Perkembangan preservasi dalam ilmu perpustakaan mengacu pada evolusi upaya
untuk memelihara, melindungi, dan memperpanjang umur koleksi dan materi perpustakaan agar tetap dapat diakses dan dinikmati oleh generasi mendatang. Tema preservasi bukan sebuah bahasan baru tapi dia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam dunia informasi. Ketika masa Babilonia Kuno, kita bisa mengetahui Nabu adalah dewa buku dan pelindung tablet. Dewa Tiongkok kuno Wei T’O adalah dewa perpustakaan dan buku karena ia melindungi buku dari kerusakan akibat kebakaran, hama, serangga dan perampok besar maupun kecil (Widyawan, 2013). Para pustakawan Mesopotamia pada empat ribu tahun yang lalu menyimpan clay tablet sebagai media informasi rujukan yang tersimpan di perpustakaan, lalu sejalan dengan perkembangan masanya berubah dalam bentuk yang lebih modern yaitu gulungan naskah terbuat dari kulit hewan dan tumbuhan. Kemudian berubah bentuk lagi menjadi codexes atau lembaran naskah yang tersusun hingga akhirnya tercipta monograf atau buku (Rachman, 2013). Kesadaran akan pentingnya pelestarian ini baru dimulai sejak tahun 1966, yaitu pada saat ada banjir di Florence, Italia yang merusak koleksi perpustakaan nasional Italia serta benda- benda seni yang lain. Usaha untuk mengeringkan, membersihkan, memperbaiki dokumen yang rusak akibat banjir tersebut memerlukan dana dan kepandaian yang luar biasa besarnya. Kejadian ini ternyata menggugah hati para pustakawan tentang perlunya mempelajari bidang pelestarian bahan pustaka ini secara sungguh-sungguh. Lembaga yang telah lama mengupayakan "pelestarian" ini adalah museum, arsip dan kolektor seni. Bagaimana merawat lukisan-lukisan karya Van Gogh, Rembrant, De Gas, misalnya, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dua buah lembaga yang bergerak dalam bidang tersebut ialah: 1. The International Institute for Conservation of Historic and Artistic Works (IIC) yangdidirikan pada tahun 1950. 2. The American Institute for Conservation of Historic and Artistic Works (AIC), didirikan pada tahun 1960. Kedua lembaga tersebut mengupayakan agar benda-benda bersejarah, serta benda-benda seni dapat dilestarikan dengan baik, tetapi waktu itu belum menyinggung pelestarian koleksi perpustakaan. Perhatian pada pelestarian media informasi bahan pustaka baru dipikirkan pada tahun1970-an, ketika The Libracy of Congress (LC) berminat untuk mengembangkan bidang ini karena memiliki kepentingan untuk merawat koleksinya yang terkenal dan sudah banyak yang lapuk. Pada tahun 1976 diadakan seminar bagaimana mengatasi masalah kelapukan koleksi yang begitu besar. Kalau diadakan pembuatan mikro film secara biasa dari koleksi LC yang perlu diawetkan, maka akan diperlukan waktu 300 tahun. Kemudian diusahakan dengan cara mendinginkan bahan pustaka untuk memperlambat kelapukan. Cara pendinginan ini juga dilakukan di Australia. Seorang tokoh dari Newbery Library di Chicago, Paul N. Bank, mengemukakan perlu diadakan pendidikan pengawetan dan perawatan buku ini. Kota New York yang terkenal dengan polusi yang tinggi, memungkinkan akan perlunya untuk segera diadakan pendidikan ini. Para ahli arsip, pustakawan dan tokoh-tokoh dalam bidang ini berkumpul dan mengadakan diskusi yang menghasilkan pedoman bagaimana mengadakan pelestarian dan pengawetan dokumen yang bisa diikuti secara nasional. School of Library Studi, Columbia University, membuka program perawatan dan pengawetan dokumen untuk program Masters. Pamela Darling, istri Richard Darling yang waktu itu menjabat dekan dari sekolah perpustakaan tersebut mengajarkan mata kuliah ini dengan dukungan sepenuhnya dari suami. Jadi, Columbia adalah sekolah yang pertama-tamamemberikan pendidikan pelestarian secara resmi. Kemudian pendidikan ini ditawarkan pada berbagai sekolah perpustakaan di Amerika, di antaranya oleh The Florida State University Tallahassee, Florida. Secara internasional kegiatan ini diakui manfaat dan pentingnya bagi perpustakaan, dengan bantuan dari UNESCO, FORD FOUNDATION dan lain-lain. Kegiatan ini dikembangkan, terutama bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Dewasa ini Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI), bersama dengan Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, Direktorat Permuseuman Depdikbud, memprakarsai Program Pelestarian Bahan-Pustaka dan Arsip yang mendapat bantuan dana dari Ford Foundation. Pelestarian ini harus bisa dikerjakan oleh setiap perpustakaan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pengeluaran uang yang lebih banyak yang disebabkan oleh kerusakan buku karena kurangnya perawatan. Sejarah tersebut membuktikan bahwa melestarikan dan pengawetan media informasi yang memiliki nilai histori dan kandungan intelektual pada masa tertentu adalah penting. Tentunya perubahan bentuk atau kemasan ini dari waktu ke waktu membawa perubahan pada perpustakaan. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, maka perpustakaan turut menyesuaikan dengan perkembangan. Saat ini perpustakaan sudah mulai beralih dari tercetak ke elektronik. Namun apakah semuanya menjadi harus elektronik dan meninggalkan karya cetak atau monograf. Tentu itu semua harus diatur dalam kebijakan perpustakaan, pustakawan harus menentukan mana bahan pustaka yang harus tetap dilestarikan fisiknya dan mana bahan pustaka yang bisa dilestarikan isi kandungan intelektualnya dalam bentuk soft file atau kedua-duanya. DAFTAR PUSTAKA Maha, Rahmadani Ningsih. (2016). Preservasi Bahan Pustaka Perpustakaan Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi: Saat Ini Dan Masa Depan. XLI (4), hal.9 Karmidi. (2014). Modul 1 Pelestarian, Macam Sifat Bahan Pustaka, dan Latar Belakang Sejarahnya. Medan: Universitas terbuka. Rachman, Y. B. (2013). Pengantar pelestarian bahan perpustakaan: sebuah catatan ringkas. (https://theyounglibrarian.wordpress.com/2013/05/26/pengantarpelestarianbahanperpu stakaan/) tanggal akses: 29 April 2013. Rozak, Muhammadin, Retno Anggarini, Supriyanto. (1992). Pelestarian bahan pustaka dan arsip. Jakarta: Program Pelestarian Bahan Pustaka dan Arsip.