Anda di halaman 1dari 8

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

A. ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, di
mana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte
dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert
Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,
hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana
ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik
tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana
didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing–masing yang membuat
sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional,
sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran
inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural
fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu
membentuk berbagai perspektif fungsional modern.Selain dari Durkheim, teori struktural
fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi
Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :
Visi substantif mengenai tindakan sosial.
Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons
dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat komponen penting
dalam teori struktural fungsional, yaitu :Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency
(AGIL).
a. Adaptation: sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b. Goal Attainment: setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang
ingin dicapai oleh system sosial tersebut.
c. Integration: setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan
pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan
bertahan hidup demi system.
d. Latency: system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif
tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan
yang diperbaharui terus menerus.

B. TEORI-TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL


1. Teori fungsionalisme Parsons
Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu,
teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu
dipengaruhi oleh keberhasilanAmerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan
setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau
dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori
Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk
melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya,
seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman
kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.

2. Emile Durkheim
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki
realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi
tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan
normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang
suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi
ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami
suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu
dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem
politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan.
Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada
akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.
Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu
sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau
perubahan sosial.

3. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown


Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat
sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat,
analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa
konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-
511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer :
Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara
penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai
keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan
kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).

4. Coser dan Rosenberg (1976: 490)


Melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam
mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk
memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar.
Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu
sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama,
atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau
sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain
(norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.
Coser dan Rosenberg (1976: 490) membatasi fungsi sebagai ”konsekuensi-konsekuensi
dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari
bagian-bagian komponennya”. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang
terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma
sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan
satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.

5. Kingsley Davis
Dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological
Association”, pada tahun 1959 bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa
fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi
dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat
serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan
mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.

6. Robert K. Merton
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah
mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang
pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa
pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa
fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton,
1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional,
yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara
berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya
temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model
fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling canggih dari
pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.”Model analisa fungsional Merton
merupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang
menggunakan penulis besar seperti Max Weber.
Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber,
Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :
(1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal; (2) ia
meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut
secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi
diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi
tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis; (6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam
birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada jabatan,
bukan pada orang; (8) hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal.
Organisasi-organisasi yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi,
memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.
Paradigma analisa fungsional Merton, mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep
analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang
terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang
terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu.
Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai
”suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat
keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan
bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah ”bertentangan dengan
fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat
fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi
disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat
agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita
memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat,
kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh
diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif).
Sebagai contoh, beliau juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok
(masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast, misalnya) dapat tidak fungsional bagi
keseluruhan bagi kota Belfast. Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus
diperinci.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama.
Fungsionalisme universal menganggap bahwa ”seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang
sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita
ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku
sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural
seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance
of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif.
Sehubungan dengan kasus agama yang dicontohkan tadi, seorang fungsionalis harus mencoba
mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan keseimbangan di antara
keduanya.
Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability.
Ia menyatakan bahwa ”dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan,
dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai
keseluruhan” (Merton, 1967: 86).

7.Teori struktural fungsional sebagaimana Garna (1996: 54)


Mengemukakan, Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat
menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk
dan disusun oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka
fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua,
struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah
memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap
satuan sosial tadi.

8. Menurut Sendjaja (1994: 32)


Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;
b. Adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi sistem;
c. Adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;
d. Adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan
e. Adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya
untuk menjaga eksistensi sistem.

9. Francesca Cancian
Memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan
persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang
sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk
sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau
keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa
depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan
dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa
waktu lampau.

10. Kingsley Davis dan Wilbert Moore


Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial
merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan
fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga
memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan
tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi
(kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda
dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah
bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat.
Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi
tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,
a. Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
b. Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain.
c. Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi
penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan
terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang
menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak
dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang
berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai