambaran utuh dan holistik bahwa
setiap peserta didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.

Antara penilaian yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dan penilaian hasil bukanlah
dua hal yang terpisah. Penilaian merupakan rangkaian proses mengambil keputusan yang tepat sesuai
dengan perkembangan peserta didik. Untuk menjamin akurasinya, penilaian memerlukan berbagai
instrumen (tes dan non tes) sesuai dengan karakteristik data yang dibutuhkan. Instrumen diperlukan
sebagai alat bantu untuk mendapatkan data (kualitatif dan/atau kuantitatif), data tersebut dianalisis, dan
hasil analisis dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dan pemberian tindak lanjut. Dengan
demikian, syarat utama penilaian harus valid dan reliabel.

Hasil penilaian yang tidak akurat, mengakibatkan ketidakpastian informasi tentang capaian kemampuan
anak. Ketidakpastian capaian kemampuan anak akan menyulitkan semua pihak: anak yang bersangkutan,
orang tua dan guru. Makna otentik adalah fakta yang dapat dibuktikan kebenaranya, bukan hasil
manipulasi, apalagi “mark-up”. Penilaian otentik artinya penilaian yang didasarkan atas fakta yang
sebenarnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.

Gambar berikut menunjukkan keterkaitan yang utuh antara pembelajaran dan penilaian:

12
Hasil penilaian akan memastikan apakah rencana pembelajaran mengarah kepada pencapaian
kompetensi, selanjutnya juga akan membuktikan apakah pembelajaran sesuai dengan perecanaan. Hasil
penilaian akan mengindikasikan apakah pembelajaran berjalan sesuai dengan harapan, jika hasil penilaian
menunjukkan bahwa peserta didik tidak mencapai kompetensi yang diharapkan, maka perlu dirancang
tindak lanjut sebagai (umpan balik), kepada peserta didik yang bersangkutan diberikan pembinaan yang
tepat. Jika hasil penilaian menunjukkan bahwa peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan, maka
tindak lanjutnya adalah melanjutkan pembelajaran ke kompetensi berikut, atau pengayaan. Gambar di atas
menunjukkan bahwa penilaian berperan sebagai media untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas
pembelajaran.

Apabila indikator semua indikator pencapaian Komepetensi Dasar (KD) telah dibuat dengan benar, tinggal
buatkan rubriknya lalu masukkan ke dalam format excel. Guru tinggal memberikan tanda pada setiap
indikator yang dicapai oleh siswa. Setelah beberapa waktu akan terlihat jelas perkembangan siswa.
Datanya valid dan life time. Data tersebut sangat multi guna. Kegunaan aagi anak sebagai alat untuk
belajar agar terus mengembangkan diri, bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran, bagi orang tua
sebagai patokan dalam memberikan bimbingan kepada anak.

Bila cara ini dilakukan oleh guru, semua pekerjaan guru akan mudah, guru juga tidak sulit dalam
melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) tinggal mengolah datanya karena datanya data hidup. Dan
yang lebih penting lagi, guru tidak pusing lagi mengisi rapor, semua data sudah ada, baik data kuantitatif
berupa angka atau yang kita kenal dengan nilai maupun datan kualitatif. Data kualitatif akan menjelaskan
makna pencaaian angka atau nilai, dan itu sudah tergambar pada indikator. Kalau sudah begini, di akhir
semester guru bisa istirahat karena rapor tinggal di cetak (print) saja, data yang keluar sudah lengkap, baik
kuantitatif berupa angka (nilai) sekaligus beserta penjelasannya (deskripsi) sesuai dengan indikator yang
ada.

Cara ini akan menghindarkan diri kita dari tindakan manipulasi, semuanya jelas dan transpran. Jika hal ini
terjadi pada anak sejak Taman Kanak-Kanak (TK), sampai perguruan tinggi maka mereka tidak akan
melakukan kecurangan dalam kehidupannya nanti. Penilaian otentik menyelamatkan kita dari perbuatan
dosa. Ini akan menyelamatkan semua pihak dari kehancuran. Itulah pendidikan sejati, dan itulah kurikulum
sejati! Apabila kita konsisten menerapkan penilaian otentik beracuan kriteria, tentunya kita tidak akan
menggunakan rumus untuk mendapatkan angka tunggal dari sederetan angka yang diperoleh anak melalui
serangkaian tes, ujian, atau tugas-tugas yang diberikan guru. Angka seharusnya hanya digunakan sebagai
simbol yang bermakna presentase pencapaan kompetensi. Angka itu diperoleh dari perbandingan apa
yang dikuasai peserta didik dengan standar yang ditetapkan. Posisinya di berapa persen, 50, 60, 75, atau
100 persen.

Untuk itu, agar kita mendapatkan angka yang akurat, dan dapat menggambarkan pencapaian kompetensi
yang sesungguhnya, maka yang kita olah bukan nilai atau (angka), melainkan data yang menunjukkan

13
pencapaian kompetensi oleh siswa. Setelah data diolah, kita akan mendapatkan kesimpulan, seberapa
persen pencapaian dibandingkan dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki. Angka tersebut juga akan
menggambarkan seberapa persen terjadi perubahan dari kondisi awal. Artinya, angka diperoleh setelah
diperoleh kesimpulan secara kualitatif dari sejumlah data yang ada. Dengan demikian, angka final itu
dengan sendirinya dapat dijelaskan secara kualitatif. Apabila kita melakukan hal ini dalam penilaian, maka
kita akan terbebas dari tindakan manipulasi.

Penilaian berfungsi sebagai alat bantu untuk menelusuri hal-hal yang terjadi (perkembangan atau
kemunduran) yang dialami oleh setiap peserta didik di sepanjang proses belajar. Penilaian bukan berarti
“memberi nilai” atau “memberi angka”, melainkan serangkaian proses untuk mengidentifikasi hal-hal yang
telah dicapai dan hal-hal yang belum dicapai oleh siswa, lalu apa langkah selanjutnya demi kemajuan
belajar siswa secara berkesinambungan. Makna penilaian yang sesungguhnya adalah untuk memastikan
apakah siswa mendaptkan hak-hak pendidikan yang sebenarnya. Jika hasil penilaian menunjukkan anak
tidak berkembang sebagaimana mestinya, maka ia berhak untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik
lagi. Bukan sebaliknya, bila pencapaiannya rendah, ia justeru tersingkir. Lembaga pendidikan bukan
saringan, melainkan proses untuk membesarkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.

Dalam kebiasaan selama ini, penilaian dilakukan hanya untuk mendapatkan angka. Penilaian dianggap
selesai ketika angka sudah didapatkan. Angka adalah segala-galanya. Jika ada deskripsinya, itupun
hampir tidak memberikan informasi apa-apa tentang perkembangan anak. Oleh karena bersifat justifikasi,
maka yang terkena dampak hanya siswa. Jika angkanya bagus, maka ia dilabeli sebagai anak pintar, dan
tentunya sebagai anak pintar dia akan mendapatkan penghargaan dan pelayanan yang lebih baik.
Sebaliknya, jika nilai (angkanya) rendah, ia disebut sebagai anak yang lemah, tidak pintar, dan bagi anak
yang sudah dilabeli sebagai anak “lemah” atau tidak pintar, ia segera diminta untuk belajar sungguh-
sungguh, ia diberi kesempatan untuk memperbaiki, jika dalam batas tertentu tidak ada perbaikan, maka ia
ditawari untuk pindah. Seolah-olah tanggung jawab sepenuhnya dipikul oleh si anak.

Memang, guru memberikan kesempatan pada anak untuk memperbaiki nilai (bukan bimbingan untuk
memperbaiki kompetensi yang bermasalah), setelah berkali-kali di beri kesempatan, namun jika anak tetap
gagal, maka kesalahan dan tanggung jawab, serta resiko sepenuhnya ada pada anak. Inilah sumber
kekeliruan implementasi pendidikan yang berpotensi untuk meninggalkan generasi yang lemah di
kemudian hari. Kondisi ini harus diperbaiki.

VI. Literasi Penuh: Menemukan Makna dari Setiap Peristiwa

Perintah bahwa kita harus memiliki kemampuan literasi penuh turun sebelum manusia mengenal
huruf/abjat. Literasi bukan sekedar terbiasa cinta membaca, lebih dari itu, literasi adalah kemampuan
menangkap makna dari suatu peristiwa, kemudian makna tersebut dijadikan sebagai dasar keyakinan
dalam berbuat, atas keyakinan itu kita tidak berpikir panjang lagi untuk menerapkannya secara konsisten
dalam kehidupan. Selaras atau sejalan antara apa yang dipkirkan, diucapkan, dan dilakukan adalah salah
satu wujud dari kemampuan literasi yang disebut dengan literasi penuh.

Merujuk pada hasil kajian kelompok Paedia di Amerika Serikat yang terkenal dengan Silabus Pendidikan
Humanistiknya. Mereka mengembangkan kurikulum berorientasi pada pembentukan sifat-sifat
kemanusiaan. Kurikulum yang demikian akan abadi sepanjang masa. Dasar pemikiran dalam
pengembangan kurikulumnya adalah pandangan bahwa semua mata pelajaran penyumbang pembentukan
sifat-sifat kemanusiaan. Sebagai contoh, mata pelajaran Matematika memberikan nutrisi pada pemikiran
manusia terkait dengan keteraturan, ketegasan, perkembangan logika dari sederhana hingga kompleks,
kepastian, universalitas, abstraksi, ekonomis, dan keanggunan (kesejajaran, keragaman, ritme, dan
kesinambungan). Perangkat-perangkat pemikiran lain yang disumbangkan oleh matematika, antara lain:

14
ide-ide simbol, fungsi, transformasi, dan pembuktian. Matematika memberi kepuasan estetik atas
keberhasilan penggunaan pikiran untuk menyingkirkan ketidakjelasan, ketidakpastian, subjektifitas, dan
emosi.

Di balik ide pembuktian matematis terdapat aksioma yang diturunkan dari premis-premis yang tidak
terbantahkan. Ilmu ini sangat bermanfaat dalam penyelesaian berbagai persoalan kehidupan sehari-hari,
termasuk untuk mengungkap kebenaran dalam kasus-kasus pelik sehingga sangat membantu kita untuk
menemukan kebenaran dan keadilan sejati (Adler, 2009:61-131). Pelajaran bahasa melatih dan
mengkondisikan agar kita benar-benar literat terhadap berbagai hal penting dalam kehidupan. Bahasa
menjadi alat yang tidak tergantikan untuk mencapai kehidupan yang seutuhnya, kehidupan yang tidak
berhenti belajar. Lewat pembelajaran bahasa kita melatih kepekaan dalam mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis untuk mencapai literasi penuh.

Bahasa merupakan alat untuk membentuk, menyusun, mengevaluasi, dan mengapresiasi pemikiran serta
perasaan kita. Kemampuan bahasa juga bisa menata, menjernihkan, menghubungkan, memilah
hubungan, serta menghubungkan kembali pemikiran dan perasaan. Membaca dengan literasi penuh akan
menggiring kita untuk memahami pesan-pesan moral dari apa yang kita baca. Sebagai guru dan orang tua,
kita harus jeli membaca ketika murid berbicara. Sebelum kita merespon ucapan dan perilaku mereka, kita
harus membaca dengan cermat apa yang mereka ungkapkan atau lakukan.

Ilmu Alam atau IPA membantu kita untuk melakukan penjelajahan mencari penjelasan rasional atas
fenomena alam. Proses ini terus berlangsung di sepanjang kehidupan. Melalui IPA kita kenal dengan istilah
ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni menyumbangkan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan
tentang struktur dan operasi elemen-elemen alam semesta. Pencarian ini diarahkan untuk memperoleh
kebenaran yang bisa dibuktikan kepada semua orang. Ini akan mengukuhkan bahwa ilmu pengetahuan
bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu terapan menggunakan ilmu murni dan mengatur pemanfaatanya,
menyesuaikannya secara teknis dan ekonomis, dalam situasi ini kita terbantu oleh kehadiran berbagai
teknologi sehingga terasa sekali bahwa ilmu pengetahuan yang kita peroleh untuk memudahkan
kehidupan. Di awal usia sekolah, terutama di tiga tahun pertama belajar IPA, ceramah harus minimal,
sejumlah keajaiban bisa ditampilkan kepada anak agar mereka takjub dan “larut” dalam belajar mengasah
dan membesarkan potensi diri.

Ilmu sosial atau IPS berperan dalam mempersiapkan para murid untuk menjadi anggota masyarakat.
Setiap kita harus memiliki pemahaman dasar tentang fungsi-fungsi masyarakat, bagaimana menjalin
hubungan sosial di antara kita, hubungan negara kita dengan negara lain, dan bagaimana manusia
mempengaruhi dunia atau alam yang mereka huni, bagaimana mengelola sumber daya untuk
kesejahteraan jangka panjang, bagaimana menciptakan kerukunan hidup dalam keberagaman. Dalam hal
ini pembelajaran IPS harus dikaitkan dengan ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Nasr dengan tegas menyatakan bahwa kerusakan ekologis dan tatanan kehidupan berawal dari
dikeluarkanya agama dari sains. Realitas kosmik adalah manifestasi dan refleksi keberadaan Illahi. Pada
hakikatnya isi jagat raya memuat pesan-pesan genostik Illahi. Pelajaran sains moderen telah mereduksi
dan mendesakralisasi alam kosmik. “Alam hanya dihadirkan sebagai objek kajian manusia untuk
digunakan, direduksi, dimanipulasi, dan dikuasai demi memenuhi segala ambisi.

Tidak satupun fenomena atau peristiwa yang luput dari ketentuan Ilahi. "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang ghaib; Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan
tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata. Desakralisasi alam ini dampak dari desakralisasi pengetahuan.

15
Proses itu telah membelokkan orientasi pengetahuan yang seharusnya ditujukan untuk penemuan
kebijaksanaan yang memancar dari Illahi. Akibatnya rasa kagum atas realitas alam menjadi hilang”
(Sugiantoro, 2015).

Jika diibaratkan ilmu sebagai jasad maka agama adalah ruhnya. Ketika kita pisahkan antara ilmu dan
agama, kita telah mencabut ruh dari jasad. Di situlah kehancuran berawal. Kembalikan kurikulum ke
hakikatnya, yaitu kurikulum untuk kehidupan yang memanusiakan manusia, agar mereka menjadi manusia
yang cerdas, bijak, dan tangguh sampai dewasa nanti. Inilah puncak dari proses literasi.

VI. Penutup

Uraian di atas memicu rasa ingintahu kita, di manakah sesungguhnya ruang kerja guru?. Banyak di antara
kita yang belum menyadari bahwa ruang kerja guru yang sesungguhnya berada di tempat yang paling suci
dan paling mulia, yaitu di alam pikiran dan hati nurani manusia.   Sebuah ruang yang hanya diberikan
kepada manusia sebagai modal bagi manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, penyelamat
kehidupan, dan rahmat bagi sekalian alam.  Di ruang itu bersemayam dua kekuatan sama besar dan
seimbang, kekuatan positif dan kekuatan negatif.  Kedua kekuatan itu sengaja dibuat seimbang sebagai
bentuk “penghargaan” dari Allah SWT kepada manusia karena dengan cara itu manusia memiliki
kesempatan untuk menunjukkan kemampuan melawan godaan yang besar. Semakin besar godaan
semakin besar upaya untuk menaklukannya, jika itu mampu dilakukan, maka manusia yang bersangkutan
langsung diangkat derajatnya oleh Allah SWT. 

Sebagai orang yang dipercaya untuk mengelola dan bekerja di ruang suci dan mulia itu, guru menjadi
sosok terpenting dalam kehidupan. Oleh karenanya, profesi sebagai seorang guru adalah profesi yang
tidak bisa dibandingkan dengan profesi yang lain, profesi yang berada di atas segala-galanya. Semua
profesi lain, tidak akan ada tanpa guru. Inilah kehormatan seorang guru. Untuk itu, selamat kepada Anda  
yang berani menjadi guru. Berani memilih profesi dengan tantangan terberat, menyadarkan setiap orang
agar menjadi insan kamil, makhluk paling mulia, khalifah  yang berperan sebagai sang penyelamat
kehidupan.

Semakin sulit dan rumit persoalan anak didiknya, justeru makin menantang semangatnya karena dibalik
besarnya persoalan anak didik tersedia jalan yang lebar untuk mendapatkan ridho Ilahi. Semakin terkuras
energinya, semakin besar nilai amal yang ia dapatkan, dan itu semua justeru menjadi pembuka pintu rezeki
yang tak ternilai harganya. Dua hal yang menjadi modal utama bagi seorang guru, yaitu hati nurani dan
keikhlasan. Kedua modal itu menjadi pintu keberkahan rezeki dan jalan amal yang tidak ternilai harganya,
semua itu mengalir tanpa henti di sepanjang masa, dunia dan akhirat.

Itulah sosok seorang “GURU SEBAGAI IMAM DAN SANG PENYELAMAT KEHIDUPAN”.

Daftar Pustaka

Anas, Zulfikri, 2013, Sekolah Untuk Kehidupan: Gagasan Awal untuk Berpikir Ulang tentang Sistem Pendidikan Kita dan
Memahami Posisi Kurikulum, Jakarta, Almawardi Prima
Anas, Zulfikri, 2017, Kurikulum untuk Kehidupan: Kumpulan Tulisan Reflektif tentang Pendidikan Karakter Menuju Revolusi
Pendidikan, Jakarta, Almawardi Prima.
Aamodt, Sandra dan Sam Wang, 2011 , Cara Pikiran Berkembang dari Masa Pembuahan Hingga Kuliah, Welcome to Your
Child’s Brain. Jakarta, Gramedia
Anderson, Lorin W dan David R Krathwohl, 2015, Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen ,
Yogyakarta, Pustaka pelajar
Arends, Richard I, 2007, Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar (Buku Satu ), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Arends, Richard I, 2007, Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar (Buku Dua), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

16
Armstrong, Thomas, 2002, Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Beradsarkan Teori Multiple
Intelligence, Jakarta, Gramedia
Armstrong, Thomas, 2004, Membangkitkan Kejeniusan di Dalam Kelas, batam, Interaksara
Barzun, Jacques, 2009, Program Paedia, Silabus Humanistik, Jakarta, I-Publishing
Brown, Brene, 2016, The Gift of Imperfection (Kekuatan Menerima Diri Apa Adanya), Jakarta, Gramedia
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society , Chicago and London, The University of Chicago
Press.
Dewey, John, 2009, Pendidikan Berbasis Pengalaman, Jakarta, I-Publishing
Faizah, Dewi Utama (Ed.), 2010, Arah Aktif, Sebuah Seni Mendidik, Gubahan Mohammad Sjafei (1953), Solo, Tiga Serangkai
Faizah, DU, 2008, Keindahan Belajar Dalam Prespektif Pedagogi, Jakarta, Cindy Grafika
Gardner, Howard, 2003, Multiple Intelligencies, Kecerdasan majemuk, Teori dalam Praktik , Batam, Interaksara.
Hidayat, Rahmat, 2011, Pengantar Sosiologi Kurikulum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada
Hodson, Derek, 2011, Looking to the Future, Building a Curriculum for Social Activism, Rotterdam/Boston/Taipei, Sense
Publishers
Jensen, Eric, 2008, Brain Based Learning, (terj.) : Permbelajaran Berbasis Otak: Cara baru dalam Pengajaran dan Pelatihan ,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Kelly, A.V., 2009, The Curriculum: Theory and Practice, 6th Edition, Los Angeles, Sage
Maimun, Ach. 2013, Seyyed Hossen Nasr, Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif,
Yogyakarta, IRCiSoD
Oliva, Peter F and William Gordon, II, 2013, Developing the Curriculum, 8th Edition, USA, Pearson
Pink, Daniel H, 2009, The Whole New Mind: Misteri Otak Kanan Manusia, Yogyakarta, Penerbit Think
Sahlberg, Pasi, 2011, Finish Lessons, Mengajar Lebih Sedikit, belajar Lebih Banyak ala Finlandia, Bandung, Mizan

Sumber dari Internet :

http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/11/24/oh4ws710-living-curriculum
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/11/20/ny3sw918-kurikulum-untuk-kehidupan
http://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/05/05/nnv9cz47-jalan-pintas
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/08/22/ocarc82-merdeka-dari-kepalsuan
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/12/30/oizks116-batalnya-moratorium-un
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/07/03/nqwmc852-buku-dan-bangsa-literasi
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/11/20/ny3sw918-kurikulum-untuk-kehidupan
http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/18/ngrhw72-kurikulum-di-simpang-jalan
http://www.republika.co.id/indeks/hot_topic/zulfikri_anas
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/24/okaghk374-membaca-tak-sekadar-merangkai-huruf-menjadi-kata
http://www.alfalahku.com/tag/dr-zulfikri-anas/
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/09/09/nudxkp374-untuk-apa-belajar-hitunghitungan-ini-kata-peneliti-
2habis

17

Anda mungkin juga menyukai