Anda di halaman 1dari 14

Modul 2

PENGOLAHAN
BAHAN PUSTAKA NON BUKU
DAN MASALAHNYA

Perkembangan perpustakaan saat ini menunjukkan bahwa perpustakaan


bukan lagi sekedar tempat untuk menyimpan dan mengumpulkan buku tetapi
juga berperan sebagai tempat yang disebut the preservation of knowledge.
Artinya, perpustakaan merupakan tempat untuk mengumpulkan, memelihara,
dan mengembangkan ilmu pengetahuan atau gagasan manusia dari masa ke
masa. Untuk dapat melaksanakan fungsi ini secara efektif maka isi
perpustakaan seharusnya tidak hanya terbatas pada koleksi media cetak saja.
Perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan media yang lebih beragam
jenisnya, sehingga memungkinkan pemakai perpustakaan untuk memilih
media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.

A. PENGGOLONGAN MEDIA DAN BAHAN NON BUKU

 Jerold Kemp dan Diane K. Dayton (1985) mengemukakan


klasifikasi jenis media sebagai berikut :
a. Media cetak
b. Media yang dipamerkan (displayed media)
c. Transparansi OHP (overhead transparency)
d. Rekaman suara
1
e. Slide suara dan film strip
f. Presentasi multi gambar
g. Video dan film
h. Pembelajaran berbasis komputer (computer based
instruction).

 Robert Heinich (1986) mengemukakan klasifikasi media sbb. :


a. Gambar-gambar yang tidak diproyeksikan (non-projected
visuals)
b. Gambar-gambar yang diproyeksikan (projected visuals)
c. Media suara (audio media)
d. Sistem multi media (multi media system)
e. Film
f. Televisi
g. Komputer.

 Sedangkan AACR2 menggolongkan media menjadi :


a. Bahan buku, pamflet dan bahan tercetak lainnya
b. Bahan peta atau kartografi
c. Manuskrip
d. Musik
e. Rekaman suara
f. Gambar hidup dan rekanan video
g. Bahan grafis
h. Berkas komputer
i. Bahan tiga dimensi dan realia
j. Bentuk mikro

Kelompok b - j sering disebut sebagai bahan non buku (non-book


materials).

B. PENGKATALOGAN BAHAN NON BUKU

Kehadiran bahan pustaka non buku di perpustakaan memperkaya koleksi


bahan pustaka dan memungkinkan perpustakaan memberikan pelayanan yang
lebih beragam kepada para pemakainya. Namun kehadiran bahan pustaka
bukan buku, yang kadang-kadang juga disebut dengan istilah bahan bukan
buku, bahan audio-visual, bahan pandang dengar, bahan khusus, bahan non
buku atau media (teknologi), juga menimbulkan berbagai masalah bagi
pustakawan yang harus menanganinya. Masalah alokasi anggaran, seleksi,
2
penyimpanan, perawatan, pengkatalogan, sampai sirkulasi, adalah masalah-
masalah yang menguji kemampuan dan kreatifitas pustakawan perpustakaan
multimedia.

Konsep perpustakaan multimedia sendiri, dibandingkan perpustakaan buku,


masih relatif baru. Jenis bahan bukan buku tertentu sudah sejak lama
dikumpulkan dan menjadi koleksi perpustakaan, tetapi biasanya perpustakaan
mengumpulkan satu jenis bahan saja. Pada waktu itu, dalam kegiatan
pengumpulan ini perpustakaan sebenarnya berfungsi sebagai arsip nasional,
atau arsip badan usaha tertentu seperti perusahaan film, stasiun radio, dsb.

Library of Congress misalnya, sudah mengumpulkan peta sejak tahun 1865,


National Film Archive dari Inggris didirikan tahun 1935, dan National
Archives Amerika Serikat mendirikan bagian untuk gambar hidup dan
rekaman suara pada tahun yang sama. Perpustakaan-perpustakaan yang
mengumpulkan beraneka ragam bahan bukan buku baru mulai bermunculan
pada awal tahun 70-an.

Pada tahun 50-an bahan audio-visual mulai digunakan dalam pengajaran.


Dan pada akhir tahun 60-an beberapa perpustakaan yang melayani lembaga
pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi mulai menyimpan bahan
bukan buku.

Sekitar tahun 1965 muncul gagasan mendirikan apa yang disebut resource
centers di Inggris. Pusat-pusat ini, yang kebanyakan bernaung di bawah
lembaga-lembaga pendidikan atau badan-badan pemerintah yang mengelola
pendidikan, merupakan pusat produksi film dan televisi yang tidak saja
membuat film dan video, tetapi juga rekaman suara dan bahan grafis seperti
foto dan selid (slide). Untuk meningkatkan dan memperlancar produksi,
mereka mengumpulkan berbagai bahan yang dapat dipakai dalam kreasi-
kreasi baru mereka. Bahan ini adalah resource collection mereka yang perlu
dikelola agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Mulai saat itu terasa
bahwa kerja sama dengan para pustakawan, yang menguasai teknik
pengolahan dan temu kembali informasi, sangat dibutuhkan. Namun
sayangnya kerjasama ini tidak segera terwujud, karena para pustakawan
enggan menerima tanggung jawab atas bahan bukan buku. Mayoritas
pustakawan masih sangat book oriented dan belum dapat menerima
kenyataan bahwa informasi tidak selalu harus dituangkan dalam bentuk huruf
tercetak atau kertas.

Periode permulaan tahun 70-an adalah periode diskusi antara berbagai fihak
yang berkepentingan, seperti produser bahan, guru, pengelola resource center

3
dan pustakawan, mengenai pembagian tugas dan pembatasan tanggung
jawab. Diskusi-diskusi itu kadang berjalan sangat seru dan nyaris terjadi
perpecahan. Di satu pihak akan diadakan Learning Resources Center,
Instructional Materials Center, atau Media Center sebagai pengelola media
baru, dan di lain pihak ada perpustakaan “tradisional” sebagai pengelola
buku.

Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan usaha dari para pustakawan yang
progresif, suasana tegang lambat laun berubah, sehingga pada tahun 1976
Coward, yang berbicara pada suatu seminar mengenai perkembangan di
bidang organisasi bahan bukan buku, berani berkata : “ … the battle has been
won. The multimedia approach is the new orthodoxy. The importance of non-
book media archives and collections is understood. “

Memandang kembali ke dasawarsa yang lalu, Harrison menyimpulkan bahwa


informasi adalah tanggung jawab pustakawan, dan informasi makin banyak
disajikan lewat bahan bukan buku. Jika para pustakawan berpendapat bahwa
pelestarian, pengolahan dan temu kembali informasi adalah tanggung jawab
mereka. Maka dengan sendirinya bahan bukan buku juga tanggung jawab
mereka. Bahan tercetak dan bahan bukan cetakan adalah partner dan
bukanlah saingan seperti sering dikira beberapa tahun sebelumnya.

Kesadaran dan pengakuan bahwa bahan bukan buku juga merupakan


tanggung jawab perpustakaan merupakan suatu langkah maju yang penting.
Tetapi adanya sikap baru ini tidak dengan sendirinya melenyapkan semua
masalah. Sistem pengaturan dan pengelolaan informasi terekam yang
berlaku di perpustakaan adalah sistem yang diciptakan untuk informasi yang
direkam dalam satu format tertentu, yaitu buku. Dengan sendirinya
penampungan bahan bukan buku dengan sifat-sifat mereka yang sangat
berbeda, menimbulkan berbagai masalah.

Berbagai usaha ke arah pengembangan suatu sistem baru atau sistem


multimedia dirintis. Di bidang sarana temu kembali usaha untuk menyusun
aturan pengkatalogan deskriptif (rules for descriptive cataloging) yang dapat
menghasilkan suatu katalog multimedia ditingkatkan. Anglo American
Cataloging Rules, (AACR) edisi ke-1 yang pada saat itu merupakan aturan
pengkatalogan yang umum dipakai di Inggris, Amerika Serikat dan Canada,
memang memuat juga aturan untuk bahan bukan buku, tetapi salah satu
bagian yang paling banyak dikritik adalah bagian bahan non buku. Karena
kebutuhan sudah sangat mendesak, banyak perpustakaan dan badan lain yang
berkepentingan mulai menyusun peraturan pengkatalogan khusus untuk
bahan yang mereka kelola. Walaupun beberapa dari kode pengkatalogan ini

4
sangat baik (beberapa diantaranya bahkan menjadi dasar bagi aturan bahan
non buku dalam AACR2), keragaman aturan khusus ini tidak menguntungkan
bagi kerjasama antarperpustakaan dan pertukaran informasi bibliografi secara
internasional. Untunglah keadaan ini tidak berlangsung lama, karena pada
tahun 1978 AACR edisi ke-2 terbit. Dengan demikian dunia perpustakaan
memperoleh seperangkat peraturan yang tidak lagi “book oriented”. Gorman
: “The rules in Part 1 of AACR2 deal with print and non-print materials on
equal basis”.

Dalam peraturan AACR2 bahan bukan buku tidak lagi diperlakukan sebagai
semacam buku yang cacat, tetapi diperlakukan dengan pendekatan yang
sesuai bagi bahan tersebut, dalam kerangka kerja yang netral dan
komprehensif, yaitu International Standard Bibliographic Description
(General). Peraturan bab 1 AACR2 merupakan peraturan deskripsi bahan
pustaka yang paling lengkap dan paling tidak berat sebelah yang ada hingga
kini. Aturan ini mengambil banyak konsep dari aturan LANCET (Library
Association and National Council for Educational Technology) dari Inggris,
yang merupakan pelopor di bidang pengkatalogan deskriptif bahan bukan
buku. Terutama konsep satu struktur tunggal yang mencakup semua bahan
dan pendekatan yang tidak mengutamakan satu tipe bahan pustaka tertentu
sangat mempengaruhi bab AACR2. Tiap jenis bahan diperinci sesuai dengan
ciri-ciri dan sifat-sifat khas bahan tersebut.

C. MASALAH-MASALAH PENGKATALOGAN BAHAN NON


BUKU

Masalah-masalah pengkatalogan deskriptif bahan bukan buku secara garis


besar dapat dibagi atas dua kelompok :
1. Masalah yang disebabkan oleh ciri-ciri dan sifat bahan bukan buku
2. Masalah yang berkaitan dengan proses pengkatalogan.

Sebenarnya, jarang ada masalah yang hanya masuk kelompok (1) atau hanya
masuk kelompok (2). Setiap masalah biasanya terjadi karena adanya interaksi
faktor kelompok (1) dan (2). Sebenarnya setiap masalah pengkatalogan bahan
non buku merupakan hasil interaksi beberapa faktor yang ada di perpustakaan
masing-masing, sehingga setiap masalah bersifat spesifik dan harus diatasi
dengan cara yang spesifik pula.

I. MASALAH YANG DISEBABKAN OLEH CIRI-CIRI & SIFAT


BAHAN NON BUKU
5
(1) Keragaman bahan non buku

Bahan non buku sangat banyak ragamnya. Masing-masing kelompok


memiliki karakteristik yang unik dan tingkat kerumitan tersendiri.
Kebanyakan bahan belum bersifat stabil, artinya belum mencapai ke
fase yang dapat dianggap sebagai telah mencapai bentuk yang
permanen dengan ciri-ciri yang tidak berubah lagi. Usaha
penyempurnaan bentuk yang telah ada terus berjalan, dan
pemanfaatan teknologi terbaru terus melahirkan bentuk-bentuk baru
yang memiliki keunikan, sifat dan tingkat kerumitan tersendiri.

Keragaman bahan non buku dan pesatnya perkembangan bentuk-


bentuk baru menuntut pengkatalog untuk secara aktif mengikuti
perkembangan yang ada.

Banyaknya ragam atau jenis baru bahan non buku menimbulkan


kesulitan. Pengkatalog harus memiliki pengetahuan khusus mengenai
setiap bahan non buku dan alat-alat yang berhubungan dengan
pengoperasian bahan tersebut. Misalnya untuk bahan VCD, selain
membutuhkan pengetahuan khusus tentang deskripsi bahan itu
pengkatalog juga harus mampu mengoperasikan alat untuk memutar
VCD itu, karena data yang dibutuhkan untuk deskripsi bahan itu
mungkin hanya bisa diperoleh dengan cara memutar video itu.

(2) Lemahnya pengawasan bibliografi

Pengawasan bibliografi bahan non buku masih jauh dari sempurna,


sehingga alat-alat bantu yang dapat mempermudah pencarian atau
verifikasi data bibliografi untuk pengkatalogan masih sangat kurang.
Masalah ini timbul karena :

a. Sarana bibliografi seperti bibliografi, indeks, panduan pustaka


(literature guide) yang komprehensif, pada umumnya merupakan
hasil usaha yang hanya dapat berjalan dengan dukungan koleksi
nasional yang berkembang karena adanya undang-undang wajib
simpan.

Tetapi karena sifatnya yang unik, kemungkinan diwajibkannya


menyerahkan 1 kopi bahan bukan buku masih sulit dilaksanakan.
Bagi perpustakaan atau lembaga nasional yang menerima, hal ini
menyulitkan karena diperlukan fasilitas penyimpanan yang sangat

6
besar. Sedangkan bagi penerbit, wajib simpan ini sangat
memberatkan, karena kopi sebuah film misalnya bisa mencapai
ratusan ribu rupiah (harga satu kopi bahan non buku mungkin
sangat mahal).

Saat ini, yang mungkin adalah melakukan legal deposit of


information, yaitu kewajiban menyerahkan informasi tentang
segala sesuatu yang telah diterbitkan dalam bentuk bahan non
buku.

b. Bahan non buku merupakan hasil usaha berbagai jenis badan


usaha dengan pola penerbitan dan penyaluran yang berbeda-beda.
Beberapa jenis bahan non buku, yaitu bahan yang dapat
diproduksi dengan alat-alat yang relatif murah, seperti selid
(slide), transparansi, rekaman suara, filmstrip, mungkin
diproduksi oleh perorangan atau badan non-komersial dan
diperjualbelikan dalam jumlah terbatas. Bahan non buku yang
diproduksi oleh perorangan atau badan non-komersial ini mungkin
sangat bernilai dan dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan yang
berharga bagi dunia pengetahuan. Sayangnya, bahan-bahan ini
mungkin sulit didapat.

Bahan non buku yang diproduksi oleh perorangan atau badan non-
komersial ini memperbesar kerumitan pengawasan bibliografi.

(3) Masalah sumber informasi utama

Bahan non buku tidak mempunyai halaman judul atau padanannya,


sehingga pengkatalog sering mengalami kesulitan dalam memilih
data yang harus ditranskripsikan. Data yang ditemukan kadang-
kadang bertentangan atau berbeda. Judul pada kemasan berbeda dari
judul pada label, dan berbeda lagi dari judul pada ‘title frames’,
misalnya.

(4) Tanggung jawab tidak jelas

Karya-karya rekaman suara dan rekaman video dalam pembuatannya


banyak sekali melibatkan orang, atau badan yang bertanggung jawab
atas isi intelektual/artistiknya, sehingga sulit menentukan siapa yang
paling bertanggung jawab.

7
‘Diffuse authorsip’ (‘kepengarangan tersebar’ atau ‘kepengarangan
kabur’) merupakan ciri khas berbagai jenis bahan non buku:

 dalam deskripsi biliografi pengkatalog sulit menentukan


pernyataan tanggung jawab,
 sedangkan dalam penentuan titik akses (access point)
pengkatalog sulit menentukan tajuk entri utama dan
tambahan.

(5) Dokumen terdiri dari berbagai jenis bahan

Jika kita perhatikan, ada banyak bahan pustaka yang terdiri dari
berbagai jenis, misalnya buku pelajaran Bahasa Inggris “TOEFL”.
Dokumen TOEFL ini biasanya menyertakan pita kaset yang juga
merupakan bahan non buku. Kadang-kadang tidak jelas mana bahan
utama dan mana bahan pelengkap. Apakah pita kaset sebagai bahan
utama dan buku sebagai bahan pelengkap atau malah sebaliknya.

(6) Pengatalogan analitik

Bila suatu bahan non buku terdiri dari satu set (kumpulan), maka
akan sulit apakah akan dideskripsikan sebagai satu kesatuan atau satu
per satu. Misalnya, sebuah pita kaset yang berisi kumpulan lagu,
apakah ia akan dideskripsikan sebagai satu kumpulan atau satu per
satu.

(7) Deskripsi harus lengkap atau terperinci

Sebenarnya, pendeskripsian bahan non buku tergantung pada sistem


perpustakaan yaitu sistem terbuka atau tertutup. Bila sistem
perpustakaannya tertutup tentunya deskripsi bibliografi harus lengkap
atau terperinci, sedangkan bila sistem perpustakaannya terbuka
deskripsi bisa lebih sederhana.

Tetapi perlu diingat dan dipertimbangkan bahwa informasi yang


tersimpan dalam bentuk bahan non buku tertentu (rekaman suara,
rekaman video, mikrofilm, dsb) tidak dapat dibaca atau dilihat-lihat
seperti informasi berbentuk bahan tercetak. Perlu alat bantu khusus
untuk memutar dan memperlihatkan isi atau informasi di dalamnya.
Bahan ini mudah rusak dan cepat mundur kualitasnya bila terlalu
sering diputar. Untuk mencegah pemutaran yang berlebihan hanya
untuk mendapatkan gambaran tentang isi dan kegunaan dokumen itu,
8
deskripsi bibliografi harus selengkap mungkin, agar ia benar-benar
dapat mewakili dokumen itu. Tetapi, jika perpustakaan menerapkan
deskripsi bahan non buku yang lengkap dan terperinci, maka
resikonya adalah pengkatalogan bahan non buku akan memakan
banyak waktu dan tenaga.

(8) Masalah pendekatan subjek

Masalah dalam pendekatan subjek untuk bahan non buku masih


menjadi perdebatan, apakah pendekatan subjek ini perlu atau tidak?
Bila dirasakan perlu, maka sistem mana yang akan digunakan?
Kemudian apakah satu sistem akan digunakan untuk semua bahan?

(9) Katalog multimedia atau katalog terpisah

Dalam perpustakaan multi media, penjajaran kartu katalog bahan non


buku dapat digabungkan (disatukan) dengan katalog monograf atau
dibuatkan katalog terpisah.

Apabila digabung (katalog multimedia), maka pembeda apa yang


akan digunakan. Apakah kode khusus, kode warna atau kode GMD.
Masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Misalnya,
kode khusus dan kode warna mempunyai kelemahan tidak standar
dan sulit diterapkan untuk semua perpustakaan. Sedangkan GMD
mempunyai kelebihan standar dan lebih mudah diterapkan.

II. MASALAH-MASALAH YANG BERKAITAN DENGAN PROSES


PENGKATALOGAN BAHAN NON BUKU

Perpustakaan adalah suatu sistem. Suatu sistem adalah suatu kesatuan


yang terorganisir dan dirancang sedemikian rupa, sehingga suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai. Tercapainya tujuan ini
karena adanya interaksi antarkomponen sistem, sifat saling menunjang
antar komponen, dan beroperasinya komponen tersebut sebagai satu
kesatuan integral. Karena sesungguhnya perpustakaan adalah suatu
kesatuan yang diorganisir untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu
komunikasi informasi.

Komponen suatu sistem dapat merupakan sistem pula. Bagian pengadaan


koleksi atau bagian pengkatalogan suatu perpustakaan misalnya,
merupakan sistem yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagai komponen dari
sistem yang lebih besar (perpustakaan itu) kedua komponen ini

9
merupakan subsistem. Sebagai sistem tiap komponen mempunyai tujuan
tersendiri, tetapi jika kedudukannya sebagai subsistem maka ia harus
mempunyai tujuan yang menunjang tercapainya tujuan akhir, yaitu tujuan
sistem (perpustakaan).

Dalam konteks yang lebih luas, perpustakaan merupakan subsistem dari


suatu sistem eksternal yang lebih besar, yaitu masyarakat yang dilayani.
Misalnya masyarakat sekolah, bagi perustakaan sekolah; lembaga
penelitian bagi perpustakaan khusus dan seterusnya. Masyarakat ini
adalah supra-sistem yang mempengaruhi tujuan perpustakaan,
menentukan ruang geraknya dan menilai keberhasilannya.
(Lihat Gambar 1  Perpustakan sebagai Sistem)

Pengkatalogan bertujuan membantu pemakai perpustakaan menentukan


bahan pustaka mana yang paling sesuai untuk kebutuhan mereka, dan
memberitahukan di mana bahan tersebut dapat ditemukan. Untuk dapat
mencapai tujuan itu suatu sarana komunikasi antarpengelola sumber-
sumber informasi dan pemakai perpustakaan diciptakan, yaitu
KATALOG. Sarana ini merupakan hasil dari proses pengkatalogan.

Proses pengkatalogan sebagai komponen atau subsistem harus berjalan


searah dengan kebijaksanaan seluruh sistem. Interaksi antara semua
komponen menciptakan ketergantungan yang timbal balik
antarkomponen, sehingga dalam menentukan kebijaksanaannya suatu
subsistem senantiasa harus mempelajari dan mempertimbangkan
kebijaksanaan subsistem lain.
(Lihat Gambar 2  Interaksi antarsubsistem)

Supra-sistem, yang ikut menentukan tujuan perpustakaan juga perlu


dipelajari, sebab katalog yang efektif adalah katalog yang mencerminkan
tipe lembaga, latar belakang, tingkat kemajuan dan pendidikan masyarakat
penggunanya. Di samping itu perlu disadari bahwa sebagai akibat
perkembangan teknologi, terutama di bidang komunikasi, dunia telah
‘menciut’, sehingga seluruh dunia harus dianggap sebagai supra-sistem
yang menuntut penyebaran dan pertukaran informasi yang cepat. Oleh
sebab itu perekaman, penyimpanan dan temu kembali informasi tidak
dapat lagi direncanakan semata-mata berdasarkan situasi di suatu tempat
tertentu, tetapi direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi
bagian dari suatu sistem yang mencakup seluruh dunia. Kenyataan ini
tentu mempunyai implikasi yang luas bagi perpustakaan dan
subsistemnya. Untuk subsistem pengkatalogan misalnya, ini berarti

10
sedapat mungkin memakai peraturan pengkatalogan internasional,
memperhitungkan kemungkinan automasi, komputerisasi, dsb.
Yang dimaksud dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan proses
pengkatalogan adalah masalah yang timbul karena interaksi antara :

SUPRASISTEM – SISTEM – SUSBISTEM –


SUBSISTEM.

Berbeda dengan pembicaraan kelompok satu (I), pembicaraan kelompok


dua (II) tidak berbentuk suatu daftar masalah, karena yang penting di sini
bukanlah inventarisasi masalah, melainkan cara pendekatan yang tepat,
yaitu pendekatan bersistem atau ‘system approach’. Cara ini bukan cara
yang baru, tetapi sudah dikenal oleh mayoritas pustakawan. Pendekatan
ini disorot lagi karena ia tidak saja sarana yang penting bagi analisis
masalah, tetapi juga bagi penyusunan kebijaksanaan pengkatalogan.

◙◙◙

Referensi :

Aditirto, Irma Utari. Deskripsi Bibliografi Bahan Non Buku. Jakarta :


Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, 1989.

Mirmani, Anon dan Irman Siswadi. Pengolahan Bahan non Buku.


Jakarta : Universitas Terbuka, 1997.

Pribadi, Benny Agus & Yuni Katrin. Media Teknologi. Jakarta :


Universitas Terbuka, 2004.

Taylor, Arlene G. Wynar’s Introduction to Cataloging and


Classification. Revised 9th Ed. Wesport, London : Libraries
Unlimited, 2004.

Yulia, Yuyu dan B. Mustafa. Pengolahan Bahan Pustaka. Jakarta :


Universitas Terbuka, 2007.

11
Latihan Modul 2

1. Sebutkan penggolongan buku menurut AACR2!

2. Sebutkan berbagai masalah yang menyertai pengkatalogan non buku.

3. Salah satu masalah dalam pengkatalogan non buku adalah


keanekaragaman bahan. Mengapa?

4. Menurut anda, mengapa banyak perpustakaan di Indonesia belum


mengkoleksi bahan pustaka non buku?

12
Lampiran 1

Gambar 1. Perpustakaan Sebagai Sistem

Gambar 2. Interaksi Antarsubsistem

13
14

Anda mungkin juga menyukai