Digital - 20368859-MK-Selfi Ratna Furi
Digital - 20368859-MK-Selfi Ratna Furi
Pembimbing : Irwansyah
Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia
Jika dilihat secara khusus dalam proses konvergensi, sejarah dari media tersebut pada
dasarnya dihubungkan dengan adanya isu-isu yang lebih besar berkaitan dengan konvergensi
media. Fenomena konvergensi media tersebut membahas mengenai adanya teknologi baru,
adanya penekanan dalam film yang diciptakan dalam berbagai bentuk platform, adanya
perubahan dalam kebudayaan media itu sendiri, serta terjadinya globalisasi media. Adanya
peninjauan konvergensi ditilik dari sudut pandang sejarah memaksa kita untuk mengeksplorasi
secara lebih jauh sejarah media itu sendiri secara relasional atau ditinjau dari hubungan dan
perkembangannya dari masa ke masa. Konvergensi media itu sendiri pada dasarnya
membicarakan mengenai hubungan atau koneksi dari masa ke masa media-media kontemporer
secara kontekstual. Maka dari itu, kita perlu berfikir bahwa adanya media-media seperti
beberapa mefia cetak, media film, radio, ataupun televisi, serta berbagai media baru yang ada
saat ini harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dilihat sebagai fenomena
sejarah yang saling terpisah. (Staiger & Hake : 2009)
Permasalahan yang ada jika kita mengkaji mengenai konvergensi media jika dilihat dari
perspektif sejarah adalah cukup kabur atau bias. Dalam buku ini, penjelasan perspektif jelas
cenderung kurang begitu jelas. Meskipun dari sudut penulis sendiri masih berpendapat bahwa
dalam hal ini, ia belum akan memetakan sejarah dari media itu sendiri.
Konvergensi media itu sendiri jika dilihat dari sisi sejarah telah mampu memberikan
banyak perubahan pada dunia industri media. Perubahan tersebut mencakup adanya proses
digitalisasi media. Perkembangan film menjadi bahasan dalam pengkajian konvergemsi media
dalam perspektif sejarah ini. Namun tidak hanya itu, pembahasan mengenai perspektif sejarah
dalam konvergensi juga mencakup berbagai jenis media yang dipergunakan sampai pada
penggunaan computer dalam kehidupan sehari-hari. Kesemuanya tersebut tentu saja tidak dapat
dilepaskan dari konvergensi media. (Staiger & Hake : 2009)
Jadi dari contoh tersebut jelas terlihat bahwa sebenarnya film juga memiliki peran yang
cukup penting dalam rangka pembahasan mengenai sejarah dari media. Perkembangan sejarah
media dalam film tentu saja lebih bersifat spesifik. Pembahasan sejarah sesungguhnya lebih luas
lagi serta seharusnya mencakup berbagai aspek.
Jika akan mengkaji konvergensi media dilihat dari perspektif sejarah maka dalam
bukunya, Janet & Hake (2009) yang berjudul “Convergence Media History” menjelaskan adanya
beberapa metode, subjek, serta berbagai pendekatan baru di dalam konvergensi. Tulisan tersebut
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konvergensi media dari
perspektif sejarah tersebut dapat mempengaruhi industry perfilman dunia hingga Indonesia.
sejauh mana perkembangan film di Indonesia dari masa ke masa terutama saat mendapatkan
pengaruh perkembangan teknologi dari luar. Apakah secara signifikan perfilman di Indonesia
tersebut berkembang seiring dengan munculnya pola konvergensi dalam proses produksi,
distribusi, hingga eksibisi.
C. KAJIAN LITERATUR
Dalam mempelajari sejarah ada tiga pembabakan guna mempermudah untuk
mempelajarinya. Adapun pembabakan tersebut terbagi dalam : metode baru, subjek baru, dan
pendekatan baru.
Pertama adalah metode baru, terdapat lima studi kasus yang menjelaskan model-
model baru untuk dilakukan dalam mengkaji sejarah media termasuk film di dalamnya. Metode
yang pertama dijelaskan oleh Hamid Naficy. Dalam konsepnya, ia menjelaskan bagaimana
proses sebuah film berkembang hingga ia tumbuh secara vertical maupun tumbuh secara
horizontal. Film iru sendiri merupakan sebuah media yang berkembang secara cepat dan
mendalam. Mc Luhan (1964,23) menjelaskan bahwa media lama tetap akan bertahan yang
kemudian akan menjadi isi dari media baru itu sendiri. artinya bahwa media itu tidak akan
pernah mati oleh adanya kemunculan dari media yang lain. Media lama tersebut akan tetap
bertahan, karena ia akan menjadi bagian dari media baru.
Dalam hal ini, Naficy bahwa ada konsep yang dikenal dengan sebutan multiplisitas
dalam film. Multiplisitas ini diakibatkan oleh adanya penyebaran manusia di seluruh dunia yang
kemudian dicerminkan dalam berbagai dialog dalam berbagai bahasa dalam film dengan
karakter yang tentunya bersifat multicultural. Adapun contoh dari film multipleks adalah film
yang berjudul “ Babel “. Film ini dibuat dalam tiga bahasa yaitu Prancis, Meksiko, serta
Amerika Serikat serta diproduksi dan disebarkan dalam format DVD, TV, serta dalam format
teatrikal. (Staiger & Hake : 2009)
Multiplisitas dalam bentuk lain misalnya dapat kita pahami melalui internet. Adanya
kelahiran internet memunculkan sebuah budaya yang dikenal dengan ‘do it yourself’ ini
memberikan peluang kepada setiap orang untuk menjadi pengisi konten selain sebagai
pengguna. Lalu, implikasinya adalah adanya konsep “copyleft”. Copy left merupakan sebuah
D. METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam makalah ini ialah metode deskriptif dan studi
kepustakaan. Metode deskriptif ialah suatu metode yang berusaha untuk menjelaskan sesuatu,
memaparkan fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode deskriptif bertujuan untuk menelaskan,
mendeskripsikan, tentang sesuatu. Sedangkan studi kepustakaan adalah suatu metode pengambilan
data menggunakan berbagai referensi kepustakaan dari berbagai sumber.
Terlebih dahulu akan kita bahas sejarah perfilman secara umum sebelum membahas sisi
konvergensinya dari perkembangan film tersebut. Jika dilihat dari pembahasan sejarah
konvergensi, sejarah perkembangan film tidak dapat dipisahkan dalam menunjang pembahasan
sejarah. Dalam hal konvergensi, film menjadi salah satu titik balik dari munculnya konvergensi.
Sebelum membahas lebih jauh, berikut akan terlebih dahulu mengenai kondisi perfilman di luar
dan di Indonesia secara umum dari masa ke masa.
Film menjadi satu dari sekian banyak media komunikasi yang dipergunakan oleh manusia
dalam rangka mengekspresikan ide-ide mereka. Makna secara bahasa dari film tersebut adalah
sebuah gambar hidup. Secara kolektif, film tersebut dapat disebut sebagai sinema.
Adapun perkembangan film sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Film tersebut pertama
kali diluncurkan untuk masyarakat luas adalah di Grand Café Bolulevard, tepatnya di kota Paris.
Peluncuran tersebut dilaksanakan pada tanggal 28 Desember tahun 1895. Pada saat inilah,
momen yang menjadi titik tolak perkembangan bioskop di dunia pada masa yang akan datang.
Bioskop sebagai tempat distribusi film lahir secara bersamaan. Walaupun usaha untuk
menciptakan adanya gambar yang bergerak atau film ini sudah jauh terpikirkan oleh manusia
sebelum tahun 1985. Namun, meskipun begitu, film yang berhasil dikeluarkan di kota Paris
tersebut disebut-sebut sebagai film yang menjadi film pertama yang berhasil diciptakan oleh
manusia.
Film ini tentunya masih dibuat secara sederhana, dengan teknologi yang serba sederhana.
Adapun orang yang menjadi pelopor dari embuatan film ini adalah Lumiere Louis dan Auguste.
Mereka adalah dua bersaudara. Setelah dimunculkannya film ini maka mulailah muncul bioskop-
bioskop di berbagai negara lain. Seperti di Inggris, Korea, dan di Jepang, serta di negara yang
lainnya.
Adapun di Indonesia, pada tahun 1900 sudah mulai diperkenalkan film yang pertama kali
dengan konsep yang masih sangat sederhana. Film yang diperkenalkan masih sebatas film
documenter tanpa suara yang diberi judul Gambar Idoep. Pertunjukkan film tersebut
Selanjutnya, film Impor yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia adalah film yang
didatangkan dari Amerika. Tepatnya pada tahun 1905. Film Impor tersebut diterjemahkan ke
bahasa Melayu. Film inilah yang kemudian mendorong munculnya berbagai bioskop di
Indonesia.
Adapun film yang sifatnya mengandung cerita muncul pertama kali pada tahun 1926. Tentu
saja masih menggunakan teknologi yang sedrhana. Namun, materi filmnya sudah mulai
menceritakan sebuah peristiwa atau kisah. Jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi
di negara-negara yang lain, perkembangan film di Indonesia masih lambat. Pada saat yang
bersamaan tersebut, di belahan dunia yang lain sudah mulai memproduksi film-film yang
bersuara.
Adanya perubahan dalam dunia industry perfilman, tentu nampak pada teknologi apa yang
digunakan. Pada awalnya, film masih berkutat pada film yang berwarna hitam dan putih.
Filmnya masih bersifat bisu, serta cepat. Lalu, seiring berkalannya waktu dan semakin banyak
ditemukan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan manusia maka film pun mulai
berkembang. Gambar mulai disesuaikan dengan sistem mata manusia bekerja. Mulai berwarna,
serta diberikan efek-efek yang dapat menciptakan kondisi seperti nyata pada film.
Bentuk distribusi dari film mulai menyebar ke banyak media. Misalnya melalui televisi
hingga bioskop. Selain itu juga mulai didistribusikan melalui VCD serta DVD. Film sudah mulai
dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dengan kualitas yang hampir sama. Kualitas gambar
hingga kualitas dari suaranya. Lalu, mulai berkembang teknologi intern et dan website yang
kemudian semakin menunjang produksi sekaligus distribusi dari film.
Perkembangan yang didominasi oleh film-film Hollywood dan Hongkong tersebut mulai
berkurang setelah kemunculan dari film, yang cukup terkenal yaitu Petualangan Sherina. Sebuah
film yang diproduksi oleh Riri Riza beserta Mira Lesmana. Film ini menjadi titik balik kemajuan
film Indonesia setelah sekian lama mengalami penurunan. Setelah film tersebut berhasil
dikeluarkan di pasar, film-film lain ikut bermunculan. Meskipun segmentasi pasarnya berbeda-
beda. Sebut saja film yang bejudul Jaelangkung yang menjadi titik dimana film horror di
Indonesia mulai diproduksi.
Berbagai perkembangan film komersl dan non komersil mulai mewarnai dunia perfilman
pada masa itu. Trend film komersil yang diproduksi waktu itu diikuti juga dengan
berkembangnya film-film yang sifatnya komersil. Kalau film komersil misalnya, film “Ada Apa
Dengan Cinta”, jika film non komersil kita ambil contoh “Pasir Berbisik”. Sutradara yang cukup
terkenl dengan karyanya yang tidak semata ditujukan untuk tujuan komersil adalah Garin
Nugroho.
Jika bicara dunia perfilman pada masa sekarang, dunia perfilman di Indonesia sendiri tidak
banyak tertinggal dan telah mengalami kemajuan yang cukup pesat terutama dari sisi produksi,
distribusi, dan konsumsi. Meskipun jika kita lihat teknologi yang digunakan maupun warna
materi film belum beragam seperti Hollywood tapi mungkin suatu saat perfilman Indonesia dapat
menyamai kemajuan film-film Amerika.
Jika kita lihat saat ini teknologi yang digunakan untuk membuat film sudah cukup
berkembang secara pesat sampai di Indonesia. saat ini, tidak hanya penggunaan teknologi dua
dimensi (2D) namun sudah mulai berkembang teknologi tiga dimensi (3D) dalam pembuatan
Adanya perkembangan teknologi yang sifatnya tiga dimensi tidak dapat dilepaskan dari
adanya perkembangan dari computer animasi. Animasi tersebut merupakan sebuah seni yang
digunakan untuk membuat gambar yang dapat bergerak seperti nyata. Ini tentu membutuhkan
sebuah teknologi yang cukup mumpuni. Aplikasi yang dapat dipergunakan misalnya adalah CGI
(Computer Generated Imagery). Artikel “You see them WITH glasses!”… A Short History of 3D
Movies (John Hayes, Widescreen Movies Magazine, 14 Januari 2011)
Fungsi dari softwate ini adalh untuk menciptakan efek pada gambar.
Software ini berfungsi untuk menyatukan graphic vector dan raster image. Tujuannya
adalah untuk menghasilkan efek virtual reality atau dapat mendekati kenyataan yang
sesungguhnya.
software ini merupakan seri yang terbaru dari aplikasi Adobe Premiere. Software ini
merupakan sebuah software yang sering dipergunakan dalam melakukan editing. Selain untuk
editing, software ini juga dipergunakan sebagai perangkat pembuat animasi digital.
Adanya teknologi tiga dimensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Kehadirannya sudah
ada bersamaan dengan munculnya fotografi yang pertama. Di tahun 1856, ada seseorang yang
bernama JC d’Almeida yang memberikan sebuah demonstrasi di sebuah perguruan tinggi di
Pada sekitar tahun 1890, seseorang yang bernama Ducos du Hauron mematenkan beberapa
temuannya yang berupa sistem anglyph. Anaglyph adalah lembaran film positif yang berisi dua.
Ketika lembaran tersebut diproyeksikan maka para penonton dapat menyaksikan efek yang
sifatnya tiga dimensi. Namun, untuk dapat melihatnya harus memakai kacamata analglyph, yaitu
kacamata yang menggunakan lensa merah dan lensa biru pada dua sisinya. Sementara pada tahun
1897, C. Grivolas melakukan adaptasi terhadap anaglyph yang digunakan untuk membuat film
yang dapat bergerak. Namun, penggunaan tiga dimensi ini baru berhasil diaplikasikan pada tahun
1922 dalam film yang berjudul The Power Of Love. Film ini tidak hanya menggunakan
anaglyph, namun juga menggunakan dual film strip projection. Bahwasannya, akan
membutuhkan dua film yang akan diputar dengan bersamaan menggunakan dua buah proyektor
film yang sifatnya parallel atau sejajar. Artikel The History of 3D Movie Tech, From the earliest
stereoscopic projectors to the digital IMAX used in Avatar (Jesse Scheeden, IGN Asia Pacific,
23 April 2010)
Di Indonesia, dapat kita temui bagaimana pola konvergensi teknologi berpengaruh dalam
dunia perfilman. Seperti yang telah dijelaskan dalam essay Hamid Naficy, bagaimana film
memiliki andil dalam menyumbang perkembangan konvergensi. Bagaimana sebelumnya film
yang masih beraksen berkembang menjadi film yang sifatnya multipleks. (Staiger & Hake :
2009)
Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana ruang lingkup sekaligus sifat dari industry
film yang ada di Indonesia. tidak beda dengan komoditas perdagangan lainnya yang mencakup
tiga unsure dalam sisitem industry. Film pun juga demikian, memerlukan sebuah sistem yang
mengarah pada tercapainya tujuan ekonomi. Adapun tiga unsure tersebut adalah produksi,
konsumsi, dan distribusi.
Produksi merupakan sebuah proses pembuatan film dalam industry. Jika dibandingkan
dengan masa lalu, perkembangan produksi lebih maju dan lebih kompleks. Jika dahulu sifatnya
masih accented cinema dalam pembuatannya saat ini sudah memasuki multiplex cinema. Dimana
satu film dapat diproduksi dalam beberapa adegan yang bersamaan. Kita ambil contoh di
Amerika pada sekitar tahun 1980, adanya teknologi baru sangat mempengaruhi proses produksi.
Misalnya, film Titanic yang dibuat menggunakan efek yang sedemikian rupa sehingga terlihat
seperti nyata. Namun, disatu sisi teknologi yang canggih memerlukan ongkos produksi yang
lebih banyak. namun implikasinya adalah pihak produsen semakin kreatif dalam memproduksi
sebuah film yang notabene membutuhkan pendanaan yang besar.
Selanjutnya adalah proses pemutaran atau yang dikenal dengan istilah eksebisi. Proses
pemutaran film memerlukan strategi bisnis yang juga harus mumpuni. Saat ini telah berkembang
bayak bioskop di Indonesia maupun di mancanegara. Sebut saja di Amerika Serikat, saat ini
sudah ada bioskop sejumlah 38.000 pada kurang lebih 6000 tempat. Studio merupakan pusat
usaha dari dunia perfilman sekaligus sebagai sebuah faktor untuk mengawasi beberapa
komponen dari sebuah sistem industry yang ada. adapun komponen tersebut adalah : perusahaan
independen, studio besar, serta studio yang sifatnya independen. Perusahaan yang bersifat
independen adalah sebuah perusahaan yang membuat film. Sedangkan studio besar merupakan
sebuah studio yang memperoleh keuntungan dari usaha mereka secara independen. Terakhir,
studio yang bersifat independen yaitu sebuah studio yang membuat film mereka sendiri dengan
biaya yang tentunya tidak besar.
Adanya studio film yang berukuran besar serta jaringannya luas adalah bagian dari sebuah
bentuk konglomerasi. Misalnya Disney yang berada di bawah perusahaan Sony. Adanya akuisisi
membuat industry blockbuster mampu menguasai atau mendominasi pasar. Adanya
konglomerasi ini merupakan implikasi dari adanya proses konvergensi
Untuk menghasilkan sebuah film yang dapat diterima masyarakat tentu saja harus melalui
riset yang panjang. Riset tentu saja diperuntukkan guna menemukan selera apa yang diinginkan
oleh masyarakat, sehingga industry film mampu menciptakan film yang sesuai. Harapannya
dapat menciptakan keuntungan yang besar bagi industry. Selain dalam era konvergensi saat ini,
strategi dalam memproduksi hingga menyebarkan film juga perlu dipertimbangkan.
Adanya pola sekuel dalam pembuatan film yang berkelanjutan juga menjadi salah satu
strategi dalam memnciptakan sebuah produk film yang dapat diterima olelh masyarakat secara
luas. Misalnya adalah film James Bond atau film Harry Potter yang dibuat dalam beberapa
sekuel. Selain itu ada juga pembuatan film yang diulang dari pembuatan film sebelumnya.
Misalnya, Willie Wonka & Chocolate Factor.
Strategi selanjutnya adalah proses waralaba. Waralaba ini banyak diterapkan untuk
memperluas area produksi dalam label yang sama. Misalnya kalau di Indonesia adalah Film Ada
Apa Dengan Cinta. Film tersebut diproduksi secara berkelanjutan. Tujuannya adalah menarik
perhatian masyarakat terhadap film tersebut. Waralaba tersebut bisa juga diproduksi dalam
bentuk media lain seperti; videogame, komik, website. Tidak hanya itu para podusen juga
menciptakan benda-benda atau merchandise.
Adanya proses konvergensi telah mampu merombak ulang bisnis dari film tersebut. Dahulu
sebelum adanyan proses konvergensi, pembuatan film masih bersifat analog. Selain itu
pendistribusian film tersebut juga masih terbatas. Namun kini tidak hanya proses produksi yang
dipermudah namun juga proses ditribusipun dapat dilakukan melalui berbagai media.
F. KESIMPULAN
Konvergensi media pada perspektif sejarah sebaiknya mengkaji dan mendalami
bagaimana sebuah media yang sifatnya masih konvensional memperoleh pengaruh dari adanya
Link Terkait :
Artikel “You see them WITH glasses!”… A Short History of 3D Movies (John Hayes,
Widescreen Movies Magazine, 14 Januari 2011)
Artikel The History of 3D Movie Tech, From the earliest stereoscopic projectors to the digital
IMAX used in Avatar (Jesse Scheeden, IGN Asia Pacific, 23 April 2010)
http://rumahfilm.org