Anda di halaman 1dari 36

1.

Etika politik para pejabat


Diskursus etika dan politik menarik untuk dikaji karena dua entitas tersebut mempunyai
hubungan yang erat. Kalau ditelusuri etika politik menggabungkan etika dan politik. Etika in
se mengandung imperatif moral dan prinsip-prinsip etika berlaku hampir dalam berbagai
konteks termasuk politik. Etika menuntut orang bertindak berdasarkan prinsip umum yang
diterima secara universal tanpa perbedaan baik sebagai masyarakat maupun sebagai para
pejabat/pemerintah.
Politik lebih mencakup aktus kerja sama dengan orang lain untuk mencapai bonum
commune. Dalam Comparative Government and Politics Rod Hague dkk, menulis politics is
the activity by which groups reach binding collective decisions through attempting to
reconcile differences among their members (Politik merupakan kegiatan yang berhubungan
dengan cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat
kolektif di antara para anggotanya). Dan Peter Merkel dalam continuity and change menulis
Politics at its best is a noble quest for a good order and justice (Politik dalam bentuknya
yang paling baik merupakan usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan
berkeadilan).
Dalam Ta Politica Aristoteles menjelaskan bahwa manusia adalah zoon politicon: makhluk
politis dan makhluk sosial. Politik menurutnya adalah aplikasi dari etika dan permenungan
tentang kebajikan adalah langkah pertama dan utama dari etika. Tujuan politik sama dengan
etika dan sama dengan tujuan kehidupan manusia pada umumnya yaitu berkiblat pada
eudaimonia. Etika dan politik yang menjadi etika politik menjawabi pertanyaan apa yang
menjadi tujuan dari semua kebijakan politik dan apa yang harus dicapai oleh para pemegang
jabatan publik. Karena itu etika politik menuntut para pejabat untuk bertindak sesuai prinsipprinsip yang diterima universal tanpa perbedaan baik sebagai warga negara biasa maupun
sebagai pemegang jabatan publik. Etika politik sangat penting bagi para pejabat agar mereka
dapat

mengambil

suatu

kebijakan

yang

tidak

merugikan

masyarakat

umum.

Lalu apa yang terjadi dengan politik tanpa etika? Privatio etika dalam berpolitik dapat
membuat para pemegang jabatan publik/penguasa menyalahgunakan jabatannya. Tragedi Mei
1998 adalah contoh politik yang dijalankan tanpa etika. Hal ini dinilai melanggar etika politik
karena pemerintah menyalahgunakan kekuasaan untuk mempertahankan kedudukannya.
Dengan ini mengabaikan prinsip kekuasaan berasal dari rakyat dan dipergunakan sepenuhnya

untuk

kesejahteraan

rakyat.

Contoh nyata lain yaitu kebijakan pengesahan UU Pornografi yang belum jelas substansi
persoalan utamanya yang menimbulkan masalah lain seperti fenomena premanisme.
Kebijakan tersebut dinilai melanggar etika politik karena pemerintah mengabaikan suara
masyarakat yang menolak UU tersebut. Pemerintah dilihat mengarah pada sistem
pemerintahan yang totaliter dan terlalu mencampuri privasi rakyat, sementara negara kita
adalah negara demokrasi. Dengan ini pemerintah mengabaikan peran masyarakat dalam
negara alam demokrasi yang dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Praktik
korupsi yang menggurita dalam struktur birokrasi kita juga disebabkan karena ketiadaan etika
dalam berpolitik, dan diharapkan dalam usianya yang ke-50 tahun ini para pejabat semakin
mengedepankan etika dalam berpolitik agar NTT bebas dari penyakit korupsi.
Ketiadaan etika politik membuat para pejabat bertindak merugikan masyarakat. Menghadapi
kenyataan

ini,

maka

Masalah

etika

politik

Etika

bagi

para

pejabat

mutlak

politik

perlu.
Jabatan

D. F. Thomson (pimpinan Alfred North Whitehead profesor of philosophy), menjelaskan


permasalahan etis yang dihadapi para pejabat muncul dalam dua ciri umum yaitu sifat
representasional dan organisasional. Sebagai representan rakyat para pejabat bertindak atas
nama orang banyak. Atas nama suatu kepentingan bersama mereka bisa mengambil suatu
kebijakan entah merugikan masyarakat atau tidak. Tak jarang tindakan seperti ini
mengorbankan masyarakat. Di sini mereka mempunyai hak dan kewajiban yang tentu
berbeda dengan rakyat biasa, atau sekurang-kurangnya memiliki hak yang sama dengan
rakyat

tetapi

pada

taraf

dan

tataran

yang

tidak

sama.

Para pemegang jabatan publik juga bersifat organisasional, dalam arti mereka bekerja dengan
orang lain dalam lingkupnya. Mereka merumuskan suatu kebijakan bersama atas nama warga
masyarakat untuk kebaikan masyarakat tersebut. Kenyataan umum yang sering terjadi bahwa
seringkali keputusan yang diambil menimbulkan konsekuensi yang tidak direncanakan dan
tidak menyingkap siapa yang bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena mereka bekerja
dalam

suatu

organisasi.

Agar para pejabat/elit politik tidak bertindak salah atau menyimpang, maka etika politik
sangat diperlukan.
Sumber : http://catat-kan.blogspot.co.id/2012/10/etika-politik-para-pejabat.html
Urgensi Etika Politik di Indonesia 04 Mei 2014 14:18:55 Diperbarui: 23 Juni 2015 22:53:31
Dibaca : 3,419 Komentar : 1 Nilai : 0 Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia, manjadi suatu kajian yang menarik bagi penulis. Hal ini karena saat
ini Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa kelam berpolitik.
Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki
masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan
perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya,
tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh kepentingan pribadi
dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para elit berkuasa lebih mudah
menghalalkan segala cara apapun untuk mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak
lagi mengindahkan nilai-nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus
mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan
melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik
dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta
tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena
bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu
penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini
cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya
kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai
politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun
cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini
merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung
langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika,
mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini
cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang. Kurangnya
etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan
politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang
dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun
dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give,
berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi
penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan
kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter,
termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh
nilai-nilai emosi. Saat ini negara sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua

telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di
hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin
hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan
karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita
atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian,
reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu
sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih
baik. Sudah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-persoalan itu tak juga
dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit membaik,
seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang
hukum, politik, dan sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum
dan politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi,
bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen
untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga
tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik
kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya,
politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses mewujudkan kebaikan
bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa
seiring rasa saling percaya diantara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan.
Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak
dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang
mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama
membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara. Setelah segala cara memperbaiki sistem,
baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka
banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,
melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup. Betapapun
sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum
mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah
soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya
perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat
dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya
mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa
berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
konstitusi kita, UUD 1945. Untuk itu perlu diketahui tentang bagaimana sesungguhnya Carut

marut politik nasional, bagaimana Membangun politik etis dan berakhlak mulia, dan
bagaimana Membangun politik social. Carut marut politik nasional Kekuasaan Soeharto
selama 32 tahun merupakan sesuatu yang fenomenal. Kemajuan ekonomi yang sempat diraih
diera pemerintahan soeharto tidak diikuti oleh perubahan politik dalam mendorong
demokrasi. Sebaliknya justru kemajuan ekonomi ini memberikan basis legitimasi bagi
kelangsungan otoritarianisme. Huntington dalam Ismanto (2004) yang dipengaruhi oleh
pemikiran teori modernisasi, memandang bahwa kehadiran suatu rezim yang otoritarianisme
merupakan proses dan tahapan yang sulit dihindari bagi Negara berkembang. Oleh karena itu,
peralihan kekuasaan dari presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto tidak berarti
mengakhiri struktur otoritarian yang dibangun oleh Soekarno. Bahkan gagasan dan prakterpraktek otoritarian selama demokrasi terpimpin justru dikembangkan melalui cara-cara yang
lebih sistematis dan canggih (sophisticated). Depolitisasi dan restrukturisasi system
kepartaian yang diperkenalkan pada awal 1970-an membuka ruang bagi Soeharto untuk
mengendalikan kekuatan-kekuatan politik lebih sistemis. Ketika Soeharto jatuh dan
digantikan oleh B. J. Habibie, gerakan reformasi menggulir terutama dibidang politik dan
pemerintahan. Habibie berusaha untuk menegakkan demokrasi dan meminta pemeilihan
umum dipercepat dengan mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan
Pemilu. Undang-undang ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang
atau golongan untuk membentuk partai politik yang tadinya sangat terbatas dan tertutup pada
masa orde baru. Menjelang pelaksanaan pemilu 1999 sudah ada 150 partai politik tercatat
didepartemen Kehakiman dan Perundang-undangan, namun hanya 48 partai politik yang
memenuhi persayaratan dan diperkenankan ikut menjadi peserta pemilu 1999. Pada periode
tersebut, terjadi konstalasi politik yang berubah karena Golkar sudah berpisah dengan Karya
ABRI setelah Edy Sudrajat dikalahkan oleh Akbar Tanjung dalam memperebutkan jabatan
Ketua Umum Golkar. Edy Sudrajat keluar membentuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Liberalisasi politik telah dibuka oleh Habibie dengan membebaskan tahanan politik yang
bersikap kritis terhadap SOeharto, termasuk kelompok radikal bermukim di Malaysia,
Pakistan, dan Afganistan dibolehkan kembali ke Indonesia. Habibie juga membuka kran
kebebasan pers dan memberi kebebasan berorganisasi yang seluas-luasnya kepada anggota
masyarakat. Liberalisasi ini membawa dampak yang luas bagi dinamika perpolitikan di
Indonesia dengan perubahan jumlah partai politik dalam pemilu 1999 sebanyak 48 partai
politik. Adanya pertimbangan melihat jumlah partai yang ada, serta banyaknya partai kecil
yang tidak memenuhi syarat perolehan suara (threshold) dalam pemilu 1999, maka melalui
UU No. 12 Tahun 2002, partai politik yang bisa diperkenankan ikut pemilu 5 April 2004

harus memenuhi ketentuan pasal 9 yang menyatakan untuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memenuhi kebijakan tersebut. Dalam pemilu
2004 tercatat ada 148.000.369 warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, namun
hanya 124.420.339 jiwa yang menggunakan suaranya. Ini berarti ada 23.580.030 orang tidak
menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu 2004 tersebut juga dilakukan pemilihan DPR dan
DPD, dengan demikian, dalam tubuh MPR terdapat dua tempat, yakni DPR dan DPD. Model
ini sekali lagi mencoba meniru model pemerintahan Amerika dimana kongres terdiri dari 2
rumah, yakni senat dan DPR. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jika dalam DPR
terdapat 100 orang wakil ditunjuk untuk jatah ABRI dan Non-ABRI serta penempatan wakil
daerah di MPR setelah melalui pemilihan di DPRD tingkat provinsi, maka dalam pemilu
2004 semua anggota DPR dan anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat sesuai pasal 2 UU
Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Dengan demikian, terpilih
tidaknya seseorang anggota DPR dan DPD sangat tergantung dari pemilih. Perubahan ini
sangat fundamental karena sebelumnya keterwakilan seorang anggota DPR sangat ditentukan
oleh pimpinan partai. Selain masalah partai politik, yang terjadi di masyarakat belakangan
ini, pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian
rupa. Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme
telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak lagi dijadikan acuan
tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung
sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan
perilaku miskin etika. Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti
pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic exercise, hanya
menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku kuliah. Senyatanya,
terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik
terreduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan
kekuasaan. Padahal jelas, politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya
menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam
demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada
untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa. Di bidang
pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Aparat pemerintahan saat ini
kebanyakan melihat status dan jabatan yang disandang bukan sebagai amanat untuk
mengabdi pada bangsa dan negara sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat
tersebut. Sebaliknya, status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari

keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan
dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi.
Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah
pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Hilanglah
kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah
semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya dengan kerja sesedikit mungkin. Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk
keuntungan pribadi tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan
mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan
dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program
tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan ketidakjujuran
data serta melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu
anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya merugikan
rakyat. Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika.
Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga terlibat
dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur, bukankah
pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar
etika seharusnya merasa lebih berdosa daripada melanggar hukum karena pada dasarnya etika
merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai etik yang
diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat negara sudah terbukti
melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu mengundurkan diri tanpa perlu menunggu
putusan pengadilan. Pelajar ilmu hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi
dari nilai-nilai agama, etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam
bermasyarakat untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah,
kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum. Di bidang sosial, etika
dalam pergaulan antar sesama warga semakin tergerus oleh berbagai hal, mulai dari
pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung,
sampai dengan menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu
agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali menyulut konflik
meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi, perbedaan pendapat lebih sering
diselesaikan

dengan

menggunakan

"okol"

ketimbang

akal.

Akibatnya,

alih-alih

menyelesaikan masalah, yang ada persoalan makin rumit dan kian meruncing.
Kecenderungan lebih menggunakan "okol" ketimbang akal menunjukkan melemahnya

penghargaan dan penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia. Tak berhenti sampai di
situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak
orang yang suka melanggar etika akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli
gelar akademik dan suka mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada
akademisi yang suka "menjual" keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain
dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta menyampaikan
pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu pada pakem ilmiah-akademis
melainkan bergantung pesanan dan pendapatan. Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan
merupakan prestasi akademik luar biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa
punya artikel, buku, atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah
dengan cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya, padahal
ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah akademik itu merupakan
orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri. Dan apabila seseorang sudah bisa
membohongi diri sendiri, maka dia tidak sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri
koruptor atau calon koruptor. Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut
berkontribusi banyak dalam keterpurukan moral dan etika bangsa. Dewasa ini, ukuran etis
atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap permisif masyarakat terhadap hal-hal yang
sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian
mengerikan dan merajalela, salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah
menganggap korupsi sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun
ada kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri
tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan
korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak
ada yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti. Di bidang hukum, yang
terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan
hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak
membawa perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran
etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga legislatif. Di
ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti pada keinginan menegakkan
bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa melibatkan moral dan etika. Penegakan
hukum yang hanya sekedar menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas
etika dan moral keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali
gagal diwujudkan. Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari
etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan. Namun

demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang dijalankan justru
mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa suap dalam bentuk commitment fee
atau kick back dalam proyek misalnya, menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah
mengesampingkan etika. Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah
dipegang teguh, korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat
dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang mengakibatkan
kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang. Pelanggaranpelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi terkait dengan lemahnya etika
pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu dengan pengusaha yang mengaku terpaksa
menyuap pejabat karena pejabatnya yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia
akan kalah atau dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi. Tentu kita miris
dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain adalah suara sirine tanda bahaya bagi negara
ini. Saya sering menyebut kondisi negara saat ini sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi
memang ada ketentuan tentang negara dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari
negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan sekarang ini lebih
bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara. Ancaman bahaya itu ialah
terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah
membuat kita sulit menemukan orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran,
mengapresiasi orang lain secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu
yang ironis mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk
memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan. Membangun
politik etis dan berakhlak mulia. Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor
penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak
dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi,
tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk
mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini
sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para
pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan
Berbangsa meliputi: 1.

Etika Sosial Budaya Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa

kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling
memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama

manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu
berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur
budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus
diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan
masyarakat. 2.

Etika Politik dan Pemerintahan Etika Politik dan Pemerintahan

mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif,
siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya
bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam
bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura,
tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak
manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. 3.

Etika Ekonomi dan Bisnis

Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya
tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan
ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.
Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang
mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih menimbulkan
akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis
kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan
kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme
percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan.
Oleh karena itu, tidak boleh ada batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini,
terutama kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara.
Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan.
Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan
kekuasaan atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan
bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang.
Selain menimbulkan kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar
karena produksi tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun
terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua, perekonomian
kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan
barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas
kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia.

Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar "seolah-olah" semakin
besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu
akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai
dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang
menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama
maraknya praktik korupsi. 4.

Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dimaksudkan

untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup
bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan
yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi
dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil,
perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum,
dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentukbentuk manipulasi hukum lainnya. 5.

Etika Keilmuan Etika ini dimaksudkan untuk

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga
bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini
diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin
dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar,
meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. 6.

Etika Lingkungan Etika lingkungan menegaskan

pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata
ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang
menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat
konstan sehingga persoalan sesungguhnya

adalah bagaimana menanamkan etika,

mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk


itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral
yang menjadi sumber etika serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam
Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika
bernegara adalah: a.

Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam

kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal,
informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara,
pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat. b.

Mengarahkan orientasi pendidikan yang

mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan

menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta
pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan inte
c.

lektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan. Mengupayakan agar

setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh
nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun
evaluasi. Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan
lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat perilaku
minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke
dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali
bahwa semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan
mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-dimensi etis
dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa.
Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua
hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan
karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam proses
pendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal.
Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap
pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam
menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan akademik serta
kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di
kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan
berpengaruh lebih tinggi terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat
dibanding dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan. Kedua, persoalan
etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh negara dan para aparatnya. Negara dalam
geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya
perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi
anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di
era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimipin yang
beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat
melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta
organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara. Atas
dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam sanubari dan
kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi oleh etika dan moral,

akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan menggagalkan tujuan kita
mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.
Membangun politik sosial Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kegiatan
interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya. Manusia senantiasa akan selalu
berinteraksi dengan yang lainnya dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Melalui
proses interaksi dan komunikasi ini pula lahirlah sebuah budaya dalam kehidupan
masyarakat. Suatu budaya yang diterapkan dalam kehidupan suatu sistem sosial akan
mempengaruhi sistem komunikasinya pula. Karena itulah komunika memiliki kaitan yang
sangat erat. Sama halnya yang dikatakan oleh Edward T. Hall, "Budaya adalah komunikasi"
dan "Komunikasi adalah budaya". Budaya adalah hasil dari proses komunikasi yang
dilakukan

dalam

kehidupan

masyarakat.

Dalam

berkomunikasi,

budaya

sangat

mempengaruhinya baik secara pola, jenis ataupun konteks. Budaya merupakan suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu sistem sosial yang kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan

meliputi

sistem

ide

atau

gagasan

yang

terdapat

dalam

pikiran

manusia.

Menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan
dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Budaya politik
merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap
unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan
para elitenya. Budaya politik merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam
sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap
objek sosial-sistem politik-yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk
orientasi

yang

bersifat

kognitif

(pemahaman

dan

keyakinan),

afektif

(ikatan

emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian). Budaya politik merupakan cerminan sikap


khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap
peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Bisa dikatakan budaya politik merupakan
orientasi psikologis terhadap objek social-sistem politik yang kemudian mengalami proses
internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan),
afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian). Para ilmuwan sosial mengakui
bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari
satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi kemudia komunikasi juga
ikut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Ini berlaku juga

pada budaya politik yang berpengaruh kuat terhadap komunikasi politik di Indonesia. Dalam
kehidupan masyarakat, Almond dan Verba mengatakan bahwa ada tiga tipe budaya politik
yang dapat ditemukan, yaitu budaya parokial, kaula, dan partisipan. Untuk Indonesia sendiri
saat ini ada dua budaya politik yang ada dalam masyarakat, yaitu budaya politik parokial dan
kaula. Masyarakat Indonesia masih tertinggal dalam hak dan kewajiban akan politiknya. Hal
ini disebabkan pengalaman politik di kehidupan masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme,
dan patrimonialisme. Hanya sebagian saja yang sudah memiliki budaya partisipan dalam
kehidupan politknya, yaitu kalangan elite politik dan masyarakat perkotaan. Hal ini ditopang
oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Sistem politik
demokratis yang dijalankan Indonesia saat in masih belum seiring dengan kebudayaan politik
yang ada di dalamnya. Idealnya, negara yang demokratis bisa didapatkan jika budaya politik
masyarakat yangpartisipan. Namun, kembali pada budaya politik yang terdapat di Indonesiaparokial dan kaula-belum bisa mewujudkan sistem yang demokrasi. Oleh karena itu, sebagai
konsekuensinya, kalangan pemerintah dan elite politik harus mengambil langkah-langkah
strategis demi mewujudkan budaya politik partisipan (demokrasi). Ini dilakukan untuk
mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis. Kepentingan dan aspirasi
rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan. Penerapan suatu konsep
seringkali menjadi kabur ketika akan diaplikasikan di dalam praktek berpolitik dalam
kehidupan sehari-hari, namun proses institusionalisasi demokrasi partisipatif akan
terdorongmelalui desentralisasi dan devolusi kewenangan ke tigkat lokal karena partisipasi
maksimum masyarakat dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran dariunit pengambilan
keputusan.

Demokrasi

pertisipatif

juga

dapat

ditingkatkan

dengan

memfasilitasi

terbangunnya institusi masyarakat seperti asosiasi berbasis tempat tinggal, mata pencaharian,
hobi dan sebagainya yang memungkinkan berlangsungnya solidaritas antar individu dan
upaya kolektif. Keberadaan komite masyarakat, forum masyarakat dan bentuk-bentuk
asosiasi yang demokratis lainnya dianggap strategis untuk mengimplementasikan demokrasi
partisipatif
Selengkapnya

http://www.kompasiana.com/suaibnapir/urgensi-etika-politik-di-

indonesia_54f76e8da3331119368b4846
Etika Politik Dirusak
Kamis, 18 Juni 2015 | 15:00 WIB

24
Shares

KOMPAS/DIDIE SWIlustrasi

JAKARTA, KOMPAS - Niat sejumlah kepala dan wakil kepala daerah untuk mengundurkan
diri hanya agar keluarganya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah telah merusak etika

politik. Selain tidak menghargai amanah rakyat untuk menjabat selama lima tahun, hal itu
juga dilakukan hanya untuk menyiasati undang-undang.
Setidaknya sudah tiga kepala/ wakil kepala daerah yang siap mundur dari posisinya semata
agar keluarganya bisa maju dalam pilkada tahun ini. Ketiganya adalah Wali Kota Pekalongan
Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut
Situmorang.
Mereka harus mundur karena Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan, calon kepala/wakil kepala daerah
tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dalam penjelasan pasal itu disebutkan, konflik kepentingan itu berarti petahana berhubungan
darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke
samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak,
menantu. Kecuali, telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Rabu (17/6), di Jakarta, mengatakan, kepala/wakil
kepala daerah berhak mengajukan pengunduran diri. Namun, ia menyayangkan alasan
mundur itu. Alasan itu telah mengingkari komitmen mereka memimpin daerah selama lima
tahun. Selain itu, alasan muncul hanya untuk menyiasati UU yang melarang calon punya
konflik kepentingan dengan petahana.
Saat ditanya soal kebijakannya terhadap pengunduran diri kepala/wakil kepala daerah itu,
Mendagri mengatakan, sebelum menerbitkan penetapan pemberhentian atau tidak,
Kemendagri akan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK itu tak lain putusan atas uji materi Pasal 1 Angka 6 tentang larangan calon tanpa
konflik kepentingan dengan petahana. Permohonan uji materi diajukan Adnan Purichta
Ichsan, anggota DPRD Sulawesi Selatan yang juga putra dari Bupati Gowa, Sulsel, Ichsan
Yasin Limpo, dan Aji Sumarno, menantu Bupati Selayar Syahrir Wahab (Kompas, 7/3).
Disayangkan

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo,
menyayangkan sejumlah kepala/wakil kepala daerah yang telah mencederai etika politik
dengan bersiasat di balik larangan tegas yang disebutkan dalam UU Pilkada.
Namun, menurut Arif, meski petahana mundur menjelang pilkada, bukan berarti keluarga
mereka bisa maju dalam pilkada. Mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah, jika kepala/wakil kepala daerah telah menjabat lebih dari 2,5 tahun, berarti mereka
dianggap sudah menjabat satu periode atau lima tahun sehingga jika mundur mereka berstatus
petahana.
"Jadi, kami mengharapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) tetap menolak keluarga petahana
maju dalam pilkada sekalipun petahana tersebut telah mundur dari jabatannya," ujar Arif.
Meski demikian, KPU berpandangan bahwa petahana, seperti dikatakan anggota KPU, Hadar
Navis Gumay, adalah kepala/wakil kepala daerah yang sedang menjabat. Ini pun disebutkan
dalam Peraturan KPU No 9/2015 tentang Pencalonan sehingga kepala/wakil kepala daerah
yang sudah mundur tak masuk dalam kriteria sebagai petahana dan keluarganya tetap bisa
maju dalam pilkada. (APA/WER/FRN/FLO)
* Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 Juni 2015 dengan judul "Etika Politik
Dirusak".
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2015/06/18/15000021/Etika.Politik.Dirusak

ETIKA POLITIK PEJABAT NEGARA


ETIKA

POLITIK

Tanggung

PEJABAT

NEGARA

Moral

Pejabat

Jawab

Masalah penting tentang etika politik ialah banyaknya tangan yang terlibat atas produkproduk

politik

(keputsan-keputusan

dan

kebijakan

pemerintah)

Tak dapat dibantah, bahwa sebelum produk politik berupa keputusan dan kebijakan
ditetapkan, banyak pihak / pejabat baik dari instansi sendiri maupun dari instansi lain yang
ikut sumbang saran dengan berbagai cara agar idea-idea mereka diserap dalam keputusan

atau kebijakan pemerintah, maka sulit secara prinsip mengidentifikasi siapa yang
bertanggung

jawab

secara

moral

atas

suatu

produk

politik.

Walaupun suatu suatu kebijakan dinilai salah secara moral, namun sukar mendeteksi dan
mengalokasikan

siapa

yang

melakukannya.

Banyaknya tangan yang membidangi suatu produk politik juga menimbulkan masalah
demokratis,karena sifat dari pembuatan kebijakan itu menghalangi akuntabilitas. Sebab bila
warga negara mencari pejabat untuk diminta bertanggung jawab atas suatu kebijakan, mereka
jarang menemukan seseorang yang sendirian melakukan kebijakan itu, dan bahkan tidak
dapat menyingkap sipa yang sumbangan pendapatnya menjadi key word atau ide dasar dalam
kebijakan

itu

Thompson

untuk

dipersalahkan.

(2000:50)

mengatakan:

Menurut model hirarki tanggung jawab untuk suatu produk politik dibebankan kepada
orang yang berkedudukan paling tinggi dalam rantai wewenang (hirarki) formal atau
informal
Beliau

mengemukakan

pernyataan

Weber

atas

model

hirarki

ini:

1. Pemerintah modern mengakui adanya wilayah yurisdiksi tetap (fixed yirisdictional


areas), hirarki jabatan (office hierearchi), dimana ada suatu supervisi atas jabatan yang
lebih

rendah

oleh

jabatan

yang

lebih

tinggi

2. Adanya pembedaan yang tajam antara administrasi dan politik: Administrator hanyalah
melaksanakan kebijkan yang ditetapkan politisi. Akhirnya administrator dan politisi tunduk
kepada prinsip tanggung jawab yang persis berlawanan. Kehormatan pegawai sipil diberikan
karena kemampuannya melaksanakan secara sadar, perintah dari atasan. Kehormatan
pemimpin politik, terletak pada tanggung jawab personal eksklusif atas apa yang ia
lakukan,

tanggung

jawab

mana

tidak

dapat

ditolak

atau

dialihkan.

Kritik terhadap model Weber tersebut ialah, bahwa model terlalu menyederhanakan soal
mengkaitkan tanggung jawab dengan pejabat publik karena model itu menempatkan para
pejabat pemerintah melebihi wewenang tanggung jawab moral. Sepanjang mereka mengikuti
perintah atasan dan prosedur-prosedur organisasi, maka mereka tidak bertanggung jawab atas
hasil

yang

merugikan

dari

tindakan

mereka.

Terkait dengan masalah ini, tanggung jawab hirarki tidak serupa dengan tanggung jawab
moral. Menghubungkan tanggung jawaqb moral menurut posisi hirarkis akan melanggar
asumsi fundamental dari moralitas. Bahwa orang hendaknya disalahkan jika mereka
melakukan hal yang sebaliknya. Masalahnya, bukanlah tidak adil untuk menuntut tanggung

jawab

pejabat

puncak

atas

kegagalan

yang

diluar

kontrol

mereka.

Tanggung jawab hirarkis tidak memberikan penjelasan moral apapun mengapa para
pemimpin politis sering cukup siap untuk menyatakan dirinya bertanggung jawab penuh atas
akibat

dari

suatu

keputusan

atau

kebijakan

yang

keliru

atau

meruak.

Pengambilan tanggung jawab seperti itu telah menjadi semacam ritual politik yang tidak
mempunyai dampak negatip terhadap seorang pemimpin, dan bahkan dapat menjadikan ritual
itu

suatu

keuntungan.

Dengan mengucapkan saya menerima tanggung jawab sepenuhnya seorang pejabat


mengukuhkan posisinya- yakni meyakinkan publik bahwa ada yang tertuduh, dengan
demikian dia memproyeksikan citra sosok pemimpin yang berani yang tidak mengelak dari
tanggung

jawab.

Perlu dicatat bahwa ritual politik termaksud sering mengakhiri debat publik tentang suatu
keputusan atau kebijakan yang kontroversial. Bahkan efektif untuk membendung
penyelidikan lebih jauh tentang tanggung jawab moral dari semua pejabat yang terlibat.
Illustrasi
Dalam hal kegagalan invasi AS ke Teluk Babi, Presiden Kennedy secara pribadi menyalahkan
CIA, pemimpin gabungan dan setiap orang yang tahu tentang invasi sebelumnya. Tetapi
secara publik dia menerima tanggung jawab sendiri dan berkeberatan terhadap usaha
setiap

orang

untuk

menggeser

tanggung

jawab

dari

pundaknya.

Model hirarkis dalam kasus ini, tidak hanya memangkas penyelidikan publik tentang
tanggung jawab para pejabat lain atas kegagalan invasi, bahkan telah mencegah debat publik
untuk mempertimbangkan apakah subbersi seperti jenis itu secara moral dapat dibenarkan?
Pada musim semi 1973 peristiwa Watergate makin lama makin menggoyang kedudukan
presiden. Nixon minta rumusan tentang ritualistik tanggung jawab dalam bentuknya yang
hampir murni Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini?... Jalan paling mudah bagi saya
adalah mempersalahkan mereka yang kepadanya saya mendelegasikan tanggung jawab untuk
menjalankan

kampanye

Tetapi ritual sperti itu dianggap pengecut, Nixon di jatuhkan. Tanggung Jawab Kolektif
Banyak produk politik merupakan hasil buah tindakan banyak orang yang berbeda-beda,
sehingga kontribusi individual mungkin tidak dapat di identifikasikan sama sekali dan tidak
bisa

benar-bnenar

dibedakan

dari

kontribusi

orang

lain.

Dalam hal ini ada klaim: Pertama, tidak ada seorang individu dapat secra moral dipersalahkan
karena hasil-hasil kolektif seperti itu. Kedua, menawarkan altermatif (a) setiap individu yang

berhubungan dengan kolektivitas hendaknya dibebani tanggung jawab moral, dan (b) hanya
kolektivitas

dapat

dibebankan.

Bayak debat dalam soal ini: Herbert Kaufman, dalam hal birokrasi, ingin membebankan
kesalahan pada semua warga negara, dan menurutnya para pejabat pemerintah dan karyawan
hanya kambing hitam. Kita menuduh mereka karena secara intuitif kita ingin mengalihkan
kesalahan dari sebab sesungguhnya, yakni kita sendiri. Contoh: Pungli di Indonesia, dan
bahkan

sekarang

ini

Presiden

SBY

sering

dipergunjingkan.

Selain itu ada pandangan yang menolak upaya meletakkan tanggung jawab moral pada
individual (pada bawahan atau atasan). Tanggung jawab harus bersifat kolekjtif. Alasannya
ialah, bahwa karena para pejabat itu bertindak sebagai perwakilan, dibatasi oleh permintaan
warga negara dan diikat komitmen-komitmen tertentu. Keputusan mereka tidak sepenuhnya
sukarela

atau

pilihan

Tanggung

mereka.

Jawab

Pribadi

Mengkaitkan ntanggung jawab pada pejabat sebagai pribadi, dan bukan hanya sebagai
pemangku jabatan (anggota kolektivitas), dapat dilakukan melalui dua kriteria tanggung
jawab

moral:

Pertama, apabila tindakan atau kelalian dari pejabat itu yang merupakan sebab dari timbulnya
kebijakan

(keputusan),

disebut

tanggung

jawab

kausal.

Kedua, apabila tindakan atau kelalaian tersebut tidak dilakukan dalam ketidak tahuan atau
dibawah

tekanan,

disebut

tanggung

jawab

atas

kemauan

Sebab-sebab

sendiri.
Alternatif.

Excuse:
Kasus Inspektur Scanlan dan Pertambangan Centralia. Ia disalahkan atas kematian para
penambang, karena dia mempunyai wewenang untuk menutup pertambangan yang dia tahu
tidak

aman,

namun

dia

tidak

menutupnya.

Diantara pembelaan Scanlan ialah Jika dia menutup pertambangan, dapat dipastikan dia
akan dipecat oleh Direktur pertambangan dan Mineral, dan dia akan menunjuk seorang
inspektor lain yang lebih penurut, kemudian membukanya. Kematian tetap akan menimpa
para

penambang.

Kehidupan

Hal

itu
Pribadi

disebut

excuse
Pejabat

dari

sebab

alternatif.
Pemerintah

Disatu pihak pejabat pemerintah menuntut lebih banyak privacy untuk diri mereka. Namun

sebenarnya hanya sedikit yang diberikan oleh warga negara. Bagi para pejabat atau calon
pejabat sering dipaksa publik untuk menyingkapkan lebih banyak tentang urusan keuangan,
atau riwayat kesehatan, dan pers lebih suka mempublikasikan kebiasan-kebiasan buruk
pejabat,

seperti

minum

(mabok),

perilaku

seks,

serta

kehidupan

keluarga.

Pokoknya privacy para pejabat pemerintah kurang dihargai dibanding privacy warga negara
biasa. Batas-batas antara kehidupan pribadi dan kehidupn publik pejabat pemerintah sering
disalah pahami.. Persoalan privacy muncul ketika para pejabat dituntut untuk menyingkapkan
tentang diri mereka atau mereka dituntut untuk menginformasikan privacy pejabat lainnya.
Selain itu para petugas personalia juga selalu dihadapkan pada masalah pengungkapan
privacy tesbut, khususnya ketika menyeleksi calon pegawai atau pejabat. Demikian juga para
petugas pers menghadapi dilemma dengan privacy tentang apa yang harus ditulis dan apa
yang

tidak

boleh

ditulis.

Apa yang harus dicermati oleh para pejabat dan pihak yang terkait bahwa didalam diri para
pejabat itu ada hal-hal konfidensial atau bersifat rahasia, terutama yang terkait dengan urusan
kerahasiaan pemerintah, hal tersebut harus dijaga kerahasiaannya dan sah-sah saja bila tidak
diungkapkan

walaupun

dituntut

untuk

membukanya.

Kehidupan pribadi terdiri dari kegiatan-kegiatan yang mungkin dikenal, diamati atau
dicampuri dengan persetujuan orang yang bersangkutan. Dimensi lingkup privacy tidak
begitu jelas, tergantung pada kebiasaan yang relatif. Terlepas dari kondisi itu, warga negara
memiliki
Kejahatan

hak

untuk

mengontrol
Pejabat

informasi

tentang
dan

diri

mereka.
Hukuman

Ada ungkapan: Bila para pejabat bertindak berlawanan dengan kepercayaan yang diberikan,
tradisi liberal menwarkan kepada warga pengikutnya bantuan terakhir dengan naik banding
ke Surga Tradisi itu kurang yakin untuk naik banding ke pengadilan duniawi.
Hukum kriminal berfungsi lebih baik untuk menghukum kejahatan warga negara dibanding
kejahatan pemerintah terhadap warga. Alasannya antara lain karena pemerintahlah yang
mengelola sarana-sarana penghukuman, dan alasan yang lebih fundamental ialah kejahatan
pemerintah nampaknya tidak memenuhi syarat-syarat moral yang membenarkan penerapan
sanksi

kriminal.

Pada awalnya hukum kriminal diarahkan kepada pelanggaran yang dilakukan individu yang
bertindak sebagai warga negara biasa. Kejahatan pemerintah sering tidak meninggalkan jejak
kriminal individual atau kriminal warga, terutama apabila kejahatan kriminal itu merupakan
produk struktur organisasional dan bukan keputusan individu-individu yang disengaja.

Sumber : http://denyhidayat23.blogspot.co.id/p/etika-politik-pejabat-negara.html
Etika Politik Pilkada
Pemilukada serentak tahap pertama telah usai dan penguasa menduduki kursi pemerintahan.
Penguasa daerah melaksanakan otonom pemerintahan sesuai rencana program. Pertanyaan
muncul, bagaimana para pemimpin mengomunikasikan janji politik saat kampanye? Lalu,
bagaimana teknis penyusunan program pemerintah daerah sesuai dengan program kampanye?
Politik sangat dinamis dan selalu berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi.
Politik yang dijalankan untuk meraih tujuan bersama seharusnya mengedepankan semangat
pancasila. Dengan begitu pemenang konstalasi politik mampu mengejewantahkan janji dan
kepentingan politik berjalan seiring sejalan. Kemudian lahirlah program-program yang
mengedepankan kepentingan rakyat demi terciptanya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Keadilan sosial secara kedaerahan dirancang melalui program penjemputan aspirasi. Ada
yang melalui masa kampanye, program musrembang, dan program turunan dari kebijakan
pemerintah pusat. Bicara penjemputan aspirasi melalui tahapan kampenye akan membuat
titik fokus kerja sesuai dengan kebutuhan daerah. Permasalahan suatu daerah dengan daerah
lain berbeda di satu kabupaten atau kota.
Perkembangannya, tahapan perumusan program sesuai janji kampanye dan penjemputan
aspirasi saat kampanye sangat kelabu. Bak angin yang bisa dirasakan namun susah
menemukan bentuk fisiknya. Begitu pula program kepala daerah. Benturan realisasi janji
kampanye adalah penyelarasan dengan hasil musrembang dan program pemerintahan pusat.
Terlebih bila janji kampanye dan penjemputan aspirasi tidak disampaikan paska dilantik
sebagai kepala daerah.
Kesalahan umum yang dianggap biasa adalah kepala daerah tidak bekerja sama dengan
koran-koran maupun media online. Padahal kerja sama ini akan memudahkan kepala daerah
untuk mensosialisasikan janji dan program kampanye. Sosialisasi menjadi alat bagi rakyat
untuk memantau perkembangan program pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Di lain sisi, kepala daerah masih sibuk dengan aktifis kedaerahaan. Mereka menjalankan
kebiasaan lama beralaskan melanjutkan program yang disusun setiap dinas dimasa
pemerintahan sebelumnya. hal ini menutup kemungkinan realisasi janji kampanye dalam

bentuk program nyata. Putaran waktu pun memenuhi kegiatan kepala daerah dengan
menguatkan pencitraan personal.
Kepala daerah juga masih sibuk dengan realisasi janji bagi-bagi kue kepada tim kampanye
juga para pendukung. Bagi-bagi kue kekuasaan ini bisa dilihat dari perturakan pimpinan
dinas, lembaga atau BUMD. Bagi-bagi kue juga bisa malalui akomodir kegiatan yang masuk
dalam

program

pemerintahan

daerah.

Contohnya:

pemberian

beasiswa,

bantuan

kemasyarakan atau pembangunan infrastruktur.


Menjaga Etika Melaksanakan Pancasila
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepala daerah menjaga etika politik. kepala daerah
bisa saja mengakomodir semua kepentingan para pendukungnya secara bertahap. Namun bila
itu terkait Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka maka pembuktian janji akan
menjaga nama baik secara bersama.
Sejatinya kepala daerah menyampaikan kepada rakyat baik yang memilih atau bukan semua
program pemerintahan kedepan. Program ini termuat di semua website dan media massa.
Program dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk informasi agar terjadi kesepahaman
perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Program kampanye, hasil rekomendasi musrembang dan turunan kebijakan presiden. Rakyat
bisa melihat bahwa niat transparansi dikedepankan berdasarkan kekuatan dan kelemahan
pendapatan daerah. Penyatuan tiga rencana program akan disusun dalam bentuk rancangan
program pemda yang nantinya ditafsirkan oleh dinas-dinas.
DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota pun mampu menjaga serta mengawasi
terlaksananya program pemerintahan daerah. Celah untuk mengakomodir kepentingan
sepihak akan luntur dihadapan kepentingan bersama. Demi mewujudkan kesepahaman ini,
maka kepala daerah perlu untuk berkomunikasi secara intens dengan anggota dewan. Jangan
membedakan antar anggota dewan pendukung dan bukan pendukung.
Setelah itu, partai politik pun wajib menyusun agenda pertemuan bersama dengan kepala
daerah. Tujuannya agar semua partai mendapatkan informasi yang sama atas program
realisasi janji kampanye, rekomendasi musrembang dan turunan dari kebijakan Presiden.
Pertemuan kepala daerah dengan pimpinan partai tingkat daerah membangun budaya politik
yang santun dan terhormat.

Penulis mengusulkan agar kepala daerah bersama-sama dengan rakyat yang diwalkan melalui
partai politik pada anggota dewan untuk menyatukan pandangan Pembangunan daerah.
Karena para anggota dewan adalah pemegang amanah kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmatkebijaksaan dengan kerja-kerja permusyawaratan perwakilan dari parpol di gedung
DPRD.
Evaluasi yang Membangun
Teknisnya, paska sosialisasi program pemerintahan yang dijalankan dinas-dinas. Kepala
daerah dan anggota dewan melaksanakan evaluasi program bulanan. Kenapa bulanan? Agar
pemda bisa menjamin tahapan perencanaan program berjalan dan DPRD menjalankan fungsi
pengawasan lebih efektif dan efisien.
Selain itu, evaluasi bulanan menutup kemungkinan nepotisme tender pada proyek-proyek
yang dilelang oleh pemda. Sangat tidak etis bila mengedepankan pembagian proyek atas
dasar suka dan tidak suka. Memberikan kesempatan bagi semua pihak adalah jalan menjaga
keberitikaan secara politik. yang kemudian akan menumbuhkembangkan penghormatan
kepada penguasa pemerintahan.
Program ini akan membangun persatuan Indonesia yang terwakilan dari penyatuan
program pembangunan daerah. Bersatunya para anggota dewan dan pimpinan parpol melalui
komunikasi

dan

etik

politik

menjamin

terselenggaranya

program

pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bisa menggunakan gaya main sendiri ala
Ahok. Karena pemerintah dan perwakilan rakyat menjadi satu kesatuan untuk mencapai
kesejahteraan bagi seulurh rakyat Indonesia.
Bangunan komunikasi apik dan transparan dengan keepahaman atas persatuan melahirkan
budaya baru. Budaya politik ini hidup dalam tatanan sosial politik yang berperikemanusiaan
yang adil dan beradab. Setiap oarang perorang mengetahui bahwa program pemerintah
dijalankan secara adil yang berarti jelas, terbuka, proporsional dan profesional. Semua saling
membangun dan menjaga terselenggaranya program pemerintah.
Pada akhirnya, kepala daerah dan pimpinan atau elite partai menjalankan kehidupan politik
yang beretika. Etika politik menjaga politisi berjalan sesuai jalur religionitas yang patuh dan
tunduk pada kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka tersusunlah pemerintahan dan
program yang bersih, jelas, terbuka serta membangun. Karena budaya, komunikasi juga etika
politik tidak tercederai oleh tingkah laku serta ucapan jahat.

Etika politik pasca pilkada adalah kegiatan menyeluruh sebagai perwakilan rakyat yang
mengedepankan nilai-nilai pancasila. Program kerja dan pekerjaan bernafaskan sila-sila
pancasila. Evaluasi program kerja dan pekerjaan tumbuh dari semangat Bhineka Tunggal
Ika. Akhirnya setiap kerja akan mencapai target dan tujuan perencanaan. Semoga saja!

Sumber : http://www.qureta.com/post/etika-politik-pilkada

Etika Politik Real Politiek dan Dunia Perpolitikan di Kampus


print send pdf
Oleh: Prof. Dr. Mestika Zed, MA.
Senin, 03 Juni 2013 | 11:48:00 WIB Share

Etika Politik Real Politiek dan Dunia Perpolitikan di Kampus:


Akhir-akhir ini, Republik ini sedang galau. Gerak geriknya kian memperlihatkan gejala
pikiran kacau. Ini antara lain terlihat dari prilaku elit politik yang tak lagi peduli dengan etika
politik bernegara dan berbangsa. Mulai dari Presiden sampai ke pejabat tinggi dan massa di
bawah, sama saja. Dalam eseinya berjudul Berpolitik dengan Etika, mantan Menteri
Dikbud Daoed Joesuf, menyindir Presiden SBY, yang menelan air ludahnya sendiri
(Kompas, 14/2/13). Setelah melarang para menteri di kabinetnya agar jangan rangkap jabatan
dan atau mencampuradukkan urusan partai dan tugas negara, kini malah giliran sang Presiden
sendiri yang melakukannya. Kebetulan saat partai Demokrat lagi ricuh, SBY lagi di Luar

Negeri (LN). Ironisnya, pulang dari LN ia langsung mengurus partai, mengumpulkan elit
Demokrat dan bukannya rapat dengan anggota kabinet, untuk menindaklanjuti hasil
kunjungan LN-nya. Bukankah keberangkatan SBY dan rombongannya atas biaya uang
rakyat. Terlepas dari apa yang dipikirkan petinggi negeri ini untuk rakyat atau untuk dirinya
sendiri.
Contoh-contoh prilaku elit politik yang tak lagi menghiraukan etika politik juga banyak.
Nyaris tak ada hasil Pilkada yang tak berujung ricuh. Di setiap tingkat (Propinsi, kabupaten/
kota) ada saja yang protes dan memperkarakannya. Banyak figur politik yang tanpa malumalu jadi bajing loncat, pindah-pindah partai. Ada pula pejabat tinggi penegak hukum
dengan arogan sesumbar akan menangkap koruptor, tapi kini ia sendiri yang menelan air
ludahnya sendiri. Itulah yang terjadi atas diri ahli bicara Cecak dan Buaya, jenderal bintang
tiga Susnoduaji. Ia malah berkelit melawan keputusan pengadilan tinggi. Lalu lari
bersembunyi dan kini menyerah. Lucunya, petinggi kepolisian tanpa sungkan memuji sikap
ksatria Susno yang mau menyerah. Logika akal sehat diputar balik. Tak kurang brutalnya
prilaku politik massa di bawah. Tak terima keputusan politik dalam kasus pemekaran
kabupaten, kantor aparat penegak hukum dibakar hangus. Korban pun berjatuhan. Ini terjadi
di hampir setiap daerah. Akar masalahnya karena etika politik kian tak dihiraukan. Begitulah
real politik yang berlangsung sejak era reformasi.
Etika Politik
Pemikir/ filsuf Perancis Paul Recour (1999) membedakan antara etika dan nilai (values).
Setiap orang memiliki seprangkat nilai dan kode etik yang menjadi pedoman hidupnya. Satu
sama lain berbeda tetapi berhubungan. Nilai (values) ialah apa yang diyakini seseorang
(sebagai basic belief) selaku benar dan tak benar. Nilai dapat dikatakan pedoman prinsip hidup seseorang (individual), sementara etik adalah pedoman hidup bersama. Nilai merupakan
batu pijakan bagi seseorang untuk membuat keputusan tentang apa yang dianggap baik dan
buruk, benar dan salah, yang lebih penting atau yang kurang penting, yang berharga dan tak
berharga. Jika seorang mahasiswa, misalnya, kurang menghargai kebiasaan membaca buku,
maka dalam dirinya sebetulnya tidak ada nilai akademik karena membaca adalah salah satu
ciri nilai utama perilaku akademik.
Sedangkan etika adalah seperangkat aturan yang disepakti bersama oleh suatu negeri
(negara) atau perusahaan, lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Etika umumnya

didasarkan pada nilai moral tetang kebijakan, tentang kebenaran dan kewajiban (obligation)
tiap individu untuk mengikuti aturan bersama.
Jika kita dapat memahami etika sebagai common guidelines atau aturan yang harus dipatuhi
bersama dan untuk masyarakat, untuk suatu organisasi, untuk yayasan dan sejenisnya, maka
kita dapat membedakan antara etika dan nilai. Singkatnya, values are very much personal
while ethics is very much societal. Mereka yang peduli etika, mestinya lebih mendahulukan
kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi. Keduanya harus sinkron dan
komplimenter agar negeri jangan galau. Tapi itulah soalnya. Di negeri yang minus etika,
dalam real politik semua penuh ketidakpastian dan pembiaran.
Pepolitikan Gaya Mahasiswa di Kampus.
Tujuan etika politik sekali lagi menyimak Recour (1990) adalah guidelines untuk
mengarahkan ke kebajikan hidup bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas
lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Pemahaman konsep etika
politik seperti itu membantu kita menganalisis korelasi antara tindakan individual (nilai) dan
tindakan kolektif (ethics), serta struktur-struktur dalam institusi kampus. Etika politik
hendaknya janganlah diredusir menjadi hanya sekadar etika individual atau perilaku orang
dalam bernegara. Menurut Ricoeur setidaknya ada tiga prasyarat menegakkan etika
politik: pertama, tunduk pada upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain dan bukan
untuk dirinya sendiri; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan; ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil.
Ketiga prasyarat itu saling terkait. Hidup baik bersama dan untuk orang lain tidak mungkin
terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil.
Menerima prulitas, keberagaman, adalah salah satu ciri demokrasi. Demokrasi tanpa mengindahkan aturan adalah anarki. Dewasa ini orang lebih suka mengeluarkan apa yang menjadi
pendapat pribadinya ketimbang kesediaan untuk mendengar. Kalau mahasiswa di kampus
sudah terkontaminasi oleh prilaku seperti itu, maka etika kehidupan kampus kian
dicampakkan. Gejala ini mestinya tidak boleh terjadi di kampus, sebab kampus adalah
benteng terakhir dari demokrasi. Jika demokrasi di luar sana, sudah terlanjur kebablasan,
mengapa mahasiswa kampus tidak mampu memerankan dirinya sebagai pengawal demokrasi
yang elegan. Sungguh amat disayangkan jika dalam pemilihan pimpinan organisasi
mahasiswa BEM UNP baru-baru ini, ada kelompok mahasiswa yang memaksakan

kehendaknya untuk meminta agar pemilihan ulang, hanya karena kalah suara tipis. Padahal
aturan yang dijalani sudah disepakati bersama.
Perbedaan esensil antara etika berpolitik di kampus dengan demokrasi kebablasan di luar
sana ialah bahwa organisasi mahasiswa dibimbing oleh etika kehidupan kampus. Salah
satunya ialah memelihara identitasnya sebagai kaum terpelajar, insan akademik yang peka
terhadap standar-standar nilai kebenaran atas dasar etika akademik. Warna akademik juga
harus tampak dalam perpolitikan kampus, baik dalam kriteria kandidat, maupun dalam proses
penyelenggaraan pemilihan dan terlebih dalam menyikapi hasilnya. Jika tidak, mahasiswa
yang suka menyebut diri mereka (sebagai kelompok) agent of change hanyalah sekadar
isapan jempol.
Sumber

http://www.ganto.or.id/artikel/319/etika-politik-%E2%80%9Creal-politiek

%E2%80%9D-dan-dunia-perpolitikan-di-kampus.html
http://tulisanterkini.com/artikel/keislaman/umum/4810-etika-politik-anggota-dpr-kita.html
Etika Politik Anggota DPR Kita
Dalam sebuah diskusi kecil bulanan yang membahas perjalanan bangsa pasca-Orde Baru dua
belas tahun lalu dengan anggotanya dari berbagai lintas disiplin, salah seorang pesrta diskusi
mengajukan pertanyaan apa sebenarnya yang kita peroleh setelah rejim Orde Baru itu
tumbang dua belas tahun lalu? Ada yang menjawab demokrasi sebagai buah yang paling
nyata di mana tidak ada lagi orang

takut menyuarakan aspirasi ke penguasa, hak-hak

politik rakyat dilindungi --- tidak seperti era Orde Baru di mana sebelum pemilu
pemenanganya sudah diketahui, karena semua diatur oleh penguasa. Ada sebagian yang
menjawab yang kita peroleh adalah lembaga legislatif yang mandiri dan kokoh, bahkan
terlalu kokoh sehingga pemerintah kalang kabut meladeni lembaga tersebut. Ingat kasus
Bank Century? Bagaimana pihak yang mewakili pemerintah (baca: Menteri Keuangan Sri
Mulyani dan Wakil Presiden Boediono menjadi bulan-bulanan DPR). Setengah dari satu
tahun masa pemerintahan SBY yang kedua rasanya habis dipakai pemerintah untuk menepis
manuver politik DPR mengenai kasus Bank Century tersebut yang awalnya dibuka oleh
anggota legislatif.
Tetapi ada pula yang mempertanyakan mengenai etika para politisi Senayan yang tidak
memberi pendidikan yang baik kepada rakyat, misalnya ulah dan perilakunya, bahasanya,

tambengnya, dan sebagainya. Bahkan ada salah seorang anggota DPR dari partai pemenang
pemilu yang mengusulkan untuk memperpanjang masa pemerintahan SBY hingga ketiga
kalinya dengan cara mengamandemen Undang-Undang yang sudah mengalami beberapa kali
amandemen tersebut. Alasannya belum ada tokoh sekaliber SBY yang mampu melanjutkan
memimpin negeri ini. Tentu saja ide tersebut tidak popular karena berarti akan mengulangi
lagi pengalaman pahit masa lalu di mana Soeharto bisa menjabat beberapa kali periode yang
alasanya hampir sama dengan yang dilontarkan anggota DPR tersebut, yakni tidak/belum ada
tokoh yang bisa melanjutkan pembangunan Orde Baru selain Pak Harto. Ada yang
menganggap ide itu tidak lebih dari sebuah sensasi murahan dan dagelan yang gak lucu.
Karena itu, tidak perlu ditanggapi serius. Seorang teman diskusi yang lain menjawab yang
kita dapatkan adalah anggota legislatif yang tidak mau mendengar aspirasi rakyat, buktinya
walaupun suara masyarakat luas menolak kunjungan-kunjungan ke luar negeri dengan alasan
studi banding, tapi toh mereka tetap berangkat, sepertinya tak menggubris suara masyarakat
yang diwakilinya. Kunjungan-kunjungan semacam itu dinilai hanya menghambur-hamburkan
uang rakyat. Hasilnya pun tidak jelas. Mestinya uang kunjungan bisa dialihkan untuk
membantu masyarakat yang masih terbelilit kemiskinan yang jumlahnya masih sekitar 30 juta
orang. Mendengarkan berbagai komentar miring warga masyarakat tersebut, anggota DPR
mestinya bisa mengurungkan niat pelisir tersebut andai saja mereka memiliki etika politik
yang dalam, tambah anggota diskusi yang lain. Alih-alih mendengarkan seruan masyarakat
luas, anggota DPR yang tergabung dalam anggota Badan Kehormatan (BK) DPR akan
melakukan studi banding ke Yunani untuk melihat dan membandingkan etika hidup, perilaku
dan cara berpakaian masyarakat Yunani dengan yang ada di Indonesia. Malah salah seorang
anggotanya dari partai besar menujukkan arogansinya dengan menyatakan kritikan terhadap
rencana perjalanan ke Yunani tidak akan menyurutkan niat mereka. Itubanyak pendapat.
Kritikan boleh saja, tapi kami tekah pertimbangkan lama, jelas salah seorang anggota BK
DPR yang akan mengunjungi Yunani tersebut. Usai diskusi, saya merenungkan hasil yang
dibahas pada malam itu. Ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya, yakni jawaban
terakhir mengenai etika politik. Saya buka-buka lembaran dan file lama mengenai filsafat
ilmu politik dan mencoba melakukan refleksi mengenai perpolitikan negeri ini. Lalu saya
teringat filsuf kenamaan Aristoteles, yang sering disebut sebagai perintis ilmu politik. Suatu
saat filsuf Yunani kuno Aristoteles mengatakan bahwa politik merupakan ilmu yang paling
tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Sebab, ilmu politik mengatur bagamana
masyarakat bisa hidup tenteram, hak-haknya dilindungi, dan hidup saling menghargai dalam
sebuah tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara. Atas dasar logika tersebut, Ilmu-ilmu

yang lain dianggap bersifat komplementer. Tanpa bermaksud merendahkannya, keberadaan


ilmu-ilmu yang lain tetap penting. Kita bisa membayangkan bagaimana jadinya andain saja di
dalam sebuah Negara tidak ada sistem politik. Karena itu, ilmu politik memiliki kedudukan
sangat terhormat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, para ahli ilmu
politik dan para politisinya mestinya adalah orang-orang terhormat yang memiliki komitmen
dan integritas tinggi untuk memajukan masyarakat yang dipimpinnya. Mereka bukan
sembarang orang, tetapi merupakan anggota masyarakat yang sehari-hari memikirkan
bagaimana menata kehidupan yang sehat dan bermartabat.
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Oleh : Sjofjan Hasan

Etika Politik dalam Praktek


Senin, 13 Januari 2014 - 12:30:00 WIB | Dibaca: 978 pembaca

Saat ini kita bangsa Indonesia sedang memasuki tahun Politik, maka, bermunculan actor politik, semuanya
menyuarakan dan menyatakan kami adalah bersama rakyat, kami suara rakyat, kami akan memeperjuangkan
kepentingan rakyat, dsb, dsb. Tapi ketika sudah duduk dikursi terhormat, sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. Yang kita amati ada kesan loyalitas ganda, ke rakyat atau ke partai. Ketika sudah dilantik/sudah sah
menjadi anggota DPR, loyalitas kepada partai harusnya sudah nomor dua, yang di utamakan pengabdian untuk
rakyat. Dengan kata lain, ketikasudah duduk di DPR maka hakekatnya yang bersangkutan adalah wakil rakyat,
tapi

bukan

wakil

partai.

Pernyataan seorang kader muda pada salah satu Partai, menyampaikan dalam forum Koordinasi dan Konsultasi
Etika Politik di Jakarta, yang diadakan Menko Polhukam RI. Menyatakan kaitannya dengan otonomi daerah,
kemudian disitu yang ada libido kekuasaan, kalau dikaitkan dengan masalah partai,partai partai sekarang ini
termasuk partai saya, sering kali tidak menjalankan program,tetapi lebih sibuk mengurusi konflik internal,
tentang siapa yang menjadi Kepala daerah, dan didaerah mana. Yang muncul adalah libido kekuasaan dan
mengabaikan

nilai

nilai

Etika

dan

sebagainya.

Berbicara perilaku penyelenggara Negara dan Aktor aktor politik, ada Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001,
tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA. Bab II angka 2 menyatakan tentang Etika Politik
dan

Pemerintahan.

Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien, dan efektif,

serta menumbuhkan politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dakam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar, serta menjujung tinggi hak asasi manusia, dan keseimbangan Hak dan kewajiban dalam kehidupan
berbangsa

dan

bernegara.

--batas-Etika Politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar
kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar besarnya kemajuan
bangsa dan negara, dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik, dalam perilaku politik dengan menjunjung tinggi nilai nilai moral dan tatakrama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tokoh partai Politik yang menduduki jabatan politik,yang kurang memperhatikan
etika politik, pada gilirannya menimbulkan konflik kepentingan, persinggungan, benturan politik.
Kehidupan demokrasi yang sedang kita laksanakan sekarang ini, seyogyanya tidak hanya dipandang sebagai
suatu prosedur, suatu sistim dan tehnis belaka. Lebih dari itu kita harus bisa memaknainya, dengan nilai nilai
moral dan nilai politik yang baik. Nilai tersebut diantaranya adalah kemampuan untuk bisa menerima perbedaan
pendapat. Untuk bisa menerima kemenangan dan kekalahan dengan kesatria. Dan yang lebih penting lagi ialah
kemampuan untuk bisa menyelesaikan masaalah dengan cara dialog dan musyawarah sebagaimana yang di
amanatkan oleh para pendahulu kita dan nilai nilai yang ada dalam falsafah bangsa Pancasila dan dalam
Pembukaan UUD 1945, mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila langkah musyawarah dan
dialog, ternyata tidak bisa memenuhi harapan, maka menyerahkan pada proses hukum sekali gus menghormati
putusan hukum sebagai produk yang penting.Ini lah seharusnya antara lain etika perilaku bagi para
penyelenggara

negara.

Sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945
dinyatakan Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstad), tidak berdasarkanatas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Pemerintahan berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).Pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 ada empat, yaitu
persatuan, keadilan, kerakyatan, dan keTuhanan menurut kemanusiaan yang adil yang beradab, dijabarkan
kedalam Pancasila dan pasal pasal batang tubuh UUD 1945. Maka nilai nilai Pancasila wajib di jadikan norma
moral dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika Politik Pancasila mengamanatkan
bahwa pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, harus di jabarkan dalam produk
produk

hukum

dan

perilaku

para

penyelenggara

negara.

Dalam kehidupan berbangsa bernegara Indonesia disebutkan bahwa Hukum sebagai panglima, bukan Politik
sebagai Panglima. Tapi dalam prakteknya bagaimana ..? Ternyata hukum tidak steril dari subsistem
kemasyarakatan lainnya. Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum,.
Banyak produk produk Hukum yang lebih banyak di warnai oleh kepentingan kepentingan politik pemegang
kekuasaan

dominan.(Moh.mahfud

MD).

Bung Karno lima tahun setelah Indonesia Merdeka pernah menyampaikan kecemasan dengan mengatakan,
penjajahan telah mewariskan kepada kita kerusakan fisik dan material, tetapi yang lebih gawat dari itu adalah
kerusakan moral karena kerusakan fisik dan material secara bertahap dapat diatasi. Tapi kalau kerusakan moral,
akan

sangat

lama

memperbaikinya.

Mahatma Gandhi mengatakan :Dosa sosial adalah yang paling mematikan. Apa dosa sosial yang paling
mematikan itu ?. Pertama Politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas,
kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, science tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa
pengorbanan.
Diperlukan upaya setiap komponen bangsa untuk menjaga dan memelihara Etika dalam kehidupan politik
dengan menjunjung tinggi nilai moral dan tata krama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
bersumber

kepada

kepribadian

bangsa

Indonesia

yaitu

falsafah/ideologi

Pancasila.

(* Penulis: Ketua STIE Muhammadiyah Jambi, anggota Pelanta NIA 201307025.


Sumber : http://www.jambiupdate.co/artikel-etika-politik-dalam-praktek.html

Etika Politik dan ''Civil Society''


Kompas,

Juni

2000

ADA penilaian terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menarik


untuk disimak: "Komitmen Gus Dur terhadap demokrasi tak dapat
diragukan, tetapi lemah dalam upaya perbaikan ekonomi". Tanpa
bermaksud mengecilkan arti kelemahan ini, harus diakui bahwa komitmen
Abdurahman Wahid terhadap demokrasi nampak serius diwujudkan.
Dibubarkannya Bakostranas, Litsus, dan usulan Ketetapan (Tap) MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966 (pembubaran PKI dan larangan penyebaran
ajaran komunisme, marxisme dan lenisme) merupakan langkah ke arah
demokratisasi. Inilah awal perubahan praktik sosial lama ke upaya
perluasan lingkup kebebasan dan penciptaan institusi-institusi yang lebih
adil.
Perubahan struktur-struktur sosial bisa terjadi bila ada diskontinuitas antara
struktur-struktur tersebut dan pelaku, semakin banyak orang mengambil
jarak terhadap praktik sosial tertentu akan mempercepat proses
pengusangan struktur yang menjadi aturan praktik sosial tertentu, akan
mempercepat pengusangan struktur yang menjadi aturan praktik sosial.
Tumbangnya rezim Orde Baru bisa terjadi karena banyak orang mengambil
jarak melalui proses dan kritik terhadap praktik-praktik kekuasaannya. Akan
tetapi, ternyata perubahan rezim tidak otomatis merubah praktik-praktik
sosial lama. Pengambilan jarak terhadap praktik-praktik sosial lama

sebagai kesadaran kolektif ternyata lebih bersifat insidental, artinya


hentakan tidak akan menjadi suatu tindakan yang berlangsung lama.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan premanisme masih sulit
diberantas. Manipulasi agama yang dulu menjadi sarana penunjang
manajemen dominasi masih dipraktikan oleh elite politik tertentu.
Kekerasan struktural dengan impunity, yang dulu selalu dikaitkan dengan
aparat, kini banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Memang harus diakui di beberapa sektor, perubahan itu sudah terjadi.
Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat,
melemahnya dominasi militer, dan sebagainya. Idealnya perubahanperubahan itu berimbas pada praktik-praktik sosial lama yang masih
berlangsung. Akan tetapi, perubahan hanya bisa terwujud bila ada
perubahan unsur-unsur tindakan kolektif tujuan tindakan, pola pikir baru,
kemampuan baru para pelaku sosial dalam berelasi. Tujuan dan pola pikir
baru terkait pada tujuan reformasi yaitu diterapkannya etika politik.
Kemampuan baru berelasi dari para pelaku sosial ditentukan oleh prinsip
subsidiaritas dan kesediaan untuk menerima yang berbeda (pluralisme).
***

ETIKA politik bukan hanya masalah moral individual. Dalam moral


individual hubungan antara visi seorang dan tindakannya langsung.
Seseorang bisa langsung menerapkan di dalam tindakannya bila
mempunyai pandangan tertentu. Bila tuntutan kesahihan norma terpenuhi,
bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. Sedangkan etika politik
merupakan masalah etika sosial, tidak bisa dilepaskan dari tindakan
kolektif dan struktur sosial. Maka, tidak cukup bahwa premis normanya
sahih. Masih harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu diterima oleh
sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun seseorang mempunyai
gagasan bagus belum tentu bisa diterapkan dalam tindakan kolektif. Perlu
proses persuasi agar bisa diterima oleh sebanyak mungkin anggota
masyarakat.
Jadi hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, harus melalui
mediasi (perantara). Mediasi ini berupa simbol-simbol dan nilai-nilai,
simbol-simbol agama, demokrasi, nilai-nilai keadilan, solidaritas,
kebebasan. Nilai-nilai dan simbol-simbol itu mengantar kepada
kesepakatan untuk bertindak. Etika politik erat terkait dengan motivasi,
sarana dan tujuan tindakan kolektif (subyektif). Akan tetapi, ada faktor

obyektif tindakan kolektif, yaitu struktur sosial. Struktur sosial


mengkondisikan tindakan kolektif, mempermudah atau menghambat.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa etika politik mengandalkan
pemahaman dialektika aktor dan struktur sosial, artinya struktur-struktur
sosial hanya ada karena diciptakan, dihidupi, dipelihara oleh pelaku-pelaku
sosial, maka perubahan struktur sosial pun hanya bisa dilakukan oleh
pelaku-pelaku sosial, sebaliknya, pelaku sosial, kendati bebas,
dikondisikan oleh struktur-struktur sosial tersebut. Dimensi moral
berhadapan dengan struktur-strukur sosial tersebut terletak di dalam
pilihan-pilihan orang akan tatanan sosial, politik atau ekonomi yang ingin
diwujudkan dalam kehidupan bersama.
Paul Ricocur dengan tajam mendefinisikan etika politik. "Etika politik ialah
upaya untuk semakin memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan
institusi-institusi yang lebih adil". Definisi ini mengacu pada:
Pertama, lingkup kebebasan yang dimaksud tentu saja adalah kebebasan
sosial-politik, artinya syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang perlu untuk
pelaksanaan kongkret kebebasan, termasuk jaminan terhadap hak-hak. Ini
mencakup kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Kedua, menciptakan institusi-institusi yang lebih adil. Mengapa keadilan
menjadi keutamaan terpenting dari institusi sosial? Ini tidak bisa dilepaskan
dari struktur masyarakat.
Dalam struktur masyarakat sudah terkandung berbagai posisi sosial. Posisi
dan harapan masa depan yang berbeda-beda itu sebagian ditentukan oleh
sistem politik dan kondisi sosial ekonomi. Institusi-institusi sosial tertentu
mendefinisikan hak-hak dan kewajiban serta mempengaruhi masa depan
hidup setiap orang. Jadi institusi-institusi itu sudah merupakan sumber
kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang
satu dan sumber kemalangan bagi yang lain. Maka, etika politik harus
mengupayakan cara-cara yang memungkinkan institusi-institusi sosial
mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasariah serta
menentukan pembagian keuntungan hasil kerja sama sosial. Keadilan
yang diarah bukan ingin menghapus ketidaksamaan, melainkan berusaha
memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan
seseorang tidak ditentukan oleh keadaan tetapi ditentukan oleh pilihannya.

***

UPAYA memperluas lingkup kebebasan tidak bisa dilepaskan dari


perjuangan membangun civil society. Konsep ini dimengerti sebagai
"lingkup interaksi sosial antara ekonomi dan negara, yang pertama-tama
terdiri dari lingkup intim (keluarga), lingkup asosiasi (yang sukarela),
gerakan-gerakan sosial (LSM), dan bentuk-bentuk komunikasi publik
lainnya" (Cohen & Arato, 1992). Definisi ini menunjuk pada lembaga atau
organisasi nonpolitik, misalnya, lembaga sosial-keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah, atau LSM. Civil society dibedakan dari masyarakat politik,
lembaga politik, partai politik, organisasi politik, dan dari masyarakat
ekonomi yang terdiri dari organisasi produksi dan distribusi. Civil
society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan
negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik
penyelenggara negara. Dalam perspektif ekonomi, civil society berusaha
melindungi masyarakat dari ketidakpastian ekonomi global dengan
meciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam
bentuk koperasi, misalnya. Arahnya bukan pencapaian kekuasaan, tetapi
diperlakukannya prinsip demokrasi.
Tekanan pada segi politik dan ekonomi itu karena masyarakat selalu
berada dalam posisi di bawah belas kasih negara dan pasar. Kalau politik
berarti kekuasaan untuk memutuskan di dalam masyarakat, politik hanya
merupakan bidang beberapa orang saja. Beberapa orang itu adalah
mereka yang menguasai masalah-masalah negara dan operasi pasar.
Tugas utama negara adalah memerintah, biasanya dari atas ke bawah,
bahkan di dalam sistem yang memungkinkan partisipasi demokratis.
Sedangkan pasar diandaikan dikendalikan melalui kompetisi bebas. Akan
tetapi, dalam kenyataan sangat jarang ada kompetisi bebas. Yang
biasanya terjadi ialah dimulai dengan kompetisi yang relatif bersih dan
jujur, tetapi berakhir dengan dominasi oleh beberapa yang menang saja.
Negara seharusnya berusaha agar aturan-aturan permainan itu adil, tetapi
perlu disadari bahwa tidak pernah akan terwujud kesempatan yang terbuka
dan setara untuk semua. Pola pembagian kekayaan dan keputusan yang
ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan itu tidak memungkinkan
warganegara bisa berada dalam lingkungan pengambil keputusan.
Warganegara hanya akan bisa berpartisipasi bila mengorganisasi diri untuk
menekan supaya diadakan perubahan dan pertanggungjawaban.

Civil society bisa berkembang bila hubungan individu-kelompok-negara


diatur oleh prinsip subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan bahwa apa yang
bisa diurus dan diselesaikan oleh kelompok yang lebih kecil dengan
kemampuan dan sarana yang ada, kelompok yang lebih besar jangan
campur tangan. Negara hanya boleh campur tangan sejauh membantu
individu atau kelompok yang lebih kecil dalam mengupayakan
kesejahteraan umum dan dalam mewujudkan keadilan distributif. Dengan
demikian, akan tumbuh inisiatif dan partisipasi yang lebih aktif dari
masyarakat dalam mengusahakan kesejahteraan bersama. Peran negara
dalam kehidupan beragama dengan demikian perlu didefinisikan kembali.
Orientasi politik yang sangat bias kepada negara diubah ke politik yang
memihak warganegara. Maka, penting adanya penyadaran agar
masyarakat mengefektifkan penggunaan jalur hukum. Selain agar terwujud
apropriasi hukum oleh masyarakat, juga agar perjuangan keadilan mampu
merubah secara struktural kondisi yang tidak adil melalui aturan permainan
legal
dan
bukan
dengan
cara
kekerasan.

* DR. Haryatmoko, dosen Program Pascasarjana UI, Universitas Sanata


Dharma dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Sumber : http://www.secapramana.com/artikel/etika_politik_dan.htm

Artikel Etika Politik Pancasila dalam Kehidupan


Sumber : http://www.bimbingan.org/artikel-etika-politik-pancasila-dalam-kehidupan.html

Anda mungkin juga menyukai