Anda di halaman 1dari 34

INTELLECTUAL FREEDOM DAN SENSORSHIP PEPUSTAKAAN

(ADVOKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN


PERPUSTAKAAN DI GRAHATAMA BPAD YOGYAKARTA)

PROPOSAL DISERTASI
KHAIRUNNISA ETIKA SARI

1. Latar Belakang Masalah

Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku

bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah, demikian kutipan seorang penulis

terkenal berkebangsaan Republik Ceko yaitu Milan Kundera (1929) dalam setiap

jargonnya. Gagasan ini menguatkan fungsi Perpustakaan dalam menjaga dan

mengembangkan peradaban sebuah bangsa. Karena melalui berbagai bahan pustaka

yang dihimpun dan dibaca masyarakat berbagai bentuk peradaban bangsa itu harus

diabadikan, bahkan terus dikaji untuk dikembangkan bagi kepentingan bangsa di

masa depan. Perpustakaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari buku dan

peradaban umat manusia. Oleh karena itu perpustakaan sering dikonotasikan

sebagai pranata rsosial yang merefleksikan tingkat peradaban masyarakat, artinya

perpustakaan dapat menggambarkan tentang tingkat kemajuan dan kejayaan suatu

negara.

Menengok sejarah masa keemasan (the golden age) sekaligus kehancuran

Dinasti Abbasiyah (750 M-1258 M) yang berpengaruh terhadap dunia Islam

kontemporer, yakni perkembangan ilmu pengetahuan yang mengalami

kemunduran, hal ini disebabkan Baghdad pada masa Khalifah Abbasiyah adalah

pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, budaya kecintaan terhadap ilmu

1
terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan keilmuan

setelahnya. Pembangunan perpustakaan, toko buku, sekolah, pusat kajian dan

diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa kehancuran kota Baghdad

sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikmah yang sebagiannya

dibuang di sungai Tigris (Ensiklopedia Islam, 1994: 518). Sebagai pusat ilmu

pengetahuan dan peradaban, kehancuran kota Baghdad tentu memberikan dampak

yang besar terhadap sejarah umat Islam. Jatuhnya kota Baghdad bukan saja

mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran

dunia Islam. Ketika Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada

di sana juga ikut lenyap.

Kundera (2015:4) mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan

kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. Agar masalah lupa yang

dialami oleh suatu bangsa akan sejarah dan nilai-nilai masa lampau, diperlukan

instrumen untuk menyimpan produk-produk sejarah dan kebudayaan sebagai

ingatan kolektif bangsa salah satunya ialah perpustakaan. Karena pentingnya

keberadaan perpustakaan Byrne (2013) menegaskan bahwa kehancuran

perpustakaan melambangkan kehancuran suatu kebudayaan, suatu warisan

kebudayaan hanya akan tersimpan dengan baik dalam sebuah perpustakaan yang

dianggap sebagai rumah ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, Byrne menjelaskan

bahwa perpustakaan merupakan kunci bagi pelestarian warisan kebudayaan,

penyedia akses kepada pengetahuan, informasi, ide-ide kepada setiap warganya

dengan setara, sehingga setiap orang akan memiliki modal kultural dengan

memanfaatkan perpustakaan. Cosette (dalam Ariyani, 2015:45) menyatakan

2
bahwa perpustakaan adalah penyedia informasi yang bersifat netral atau tidak

memihak suatu kelompok atau individu.

Perpustakaan menyediakan informasi bagi semua warga tanpa memandang

status sosial sehingga perpustakaan adalah lembaga yang mendukung ide

demokrasi. Untuk mendukung dan mewujudkan perpustakaan sebagai institusi

netral dan demokratis, International Federation of Library Associations and

Institutions (IFLA) sebagai lembaga pustakawan internasional menjelaskan bahwa

perpustakaan berperan dalam usaha mengembangkan dan menjaga kebebasan

intelektual, nilai-nilai kemanusiaan dan nilai demokrasi. Sebagai tempat untuk

menyimpan ide-ide terekam, maka perpustakaan memiliki kewajiban untuk

menyimpan, dan menyebarkan ide maupun informasi tanpa suatu batasan dan

larangan. Istilah kebebasan intelektual dipromosikan oleh Association Library of

America (ALA) melalui The ALA Office for Intellectual Freedom mendefinisikan

kebebasan intelektual sebagai hak setiap orang untuk mencari dan menerima

informasi dari segala sudut pandang tanpa larangan. Kebebasan intelektual

menyediakan akses terbuka bagi segala ekspresi dan gagasan melalui berbagai

jenis tindakan dan mengarahkan individu pada kebebasan untuk menerima dan

menyebarkan gagasan/ide.

Dalam konteks keilmuan perpustakaan, kebebasan intelektual termasuk

dalam kajian pengembangan koleksi. Kebijakan pengembangan koleksi

merupakan dasar dari seluruh implementasi kebebasan intelektual. Evans

(2005:411) menegaskan bahwa kebijakan pengembangan koleksi sebagai pondasi

perpustakaan dalam menjalankan kebebasan intelektual. Hal ini dipertegas oleh

3
Osburn (1991:169) yang mengatakan fokus pada hubungan antara kebijakan

pengembangan koleksi dengan kebebasan intelektual terletak pada kebijakan

seleksi koleksi. Seleksi koleksi merupakan nucleus (inti) dan sebagai manifestasi

kebijakan pengembangan koleksi. Lebih lanjut Osburn menjelaskan bahwa

kebijakan pengembangan koleksi sebagai dasar dari kebebasan intelektual, maka

proses seleksi koleksi merupakan inti dari proses kegiatan pengembangan koleksi.

Hambatan dan tantangan dalam kebebasan intelektual berupa kebijakan sensor.

The ALA Office for Intellectual Freedom menjelaskan sensor merupakan tekanan

terhadap ide/gagasan dan informasi yang dilakukan oleh pihak tertentu baik

individu, kelompok tertentu maupun pemerintah. Sensor menekan institusi publik

seperti halnya perpustakaan untuk menghilangkan atau membatasi akses terhadap

informasi yang dianggap tidak sesuai dan berbahaya. Beberapa penerapan sensor

dalam ranah kepustakawanan menurut Florida Library Association (FLA) terjadi

pada kebijakan pengembangan koleksi ketika perpustakaan tidak memperbarui

kebijakan pengembangan koleksi dan mengeluarkan koleksi tanpa proses

pertimbangan terlebih dahulu (2014:9)

Dikotomi kebebasan intelektual dan sensor merupakan dua sisi mata uang

dan dilematis terhadap perpustakaan dan pustakawan. Perpustakaan memiliki

fungsi melindungi, menyimpan, melestarikan dan menyebarkan informasi dan

karya intelektual kepada semua pemustaka dengan baik, namun di sisi lain,

perpustakaan harus tunduk terhadap peraturan sensor dan kebijakan negara yang

bersangkutan. ALA dalam Library Bill of Right (1996) pasal pertama mengatakan

bahwa bahan perpustakaan tidak dilarang atau dikeluarkan atas latar belakang

4
sudut pandang atau ideologi pemikiran dari penciptaannya (penulis dan

penerbitannya). Artinya, pernyataan tersebut menghubungkan kebebasan

intelektual dengan aktivitas pengembangan koleksi. Khususnya dalam proses

seleksi dan akuisisi bahan perpustakaan. Perpustakaan dan pustakawan selektor

harus dapat menjalankan aktivitas kepustakawanannya dengan sikap professional

dan netral terhadap apapun latar belakang dari bahan perpustakaan.

Menurut Drs. Budiono, SIP selaku Pustakawan Madya BPAD DIY dalam

wawancaranya dengan peneliti menjelaskan bahwa kebebasan intelektual ada

seiring adanya kebijakan sensor. Kebebasan intelektual dipahami sebagai

kebebasan berekspresi dan menghindari sensor. Selektor tidak boleh menyeleksi

dan mengadakan koleksi berdasarkan selera pribadi dan perpustakaan harus

mengutamakan kebutuhan masyarakat.

Namun peneliti menemukan kebijakan sensor dalam kebijakan

pengembangan koleksi yaitu dalam pengadaan dan seleksi koleksi. Drs Budiono,

SIP mengatakan sebagai berikut:

“Dalam pengembangan koleksi kami memperhatikan latar belakang


penulisan sebuah buku. Namun tidak sepanjang zaman tergantung situasi
kondisi politik dan keamanan di masyarakat yang menjadi pertimbangan
dalam seleksi koleksi.”

Dengan adanya pertimbangan latar belakang peneliti menunjukkan adanya

kebijakan sensor dalam pengembangan koleksi, sebenarnya perpustakaan

bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan intelektual karena dengan

pertimbangan latar belakang penulis akan menimbulkan bias selektor. Menurut

5
Byrne (1999:2) bahwa kebebasan intelektual sebagai prinsip dasar praktek

kepustakawanan, prinsip dalam kebijakan pengembangan koleksi dan prinsip

menyediakan akses informasi. Peran perpustakaan dalam mengembangkan dan

menjaga kebebasan intelektual merupakan peran yang stategis dan penting dalam

aktivitas kepustakawanan. Hal ini agar menciptakan koleksi yang beragam dan

seimbang yang sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan pemustaka. Dengan

adanya sentimen atau bias selektor hal ini bertentanga dengan prinsip- prinsip

kebebasan intelektual untuk mengelola dan menciptakan koleksi yang tepat dan

sesuai dengan kebutuhan pemustaka sangat diperlukan dan penting. Maka peneliti

tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai kebIjakan Perpustakaan Grahatama

BPAD D.I Yogyakarta terkait kebebasan intelektual dan senshorship dalam

pengembangan perpustakaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka rumusan masalah penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemahaman pustakawan tentang kebebasan

intelektual di Perpustakaan Grhatama BPAD DIY?

2. Bagaimanakah implementasi konsep kebebasan intelektual dan

senshorship dalam akses dan penyebaran informasi Perpustakaan

Grhatama BPAD DIY?

3. Apa yang menjadi kendala dalam implementasi kebebasan

intelektual di Perpustakaan Grhatama BPAD DIY?

6
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebebasan

intelektual dan kebijakan senshorship di perpustakaan. fokus penelitian ini

membahas tentang kebijakan pengembangan ditinjau pada unsur-unsur penting

dalam kebebasan intelektual diantaranya; pemilihan koleksi perpustakaan, akses

informasi, dan penyebaran informasi. Bahan perpustakaan yang akan diteliti

merupakan semua koleksi baik cetak maupun non cetak di Perpustakaan

Grhatama BPAD DIY.

1.4 Tinjauan Pustaka

Adapun untuk mendukung penyusunan riset ini, peneliti berusaha

melakukaan telaah terhadap karya-karya yang memiliki kesamaan topik atau

yang sejenis dengan penelitian ini. Hal ini peneliti melakukan pembandingan

dengan hasil penelitian atau literatur lain yang sesuai dengan topik penelitian

yang akan peneliti lakukan. Terdapat beberapa penelitian yang membahas

mengenai kebijakan pengembangan perpustakaan. Adapun beberapa sumber

yang digunakan sebagai tinjauan pustaka yaitu

Penelitian pertama dilakukan oleh Sarah McNicol dengan judul School

Librarian's Intellectual Freedom Atitude and Practices pada tahun 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki masalah penyensoran yang dihadapi

oleh Pustakawan Sekolah di Inggris dan faktor-faktor apa saja yang

7
mempengaruhi sikap pustakawan terhadap permasalahan ini. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode pengumpulan data

dengan metode kuisioner dengan jumlah 96 responden. Hasil penelitian

tersebut adalah secara keseluruhan responden memilih mendukung kebebasan

intelektual darı sudut pandang teori dari pada praktek kebebasan intelektual..

Sejumlah responden menekankan bahwa kebebasan intelektual penting dalam

meningkatkan kemampuan mereka dan sebagai hak untuk menentukan seleksı

bahan perpustakaan yang akan diadakan. Terdapat bukti perbedaan dalam

penerapan praktis kebebasan intelektual, hal ini tergantung kepada pribadi

responden ketika menjalankan profesi pustakawan atau tergantung kepada

pribadi responden ketika menjalankan profesi pustakawan atau saat mereka

menjadi anggota asosiasi profesional pustakawan. Ini perlu penelitian lebih

lanjut ke dalam peran asosiasi professional pustakawan dalam mendukung

pustakawan ketika menghadapi permasalahan sensor. Temuan lainnya, bahwa

responden memiliki pandangan kebebasan intelektual yang kuat, hanya saja

mereka seperti berjalan sendiri dalam menegakkan prinsip-prinsip kebebasan

intelektual dan kurang mendapatkan bantuan perlindungan darı asosiasi

professional maupun institusi di mana mereka bekerja.

Peneitian kedua dilakukan oleh Shannon M. Oltmann di Jurnal College and

Research Library Vol.78 No.6 Tahun 2017, dengan judul Intellectual Freedom

in Academic Libraries: Surveying Deans about Its Significance. Dalam studi

ini, para dekan dan direktur perpustakaan akademik yang ada di Amerika

disurvei tentang kebebasan intelektual. Survei tersebut menemukan bahwa

8
sebagian besar responden mengatakan mereka jarang memikirkan kebebasan

intelektual, namun mengatakan itu "agak" atau "sangat" penting di

perpustakaan mereka. Sebagian besar tidak memiliki kebijakan kebebasan

intelektual formal; mereka sering mengandalkan pernyataan dari American

Library Association atau organisasi perpustakaan lainnya. Hak cipta/kekayaan

intelektual, privasi, plagiarisme, dan kebebasan akademik adalah perhatian

paling penting terkait dengan kebebasan intelektual. Meskipun penelitian ini

menjelaskan kebebasan intelektual di perpustakaan akademik, penelitian lebih

lanjut masih harus dilakukan.

Penelitian ketiga, oleh Alexandra Pooley merupakan tesis dengan judul

"Ethical Training: censorship and intellectual freedom in the Public Library",

dilakukan pada tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian kombinasi.

Metode pengumpulan data dengan angket/kuisioner , wawancara, dan studi

pustaka. Jumlah responden adalah 77 staf perpustakaan umum yang telah

mengikuti pelatihan tentang kebebasan intelektual. Tujuan penelitian untuk

mengetahui kelemahan pelatihan dengan tema kebebasan intelektual dan kode

etik pustakawan serta kemampuan pengetahuan pustakawan dan staf tentang

kebebasan intelektual dan tantangan menghadapi sensor. Hasil penelitian

adalah isu tentang kebebasan intelektual dan sensor sebagai elemen penting

dalam pelaksanaan dan penilaian pedoman Etika pustakawan dan staf

perpustakaan, pelatihan tentang kebebasan intelektual di perpustakaan masih

lemah dan penerapan kebebasan intelektual dapat optimal diterapkan jika

perpustakaan melakukan pelatıhan secara konsisten dan berkelanjutan.

9
Penelitian ke-empat dilakukan oleh Isna Alfiathi dengan judul

Representasi Kebebasan Intelektual di Perpustakaan, mengguanakan analisis

semiotika pada serial animasi Toshokan Senso (Library War) 2009 Penelitian

ini membahas kebebasan intelektual di perpustakaan yang dipertentangkan

dengan kebijakan serta pelaksanaan sensor dari pemerintah yang

direpresentasikan dalam serial animasi Toshokan Senso Library War.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan

semiotik. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebebasan

intelektual, cara yang digunakan dalam mempertahankan kebebasa intelektual

di perpustakaan dan memahami bentuk pertahanan kebebasan intelektual di

perpustakaan. Hasil penelitian menunjukkan unsur-unsur kebebasan intelektual

seperti kebebasan mendapatkan informasi dan bahan perpustakaan

perpustakaan, kebebasan mencari informasi, kebebasan menyebarkan

informasi, peraturan mengenai kebebasan intelektual di perpustakaan dan

tindakan pertahanan terhadap kebebasan intelektual. Sementara unsur-unsur

kebijakan sensor dari pemerintah dalam serial animasi tersebut melalui adegan

berupa razia buku, pembakaran buku, peraturan mengenai sensor dan juga

pembatasan usia pengguna perpustakaan.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum menurut Hermawan (2006:30) bahwa

perpustakaan yang melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan

10
latar belakang,status sosial, agama, suku, pendidikan, dan sebagainya. Konsep

dasar perpustakaan umum adalah didirikan oleh masyarakat, untuk masyarakat

dan didanai dengan dana masyarakat. Yang termasuk dalam kategori

perpustakaan umum antara lain; a) perpustakaan umum yang diselenggarakan

oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, termasuk perpustakaan keliling;

b) perpustakaan desa/kelurahan; c) perpustakaan yang diselenggarakan oleh

lembaga swadaya masyarakat; d) taman bacaan, rumah baca,pondok baca, baik

yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun perorangan. Salah satu tipologi

perpustakaan adalah perpustakaan umum. Undang-Undang No 43 Tahun 2007

Pasal 1 ayat 6 mendefinisikan perpustakaan umum sebagai perpustakaan yang

diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang

hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status

sosial-ekonomi.

Untuk pemustaka yang berkebutuhan khusus juga harus mendapatkan layanan

yang adil tanpa diskriminasi. Hal ini telah dijelaskan pada UU no 43 Tahun 2007

pasal 5 ayat 3 masyarakat yang memiliki cacat dan /atau kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh layanan

perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-

masing.

Dalam Ketentuan umum UU No.43 tahun 2007 mencantumkan suatu

Deklarasi World Summit of Information Society (WSIS) 12 Desember 2003

bertujuan membangun masyarakat informasi yang inklusif, berpusat pada

manusiadan berorientasi secara khusus pada pembangunan. Setiap orang dapat

11
mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan

hingga memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas

menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan berkelanjutan yang

bertujuan pada peningkatan mutu hidup.

Selain sebagai tempat untuk meningkatkan mutu hidup atau

keterampilan, perpustakaan berdasarkan pasal 31 ayat 2, pasal 32 dan pasal 28F

Undang- Undang Dasar 1945 pemerintah perlu menyelenggarakan perpustakaan

sebagai sarana yang paling demokratis untuk belajar sepanjang hayat demi

memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi melalui layanan

perpustakaan guna mencerdaskan kehidupan bangsa.

1.5.2 Ciri- Ciri Perpustakaan Umum

Adapun ciri-ciri perpustakaan umum menurut Hermawan (2006:30) sebagai

berikut :

1. Terbuka untuk umum, tidak membedakan status sosial, usia, pendidikan,

jenis kelamin, agama dan lain sebagainya;

2. Penyelenggaraanya dibiayai oleh masyarakat baik melalui dana yang

dihimpun oleh pemerintah provinsi, kabupaten / kota, seperti APBD,

maupun oleh masyarakat secara langsung, secara perseorangan, atau

kelompok

3. Layanannya bersifat gratis

4. Bahan perpustakaan beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

yang dilayani.

12
1.5.3 Tujuan Perpustakaan Umum

Tujuan perpustakaan umum menurut Hermawan (2006) menjelaskan

sebagai berikut:

1. Memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk menggunakan

bahan perpustakaan dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan

kesejahteraan

2. Menyediakan informasi yang mudah, cepat dan tepat yang berguna bagi

masyarakat

3. Membantu dalam pengembangan dan pemberdayaan komunitas melalui

penyediaan bahan perpustakaan dan informasi

4. Bertindak selaku agen kultural, sebagai pusat utama kehidupan budaya bagi

masyarakat sekitarnya

5. Memfasilitasi masyarakat untuk belajar sepanjang hayat

Sedangkan tujuan perpustakaan menurut Basuki (1999:47) dapat

dikategorikan menjadi empat diantaranya: 1) pendidikan, perpustakaan

umum bertugas memelihara dan menyediakan sarana untuk pengembangan

perorangan / kelompok pada semua tingkat kemampuan pendidikan; 2)

informasi, Perpustakaan menyediakan kemudahan bagi pemakai berupa

akses yang cepat terhadap informasi yang tepat mengenai seluruh

pengetahuan manusia; 3) kebudayaan, Perpustakaan merupakan pusat

kehidupan kebudayaan dan secara aktif mempromosikan partisipasi dan

13
apresiasi semua bentuk seni; 4) rekreasi, perpustakaan memainkan peran

penting dalam mendorong penggunaan secara aktif rekreasi dan waktu

senggang dengan penyediaan bahan bacaan.

1.5.4 Kebebasan Intelektual

Kebebasan intelektual terinspirasi atas Deklarasi Hak Asasi

Manusia (Universal Declaration of Human Right) pasal 19 adalah setiap

orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat dan ekspresinya

dengan bebas; kebebasan tersebut termasuk kebebasan untuk mengeluarkan

pendapat tanpa larangan dan untuk mencari, menerima, dan memberi

informasi serta gagasan lewat berbagai media tanpa suatu batasan. Konsep

dan istilah nomenklatur mengenai kebebasan intelektual di perpustakaan

telah dituangkan secara tertulis oleh ALA (Association Library of America)

dan dipopulerkan oleh Lembaga Pustakawan Internasional International

Federation of Library Association and Institution (IFLA) dalam Statement

on Libararies and Intellectual Freedom (1997) merupakan lembaga

internasional yang berfungsi mendukung dan mempromosikan kebebasan

intelektual khususnyadi perpustakaan.

ALA dalam Office for Intellectual Freedom menjelaskan bahwa

kebebasan intelektual diperkenalkan dan dipelopori oleh ALA dengan

mendirikan lembaga Office for IF pada 1 Desember 1967 sebagai

implementasi kebijakan ALA yang fokus dalam kebebasan intelektual.

Dalam perkembangannya, lembaga tersebut mendeklarasikan Library Bill

of Right sebagai dasar kebijakan untuk kebebasan akses informasi di

14
perpustakaan. Lembaga tersebut bertanggung jawab untuk mendidik dan

memberi pembelajaran kepada pustakawan dan masyarakat umum akan

pentingnya kebebasan intelektual di perpustakaan. Ada beberapa fokus

pergerakan dari lembaga tersebut diantaranya; a) sebagai penasehat hukum

untuk perpustakaan b) merumuskan kebijakan hukum untuk melindungi

kebebasan intelektual di perpustakaan

Sedangkan di Indonesia, istilah lengkap tentang kebebasan

intelektual terdapat dalam rumusan Kode Etik Pustakawan. Pernyataan

kebebasan intelektual dalam kode etik tersebut adalah bahwa pustakawan

memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha

sensor sumber bahan perpustakaan daninformasi (Hermawan,2006:108).

Kebebasan intelektual hal ini dipahami dalam konteks keilmuan

perpustakaan adalah memberikan kebebasan kepada perpustakaan untuk

mengadakan, menyeleksi dan menyimpan koleksi dari berbagai

perspektif ideologi maupun pemikiran tanpa ada suatu tekanan dan

larangan dari pihakmanapun.

Adapun beberapa definisi kebebasan intelektual sebagai berikut:

1. Menurut IFLA, setiap orang memiliki hak untuk mengakses

informasi dan pengetahuan, juga mengekspresikan pandangan serta

intelektual mereka. IFLA juga mengatakan bahwa komitmen

terhadap kebebasan intelektual sebagai kewajiban mendasar bagi

perpustakaan dan profesi informasi. Perpustakaan dan stafnya harus

memahami mengenai prinsip-prinsip kebebasan intelektual, akses

15
informasi, kebebasan berekspresi serta mengenali privasi pengguna

perpustakaan.

2. Chartered Institute of Library and Information Professional

(CILIP) menegaskan bahwa kebebasan intelektual merupakan

hak untuk bebas mengakses dan berbagi informasi; bebas

melakukan aktivitas intelektual dan kreativitas; bebas

berekspresi dan berpendapat. Hal ini untuk membangun

masyarakat demokratis yang dapat diciptakan melalui

kebebasan akses informasi maupun berbagai ide/pemikiran,

kemampuan mengembangkan pengetahuan dan komunikasi

dengan baik antarsesama masyarakat.

3. Kebebasan intelektual menurut Association Librarian of

America (ALA) adalah hak setiap orang untuk mencari dan

menerima informasidari segala sudut pandang tanpa larangan.

Kebebasan intelektual menyediakan akses terbuka bagi segala

ekspresi dan gagasan melalui berbagai jenis tindakan dan

mengarahkan individu pada kebebasan untuk menerima dan

menyebarkan gagasan/ide.

Kemudian ALA menegaskan dukungan terhadap kebebasan

intelektualdengan mendeklarasikan The Library Bill of Right. Berikut

isi deklarasi Library Bill of right (1939):

1. Buku dan informasi lainnya haruslah sesuai dengan

16
kepentingan dan kebutuhan serta berguna bagi masyarakat

penggunanya. Bahan perpustakaan tidak dilarang atau

dikeluarkan atas latar belakang sudut pandang atau ideologi

pemikiran dari penciptaannya.

2. Perpustakaan menyediakan bahan perpustakaan dari segala

sudut pandang dan displin ilmu. Bahan perpustakaan tidak

diperkenankan dilarang atau dikeluarkan karena desakan suatu

lembaga dan kelompok tertentu.

3. Perpustakaan harus menentang kebijakan sensor sebagai rasa

tanggung jawab sebagai sumber penyediaan informasi.

4. Perpustakaan bekerja sama dengan lembaga yang bergerak

mendukung kebebasan berekspresi.

5. Hak pemakai (pemustaka) dalam menggunakan perpustakaan

tidak boleh ditolak atau dibatasi atas dasar ras, umur, dan latar

belakang sosial.

6. Perpustakaan menyediakan tempat dan ruang publik kepada

seluruh masyarakat penggunanya.

1.5.5 Prinsip-Prinsip Kebebasan Intelektual

Berikut prinsip-prinsip kebebasan intelektual menurut IFLA

dalam situs Statement on Libraries and Intellectual Freedom (1999):

1. Perpustakaan menyediakan akses kepada informasi, gagasan, dan

karya lainnya. Perpustakaan berfungsi sebagai garda pengetahuan,

pemikirandan kebudayaan.

17
2. Perpustakaan mendukung dalam pembelajaran sepanjang hayat,

pengambilan keputusan mandiri, dan pelestarian kebudayaan.

3. Perpustakaan berkontribusi dalam usaha mengembangkan dan

menjaga kebebasan intelektual, nilai demokrasi, dan nilai-nilai

kemanusiaan.

4. Perpustakaan bertanggung jawab dalam menyediakan akses ke

pengetahuan dan kegiatan intelektual lainnya. Perpustakaan

menyediakan bahan perpustakaan yang luas dan beragam, sebagai

manifestasi masyarakat yang plural.

5. Perpustakaan harus meyakini bahwa dalam memilih dan menyeleksi

bahanperpustakaan telah dilakukan atas pertimbangan profesional

bukan berdasarkan pandangan atau sentimen politis, moral dan

keagamaan tertentu.

6. Perpustakaan seyogyanya mengadakan, mengelola, dan

menyebarkan informasi dengan bebas dan menentang segala bentuk

sensor.

7. Perpustakaan harus membuat segala bentuk informasi yang dapat

diakses dan dimanfaatkan oleh setiap pengguna, tanpa adanya

diskriminasi ras, keyakinan, jenis kelamin, gender, dan usia.

8. Pengguna perpustakaan memiliki hak terhadap privasinya di

perpustakaan

9. Masyarakat memiliki akses kepada koleksi perpustakaan

denganmenjunjung prinsip-prinsip kebebasan intelektual.

18
10. Pustakawan dan staf harus menjunjung prinsip-prinsip

kebebasan intelektual

11. Pustakawan dan perpustakaan bertanggung jawab penuh terhadap

layanan kepada pengguna dan mengutamakan kepentingan

pengguna.

Byrne (2003:4) menjelaskan bahwa kebebasan intelektual dipelopori

oleh ALA pada tahun 1939 yang kemudian mereka mendeklarasikan

dengan nama Library Bill of Right. Deklarasi tersebut dirumuskan

bertujuan sebagaiperlawanan ALA terhadap pelarangan dan pembatasan

buku maupun informasi oleh pihak pemerintah. Dengan adanya deklarasi

tersebut mereka memiliki kekuatan hukum untuk memberikan perlawanan

dan pembelaan hukum terhadap sikap atau kebijakan pemerintah yang

membatasi dan melarang buku. Selain perlarangan buku, salah satu yang

menjadi fokus mereka adalah menyediakan akses informasi secara bebas

kepada seluruh anggota masyarakat tanpa melihat latar belakang ras,sosial,

budaya, maupun politik. Sedangkan Moody (2005: 139) menyebutkan

bahwa IFLA yang merupakan lembaga pustakawan internasional pada

tahun 1999 merumuskan prinsip-prinsip kebebasan intelektual untuk

mengimplementasikan kebebasan intelektual di perpustakaan. Bagaimana

perpustakaan dalam proses seleksi sebagai aktivitas penting

kepustakawanan melakukan dengan pertimbangan professional bukan

dengan sentiment atau selera pribadi selector, yang dapat menciptakan bias

19
koleksi dan melanggar tanggung jawab sebagai penyedia informasi yang

netral.

Osburn (1991) dalam artikelnya mengatakan hubungan antara

pengembangan koleksi dengan kebebasan intelektual tertuju pada seleksi

buku. Seleksi buku merupakan nucleus atau inti dari proses pengembangan

koleksi dan sebagai manifestasi pengembangan koleksi. Karena dengan

bias koleksi akanmenimbulkan informasi tersebut tidak dapat diakses oleh

pemustaka karena sengaja dihilangkan. Barbara Turfan ( dalam Alfiathi

2009:10) menggarisbawahi bahwa kebebasan intelektual terdiri dari dua

aspek yaitu bebas mengakses informasi dan bebas berekspresi. Hal ini

merupakan hak perpustakaan dalammenghormati setiap bentuk karya dari

penulis tanpa terpengaruh latar belakang penulis tersebut. Selanjutnya,

kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi merupakan dua hal yang

diperlukan dalam kebebasan akses informasi dan penting dalam bidang

kepustakawanan (Akobah, 2010:2). Ini merupakan bentuk tanggungjawab

perpustakaan dan pustakawan sebagai lembaga yang bergerak dalam

konteks penyedia informasi. Karena dalam perpustakaan terdapat beberapa

jenis layanan. Adapun menurut Gorman ( dalam Ariyanto 2012)

mengatakan bahwa perpustakaan terdiri dari dua jenis layanan. Pertama,

layanan teknis dan layanan umum. Layanan teknis berkaitan dengan seleksi

koleksi, katalogisasi, dan pelestarian koleksi. Sedangkan layanan umum

terdiri daari layanan sirkulasi, referensi dan serial. Menurut Byrne (1999:2)

bahwa kebebasan intelektual sebagaiprinsip dasar praktek kepustakawanan,

20
prinsip dalam kebijakan pengembangan koleksi perpustakaan, dan prinsip

menyediakan akses informasi. Dalam pengembangan koleksi terdapat

proses pengadaan dan seleksi koleksi, dimana kedua kegiatan tersebut

merupakan dasar bagi tersedianya informasi atau tidak. karena kebebasan

intelektual terkait dengan seleksi koleksi dan akses informasi, dimana

keduanya termasuk dalam layanan teknis dan layanan umum perpustakaan.

Kebebasan intelektual merupakan prinsip yang harus dimiliki

pustakawan dalam seleksi koleksi agar netralitas informasi terwujud. Evans

(2005:410) menjelaskan kebebasan intelektual dengan istilah kebebasan

membaca, kebebasanberekspresi dan keterbukaan akses informasi. Lebih

lanjut kebijakan pengembangan koleksi sebagai pondasi pustakawan dalam

menjalankan kebebasan intelektual. Senada dengan Evans (1999:133)

menegaskan bahwa rumusan kebijakan pengembangan koleksi harus

mencerminkan tujuanperpustakaan dan komunitas pemustaka/pembaca dan

mendukung kebebasan intelektual dengan melibatkannya dalam kebijakan

pengembangan koleksi.

Sedangkan Johnson (2009:75-76) menilai kebijakan pengembangan

koleksi memiliki fungsi untuk melindungi kebebasan intelektual dan

menentang sensor. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi bias selektor dalam

proses pengadaan dan seleksi koleksi. Lebih lanjut Peggy Johnson

menjelaskan fungsi kebijakan pengembangan koleksi guna melindungi

kebebasan intelektual dan sebagai tolak ukur dalam menjalankan sensor di

perpustakaan. Asheim ( dalam Pooley 2007:33) menjelaskan perbedaan

21
kebijakan seleksi dengan sensor sebagai berikut; kebijakan seleksi

dianggap untuk mendukung kebebasan intelektual; sedangkan sensor

dianggap sebagai penentangan kebebasan intelektual. Pendekatan seleksi

koleksi merupakan suatu kebijakan yang positif, sedangkan pendekatan

sensor merupakan pendekatan negatif. Keduanya meruapakan hal yang

sensitif. Selanjutnya, kebijakan seleksi adalah kebijakan yang demokrasi,

berbeda dengan sensor yang dianggap sebagai kebijakan yang otoriter.

Berkaitan dengan seleksi koleksi Jones (1999:131) mengatakan Proses

seleksi koleksi tidak perlu sensor. Disertai dengan kebijakan pengembangan

koleksi yang baik, pemilihan bahan perpustakaan menunjukkan tanggung

jawab pada keuangan atau pendanaan koleksi dan mengutamakan prioritas

masyarakat pengguna.

Pooley (2007:34) menegaskan perbedaan antara seleksi dengan

sensor. Seleksi koleksi merupakan proses inklusif, dimana perpustakaan

menegaskan untuk mencari dan menyeleksi bahan perpustakaan

berdasarkan tujuan dan misi perpustakaan, sedangkan sensor adalah

kebalikannya, yaitu sebuah proses eksklusif yang menolak menyediakan

akses kepada segala aspek ide-ide maupun informasi yang dianggap

berbahaya. Pada saat yang sama bahwa kebijakan pengembangan koleksi

menolak mengesampingkan bahan tertentu, selain itu dapat melindungi

terhadap tekanan untuk memasukkan bahan yang tidak pantas dan tidak

relevan terhadap tujuan perpustakaan. Kebijakan tersebut dapat melindungi

terhadap tekanan atas kepentingan khusus yang tidak semestinya dari

22
mereka yang menuntut bahwa perpustakaan menerima hadiah atau membeli

bahan-bahan tertentu. Kebijakan tersebut memperjelas bahwa bahan-bahan

yang ditolak karena berdasarkan pedoman kebijakan pengembangan

koleksi, bukan karena yang tekanan dari mereka yang menginginkan

penerimaan hadiah atau berdasarkan selera mereka.

1.5.6 Sensorship

Perpustakaan dalam menjalankan kebebasan intelektual tidaklah

tanpa masalah. Salah satu masalah kebebasan intelektual adalah kebijakan

sensor. Definisi sensor menurut Fritzsimmons (1996) (dalam Mangemba,

2011) adalah usaha yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi, kelompok

maupun idividu dalam melarang masyarakat untuk membaca dan

mengakses informasi dari segala sudut pandang pemikiran yang dianggap

berbahaya terhadap pmerintah atau tatanan masyarakat yang ada. Pada

akhirnya sensor akan menjurus pada usaha untuk melarang, menekan,

mengancam, dan membatasi bahan perpustakaan atau koleksi. Sedangkan

menurut Staples (2001) ( dalam Mangemba, 2011) sensor diartikan sebagai

kontrol atau pengendalian atas ide maupun informasi yang tersebar luas di

masyarakat. Sedangkan ALA dalam Office for Intellectual Freedom

menegaskan sensor sebagai usaha untuk menghilangkan bagian tertentu dari

suatu penerbitan buku, namun juga pada akhirnya sebagai usaha untuk

melarang, menekan, mengeluarkan, melabeli, dan membatasi suatu bahan

perpustakaan. Penyensoran menurut Moody (2005:143) meliputi tindakan-

tindakan yang secara signifikan membatasi akses bebas terhadap informasi.

23
Beberapa bentuk penyensoran begitu tidak sadar sehingga bahkan individu-

individu yang melakukannya tidak tahu bahwa sebenarnya mereka

menyensor. Masih ada bentuk lain yang sistemik dan hanya bisa dikurangi

melalui tindakan yang disengaja oleh pustakawan. Ini adalah bentuk

penyensoran yang lebih halus dalam konteks perpustakaan.

Moody (2005:145) menambahkan kemunculan sensor yang bersifat

samar oleh pihak perpustakaan di antara lain sebagai berikut:

1. Bias pada proses seleksi dan klasifikasi koleksi.

2. Menggunakan penilaian khusus(citation rates) dalam proses

seleksi dan penyiangan

3. Mengeluarkan bahan perpustakaan yang berasal dari penerbit

alternatif(independently-published materials)

4. Tekanan dari pihak penyandang dana

5. Sensor yang dilakukan oleh pihak pustakawan

6. Menganut atau terlalu tendensi pada salah satu aturan

kelompok tertentu

7. Memberi label untuk bagian-bagian tertentu dari bahan

perpustakaan yang dianggap kontroversial

8. Tidak teliti dalam proses katalogisasi dan klasifikasi.

9. Mengeluarkan bahan perpustakaan yang tidak sesuai dengan

tatanan masyarakat atau bisa dikatakan hal-hal yang dibenci

oleh masyarakat.

24
Lebih lanjut Moody menambahkan sensor dapat berupa isu

seputar 'sesuatu yang dibenci' semacam itu, jadilah rasis, seksis,

homophobic, anti-semit, dll, mungkin memang yang terberat bagi

pustakawan. Dalam proses seleksi ada tendensi untuk melakukan sensor

karena mengutamakan beberapa bahan perpustakaan. Namun, Evans

(2005:415) membantah bahwa seleksi koleksi sama dengan sensor. Evans

mengatakan bahwa seleksi koleksi adalah hal yang positif karena

mempunyai alasan dalam menyeleksi bahan perpustakaan, sementara

sensor adalah hal yang negatif, karena memberikan alasan untuk menolak

bahan perpustakaan. Perbedaan lainya menurut Evans adalah bahwa

selektor dalam menyeleksi dan menentukan bahan perpustakaan

berdasarkan pertimbangan profesional dan dapat dipertanggungjawabkan

sedangkan sensor sebaliknya.

Evans juga menjelaskan tujuan seleksi koleksi adalah untuk

meningkatkan akses, sedangkan sensor membatasi akses. Kemudian

perbedaan yang terpenting menurut Evans adalah kebijakan seleksi

berfungsi untuk mempergunakan anggaran sesuai dengan kemampuan

keuangan perpustakaan dan kebutuhan pemustaka yang dilayani,

sedangkan sensor muncul atas dasar menolak bahan perpustakaan dari isi

atau konten yang ada. Karena selektor meyakini akan kemampuan

intelektual pemustaka terhadap informasi yang disediakanperpustakaan,

sedangkan sensor berdasarkan kebenaran subyektif individu maupun

kelompok tertentu.

25
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan kebebasan intelektual

merupakan hak perpustakaan untuk menyeleksi, menyimpan,

menyebarkan informasi dari beragam sudut pandang pemikiran dan hak

perpustakaan untuk memberikan dan mnyediakan akses informasi kepada

masyarakat pengguna/pemustaka tanpa mendiskriminasikan atas dasar

usia, ras, keyakinan, agama, pandangan politik, pekerjaan, dan jenis

kelamin. Selain itu, kebebasan intelektual merupakan kebijakan

perpustakaan dalam menentang sensor, perpustakaan mempunyai hak dan

kebebasan dalam berekspresi dan seleksi bahan perpustakaan serta

menyebarkan informasi secara bebas kepada seluruh pemustaka dan

masyarakat luas.

Dari landasan teori Library Bill of Right dan Prinsip-Prinsip

Kebebasan Intelektual IFLA dapat disimpulkan indikator analisis

kebebasan intelektual sebagai berikut:

26
Tabel 1
Indikator Analisis Kebebasan Intelektual

Indikator ALA (Library Bill of Prinsip-Prinsip


Right) Kebebasan Intelektual
IFLA
1. Pengembangan 1. Buku dan bahan 1. Perpustakaan memilih
Koleksi perpustakaan lainnya dan menyeleksi bahan
(mengadakan, haruslah sesuai dengan perpustakaan dilakukan
menyeleksi, kepentingan dan atas pertimbangan
mengelola, dan kebutuhan serta berguna professional bukan
menggunakan bagi masyarakat berdasarkan pandangan
bahan penggunanya. Bahan atau sentimen politik,
perpustakaan) perpustakaan dan sumber agama, dan moral.
informasi tidak dilarang
atas latar belakang sudut
pandang atau pemikiran
penulis.

2. Perpustakaan 2. Perpustakaan
menyediakan bahan menyediakan bahan
perpustakaan dari segala perpustakaan yang luas
sudut pandang dan dan beragam, sebagai
displin ilmu. Bahan manifestasi masyarakat
perpustakaan tidak yang plural.
diperkenankan dilarang
atau dikeluarkan karena
desakan suatu lembaga
dan kelompok tertentu.

3. Perpustakaan harus
menentang kebijakan
sensor sebagai rasa
tanggung jawab sebagai

27
sumber penyedia
informasi.

2. Akses 1. Hak pemakai 1. Perpustakaan harus


Informasi (pemustaka) dalam membuat segala bentuk
(mencari dan menggunakan informasi yang dapat
menerima perpustakaan tidak boleh diakses dan
bahan ditolak atau dibatasi atas dimanfaatkan oleh setiap
perpustakaan) dasar ras, latar belakang pengguna, tanpa adanya
social diskriminasi ras,
keyakinan, jenis
kelamin, gender, dan
usia.

3. Penyebaran 1. Perpustakaan sebagai 1. Perpustakaan


Informasi ruang publik yang bertanggung jawab dan
(menyebarkan memberikan fasilitas menyediakan akses
bahan yang baik, kepada kegiatan intelektual dan
perpustakaan seluruh lapisan pengetahuan.
secara bebas) masyarakat pengguna.

2. Perpustakaan
sebaiknya
mengadakan,
mengelola, dan
menyebarkan
informasi dengan
bebas.

Berdasarkan tabel matriks di atas, peneliti merumuskan indikator sebagai

pisau analisis terhadap pembahasan kebebasan intelektual di Balai Layanan

Perpustakaan Grhtama Pustaka BPAD DIY. Penjelasan indikator kebebasan

intelektual sebagai berikut: 1) Pengembangan koleksi, yaitu kebebasan

perpustakaan untuk mengadakan, menyeleksi dan menyimpan bahan

28
perpustakaan dan informasi dengan pertimbangan professional dari berbagai

disiplin ilmu. 2) Akses informasi, yaitu kebebasan pemustaka untuk mencari

dan menerima informasi yang ada di perpustakaan tanpa suatu batasan tertentu.

3) Penyebaran Informasi yaitu kebebasan perpustakaan untuk menyebarkan

informasi secara bebas tanpa suatu larangan.

29
1.6 Metodelogi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif.

Penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian dengan metode atau pendekatan

studi kasus (case study). Studi kasus merupakan penelitian yang mendalam tentang

individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya

dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan

mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus menghasilkan data untuk selanjutnya

dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data

penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan

arsip. Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai

penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan

menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti

yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Heigham dan Croker, 2009),

yaitu permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil.

Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak

disebut sebagai penelitian studi kasus karena tidak dilakukan secara menyeluruh

dan mendalam. Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa

penelitian studi kasus cenderung bercorak korektif, bersifat memperbaiki atau

memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya

mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus

menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil

penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam

penelitian studi kasus dapat sekadar bersifat memperbaiki, melengkapi, atau

30
menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta

terkini. Keterkaitan penelitian studi kasus dengan pembahasan peneliti yaitu

peneliti memberikan gambaran tentang fenomena dan kenyataan-kenyataan

bagaimana kebijakan Pemerintah dalam pengembangan Perpustakaan di Grhatama

BPAD Daerah Istimewa Yogyakarta, apakah sudah selaras, sudah sesuai standar

yang diterapkan, bagaimana perbandingan pelaksanaan kebijakan di masing-

masing perpustakaan Kabupaten di Provinsi Yogyakarta. Ini merupakan suatu

metode pemecahan masalah yang memusatkan diri pada tahap pencatatan,

penguraian, penafsiran dan menganalisis data-data yang terkumpul.

Lokasi, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian sebagai sasaran yang

sangat membantu untuk menentukan data yang diambil, sehingga lokasi ini sangat

menunjang untuk dapat memberikan informasi yang valid. Adapun lokasi

penelitian ini dilakukan di seluruh Perpustakaan Umum milik Pemerintah di Daerah

Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian dimulai tanggal 15 Januari 2021 sampai

dengan tanggal 16 Juni 2021. Alasan peneliti memilih tempat penelitian tersebut

adalah karena Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah kebijakan

pengembangan Perpustakaan Umum di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan

standar perpustakaan. Untuk mendapatkan data primer tentang perpustakaan umum

di Yogyakarta, peneliti mendapatkannya dari informan yang terdiri dari pemangku

kebijakan di daerah, pihak perpustakaan dan pemustaka di Perpustakaan Umum

yang berada di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.

31
DAFTAR PUSTAKA

Albert Arko-Cobbah. Intellectual freedom and academic freedom: opportunities


and challenges for academic libraries in Africa. Dalam
http://www.codesria.org/IMG/pdf/Albert_Arko_Cobbah.pdf.
American Library Association. Intellectual Freedom and Censorship Q&A. 2015
http://www.ala.org/Template.cfm
American Library Association. Office of Intellectual Freedom. 2015
http://www.ala.org/ala/aboutala/offices/oif/
American Library Association. The Library Bill of Rights. American Library
Association Bulletin, Vol.33 hal.60-61
Anonim. 2014. Intellectual Freedom Manual. Florida Library Association
Arianto. M. Solihin. Materi perkuliahan manajemen Koleksi. Prodi. Ilmu
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ariyani, Sri Luh Putu. Perpustakaan Sebagai Ruang Public (Perspektif
Habermasian.2015.ejournal.undiksha.ac.id/index.php/AP/article/downlod/
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. 2006.
Jakarta : Rineka Cipta
Awaluddin, Iwan. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi
dan Kebebasan Berekspresi. 2010. Yogyakarta: PR2Media
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta. Dokumen Kebijakan
Pengembangan Koleksi. 2009.
Bowden, Russell.. Access to Information:A Librarian’s Responsibility?. 1999
Dalam http://www.ifla.org/files/assets/faife/bowden.pdf.
Byrne, Alex. Necromancy or Life Support?Libraries,Democracy and The
Concerned Intellectual. 2003. Dalam https://opus.lib.uts.edu.au/bitstream.
----------------. See Librarian: University Libraries and Intellectual Freedom. 1999.
Dalam http://www.alia.org.au/sections/ucrls/aarl/index.html .
Evans, G. Edward. Censorship, Intellectual Freedom, and Collection Development.
2005. 5th ed. Libraries Unlimited: Westport.
Hermawan, Rachman dan Zulfikar Zen. Etika Pustakawan. 2006. Sagung Seto:

32
Jakarta
Kundera, Milan. Novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa. 2015. Penerbit Narasi:
Yogyakarta.
Johnson, Peggy. Fundamentals of Collection Development and Management. 2009.
ALA Publisher
Layyina, Lilik. Evaluasi Kebijakan Pengembangan Bahan pustaka Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Yogyakarta. 2011. Skripsi
Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Mangemba. Censorship Impedes Intellectual Freedom. 2011
www.academia.edu/11368225/Censorship_impedes_intellectual_freed
om_the librarianship_dilemma.
McNikol, Sarah. School Librarian’s Intellectual Freedom Attitude and Practices.
2016. New Library World. Vol.117 Iss 5/6 pp.329-342. Dalam
www.emeraldinsight.com/doi/full/.
Moody, Kim. Covert Censorship in Libraries : a discussion paper. 2005.The
Australian Library Journal, Hal.138-147: Australia.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. 2013. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Nazir, M. Metode Penelitian. 1988. Ghalia Indonesia. Jakarta
Osburn, Charles B. Collection Management and Intellectual Freedom. 1991.
Library Trends. Vol.39, Nos 1&2 pp.168-182. University of Alabama.
Pooley, Alexandra. Ethical Training:Censorship and Intellectual Freedom in the
Public Library.2007. University of Sheffield.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, R&D. 2013. Alfabeta:
Bandung.
-----------. Memahami Penelitian Kualitatif. 2008. Alfabeta: Bandung.
Sulistyo Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. 1991. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.

33
Undang-Undang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007. Dalam
http://www.perpusnas.go.id/law/undang-undang-nomor-43-tahun-2007-
tentang-perpustakaan/.

Universal Declaration of Human Right. Dalam http://www.un.org/en/universal-


declaration-human-rights/.

34

Anda mungkin juga menyukai