PENGOLAHAN
BAHAN PUSTAKA NON BUKU
DAN MASALAHNYA
Sekitar tahun 1965 muncul gagasan mendirikan apa yang disebut resource
centers di Inggris. Pusat-pusat ini, yang kebanyakan bernaung di bawah
lembaga-lembaga pendidikan atau badan-badan pemerintah yang mengelola
pendidikan, merupakan pusat produksi film dan televisi yang tidak saja
membuat film dan video, tetapi juga rekaman suara dan bahan grafis seperti
foto dan selid (slide). Untuk meningkatkan dan memperlancar produksi,
mereka mengumpulkan berbagai bahan yang dapat dipakai dalam kreasi-
kreasi baru mereka. Bahan ini adalah resource collection mereka yang perlu
dikelola agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Mulai saat itu terasa
bahwa kerja sama dengan para pustakawan, yang menguasai teknik
pengolahan dan temu kembali informasi, sangat dibutuhkan. Namun
sayangnya kerjasama ini tidak segera terwujud, karena para pustakawan
enggan menerima tanggung jawab atas bahan bukan buku. Mayoritas
pustakawan masih sangat book oriented dan belum dapat menerima
kenyataan bahwa informasi tidak selalu harus dituangkan dalam bentuk huruf
tercetak atau kertas.
Periode permulaan tahun 70-an adalah periode diskusi antara berbagai fihak
yang berkepentingan, seperti produser bahan, guru, pengelola resource center
3
dan pustakawan, mengenai pembagian tugas dan pembatasan tanggung
jawab. Diskusi-diskusi itu kadang berjalan sangat seru dan nyaris terjadi
perpecahan. Di satu pihak akan diadakan Learning Resources Center,
Instructional Materials Center, atau Media Center sebagai pengelola media
baru, dan di lain pihak ada perpustakaan “tradisional” sebagai pengelola
buku.
Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan usaha dari para pustakawan yang
progresif, suasana tegang lambat laun berubah, sehingga pada tahun 1976
Coward, yang berbicara pada suatu seminar mengenai perkembangan di
bidang organisasi bahan bukan buku, berani berkata : “ … the battle has been
won. The multimedia approach is the new orthodoxy. The importance of non-
book media archives and collections is understood. “
4
sangat baik (beberapa diantaranya bahkan menjadi dasar bagi aturan bahan
non buku dalam AACR2), keragaman aturan khusus ini tidak menguntungkan
bagi kerjasama antarperpustakaan dan pertukaran informasi bibliografi secara
internasional. Untunglah keadaan ini tidak berlangsung lama, karena pada
tahun 1978 AACR edisi ke-2 terbit. Dengan demikian dunia perpustakaan
memperoleh seperangkat peraturan yang tidak lagi “book oriented”. Gorman
: “The rules in Part 1 of AACR2 deal with print and non-print materials on
equal basis”.
Dalam peraturan AACR2 bahan bukan buku tidak lagi diperlakukan sebagai
semacam buku yang cacat, tetapi diperlakukan dengan pendekatan yang
sesuai bagi bahan tersebut, dalam kerangka kerja yang netral dan
komprehensif, yaitu International Standard Bibliographic Description
(General). Peraturan bab 1 AACR2 merupakan peraturan deskripsi bahan
pustaka yang paling lengkap dan paling tidak berat sebelah yang ada hingga
kini. Aturan ini mengambil banyak konsep dari aturan LANCET (Library
Association and National Council for Educational Technology) dari Inggris,
yang merupakan pelopor di bidang pengkatalogan deskriptif bahan bukan
buku. Terutama konsep satu struktur tunggal yang mencakup semua bahan
dan pendekatan yang tidak mengutamakan satu tipe bahan pustaka tertentu
sangat mempengaruhi bab AACR2. Tiap jenis bahan diperinci sesuai dengan
ciri-ciri dan sifat-sifat khas bahan tersebut.
Sebenarnya, jarang ada masalah yang hanya masuk kelompok (1) atau hanya
masuk kelompok (2). Setiap masalah biasanya terjadi karena adanya interaksi
faktor kelompok (1) dan (2). Sebenarnya setiap masalah pengkatalogan bahan
non buku merupakan hasil interaksi beberapa faktor yang ada di perpustakaan
masing-masing, sehingga setiap masalah bersifat spesifik dan harus diatasi
dengan cara yang spesifik pula.
6
besar. Sedangkan bagi penerbit, wajib simpan ini sangat
memberatkan, karena kopi sebuah film misalnya bisa mencapai
ratusan ribu rupiah (harga satu kopi bahan non buku mungkin
sangat mahal).
Bahan non buku yang diproduksi oleh perorangan atau badan non-
komersial ini memperbesar kerumitan pengawasan bibliografi.
7
‘Diffuse authorsip’ (‘kepengarangan tersebar’ atau ‘kepengarangan
kabur’) merupakan ciri khas berbagai jenis bahan non buku:
Jika kita perhatikan, ada banyak bahan pustaka yang terdiri dari
berbagai jenis, misalnya buku pelajaran Bahasa Inggris “TOEFL”.
Dokumen TOEFL ini biasanya menyertakan pita kaset yang juga
merupakan bahan non buku. Kadang-kadang tidak jelas mana bahan
utama dan mana bahan pelengkap. Apakah pita kaset sebagai bahan
utama dan buku sebagai bahan pelengkap atau malah sebaliknya.
Bila suatu bahan non buku terdiri dari satu set (kumpulan), maka
akan sulit apakah akan dideskripsikan sebagai satu kesatuan atau satu
per satu. Misalnya, sebuah pita kaset yang berisi kumpulan lagu,
apakah ia akan dideskripsikan sebagai satu kumpulan atau satu per
satu.
9
merupakan subsistem. Sebagai sistem tiap komponen mempunyai tujuan
tersendiri, tetapi jika kedudukannya sebagai subsistem maka ia harus
mempunyai tujuan yang menunjang tercapainya tujuan akhir, yaitu tujuan
sistem (perpustakaan).
10
sedapat mungkin memakai peraturan pengkatalogan internasional,
memperhitungkan kemungkinan automasi, komputerisasi, dsb.
Yang dimaksud dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan proses
pengkatalogan adalah masalah yang timbul karena interaksi antara :
◙◙◙
Referensi :
11
Latihan Modul 2
12
Lampiran 1
13
14