Anda di halaman 1dari 8

Dokumentasi Bali Tempo Dulu: Pengenalan Budaya Lokal ke Kancah

Global dan Perannya pada Kebudayaan Bali di Masa Kini1


Oleh: Marlowe Bandem 2

Bali dikenal sebagai entitas pulau yang mempunyai banyak pengalaman dalam
meramu keunikan dan keberagaman kreativitas sosiokulturalnya sebagai sebuah
brand yang setara dengan narasi kota-kota besar dunia.

The Last Paradise (Hickman Powell), The Morning of the World (Jawaharlal
Nehru), Masterpiece Of The Gods (National Geographic) sampai Bali Sing
Kénkén (Tony Tantra) adalah sekelumit citra3 Bali yang bersumber dari pusaka
alam, budaya dan saujananya. Karakteristik yang kuat ini setara dengan New
York ‘Big Apple’ yang melambangkan energitas, Milan sebagai tren fesyen
dunia, Tokyo sebagai keluhuran tradisi dalam deru modernitas, Paris sebagai
simbol cinta abadi, dan lain-lain.

Tentunya penting bagi lokalitas di seluruh dunia untuk melaksanakan upaya-


upaya cultural engineering atau pemajuan kebudayaan yang mampu
melindungi, mengembangkan, memanfaatkan dan membina tradisi sebagai
akar dan mata air kreativitas baru, dan sekaligus memberi peluang bagi kekinian
zaman untuk menawarkan metode-metode baru agar tradisi tetap relevan di
masa depan. Dan, Bali bisa menjadi teladan dalam hal ini.

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5


Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Bali sesungguhnya telah terlibat
dan mempunyai pengalamanan dalam salah satu aspek penting pemajuan

1 Esai digubah dan dipresentasikan pada acara Sosialisasi Undang-Undang Pemajuan


Kebudayaan yang berlangsung di Denpasar, 16 November 2018 dan diselenggarakan
oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali.

2 Marlowe Bandem adalah Wakil Ketua Yayasan Widya Dharma Shanti Denpasar yang
menaungi STIKOM Bali dan STT Bandung. Ia juga adalah seorang bankir, penggiat
kreatif dan koordinator Arsip Bali 1928 - sebuah kolaborasi internasional yang
mempunyai fokus pemulangan, pemugaran dan penyebarluasan dokumen-dokumen
bersejarah yang berkenaan dengan kebudayaan dan kesenian Bali pada masa tahun
1930-an.

3 Sogan-slogan yang lekat dengan Bali lainnya semacam A Paradise Created (Adrian
Vickers), The Land Of Thousand Temples (AJ Bernet Kempers), Bali: Return Economy (Ric
Spencer & Chris Hill).

1
kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan Penyelamatan Objek Pemajuan
Kebudayaan. 4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan


Kebudayaan, Paragraf 4, Pasal 26 tentang Penyelamatan Objek Pemajuan
Kebudayaan mangatur dan menegaskan:
1. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan
penyelamatan Objek Pemajuan Kebudayaan.
2. Setiap orang dapat berperan aktif dalam melakukan penyelamatan Objek
Pemajuan Kebudayaan.
3. Penyelamatan Objek Pemajuan Kebudayaan dilakukan dengan cara:
a. Revitalisasi;
b. Repatriasi; dan/atau
c. Restorasi.

Sejak tahun 2013, Bali melalui kerjasama apik antara Dr. Edward Herbst 5, Arbiter
of Cultural Traditions New York dan STMIK STIKOM Bali telah berhasil
menjalankan dan merampungkan sebuah kolaborasi internasional dalam hal
repatriasi, pemugaran dan penyebarluasan objek pemajuan kebudayaan Bali
yang tersebar di pelbagai pusat arsip dunia.

Kolaborasi ini dinamakan Arsip Bali 1928, dan pada 12 Juli 2015 bertempat di
Bentara Budaya Bali diluncurkan sebagai sebuah pusat studi yang merangkum
hasil-hasil pemulangan kembali, pemugaran, dan penyebaran objek pemajuan
kebudayaan Bali dari masa tahun 1930-an. Arsip Bali 1928 ini berangkat dari
upaya banyak Baliologist seperti Andrew Toth, Philip Yampolsky, I Made
Bandem, dan khususnya Dr. Edward Herbst yang dengan tekun selama
bertahun-tahun mengumpulkan aneka piringan hitam gamelan-tembang Bali
dari tahun 1928-29 – dikumpulkan dari berbagai pusat arsip di seluruh dunia.

4 Objek Pemajuan Kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia


seperti tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi
tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional.

5 Edward Herbst adalah project director dan peneliti utama dari Proyek Bali 1928. Sejak
1972 ia berkali-kali mengunjungi Bali dan belajar dari sejumlah empu:  belajar gender
wayang dan palegongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, dramatari klasik Bali
dari I Nyoman Kakul di Batuan, dan musik vokal dari I Made Pasek Tempo di
Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pande Made Kenyir di
  Singapadu, serta I Ketut Rinda di Blahbatuh. Salah satu karya adalah buku Voices in
Bali:  Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater (Wesleyan University
Press, 1997), dan saat ini Edward Herbst tengah berada di Bali untuk melanjutkan riset
dan menyelesaikan penulisan buku terkait khasanah Bali masa tahun 1930-an.

2
Pada tahap pertamanya, Arsip Bali 1928 mempunyai beberapa fokus yaitu:
1. Repatriasi dokumen-dokumen bersejarah dari masa tahun 1930-an,
terutama koleksi rekaman bersejarah1928-29 karya label rekaman
Jerman Odeon dan Beka, dokumentasi film karya peneliti-peneliti
berpengaruh Colin McPhee, Miguel Covarrubias dan Rolf de Maré, foto-
foto kesejarahan Bali masa 1930-an karya Walter Spies, Arthur
Fleischmann dan lain-lain.
2. Melakukan pemugaran atas kondisi dan kualitas objek pemajuan
kebudayaan tersebut di atas, terutama melakukan digitalisasi atas koleksi
rekaman bersejarah Odeon dan Beka yang dipercayakan dan
dilaksanakan kepada Allan Evans, seorang ahli sound engineering dari
Arbiter of Cultural Traditions New York.
3. Melakukan upaya-upaya diseminasi atau penyebarluasan hasil repatriasi
tersebut kepada masyarakat luas melalui rilisan fisik dan internet serta
pelbagai program outreach ‘sosialisasi’ dalam bentuk pemutaran film-film
‘Sinema Bali 1928’, diskusi, seminar dan lain-lain. Program-program ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman bersama akan repatriasi
sehingga mendorong terbentuknya mirror archive ‘arsip cermin’ dan
repatriasi berbasis komunitas, yaitu mengumpulkan memori kolektif dan
properti kultural akan Bali dari koleksi masyarakat Bali sendiri.

Repatriasi menjadi pemikiran para penata arsip dan para ahli museum di masa
kini karena mereka berharap koleksi-koleksi yang telah mereka atur dan
lestarikan akan berguna bagi para individu dan komunitas yang berkehendak
menciptakan sebuah masa depan baru – menggali masa lalu demi masa depan
yang kreatif.

Secara sederhana, repatriasi adalah pemulangan kembali atau pengembalian


artefak-artefak dan dokumen-dokumen ke negara, komunitas, keluarga, dan
pribadi (pewaris) di mana benda-benda dan dokumen-dokumen (properti
kultural) tersebut diciptakan dan didapatkan. Properti kultural bisa dimaknai
sebagai benda-benda yang mempunyai nilai artistik, etnografi, arkeologi dan
sejarah yang tinggi.

Dalam budaya populer, repatriasi mengingatkan kita kepada kisah nyata unit
Monuments, Fine Arts, and Archives Section (MFAA) atau yang dikenal sebagai
Monuments Men, sekelompok tentara Amerika Serikat pada saat Perang Dunia II
yang bertugas mencari dan mengamankan beragam benda seni dan artefak
kebudayaan penting dunia (khususnya Eropa) sebelum dihancurkan atau dicuri
oleh tentara Nazi.

3
Ada perdebatan berkepanjangan mengenai repatriasi yang terus berlangsung
sampai saat ini, terutama mengenai kepemilikan. Apakah properti kultural yang
asli wajib dikembalikan ke pewaris aslinya atau hanya duplikatnya?

Carol A. Roehrenbeck, seorang peneliti dari Rutgers University (2010)


mengatakan bahwa ada dua paham besar mengenai repatriasi. Pertama,
penganut paham internasionalis menungkap bahwa semua orang mempunyai
ketertarikan dan kepedulian akan pelestarian properti kultural tanpa
memandang lokasi daripada properti kultural yang dimaksud. Oleh karenanya,
properti kultural itu adalah milik masyarakat dunia, dan negara, institusi,
komunitas dan pribadi yang memiliki sumber daya terbaiklah yang berhak
merawatnya. Pada spektrum yang berlawanan, para penyokong paham
nasionalis bersikukuh bahwa properti kultural adalah dalam lingkup negara di
mana karya-karya tersebut diciptakan, karena penting bagi identitas, nilai dan
kebanggaan kebangsaan.

Arsip Bali 1928 menggabungkan kedua paham tersebut. Selain masih terlalu
dini untuk memulangkan properti kultural Bali yang asli ke Bali atau Indonesia
karena minimnya pengetahuan, pemahaman, fasilitas, pendanaan dan sumber
daya manusia yang unggul dalam bidang arsip dan dokumentasi, hal terpenting
saat ini adalah pulangnya materi-materi salinan yang bisa kita pelajari dan
gunakan untuk meluaskan wawasan kita bersama akan kebudayaan Bali.

Walau koleksi Arsip Bali 1928 tidak terkait dengan pampasan perang,
keberagaman koleksi akan Bali tahun 1930-an sangat penting karena:
1. Merupakan rekaman pertama-kalinya yang dilakukan di Bali dengan
tujuan komersial.
2. Merupakan koleksi aural tentang seni gamelan dan nyanyian Bali yang
terlengkap pada jamannya.
3. Karena tidak laku dibeli masyarakat Bali pada jaman itu, agen Odeon dan
Beka menghancurkan piringan hitam yang tersisa. Hanya sedikit duplikat
yang berhasil diedarkan di luar negeri. Sejak itu, artefak ini menjadi
barang penting dan langka.
4. Film-film bisu yang dibuat oleh Colin McPhee, Miguel Covarrubias dan
Rolf de Maré tidak pernah secara resmi diterbitkan, dan selama puluhan
tahun tersimpan di pusat arsip luar negeri.

Adapun hasil dari repatriasi dan pemugaran Bali 1928 termasuk:


1. Digitalisasi 111 rekaman ‘long lost recordings’ piringan-piringan hitam
karya label rekaman Jerman, Odeon dan Beka yang dilakukan secara
komersial pertama kalinya di Bali pada tahun 1928-29;
2. Digitalisasi cuplikan-cuplikan film 8 mm dan 16 mm yang dilakukan oleh

4
peneliti-peneliti berpengaruh Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan
Rolf de Maré;
3. Reproduksi puluhan foto-foto terkait masa kesejarahan Bali tahun 1930-
an oleh Colin McPhee, Walter Spies, Arthur Fleischmann, Jack Mershon
dan lain-lain.
4. Hasil riset (naskah dalam format PDF) karya Dr. Edward Herbst yang
menganalisa dengan detail karaya-karya para tetua dan seniman Bali
yang terlibat dalam rekaman legendaris 1928-29 oleh Odeon dan Beka.

Terkait dengan upaya penyebarluasan dokumen-dokumen bersejarah ini, Arsip


Bali 1928 telah melakoni berbagai macam program outreach – lebih dari 60
acara – di seluruh Bali dan beberapa lokalitas dunia, melalui program portal
informasi 6, open house, diskusi, seminar, dan Sinema Bali 1928, saat tim
memutar cuplikan-cuplikan film hasil repatriasi di berbagai kesempatan dan
lokalitas asli di mana karya-karya tersebut berjaya, termasuk di beberapa banjar
‘balai warga dan masyarakat’ di Bali.

Koleksi aural dari rekaman bersejarah Odeon dan Beka 1928-29 yang
mengungkap karya tabuh dan tembang Bali dari berbagai sekaa seperti Gong
Belaluan Sadmerta, Gong Pangkung, Gong Busungbiu, Ni Dayu Made Rai, Ida
Bagus Oka Kerebuak, Ida Boda, I Wayan Lotring, I Nyoman Kaler, Jangér
Kedaton, Jangér Abian Timbul dan lain-lain menjadi soundtrack bagi film-film
penelitian karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré.

Film tak hanya berkisah tentang panorama alam Bali di masa tahun 1930-an,
namun mengungkap tokoh dan sekaa legendaris Bali termasuk Ida Boda, I
Marya, I Sampih, I Gede Manik, Gong Jineng Dalem, Ida Pedanda Made
Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, I Made Sarin, Ni Nyoman Polok dan Ni Luh Ciblun
(Légong Kelandis), Gamelan Palégongan Kapal, Ni Gusti Made Rai dan Ni Gusti
Putu Adi (Légong Belaluan), I Wayan Lotring (Gamelan Gendér Wayang Kuta),
dan lain-lain.

Cuplikan-cuplikan lain termasuk pementasan Barong Kebon Kuri, Gambang di


Pura Kawaitan Kelaci, Légong Saba, Gamelan Gong Luang Singapadu, Baris
Goak Jangkang, Nusa Penida, Jangér Kedaton, Gamelan Geguntangan Batuan,
Barong Landung, Jangér dan lain lain. Beberapa ritual penting seperti upacara
Nangkluk Mrana, Pura Beda, Tabanan dengan Jogéd Bungbung Déwa, Méndet
di Pura Dalem Sayan, Ubud, pelbagai upacara piodalan dan ngabén pun
melengkapi koleksi ini.

6 Kunjungi http://bali1928.net dan http://edwardherbst.net

5
Pemugaran dan pameran kekayaan visual Bali 1930-an dalam format foto pun
amat penting mengingat imaji-imaji masa lalu tersebut merupakan lorong waktu
akan generasi tetua Bali yang penuh pemberontakan kreatif, berani, penuh
pengabdian dan yang terpenting, terbuka dengan perubahan masa.

Keberhasilan mitra kami, Rio Helmi, seorang visual bard ‘pengelana visual -
fotografer kawakan’ dari Bali dalam mereproduksi foto-foto hasil repatriasi –
dalam kualitas standar pengarsipan dunia – semisal imaji masa muda Ida Bagus
Oka Kerebuak, Marya, Kaler, Lotring, Ni Gusti Putu Rengkeg, Ni Pempen dan
lain-lain sungguh-sungguh mengharukan dan membangkitkan memori kolektif
akan sebuah masa renaissance kebudayaan Bali yang teguh sepanjang jaman.

I Made Bandem dalam tulisannya “Repatriasi: Perspektif Dokumentasi,


Pengkajian, dan Penciptaan Seni” (2015) menuturkan bahwa repatriasi
memungkinkan lahir dan berkembangnya “documentary research” atau riset
dokumentasi yaitu penelitian berdasarkan dokumentasi perorangan, kelompok,
dan dokumentasi resmi sebagai sumber pengkajian, termasuk surat kabar,
catatan harian, prangko, direktori, tulisan tangan, peta, penerbitan statistik
pemerintah, foto-foto, lukisan, piringan hitam, pita rekaman, film dan file
komputer.

Bandem lanjut menguraikan bahwa koleksi Arsip Bali 1928 memenuhi beberapa
kriteria penting bagi riset dokumentasi, yaitu authenticity (keautentikan),
credibility (kredibilitas), representativeness (keterwakilan), dan meaning
(manfaatnya).

Bila dikaitkan dengan aspek keautentikan, koleksi Arsip Bali 1928 adalah rekam
jejak kesejarahan kebudayaan Bali yang asli, berbobot, berhubungan dan saling
menguatkan. Kemudian, materi-materinya mempunyai kredibilitas; semua
dokumen dihasilkan, dipilih, diarsip dan didokumentasikan secara teliti oleh
penelitinya, serta dirawat selama puluhan tahun oleh badan arsip kelas dunia.
Berbicara mengenai kriteria keterwakilan, koleksi Arsip Bali 1928 secara
kuantitas dan kualitas merekam satu masa perkembangan kesenian dan
kebudayaan Bali yang utuh dan lintas genre, terutama dalam konteks seni sakral,
semi-sakral dan sekuler. Terakhir, secara manfaat, hasil repatriasi ini adalah
bahan mentah “raw data” yang bisa memulai tersusunnya “information bank”
yang runut dan logis akan perkembangan seni budaya Bali, termasuk
interpretasi lintas-ilmu sesuai kekinian jaman.

Di masa mendatang, Arsip Bali 1928 telah mempunyai beberapa fokus yaitu:
1. Melanjutkan kerjasama dengan Dr. Edward Herbst untuk memulangkan
lebih banyak lagi materi berkenaan dengan Bali 1930-an dari pusat arsip

6
di Amerika Serikat termasuk UCLA Ethnomusicology Archive dan Library
of Congress; kini Arsip Bali 1928 telah mendapatkan hak untuk
memulangkan cuplikan film karya Gregory Bateson-Margaret Mead dan
Jane Belo.
2. Meningkatkan program penyebarluasan materi Bali 1928 melalui diskusi,
pemutaran film, dan seminar di berbagai ruang kreatif. Di tahun 2018 ini,
Arsip Bali 1928 telah bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) Bali untuk bersama-sama berkeliling melakuan mobile cinema
dengan materi-materi film Indonesia terpilih termasuk koleksi Bali 1928.
3. Membuat program aplikasi multimedia interaktif unutk menggantikan
teknologi CD dan DVD yang mulai usang.
4. Membina jejaring di Jepang dan Eropa, khususnya Prancis dan Belanda
untuk memulangkan properti kultural yang terkait dengan Paris Colonial
Exposition 1931.
5. Mengumpulkan properti kultural seperti piringan hitam, prangko, RPPC,
film 8-16 mm, brosur Bali 1930-an dan foto dalam bentuk asli dari
donatur dan/atau pelelangan.
6. Meningkatkan partisipasi publik dalam repatriasi berbasis komunitas
seperti yang dilakukan di Puri Grenceng, di mana tim Arsip Bali 1928
melakukan foto-dokumentasi akan keberadaan topeng/tapel koleksi Puri
Grenceng.
7. Mendorong pemerintah memberi pendanaan untuk program repatriasi,
restorasi dan revitalisasi dan membentuk task force repatriasi properti
kultural Bali. Arsip Bali 1928 mendapat dukungan berbagai pihak
termasuk pula dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali yang telah
melibatkan Arsip Bali 1928 dalam beragam program termasuk Dialog
Budaya Nasional di Bandung, Oktober 2018 yang lalu.
8. Membuat mirror-archive antara STIKOM Bali dengan institusi pendidikan
dan lembaga-lembaga kreatif lainnya. Sampai saat ini kerjasama sudah
terlaksana dengan ISI Denpasar, Universitas Pendidikan Ganesha,
Universitas Warmadewa, Universitas Udayana, Universitas Dwijendra dan
KMHDI Denpasar.

Tantangan ke depan, di zaman milenial ini adalah memformulasi metode-


metode baru dan inovatif dalam hal diseminasi terutama dalam membangkitkan
ketertarikan generasi muda untuk terlibat dalam upaya-upaya arsip dan
dokumentasi, repatriasi dan restorasi berbasis komunitas, serta tmemanfaatkan
hasil-hasil repatriasi untuk penciptaan karya baru-penelitian ilmiah.

Arsip Bali 1928 membuka akses bagi publik untuk turut serta berkolaborasi.
Baru-baru ini, Arsip Bali 1928 berkolaborasi dengan beberapa seniman muda di
Bali, dan meramu sebuah pagelaran multimedia bertajuk I Promise You Eternity

7
di sebuah ruang seni alternatif di Seminyak, Bali sebagai presentasi bahwa
materi-materi masa lampau Bali boleh dan bisa direspon dari berbagai
perspektif agar sekaligus edukatif dan menghibur. 7

Kami meyakini bahwa kerja keras dan kolaborasi dalam bidang pemajuan
kebudayaan khususnya repatriasi, restorasi dan revitalisasi akan berdampak
positif bagi bangsa kita. Secara sederhana, mari menggali masa lampau demi
masa depan yang kreatif. Semoga pengetahuan dan kebijakan datang dari
segala penjuru bagi kita semua.

Denpasar, 15 November 2018


Marlowe Bandem
Arsip Bali 1928

7 Sebagaimana diresensi oleh Wayan Juniarta dari The Jakarta Posts, diakses daring
pada tautan http://www.thejakartapost.com/news/2018/10/04/i-promise-you-eternity-
turning-grief-creative-eulogy.html

Anda mungkin juga menyukai