Anda di halaman 1dari 28

Kebangkitan Industri Perfilman Nasional di Tengah Kekosongan

Festival Film Indonesia (1993—2005)

Marcia Audita, Muhammad Wasith Albar


Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424,
Indonesia
E-mail: marcia.audita@gmail.com

Abstrak

Nama : Marcia Audita


Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul : Kebangkitan Industri Perfilman Nasional Di Tengah Kekosongan
Festival Film Indonesia (1993—2005)

Skripsi ini membahas mengenai kebangkitan industri perfilman nasional di tengah kekosongan Festival
Film Indonesia (1993—2005). Festival Film Indonesia (FFI) merupakan sebuah kompetisi antar insan
perfilman sebagai wujud apresiasi bangsa kepada para pekerja film dalam rangka membangkitkan
sinema Indonesia. Pelaksanaan FFI sempat mengalami masa kekosongan selama lebih dari satu
dasawarsa di tahun 1993—2003. Berakhirnya masa tugas Panitia Tetap FFI serta tingkat penurunan
kuantitas dan kualitas film Indonesia telah memengaruhi arus peredaran film dalam hal produksi,
distribusi dan eksibisi hingga menjelang era awal masa reformasi. Masa kekosongan tersebut rupanya
diisi oleh aktivitas para sineas muda yang mulai berusaha untuk kembali membangitkan produksi
perfilman nasional. Keberhasilan para sineas muda dalam mengembalikan penonton Indonesia
mendorong FFI untuk hadir kembali di tahun 2004 dengan puncak jumlah produksi film serta prestasi
internasional diraih di tahun 2005. Pada akhirnya skripsi ini membuktikan bahwa masa kekosongan
berkepanjangan FFI rupanya tidak menyurutkan dan memengaruhi para sineas untuk terus berkarya
membangkitkan kembali industri perfilman nasional yang sempat merosot. Skripsi ini menggunakan
pendekatan desktiptif naratif melalui 4 tahapan metode sejarah: heuristik, verifikasi, interpretasi dan
historiografi.

Kata Kunci: FFI, Film, Sineas, Orde Baru, Reformasi, Produksi, Distribusi, Eksibisi.

The Awaken of National Film Industries in the Middle of Indonesian Film


Festival Emptiness (1993—2005)

Abstract

This thesis discusses about the revival of the national film industry in the middle of the emptiness
Indonesian Film Festival (1993—2005). Indonesian Film Festival (FFI) is a competition between film-
makers as an appreciation of the nation to film workers in order to raise Indonesian cinema.
Implementation of the FFI had experienced a period of vacancy during a decade in the years 1993—
2003. The Expiration of the Standing Committee of FFI and the rate of decline in the quantity and
quality of Indonesian films have affected the flow of circulation of the film in terms of production,
distribution and exhibition of up ahead of the beginning of the reform era. The vacancy period
apparently filled by the activities of the young filmmakers who began trying to re-generating national
film production. The succeded of the young filmmakers in the audience restore Indonesia encouraged

Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016


FFI to be present again in 2004 and the peak in the number of international film production and
performance achieved in 2005. At the end of this thesis proves that the prolonged vacancy of FFI
apparently did not discourage and affect filmmakers to revive the national film industry which had
declined before. This thesis uses descriptive narrative approach through 4 stages of the historical
method: heuristic, verification, interpretation and historiography

Keywords: FFI, film, filmmakers, New Order, Reform, Production, Distribution, Exhibition.

Pendahuluan

Satu dasawarsa kekosongan FFI yang kembali terulang menjadi sebuah refleksi
penting perihal nasib sebenarnya industri perfilman nasional sejak tahun 1993—2003.
Periode ini merupakan puncak beredarnya film impor dan film instan. Kejayaan
sebelumnya yang didapatkan sineas di periode awal Orde Baru, seketika berbalik di
tahun 1993. Krisis ekonomi akibat liberalisasi perbankan dan semakin besarnya
hutang negara, menjadikan pemerintah mengesampingkan persoalan tersier, termasuk
masalah perfilman. Dana yang seharusnya diberikan kepada Kementrian Penerangan
untuk anggaran FFI harus dialihkan sementara ke urusan negara. Besarnya biaya
memproduksi film mengakibatkan sebagian sineas kehabisan ide untuk terus berkarya
dan mempertahankan pekerjaan. Sebagai dampaknya, film komersil dan instan yang
ongkos produksinya lebih murah menjadi satu-satunya cara untuk dapat terus
bertahan.
Bersamaan dengan itu pula terjadi peralihan saham bioskop nasional ke
bioskop jaringan modal asing yang memberikan ruang sempit bagi film Indonesia di
bidang eksibisi. Kemunculan stasiun televisi swasta di awal tahun ‘90an seolah
menjawab keresahan sineas akan nasib dan pekerjaan mereka sebagai pekerja layar
lebar. Migrasi besar pekerja film ke dunia televisi menggambarkan bahwa saat itu
situasi perfilman nasional sedang terpuruk dan kehilangan pasarnya. Sebagian besar
pekerja film berbondong-bondong terjun ke dunia layar kaca dan sinetron yang saat itu
lebih digemari. Mendekati tahun 1998 sebagai puncak krisis, film Indonesia semakin
tidak mendapat perhatian. Harapan orang film, baik sineas maupun kritikus film agar
FFI dapat diadakan harus kembali ditunda disebabkan kurangnya peran pemerintah
akibat prioritas pembenahan sektor politik dan ekonomi.

1  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Untuk itu penulis memilih topik ini selain dikarenakan ketertarikan penulis
terhadap dunia perfilman, banyak peneliti terdahulu membahas mengenai masalah
perfilman, namun tidak menggabungkan dengan peran FFI itu sendiri sebagai suatu
acuan untuk mengukur gerak-gerik dinamika perfilman nasional. Kekosongan FFI
yang dialami selama 10 tahun telah merepresentasikan bagaimana kondisi media
audio-visual tersebut hadir di tahun 1993—2003. Fokus terpenting penelitian ini
adalah bagaimana kekosongan FFI selama satu dasawarsa dimanfaatkan oleh para
sineas untuk memperjuangkan nasib film nasional yang pada akhirnya dapat
mengembalikan penonton Indonesia untuk diakui di ajang internasional di sepanjang
tahun 1993—2005. Skripsi ini membuktikan bahwa kekosongan FFI tidak
memberikan pengaruh apapun kepada para sineas untuk terus beraktivitas dan
berkarya dalam upaya membangkitkan industri perfilman nasional sehingga FFI 2004
dapat kembali diwujudkan.
Tahun 1993—2003 merupakan masa dimana film Indonesia kehilangan
bentuk, arah dan gairah, hingga pada akhirnya akan muncul sebuah generasi baru
perfilman yang sebagian besar berangkat dari generasi berbeda dari pejuang film
sebelumnya.1 Generasi ini disebut dengan generasi sineas muda, yang mulai terlihat di
awal tahun 2000an. Permasalahan inilah yang sesungguhnya akan diangkat, yaitu
bagaimana perjuangan sineas dalam mewujudkan kebangkitan film Indonesia yang
memberikan dampak pada kembalinya FFI 2004.

Metode Penelitian

Dalam mengembangkan penelitian kualitatif ini digunakan metode sejarah


untuk merekonstrusi kejadian di masa lampau yang mencakup pada 4 tahapan, yaitu
heuristik (pengumpulan data), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran
sumber) dan historiografi (penulisan sejarah). Heuristik merupakan pengumpulan
sumber-sumber terkait yang menjadi langkah pertama dalam penelitian sejarah. Pada
tahap ini, sumber dikategorikan menjadi dua macam, yaitu sumber primer dan

                                                                                                               
1
Rita Sri Hastuti dkk, Workshop Wartawan Film dan Sosialisasi Draft RUU Perfilman.
(Jakarta : Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2007), h.
164.

2  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
sekunder. Untuk sumber primer dapat diklasifikasikan pula menjadi dua kategori,
yaitu tertulis dan lisan. Dalam sumber primer tertulis, penulis mengkaji studi
kepustakaan melalui buku, surat kabar, majalah dan arsip terkait. Pada sumber primer
lisan, penulis dapatkan melalui tahapan wawancara dengan tiga penggiat film: sineas
(M. Abduh Azis, Jose Purnomo dan Muhammad Alwi Dahlan), pemerintah sezaman
(Muhammad Alwi Dahlan sebagai Menteri Penerangan 1998) dan kritikus film (Ekky
Imandjaya) sehingga pada proporsi penelitian ini tidak hanya dilihat oleh satu sisi saja.
Setelah berhasil mengumpulkan sumber penelitian di dalam tahapan heuristik,
perlu ada kritik mengenai kevalidan dan kredibilitas keseluruhan sumber tertulis dan
lisan di dalam verifikasi sebagai tahapan kedua metode penelitian sejarah. Verifikasi
dilakukan dengan cara melihat relevansi dari masing-masing sumber lalu
membandingkannya dengan sumber lain. Tahapan ketiga, yaitu interpretasi adalah
proses penafsiran dan menganalisis makna dari berbagai fakta dari sumber-sumber
penelitian untuk kemudian dapat direkonstruksi ke dalam penulisan. Historiografi
sebagai tahap akhir metode penulisan sejarah merupakan upaya untuk merangkai fakta
yang telah dikritik dan dianalisis sebelumnya sehingga melahirkan sebuah penulisan
sejarah untuk menciptakan kembali totalitas peristiwa masa lampau yang
sesungguhnya terjadi.2

Perjalanan Festival Film Indonesia (FFI) : Wajah Film Sebelum Tahun 1993

Kategori film cerita pertama kali mulai berkembang di Perancis, Italia, Inggris
kemudian Amerika Serikat hingga Asia (India) lalu masuk ke Asia Tenggara, salah
satunya Hindia Belanda.3 Diperkirakan masyarakat Hindia Belanda mulai menonton
film bisu dokumenter pada tanggal 5 Desember 1900 di sebuah rumah Maatschapij
Fuchs Tanah Abang4, tertera dalam Surat Kabar Bintang Betawi:

                                                                                                               
2
Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 21.
3
http://www.history.com/news/the-lumiere-brothers-pioneers-of-cinema (Diakses pada Senin,
14 Desember 2015 Pukul 20.00 WIB).
4
Ekky Imandjaya. A to Z about Indonesian Film. (Bandung : Penerbit Mizan, 2006), h. 117.

3  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
“Kemaren kita soeda trima satoe soerat oendangan dari Nederlandsch Biosccop
Matschappij di sini dengan dikirim doea kartjis klas I boeat datang nonton itoe
gambar idoep jang malem di kasi liat di satoe roema di KEBONDJAE sebla
toko Fuch.”5

Setelah penaklukan Belanda oleh Jepang di tahun 1942, seluruh aset Belanda
yang masih ada di Indonesia termasuk seluruh saham dan organisasi bidang perfilman
diambil alih oleh pemerintahan Jepang. Saat itu Jepang membentuk Nippon Eiga Sha,
sebuah perusahaan yang digunakan sebagai alat propaganda dengan membuat berbagai
film dokumenter bertujuan untuk membentuk opini masyarakat akan segala bentuk
kebaikan Jepang. Usai “revolusi fisik” (1945—1949), perusahaan-perusahaan film
dalam negeri mulai banyak bermunculan. Di tahun 1950 lahirlah perusahaan film
nasional bernama Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini) pimpinan Usmar
Ismail.6 Untuk pertama kalinya pembuatan film Indonesia berada di bawah produksi
dan sutradara orang pribumi, yaitu Darah dan Doa karya Usmar Ismail. Kendati
demikian, perfilman Indonesia masih digeluti oleh masalah kebijakan film impor yang
terus dibuka, seperti diterimanya kembali Wong Brothers untuk mendapatkan dana
film dari pajak para importer. Selain itu film pribumi juga masih kalah jauh dengan
kualitas film Hollywood yang sudah berwarna sejak tahun 1930-an.
Kegagalan produksi gabungan film Lewat Djam Malam7 antara Perfini dan
Persari untuk bekerja sama dengan perusahaan Jepang menjadikan Indonesia tidak
bisa hadir menjadi peserta Festival Film Asia Pasifik di Tokyo pada tanggal 8—20
Mei 1954.8 Persari dan Perfini pun pada akhirnya menggarap film tersebut secara
mandiri dan hanya bisa dipertontonkan di Indonesia. Merasa bahwa perfilman dalam
negeri harus dapat maju ke tingkat internasional tanpa harus bekerja sama dengan
pihak asing, Djamaludin Malik melalui Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI)9

                                                                                                               
5
Bintang Betawi, 6 Desember 1900.
6
Ardan, Op Cit., h. 6.
7
Film Lewat Djam Malam adalah film nasional yang diproduksi oleh Perfini. Film ini ditulis
oleh Asrul Sani yang disutradarai oleh Usmar Ismail yang pada tahun 1955 Film Lewat Djam Malam
mendapat penghargaan pertama di Festival Film Indonesia.
8
Ardan, Op Cit., hlm. 8.
9
Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) merupakan sebuah organisasi gabungan produser
dalam negeri yang dibentuk sebagai wadah untuk mengurangi dominasi film impor yang merajalela di
tahun 1954.

4  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
melontarkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI)
pertama di tahun 1954, di mana pemenangnya nanti akan mewakili negara sebagai
peserta di Festival Film Internasional.10 Tujuan festival film di Indonesia antara lain :
1. Memajukan perindustrian film dalam negeri.
2. Memperbaiki mutu seni/teknik film dalam negeri.
3. Menjadikan film sebagai alat penghubung kebudayaan dan goodwill antara
Indonesia dan negara lain.11
Setelah tahun 1955, gairah perfilman nasional kembali meredup Membanjirnya
kuota impor, didukung oleh minat masyarakat yang lebih memilih genre film
berwarna yang ditawarkan Hollywood dan Mandarin menjadikan banyak produser
enggan merugi dan terpaksa menghentikan produksinya. Umur PFN yang masih muda
belum bisa menyaingi jumlah produksi perusahaan asing, terutama Tionghoa. Orang-
orang Tionghoa sudah ikut serta di dalam lapangan impor sejak lama,12 sehingga
mereka memiliki strategi sendiri untuk dapat menarik perhatian masyarakat.
Kesibukan pemerintah dalam membangun perbaikan politik dan ekonomi usai revolusi
fisik dan perjanjian perdamaian juga turut memengaruhi penurunan pada produksi film
nasional.
Era 1957—1965 merupakan sebuah masa dimana terjadi intervensi politik
dalam kebudayaan.13 Mereka yang berada dalam afiliasi golongan komunis
menggunakan berbagai media untuk dapat menyebarkan ideologinya, salah satunya
melalui ranah film. Tidak serta merta menyuarakan ideologi melalui produksi, para
blok revolusioner lebih menunjukkan aksi dengan menginginkan agar Deppen
menghentikan kebijakan impor terhadap film-film Amerika.
Persoalan mengenai terbengkalainya perfilman nasional pasca ’65 semakin
jelas terlihat. Orang-orang film sudah tidak ada lagi; dalam artian telah beralih profesi
mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Di masa ini, film seperti sudah

                                                                                                               
10
Gayus Siagian. Sejarah Film Indonesia : Masa Kelahiran-Pertumbuhan. (Jakarta : FFTV
Institut Kesenian Jakarta, 2010), h. 154.
11
Amura, Op Cit., h. 41.
12
Armijn Pane. Produksi Film : Tjerita di Indonesia. (Jakarta : Penerbit Badan Musjawarat
Kebudajaan Nasional, 1953), h. 13.
13
Ibid.

5  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
dianggap mati bahkan bioskop pun hanya sekitar 20% yang masih bertahan.14
Terdapat dua faktor yang menyebabkan jatuhnya film Indonesia pasca-65, yaitu
persoalan ideologi dan ekonomi. Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah
mengenai pembenahan ekonomi yang belum bisa diselesaikan dalam jangka pendek.
Saat itu negara masih membutuhkan waktu untuk mengatur klasifikasi anggaran-
anggaran prioritas, dan belum bisa memerhatikan kembali persoalan film.
Keputusan No. 71 Tahun 1971 atau yang lazim disebut SK 71 oleh BM Diah
yang ditandatangani oleh Menteri Penerangan Budiardjo, mendapat sambutan hangat
dari penggiat film. Surat tersebut mengatur mengenai kebijakan perfilman yang
bertujuan untuk memajukan film nasional, di mana pemerintah melonggarkan gunting
sensor serta memberikan kredit pinjaman dana kepada para produser sebesar setengah
ongkos produksi film yang mereka buat, dengan jumlah maksimal pinjaman Rp 7,5
juta.15 Melihat angka pinjaman yang begitu besar untuk tahun tersebut, para sineas
mulai kembali menggeluti dunia perfilman. Di satu sisi, kebijakan ini terbukti bisa
meningkatkan jumlah produksi, meskipun di sisi lain peningkatan kuantitas tidak
diikuti dengan kualitasnya.16 Banyak sineas-sineas dadakan-yang tidak memiliki bekal
ilmu pengetahuan film ikut-ikutan berproduksi. Alhasil, film yang diproduksi pun
kebanyakan adalah film komersil dengan tidak mengutamakan seni dan mutu, serta
lebih memerlihatkan adegan adegan erotisme dan kekerasan semata. Maraknya
industri perfilman nasional, baik film instan maupun film berseni tinggi seolah
menjadi tantangan sendiri bagi FFI untuk dapat mengevaluasi kriteria film Indonesia
dengan baik.17 Dengan demikian, seiring dengan peningkatan kuantitas dan kualitas
film, secara resmi FFI 1973 dibuka.
Tahun 1992 merupakan akhir pelaksanaan FFI di masa Orde Baru. Seiring
dengan berakhirnya kinerja Pantap, industri perfilman Indonesia kian meredup. Krisis
ekonomi yang terjadi di tahun ‘90an mengakibatkan produksi film Indonesia menurun

                                                                                                               
14
Misbach, Op. Cit., h. 43.
15
Keputusan No. 71 Th. 1971, Departemen Penerangan RI.
16
http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/181 (Diakses pada Rabu, 16 Desember 2015
Pukul 02.00 WIB).
17
Krishna Sen. Filming “History” Under The New Order. In Histories and Stories : Cinema in
New Order Indonesia. (Australia : Centre of Southeast Asian Studies : Monash University, 1988), h. 49.

6  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
tajam hingga mencapai titik nadir 3 judul di tahun 2001.18 Dibukanya kuota impor dan
peredaran dominasi bioskop jaringan Amerika Serikat di pasaran rupanya juga turut
mempengaruhi kondisi film. Sepanjang tahun 1993 hingga 2003 nyaris tidak terlihat
lagi film nasional di layar bioskop. Aktivitas yang dilakukan semasa pelaksanaan FFI
pun harus divakumkan karena orang-orang film merasa sudah tidak ada film lagi yang
layak untuk dinilai atau dikritik.

Masa Kekosongan Festival Film Indonesia

Kemerosotan produksi di tahun ‘90an tidak hanya melibatkan persoalan film


impor. Keterkaitan antara negara, selera pasar juga faktor ekonomi turut menjadi
beberapa masalah terbesar dari degradasi sinema Indonesia. FFI yang sangat
bergantung pada produksi serta kualitas film, mau tak mau harus menunggu kondisi
kembali pulih kendati keputusan tersebut juga mendapat kritik dari banyak pihak.
Kekosongan FFI sendiri juga dilatarbelakangi oleh masa kerja Panitia Tetap/ Pantap
(1987—1992) yang telah habis.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah mengenai persoalan dana. Pihak
pemerintah yang sudah tidak dapat meminjamkan dana kepada produser, juga menjadi
faktor disebabkannya produksi film yang kian menurun.19 Perkara mengenai
dikosongkannya FFI sebagai dampak dari tergerusnya kuantitas film nasional
sebenarnya bukanlah menjadi faktor utama yang terlalu dipusingkan, dan FFI pun
tidak harus diliburkan. Jika dapat kita tengok Malaysia, yang juga memiliki pasang
surut produksi film di tahun-tahun tertentu namun tidak serta merta menghentikan
festival film nasionalnya begitu saja. Saat produksi film di sepanjang tahun sedang
menurun, mereka mengubahnya menjadi festival dua tahunan lalu jadwalnya kembali
rutin ketika produksi film telah meningkat kembali.20 Bukan hal yang tidak mungkin
jika Indonesia juga melakukan hal yang sama, sebab di sepanjang tahun tersebut masih
ada di antaranya beberapa film berkualitas yang masuk dalam kategori film-film
                                                                                                               
18
Grafik Produksi Cerita Film Indonesia, Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (Jakarta: Koleksi
Pribadi Sinematek Indonesia).
19
Prisma. No . 5 Tahun XIX 1990, h. 2.
20
Kompas. Senin, 18 Desember 1995.

7  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
kriteria festival, tidak harus menunggu banyak film untuk dimasukan ke dalam
nominasi.
Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, di Orde Baru Soeharto kembali
memberlakukan kebijakan impor film, baik Amerika maupun Mandarin. Ekky
Imandjaya21 mengungkapkan bahwa kebijakan tekstil menjadi salah satu faktor terkuat
dari dibukanya kembali kuota impor film Hollywood.22 AS sendiri seakan melakukan
“ancaman”, jika negara tetap melakukan pembatasan film impor, maka AS akan turut
memboikot kegiatan ekspor kayu dan tekstil Indonesia melalui US Trade
Representatives23. Negara yang saat itu sedang membangun kembali perekonomiannya
melalui ekspor produksi pakaian jadi kurang lebih selama setahun mulai merasa dalam
kondisi yang sangat terjepit. AS juga menuntut agar kuota film Hollywood semakin
diperbanyak dan pembatasan film Hollywood pun dikurangi.24 Di masa ini, setidaknya
terdapat tiga negara besar yang mendominasi perfilman nasional, yaitu Amerika,
Eropa dan India. Lalu ketiganya membentuk Asosiasi Impor Film (AIF)25 dengan
membangun bisnis besar di bidang distribusi, impor film dan jaringan bioskop.

                                                                                                               
21
Ekky Imandjaya adalah seorang pengamat dan kritikus film Indonesia. Setelah lulus dari
Program Magister Studi Film di Universiteit van Amsterdam, di tahun 2003 ia juga lulus dari Program
Magister Universitas Indonesia jurusan Filsafat dan juga bekerja sebagai dosen tetap di Program Film,
BINUS INTERNATIONAL, Universitas Bina Nusantara. Sekarang sedang menempuh program
doktoral di Film Studies, University of East Anglia, Inggris. Tulisannya tersebar di berbagai media
dalam dan luar negeri, seperti Tempo, Kompas, dan Cinemasia. Tulisan ilmiahnya tersebar di berbagai
jurnal seperti Asian Cinema, Jump Cut, dan Colloquy. Menerbitkan beberapa buku, di antaranya A to Z
About Indonesian Film, Why Not: Remaja Doyan Nonton, dan Menjegal Film Indonesia (bersama
RumahFilm) dan Backdoors of Jakarta. Ia menjadi editor tamu di edisi khusus Plaridel dan menjadi juri
beberapa festival dan kompetisi film. ia juga salah satu pendiri dan redaktur RumahFilm.org (2007-
2013).
22
Wawancara dengan seorang penulis dan kritikus film, Ekky Imandjaya melalui surat
elektronik (e-mail) pada Rabu, 24 Februari 2016.
23
United States Trade Representative adalah sebuah badan dan kantor perwakilan dagang
Amerika Serikat yang bertugas secara langsung untuk bernegosiasi dengan pemerintahan asing untuk
membuat perjanjian perdagangan, penyelesaian sengketa dan jaringan perdagangan global. Organisasi
ini mulai dibentuk pada tanggal 11 Oktober 1962.
24
Wawancara dengan seorang penulis dan kritikus film, Ekky Imandjaya melalui surat
elektronik (e-mail) pada Rabu, 24 Februari 2016.
25
Sebelumnya Asosiasi Importir bernama Badan Koordinasi Importir Film (BKIF) di masa
Pelita I. Setelah itu BKIF juga diubah menjadi Konsorsium Importir Film (KIF) pada Pelita II dengan
anggota 76 importir. Kemudian pada Pelita III, KIF diubah lagi menjadi Asosiasi Importir Film (AIF)
dengan anggota tidak kurang dari 26 importir. Pada Pelita IV dan V , AIF tetap dipertahankan dan
terdiri dari tiga asosiasi, masing-masing importir film Mandarin, Asia non-Mandarin, dan Eropa-
Amerika. Lihat http://filmindonesia.or.id/article/dari-bkif-ke-konsorsium-sampai-
asosiasi#.Vu7ZZiGc0Zw (Diakses pada Senin, 21 Maret 2016 Pukul 01.00 WIB).

8  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Persoalan mengenai kevakuman FFI tidak hanya mengenai penurunan produksi film
semata. Alasan lain yang ditimbulkan adalah kehadiran berbagai stasiun televisi
swasta sebagai media hiburan alternatife di tahun ‘90an. Dinamika pertelevisian yang
begitu menjanjikan mendorong migrasi pekerja dengan berbagai profesi masuk dalam
industri televisi.26 Termasuk pula migrasi para pekerja film, baik di depan maupun di
belakang layar. Melihat kondisi perfilman yang sudah semakin memprihatinkan dan
banyak perusahaan film yang terancam gulung tikar, beberapa produser dan sutradara
mulai beralih untuk memproduksi sinetron yang proses pembuatannya lebih ringan
dan jauh lebih menguntungkan. Keprihatinan terhadap sinema Indonesia semakin
menjadi-jadi saat banyak pekerja yang sempat terlibat dalam seleksi FFI sebelumnya
turut hijrah ke dunia televisi dan turut memproduksi/membuat sinetron. 27 Tim kreatif
tidak perlu diuji oleh induk organisasi profesi masing-masing. Siapa saja boleh
memproduksi sinetron, asalkan dananya dapat ditanggung oleh pihak yang menunjuk.
Dibandingkan dengan sinetron, pekerja film menganggap bahwa beban yang diberikan
untuk film layar lebar begitu besar dengan membawa reputasi negara ke ajang
internasional, terlebih film yang harus dibuat bukanlah sekadar membuat film yang
“asal jadi.” Hal itu menjadi alasan lain terjadinya migrasi besar-besaran orang film ke
dunia sinetron.
Inflasi besar-besaran tertentu berdampak ke seluruh aspek, termasuk masalah
perfilman. Besarnya ongkos produksi pembuatan film sebagai dampak dari krisis
ekonomi mengakibatkan sebagian besar sineas berhenti untuk membuat film dan
beralih profesi menjadi pekerja televisi.28 Pematokan pajak saat itu begitu tinggi oleh
pemerintah yang melihat film saat itu sebagai komoditi mahal, khususnya dalam hal
produksi dan distribusi. Mereka, para pekerja film merasa inilah jalan terbaik yang
dapat dipilih ketika nasibnya semakin tidak diperhatikan, begitu pula dengan harapan
bantuan atau inisiatif pemerintah terhadap eksistensi FFI. Saat itu negara memang
sedang megalami krisis secara global di hampir seluruh sektor. Pemerintah mencoba
untuk mengutamakan masalah-masalah yang bersangkutan dengan pemulihan
                                                                                                               
26
Garin, Op Cit., h. 247.
27
Eric, 2011. Op Cit., h. 88.
28
Wawancara dengan seorang penulis dan kritikus film, Ekky Imandjaya melalui surat
elektronik (e-mail) pada Rabu, 24 Februari 2016.

9  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
perekonomian Indonesia terlebih dahulu, begitu pula dengan suasana di akhir
pemerintahan Orde Baru,

Menurut saya, tahun 1997—1999 adalah tahun-tahun awal pemebentukan


masa reformasi. Dan film bukanlah hal yang utama untuk dibahas, karena
orang-orang sedang mengalami euphoria dengan adanya demokrasi, kebebasan
berpendapat dan berpolitik. Orang sibuk dengan persoalan reformasi, Korupsi,
Kolusi, Nepotisme, perbaikan ekonomi, pencalonan presiden dan masalah
dengan skala besar sehingga belum terpikirkan persoalan mengenai film. 29

Masalah film dikesampingkan, masalah FFI pun didiamkan. Alasannya adalah


saat itu film bukanlah menjadi suatu prioritas. Saat itu, pemerintah memang benar-
benar sedang fokus untuk mengembalikan perekonomiannya.30 Jika dibandingkan
dengan nasib rakyat Indonesia yang saat itu mulai menggeluti usaha tekstil di tengah
keterpurukan ekonomi, nasib orang film pun dengan terpaksa harus dipinggirkan demi
meredam ancaman Amerika Serikat terhadap kebijakan tekstil/konveksi dan kayu.
Indonesia yang melunakkan semua peraturan dan sensor UU perfilman terhadap
Amerika Serikat. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Alwi Dahlan,

Mau bagaimana lagi. Saat itu, pekerja-pekerja tekstil memang baru merintis di
era ‘90an. Jumlah mereka sangat banyak dan cukup membantu perekonomian
dalam negeri. Sedangkan saat itu orang film jumlahnya lebih sedikit. Membuat
film, terlebih ongkos untuk menyelenggarakan FFI sangatlah besar. Oleh
karena itu, persoalan tersier di bidang perfilman tersebut belum bisa kami
pikirkan.31

Namun bukan berarti di sepanjang tahun ‘90an film Indonesia benar-benar


kosong begitu saja. Krisis ekonomi membuat produser film berpikir untuk membuat
film yang dapat laku di pasaran namun memakan ongkos produksi sangat murah.
Tema sexploitation menjadi cara yang paling efektif dan paling menguntungkan dari

                                                                                                               
29
Wawancara dengan seorang penulis dan kritikus film, Ekky Imandjaya melalui surat
elektronik (e-mail) pada Rabu, 24 Februari 2016.
30
Wawancara dengan Muhammad Alwi Dahlan di Gedung PascaSarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
31
Wawancara dengan Muhammad Alwi Dahlan di Gedung PascaSarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.

10  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
sisi bisnis.32 Sebut saja Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993),
Gairah Malam (1993), Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995),
Akibat Sex Bebas (1996), Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).
Film-film drama berkualitas pun juga masih turut muncul meskipun secara kuantitas
masih kalah jauh dengan tema-tema erotis, seperti Badut-Badut Kota (1993), Sri
(1997), Telegram (1997), Puisi Tak Terkuburkan (1999) dan Daun di Atas Bantal
(1997). Hingga pada tahun 1998—1999, produksi film Indonesia benar-benar
mengalami masa penurunan. Tercatat di tahun 1998 sekitar 3 film saja yang benar-
benar bisa diproduksi.

Perjuangan Sineas: Wujud Kebangkitan Kembali Industri Perfilman Nasional

Ketika FFB mulai diresmikan dan diumumkan ke publik melalui pers, reaksi
dari berbagai kalangan dan budayawan Bandung pun sangat positif. Khususnya PT
Kharisma Jabar Film itu sendiri yang berperan sangat besar dalam memfasilitasi acara
tersebut. Dukungan FFB juga disambut oleh kalangan sineas senior seperti yang
diungkapkan oleh Nyak Abbas Akup di dalam Pikiran Rakyat,

Secara pribadi saya merasa senang. Apalagi sayadengar jurinya banyak tokoh
seniman-budayawan Bandung. Saya rasa akan ada manfaatnya, terutama dalam
cara penilaian.33

Akan tetapi di pihak Deppen, pelaksanaan FFB pun mengalami kendala pada dua hal.
Pertama, penyebutan kata “Festival” pada Festival Film Bandung menyorot kepada
pelaksanaan yang sudah ada sebelumnya, yaitu FFI. FFB dianggap sebagai ajang
festival yang tidak resmi dan FFI hanyalah satu-satunya ajang festival film yang
diakui oleh pemerintah. Maka dari itu, melalui Direktur Pembinaan Film dan Rekaman
Video dalam suratnya tanggal 7 Maret 1988, Deppen menyarankan kepada pihak FFB
untuk segera berganti nama. Oleh karena pihak FFB tidak ingin memperpanjang

                                                                                                               
32
Wawancara dengan Muhammad Alwi Dahlan di Gedung PascaSarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
33
Pikiran Rakyat, 27 Februari 1988.

11  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
permasalahan, kata “Festival” dalam FFB sendiri diganti menjadi “Forum”, sehingga
dalam pelaksanaan Forum Film Bandung ke depannya diharapkan akan semakin
bersahabat dan istilah “forum” itu sendiri tidak memiliki konotasi eksklusif serta
membatasi peran masyarakat maupun orang film.
Kekosongan FFI dimanfaatkan oleh regu FFB untuk tetap konsisten
melancarkan acaranya, bahkan di masa-masa krisis sekalipun. Orang-orang seperti
Chand Parwez Servia beserta Eddy Iskandar adalah sineas yang berhasil “menggodok”
serta mengkritik film-film Indonesia di tahun-tahun tersebut. Meskipun FFI harus
vakum untuk waktu yang panjang, namun orang-orang “jebolan” FFB ini masih
senantiasa memproduksi film melalui Kharisma Jabar, seperti Si Kabayan Mencari
Jodoh. Film ini bergenre drama komedi dengan memiliki Alur cerita yang ringan.
Film ini sukses meraih banyak penonton dengan mengangkat tema komedi yang tidak
terkesan vulgar. Film seperti inilah yang seharusnya dipikikan kembali oleh para
produser yang ingin “untung” dan komersil, namun masih tetap berada di jalur yang
positif.
ASEAN Cultural Center-Japan Foundation menyelenggarakan Festival Film
Indonesia di Tokyo. Tak kurang dari 26 film cerita panjang dan 13 film pendek diputar
dari bulan November hingga Februari 1994. Untuk itu, Japan Foundation mengundang
Christine Hakim, seorang aktris film senior yang juga bergelut sebagai sutradara, DR
Salim Said, Gotot Prakosa dan Garin Nugroho ke acara ini. Garin Nugroho
mengatakan bahwa FFI di Jepang merupakan sebuah refleksi untuk melihat kekuatan
dan kelemahan, sekaligus fenomena baru perfilman Indonesia. Miris ia katakan bahwa
disaat film Indonesia sedang terpuruk di negaranya sendiri, justru Jepang masih
menghargai dan turut mengapresiasi mengadakan pemutaran film Indonesia secara
lengkap selama berbulan-bulan.34 FFI Tokyo membawa kembali semangat sineas,
melihat bagaimana karya para maestro sangat berharga bagi industry perfilman
Indonesia. Tidak hanya itu, karya mahasiswa yang sedang studi di Institut Kesenian
Jakarta juga turut diputar, bahkan beberapa film telah mendapat penghargaan, seperti
karya Nan Triveni Achnas dan M. Rivai Riza (Riri Riza), merupakan karya yang

                                                                                                               
34
Kompas. Minggu, 5 Desember 1993, h. 16.

12  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
dikemas dalam tata cahaya yang baik. Film mereka juga mendapat penghargaan dari
berbagai festival internasional.
Kemunculan sineas muda tak lepas kaitannya dengan institusi pendidikan yang
membawahi dan mendidik orang-orang seperti Riri Riza, Gotot Prakasa, Garin
Nugroho dan Nan Achnas. Sebelumnya, Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta turut
mengisi film Indonesia dengan menyelenggarakan Pekan Film Pendek karya
mahasiswa sekolah film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di tahun 1995.35 Film-film
yang diputarkan adalah hasil karya ujian akhir mahasiswa IKJ yang diwajibkan untuk
membuat film bertemakan bebas dengan durasi pendek (5—15 menit). Acara ini
secara perdana dilangsungkan pada tanggal 17—19 Juli di Teater Tertutup TIM,
dengan memutar sekitar 20 judul. Sebagian karya yang diputar diantaranya: Hanya
Sehari (Nan Achnas, pemenang Young Asian Film Festival di Tokyo 1992),
Langkah-Langkah Kecil (Yulianto Krisbiantoro, pemenang festival karya mahasiswa
Rencountres Internationales Henri Langlois Perancis, 1993), Sonata Kampung Bata
(Riri Riza, pemenang festival di Oberhausen Jerman 1994), Dolanan (Pradonggo),
Kereta Pertama (Dicky Irawan), Gerbong 1, 2... (Garin Nugroho), Lelaki Tua
(Hendrata R. Saputra), dan Happy Ending (Harry Suharyadi).36
Merosotnya sinema Indonesia di tengah masa krisis nyatanya tak menyurutkan
sebagian sineas yang masih bisa “eksis” dan berprestasi dalam karyanya bahkan diakui
oleh kalangan internasional. Sedikitnya produksi film yang mereka buat, dapat
mengobati nama baik Indonesia di luar negeri. Sebut saja seperti Garin Nugroho,
seorang sutradara yang karirnya mulai berjaya di tengah krisis ‘90an. Garin yang
masuk dalam kategori generasi baru jebolan sekolah film, mampu membuktikan
bahwa dengan ketidakhadiran FFI di tengah masyarakat, ia tetap berhasil mendunia
melalui beberapa film yang ia garap. Tak hanya Garin, orang-orang seperti Christine
Hakim, Nan Triveni Achnas, Mira Lesmana, Rizal Mantovani dan Riri Riza juga
mendapat banyak apresiasi sebelum menginjak era 2000an.
Era reformasi membawa banyak perubahan bagi gerak-gerik perfilman
nasional. Saat itu, masyarakat mulai menaruh harapan besar atas seluruh tindakan
                                                                                                               
35
Kompas. Minggu, 16 Juli 1995
36
Ibid.,

13  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
represif Orde Baru dalam menuntut kebebasan berekspresi yang belum didapatkan
sebelumnya. Orde Baru, adalah sebuah era yang menjunjung nilai-nilai birokrasi
sentralistik. Negara tidak akan pernah berjalan dengan semestinya tanpa ada
legitimasi dari pihak penguasa. Oleh karena itu, melihat pergantian pemerintahan
tersebut, berbagai kalangan pun seolah “menyambut” dan berharap akan terjadi
perubahan yang lebih baik di segala aspek, khususnya film Indonesia yang tercatat
hanya memproduksi 4 film di tahun 1998—1999.37
Kelahiran komunitas film sebagai corong apresiasi dan kreativitas film di
berbagai daerah telah melahirkan workshop, festival, dan penciptaan beragam film:
cerita panjang (feature), pendek, dokumenter, lalu berkembang seiring diadakannya
seminar, dan film alternatif.38 Dengan kata lain, keberhasilan sinema Indonesia sangat
dieratkan dengan seberapa besar kepedulian masyarakatnya untuk bisa saling lebih
kritis dalam menilai film melalui ragam diskusi antar kelompok-kelompok penikmat
film melalui nilai edukasi.
Komunitas film menjadikan ruang kreatif bagi sineas untuk dapat
mengeksplorasi kemampuannya dalam membuat dan menilai film untuk berbagai
bentuk, yang didukung oleh perkembangan teknologi digital dengan biaya operasi
yang murah.39 Kehadiran komunitas ini kebanyakan datang dari ranah universitas,
seperti Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Institut Agama Islam
Sunan Kalijaga/ UIN Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan
Institut Teknologi Bandung (1998).40 Ide kritis mengenai dunia film di masa reformasi
memang benar-benar berangkat dari golongan anak-anak muda yang memiliki tingkat
intelektual yang baik.
Melalui Komunitas film, orang-orang baru pun bermunculan. Di tahun 1998,
salah satu sineas muda, Shanty Harmayn41 mulai membentuk Salto Film Company
                                                                                                               
37
La Tansa, 11 Desember 2008.
38
Ibid., h. 297.
39
Ibid., h. 298.
40
Ibid.
41
Shanty Harmayn adalah seorang produser film Indonesia yang berbasis di Beijing dan
Jakarta. ia mendirikan perusahaan SALTO FILM di tahun 1998. Begitu banyak penghargaan
internasional melalui produksi filmnya seperti pemenang penghargaan seperti: Sang Penari (2011)-Film

14  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
atau Salto Production, sebuah perusahaan film yang mewadahi film-film nasional
karya anak-anak muda.42 Pada nantinya perusahaan ini berhasil memproduksi film-
film hebat seperti Pasir Berbisik dan Banyu Biru. Melalui ajang bertukar pikiran dan
kecintaannya terhadap dunia film, Shanty mampu membuktikan bahwa sinema
Indonesia akan kembali bangkit di tangan anak-anak muda yang memiliki kreativitas
akan seni dan gagasan.
Tak hanya itu, berbekal dari komunitas pun, Shanty juga berhasil mendobrak
dunia perfilman dengan membentuk festival internasional di Indonesia, seperti yang
telah dilakukan oleh beberapa negara. Bersama sineas lainnya, Natascha Devillers,
untuk pertama kali bagi insan perfilman Indonesia mengadakan Jakarta International
Film Festival (JIFFest) di tahun 1999. Panitia JIFFest ini diisi oleh sekelompok anak
muda yang berniat untuk memutar film-film internasional terbaik yang belum sempat
dihadirkan di bioskop tanah air. Momentum keterbukaan dalam masa awal reformasi
direspon dengan sangat baik oleh kelompok anak muda tersebut yang
menghubungkan penonton Jakarta (publik) dengan beragam film alternatif, baik
pendekatan maupun tema film yang sebelumnya tidak mungkin diakses publik di
jaman pemerintahan otoriter Orde Baru. Prestasi tersebut seperti menandai kelahiran
generasi baru film Indonesia dengan mengedepankan nilai-nilai demokratis dan
keterbukaan serta kebebasan dari unsur politik dan keuasaan tertentu.
Memasuki tahun 2000, baik Indonesia maupun Malaysia, kehadiran sinema
digital mulai digemari oleh orang-orang generasi muda. Dibandingkan dengan sinema
konvensional yang menggunakan media pita seluloid, sinema digital lebih unggul
dalam hal visualisasi dan suara.43 Garin Nugroho juga mengungkapkan di dalam
Harian Kompas,

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Indonesia Terbaik 2011 dan masuk Bahasa asing Indonesia untuk Academy Awards 2012, The
Photograph - Special Jury Prize di Karlovy Vary International Film Festival 2008. Pada tahun 1999,
Harmayn co-mendirikan International Film Festival Jakarta (JIFFest) dan InDOCS, organisasi film
documenter dengan Natacha Devillers. Lihat selengkapnya di
http://www.tiesthatbind.eu/portfolio/shanty-harmayn-hofman/ (Senin, 28 Maret 2016 Pukul 18.00
WIB).
42
http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/filminfo/production.php?comid=941 (Diakses
pada Selasa, 29 Maret 2016 Pukul 03.19 WIB).
43
Wawancara dengan M. Abduh Azis, seorang sutradara dan produser film di kantor Koalisi
Seni Indonesia (KSI), 25 Maret 2016

15  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Terutama pada film untuk televisi, yang semula mempergunakan seluloid 16
mm dan 8 mm, beralih menggunakan pita magnetik dalam kaset video. Pada
masa itu ditemukan teknologi CCD (Charged CaupledDevicd) menggantikan
tabung citra vidicon. Penemuan ini mempercepat perkembangan teknologi
penangkap gambar diam maupun gambar gerak. Kamera foto dan kamera
video berkembang sangat pesat. Hanya teknik lensa yang tidak berubah. Media
penyimpan mengalami perkembangan dan melahirkan banyak varian, di
antaranya dalam bentuk pita (cassete), cakram (disk), dan memori chip. Itu
semua mendorong adanya euforia membuat film di kalangan masyarakat;
karena membuat film dirasa semakin mudah dan murah.44

Teknologi pembuatan film dengan menggunakan kamera digital relatif lebih


murah dan praktis45, sehingga hal ini menjadi faktor utama yang dipilih oleh “anak-
anak kampus” yang kaya akan ide namun belum memiliki banyak biaya. Maka dari
itu, dengan adanya penemuan media digital, menjadikan euforia baru di awal
reformasi semakin besar. Diungkapkan oleh Garin di Harian Kompas, saat itu
perpindahan besar-besaran media konvensional ke era digital seolah sedang mewakili
kebebasan berekspresi mereka Pasca-1998,

Gejala ini semakin mencuat ketika terjadi perubahan politik di Indonesia yang
ditandai dengan pergantian penguasa. Generasi visual itu ingin
mengekspresikan diri. Sebagai bagian dari euforia setelah Soeharto jatuh,
semua orang tiba-tiba ingin mengekspresikan diri karena ada ruang kebebasan
yang luar biasa. Semua orang ingin membuat film. Setelah nonton Chunking
Express atau film Iran Children of Heaven orang seakan mengatakan “wah aku
juga bisa bikin”.46

Sineas muda datang ke ranah perfilman dengan semangat yang bersamaan.


Mereka membuat film dengan biaya sendiri, dalam artian dana yang didapatkan tidak
tergantung pada pemerintah atau pemilik modal tertentu. Film digital memang sekedar
alternatif bagi sineas muda yang belum mampu secara modal membuat film dengan
pita seluloid. Jika mampu, mereka akan beralih dengan pita 35mm.47 Inilah satu-

                                                                                                               
44
Kompas, 20 April 2002.
45
Andrew N. Weintraub, Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia. (New York:
Rouletdge, 2011), hlm. 188.
46
Kompas, 4 November 2001.
47
Ibid.

16  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
satunya jalan bagi mereka untuk membuat film yang murah namun tetap berkualitas di
tengah masa-masa membangun kebangkitan film nasional.
Selain Jelangkung, beberapa film yang menjadi pengantar kegairahan
kebangkitan perfilman nasional dimulai sejak kemunculan Petualangan Sherina
(2000). Film tersebut merupakan film bergenre drama musikal yang memberikan
warna baru bagi ranah perfilman Indonesia. Saat itu, para sineas muda tengah
membuktikan kepada masyarakat bahwa film dapat dinikmati oleh semua kalangan,
dan semua kalangan memang berhak untuk menonton film, entah kalangan anak-anak
maupun dewasa. Petualangan Sherina yang dibuat oleh Riri Riza dan Mira Lesmana
mampu menarik sekitar lebih dari 1,4 juta penonton.48 Petualangan Sherina menjadi
sebuah genre baru sama halnya dengan Jelangkung, Tercatat setelah tahun 1990, film
anak-anak dengan genre drama musikal sejak Orde Baru memang belum pernah
diproduksi. Ide kreatif Riri Riza dan Mira Lesmana dalam menggagas cerita menjadi
suatu bukti khusus bahwa ide yang muncul berkat nilai-nilai pendidikan dan tingkat
intelektual sangat dibutuhkan untuk menggarap sebuah film agar hasilnya dapat
untung secara pendapatan serta untung secara kemanfaatan untuk masyarakat.
FFI sebagai satu-satunya penyelenggaraan festival film oleh negara telah
mengalami masa kekosongan selama kurang lebih 10 tahun. Di masa kekosongan itu,
sineas senior dan junior pun saling bergotong royong untuk –setidaknya-
mengembalikan kualitas film. Namun yang terpenting, di masa itu mereka telah
menuntut adanya independensi dalam film yang mereka buat. Di era reformasi pun,
orang semakin cerdas dalam menilai film. Para sineas muda telah berhasil untuk
mengadakan festival-festival film independen yang melahirkan bakat-bakat baru.
Tujuan utama sebuah festival pun nyatanya memang seperti itu: hadir di tengah
masyarakat sebagai hasil dari umpan balik yang telah mereka apresiasi selama ini.
Wacana mengenai diadakannya kembali FFI 2004 pun juga kian dipertanyakan
banyak pihak. Seperti yang disebutkan oleh Mira Lesmana di harian Kompas,

                                                                                                               
48
www.pelita.or.id/baca.php?id=4670 (Diakses pada Senin, 16 Mei Pukul 02.00 WIB).

17  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Setidaknya perlu kritisi lagi mengenai pelaksanaan FFI. Jangan sampai ada
kepentingan-kepentingan tertentu sehingga kejadian di masa lalu tidak terulang
kembali.49

Biar bagaimana pun, FFI adalah salah satu tonggak dari sekian banyak festival
film untuk mengukur sejauh mana kecerdasan masyarakat dalam menilai film.
Kehadiran FFI di tahun 2004 ini semata-mata hadir karena pemerintah saat itu melihat
bahwa sejak tahun 1999, setidaknya film Indonesia mulai terlihat dan telah terkumpul
sebanyak 40 buah. Mulai banyaknya jumlah produksi film tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengadakan acara apresiasi kembali. FFI, yang dilaksanakan dan
didanai secara resmi dari pemerintah melalui Badan Pertimbangan Perfilman Negara
(BP2N) ini hadir untuk membangkitkan kembali gairah sineas muda. Atau dengan
kata lain, kehadiran FFI juga dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih
pemerintah atas jasa-jasa yang diberikan oleh seluruh generasi sineas yang turut andil
mengembalikan kualitas dan jumlah penonton saat itu.
Sebuah perhelatan festival sinema dapat dikaitkan dengan persoalan bisnis,
politis juga kultural.50 Penilaian FFI yang mendekatkan diri atas pencapaian kualitas
estetika dan artistik harus diisi oleh nuansa-nuansa kultural yang dapat memengaruhi
keberlangsungan hidup para penonton. Melihat pelaksanaan FFI yang diadakan pada
tanggal 4 Desember 2004 tersebut rupanya telah menggandeng ketiga unsur: bisnis,
politis dan kultural. Perlu diketahui, bahwa pada saat FFI 2004 kembali dilaksanakan,
beberapa kalangan sineas turut mengkritik perhelatan insan perfilman yang telah lama
mati suri tersebut. Hal itu bermula ketika ditemukannya ketidaktransparan pemerintah
dalam mengalokasikan anggaran untuk FFI 2004 yang menjadi catatan pertanyaan
banyak sineas saat itu. Diungkapkan oleh Veven Sp Wardhana, besarnya anggaran
dana dibandingkan dengan perolehan yang hanya mencapai 12 persen tersebut tak lain
dan tak bukan adalah pengaruh unsur bisnis dari pemerintah.51
Pelaksanaan FFI di tahun 2004 rupanya terus dipertahankan di tahun 2005,
menggambarkan bahwa saat itu industri perfilman dalam negeri memang tengah

                                                                                                               
49
Kompas, 20 Maret 2005.
50
Kompas, 11 Desember 2004.
51
Ibid.

18  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
bangkit, terlebih produksi film mengalami jumlah tertinggi sebanyak 33 buah. Tercatat
bahwa di tahun tersebut, pelaksanaan piala Vidia dan Piala Citra dipisahkan menjadi
dua hari, yaitu tanggal 5 Desember untuk pelaksanaan Piala Vidia dan 15 Desember
untuk Piala Citra.52 Gie (2004) terpilih sebagai pemenang dalam kategori film terbaik
FFI 2005. Nicholas Saputra pun turut terpilih sebagai kategori aktor terbaik untuk film
tersebut dan Marcella Zalianty sebagai aktri terbaik dalam film Brownies (2005).
Beberapa film lainnya yang turut berprestasi di dalam FFI 2005 antara lain Ketika
(2005), Janji Joni (2005), Tentang Dia (2005) dan Virgin (2004).
Saat itu dapat dikatakan bahwa industri perfilman nasional memang sedang
bangkit dari mati surinya dan mencoba untuk membangun kembali animo para
penonton. FFI, sebagai ajang apresiasi menjadi salah satu barometer masyarakat dalam
melihat gambaran film-film terbaik. Dengan adanya permasalahan yang selalu
terulang di setiap pelaksanaan FFI, tentunya akan semakin memperkecil kepercayaan
masyarakat terhadap ajang tersebut, sama halnya dengan permasalahan FFI yang
dimiliki di masa Orde Lama dan Orde Baru, sehingga saat itu baik sineas dan kritikus
film memprediksi bahwa FFI tidak dapat melanggengkan strukturnya dan
mempertahankan pelaksanaannya setiap tahun jika selalu memiliki kontroversi di
setiap tahunnya.
FFI 2004 merupakan sebuah refleksi bahwa saat itu film Indonesia sudah dapat
diperhitungkan di ajang internasional. Kesuksesan para sineas muda dalam
mengembalikan penonton Indonesia dan meningkatkan mutu serta kualitas film
didapatkan sineas melalui perjuangan panjang, dengan FFI 2004 sebagai
penghargaannya. Setahun setelah pelaksanaan FFI 2004, festival tahunan tersebut
dapat kembali diselenggarakan di tahun 2005. Hal tersebut membuktikan bahwa saat
itu produksi film dalam negeri semakin beragam dan pemerintah melalui BP2N mulai
serius untuk mendukung kebangkitan perfilman dalam negeri. Akan tetapi, banyak
sineas yang menyayangkan kehadiran FFI yang berbeda dengan masa Orde Baru dan
tidak memiliki “jiwa” dalam acaranya. FFI 2004—2005 hanya terkesan ajang untuk
bagi-bagi piala tanpa menghadirkan pawai artis yang menjadi unsur kemewahan FFI
                                                                                                               
52
www.detik.com/FFI-2005-Pisah-Piala/Citra-dan-Piala-Vidya (Diakses Pada Rabu, 6 April
2016 Pukul 13.00 WIB).

19  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
itu sendiri. Terlebih lagi pada pelaksanaan FFI 2005, isu-isu seputar Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme yang dilakukan oleh panitia FFI pun mulai menyebar.
Dengan kehadiran nominasi film-film FFI ke dalam ajang internasional
merepresentasikan bahwa saat itu FFI sebagai tolak ukur perfilman nasional memiliki
peran yang sangat penting untuk menentukan eksistensi negara di dunia internasional.
Penghargaan terhadap sineas tersebut merupakan sebuah dampak dari kemajuan
perfilman nasional yang dibawa oleh sineas-sineas itu sendiri. FFI, dijadikan sebagai
sebuah landasan dan fondasi khusus yang dilaksanakan oleh negara dalam menilai
kelayakan sebuah film. Selain festival film lain tentunya, FFI telah dipercaya sebagai
salah satu media untuk menghubungkan komunikasi antara sineas dengan ajang
internasional.

Simpulan

Festival Film merupakan sebuah ajang apresiasi perfilman dan juga sebagai
media komunikasi massa antara penonton dan sineas. Kehadiran festival film pada
dasarnya juga dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana masyarakat Indonesia dapat
mengapresiasi film yang ditonton melalui kritik yang nantinya akan memmengaruhi
kualitas film dan festival film itu sendiri. Film, sebagai media cangkokan dari berbagai
ilmu ini hadir sebagai alat untuk mendoktrin massa, membentuk karakter dan
kecerdasan masyarakat. Oleh karena itu, peran festival film sangat dibutuhkan untuk
menunjang keseluruhan poin-poin tersebut.
Festival Film Indonesia, merupakan sebuah ajang apresiasi yang terbentuk atas
dasar keberhasilan pemuda Indonesia dalam melepaskan belenggu perfilman dari para
penjajah. Melalui FFI, film Indonesia dapat dikatakan telah mampu berdiri sendiri dan
memproduksi filmnya sendiri: menjadi orang-orang yang turut serta berada di
belakang maupun depan layar. Di masa revolusi, Indonesia juga berhasil mendirikan
perusahaan film negara untuk menampung seluruh produksi film dalam negeri yang
nantinya akan diseleski dalam taham FFI.
Menginjak era ‘90an, film Indonesia berada pada titik nadir. Krisis ekonomi,
gempuran kapitalisasi, dan kemunculan televisi menjadikan industry film kian

20  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
terpuruk. Hegemoni Hollywood yang tidak dapatdibendung membuat film Indonesia
tenggelam di negaranya sendiri. Praktis di sepanjang tahun 1993, juga semenjak
dibuatnya perubahan pada peraturan UU No.8 Tahun 1992 mengenai perfilman yang
semakin mengikat insan perfilman membuat orang-orang film yang mengedepankan
nilai seni dan mutu semakin enggan membuat film. Alhasil, sebagian pekerja beralih
ke dunia televisi. Sepinya film membuat FFI harus tidur selama bertahun-tahun.
Memasuki era reformasi, sineas Indonesia mulai dapat kembali bernafas lega.
Era ini merupakan awal kebebasan berekspresi sineas untuk membuat film tanpa ada
aturan dan kontrol dari penguasa ataupun pemerintah. Terlihat sejak tahun 2000an,
film-film Indonesia karya generasi muda yang berasal dari sekolah film dan
pendidikan lainnya sukses dan mampu merebut kembali jutaan pasang mata di
bioskop. Alhasil, keberagaman film ini pada akhirnya dikumpulkan dan dilombakan di
dalam FFI 2004, yang mana film-film tersebut juga memiliki prestasi di ajang
internasional. Keberhasilan sineas memperjuangkan nasib film selama 13 tahun
tersebut terbayar dengan diakuinya karya-karya mereka tidak hanya di dalam negeri,
namun juga di kancah mancanegara.
Puncaknya pada saat FFI 2004 kembali diselenggarakan sebagai bentuk
perjuangan sineas yang saat itu berhasil mengembalikan penonton Indonesia. FFI 2004
telah merepresentasikan bahwa saat itu film Indonesia telah bangkit pada bidang
produksi, distribusi dan eksibisi. Di masa itu, film-film bermutu yang memiliki nilai
kultural mulai banyak digencarkan oleh sineas muda yang berangkat dari kelompok-
kelompok diskusi di tahun ‘2000an. Dampak keberadaan FFI sesungguhnya telah
mengantarkan sineas nasional diakui di ajang internasional serta mendapat
penghargaan melalui festival-festival internasional. Dengan demikian dinamika
perkembangan perfilman dalam negeri dapat terlihat melalui wajah FFI. Melalui
penelitian ini pula kita dapat menemukan sebuah fakta bahwa dalam membuat film
yang baik ternyata memerlukan tingkat emosi dan intelektual yang tinggi baik untuk
sineas dan penonton sebagai penerima pesan media visual tersebut.

21  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Daftar Referensi

Arsip
Keputusan. No. 71 Th. 1971 Tentang Kebijakan Perfilman Indonesia, Kementrian
Kenerangan RI.
Sambutan Menteri Penerangan RI Pada Upacara Penyerahan Hadiah dan Piagam
Kesetiaan Profesi Perfilman dan Pembukaan Dialog Perfilman
Nasional, Jakarta, 28 Maret 1996 : Direktorat Menteri Penerangan
Republik Indonesia.
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1994. Proses
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Perfilman. Jakarta : Pasal 1 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1992 tentang
perfilman
UU Perfilman No. 8 Tahun 1992. Kementrian Penerangan RI.
Surat keputusan no. 02/kep/yfi/i/79 tentang peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan Festival Film Indonesia. Pasal 2 ayat (2)

Majalah
Buletin Festival Sinetron Indonesia 1994. RCTI : Makin hari tambah oke”.
Artikel Majalah oleh Ilham Bintang
Prisma No. 4 Tahun XIX 1990
Prisma. No . 5 Tahun XIX 1990
Sunday Courier. Festival Film Indonesia ke-1. 13 April 1955.

Koran
Bintang Betawi, 6 Desember 1900.
Harian Rakjat. Senin, 4 Mei 1964.
Kompas. Jumat, 5 Februari 1993.
_________. Selasa, 16 Februari 1993

22  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
_________. Senin, 16 Agustus 1993
_________. Sabtu, 24 Juli 1993
_________. 20 Juli 1993
_________. Minggu, 5 Desember 1993
_________. Senin, 21 Maret 1994.
_________. Senin, 18 Desember 1995
_________. Minggu, 16 Juli 1995
_________. 15 Januari 1998
_________. Jumat, 7 September 2001
_________. Rabu, 3 April 2002.
_________ Senin 17 Juli 2002.
Media Indonesia, 2 Maret 1991

Laporan Acara Sezaman


http://www.aac.pref.aichi.jp/english/bunjyo/event/PReport-e/94/94-12en.html
(Digitalisasi)

Buku
Amura, H. 1992. Perfileman Indonesia Dalam Orde Baru. Jakarta : Lembaga
Komunikasi Massa Islam Indonesia.
Andrew N. Weintraub. 2011. Islam and Popular Culture in Indonesia and
Malaysia. New York: Rouletdge.
Anwar, Rosihan. 1990. Swear Ros : Catatan Harian Ketua Dewan Juri Festival
Film Indonesia 1990. Jakarta : Penerbit Panitia Tetap FFI
_______________. Buku Festival Film Indonesia 1986. Jakarta : Panitia Tetap
FFI bersama BAPFIDA Jakarta
_______________. Sukarno, tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara
Politik, 1961- 1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
_________________. Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3.

23  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Ardan, SM. 2004. Setengah Abad FFI. Jakarta:Panitia FFI 2004 dan Jaringan
Kreatif Independen Workshop Production Network.
Badan Pelaksana FFI ’83. 1983. Buku Petunjuk FFI 1983.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Direktorat Publikasi dan Direktorat Jenderal PPG Departemen Penerangan RI
NPD : 79/10/07/1991. Festival Film Indonesia 1895—1990. Jakarta :
Percetakan Negara RI.
Djoened, Marwati. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI : Zaman Jepang
dan Zaman Republik. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka. (hlm. 674).
Dinata, Nia. Arisan!: skenario dan kisah-kisah di balik layar. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama
G, Karl Heider. 1991. Indonesian Cinema : Nation Culture on Screen. Honolulu :
University of Hawai Press
Gumira, Seno Ajidarma. 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik
Mehong, 1996—1999. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: bagaimana Orde
Baru Melegitimasi Anti-komunisme Melalui Sastra dan Film. Jakarta:
Marjin Kiri
Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia: 1951-1963. Barkeley and
Los Angeles. University of California Press.
Imandjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung : Penerbit Mizan.
Iskandar, Eddy D. 2006. Bandung, Tonggak Sejarah Film Indonesia. Bandung :
Pustaka Dasentra.
Irawanto,Budi. 2004. Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Monaco, James . 2000. How to Read a Film: The World of Movies, Media and
Multimeda (Language, History, Theory). Oxford University Press, hlm. 228.
Karsito, Eddie. 2008. Menjadi Bintang ; Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film
dan Televisi. Jakarta : Ufuk Press. 2008.

24  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Krishna Sen dan David T. Hill. 2006. Media, Culture and Politics in Indonesia.
Jakarta: Equinox Publishing.
Kristianto, J.B. 2007. Katalog Film Indonesia 1926—2007. Jakarta : Penerbit
Nalar.
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS
M. Johan Tjasmadi dan Faisal Riza Rachmat. Buku Petunjuk Festival Film
Indonesia 1983. Jakarta : Badan Pelaksana FFI ’83
Nugroho, Garin. 1998. Kekuasaan dan Hiburan, Yogyakarta :Penerbit Bentang.
____________. 2013. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Fakultas Film
dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) Press
Pane, Armijn. 1953. Produksi Film : Tjerita di Indonesia. Penerbit Badan
Musjawarat Kebudayaan Nasional
Persatuan Wartawan Indonesia. 1983. Festival Film Indonesia : Kritik Film
1982—1983. Penerbit PWI Jaya
Prakosa, Gotot. 2004. Film dan Kekuasaan. Jakarta : Yayasan Seni Visual Indonesia
Rita Sri Hastuti dkk., 2007. Workshop Wartawan Film dan Sosialisasi Draft RUU
Perfilman. Jakarta : Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Said, Salim. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta : Grafiti Press.
Sasono, Eric. et.al. 2011. Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik
Industri Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Rumah Film.
Sen Krishna. 1988. Filming “History” Under The New Order. In Histories and
Stories : Cinema in New Order Indonesia. Australia : Centre of Southeast
Asian Studies : Monash University.
Siagian, Gayus. 2010. Sejarah Film Indonesia : Masa Kelahiran-Pertumbuhan.
Jakarta : FFTV Institut Kesenian Jakarta
Tjasmadi, Mohammad Johan. 2008. 100 Tahun Bioskop Indonesia. Jakarta:
Megindo Tunggal Sejahtera
Veven sp. Wardhana. 2001. Televisi dan Prasangka Budaya Massa. Jakarta:
Media Lintas Inti Nusantara.

25  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
Yusa, Misbach Biran. 2009. Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia.
Biro Perencanaan Sekretariat Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Wawancara

Ekky Imandjaya (Penulis, Sineas dan Kritikus Film)


Muhammad Alwi Dahlan (Sineas, Penulis, Politikus, Akademisi dan Pakar
Komunikasi)
Muhammad Abduh Azis (Produser, Penulis, dan Kritikus Film)
Jose Poernomo (Produser, Sutradara Film dan Produser Videoklip)

Internet

http://www.labiennale.org/en/cinema/
http://www.festival-cannes.com/en/about/aboutFestivalHistory.html
http://filmindonesia.or.id/article/rosihan-anwar-sejarah-kecil-dan-musuh-para-
pedagang-mimpi#.Vm_D1k-YEZw
http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/filminfo/production.php?comid=140
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2276/Persatuan-Artis-Film-
Indonesia
http://www.history.com/news/the-lumiere-brothers-pioneers-of-cinema
http://filmindonesia.or.id/article/sejarah-dan-produksi-ruang-bioskop#.Vm_9Vk-
YEZw
http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad3fa001e_asrul
sani#.Vva8_yGc0Zw
http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad590d221_garin-nugroho
http://filmindonesia.or.id/article/dari-bkif-ke-konsorsium-sampai-
asosiasi#.Vp6rP0CYEZw
http://www.mitrainvestor.co.id/sudwikatmono-owner-dan-pendiri-cinema-21-dan-
cinema-xxi/13543/

26  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016
http://filmindonesia.or.id/article/dari-bkif-ke-konsorsium-sampai-
asosiasi#.Vu7ZZiGc0Zw
http://www.festivalfilmbandung.com/p/berawal-pada-tahun-1987- sejumlah_23.html
http://www.festivalfilmbandung.com/p/berawal-pada-tahun-1987- sejumlah_23.html
http://www.festivalfilmbandung.com/p/berawal-pada-tahun-1987- sejumlah_23.html
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/ASEAN-Centre-Perkokoh-
Kerja-Sama-Kemitraan-ASEAN.aspx
www.pfn.co.id
https://office.nanzan-u.ac.jp/cie/gaiyo/kiyo/pdf_12/kenkyu_01.pdf
http://www.pubinfo.id/instansi-952-pfn--produksi-film-negara.html
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/759/Ardan-S.M
http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/166
http://perfilman.perpusnas.go.id/artikel/detail/181
http://www.bintang.com/celeb/read/2233834/18-film-indonesia-yang-
menorehkan-sejarah
http://www.cekricek.co.id/index.php/film/1107-ffi-2005-jakarta-geger-film-brownies-
8
http://showbiz.liputan6.com/read/218298/ffi-2004-kebangkitan-film-nasional (

27  
 
Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016

Anda mungkin juga menyukai