Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH KONVERGENSI PERFILMAN GLOBAL DAN PERSPEKTIF INDONESIA

Penulis : Selfi Ratna Furi

Pembimbing : Irwansyah

Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Indonesia

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014
Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014
Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014
Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014
A. LATAR BELAKANG
Seiring perkembangan zaman, teknologi pun semakin canggih hingga memasuki sebuah
era yang kita kenal dengan era konvergensi ini. Adanya kemajuan dari teknologi komunikasi itu
sendiri memberikan dampak yang sangat pesat bagi kehidupan manusia. Kemajuan tersebut
tentunya selain dari bidang-bidang yang berkaitan dengan media dan jurnalisme. Seringkali
pembahasan mengenai konvergensi media dalam perspektif sejarah tersebut luput dalam
perbincangan. Mungkin, hal tersebut dianggap kurang menarik perhatian karena adanya
perubahan yang sangat cepat dalm dunia industry media tersebut. Adanya konvergensi media,
jika dilihat melalui proses sejarahnya telah mampu menjelaskan sedemikian rupa berbagai
dinamika perubahan menuju era digitalisasi, dimana segala sesuatunya diproses secara digital.
Adanya sejarah dari media tidak hanya sekedar membahas mengenai bagaiaman indsutri
pertelevisian dan perfilman berkembang, namun lebih dari itu. Berbagai jenis media yang juga
termasuk film blockbuster, sampai pada penggunaan media computer dalam aktivitas sehari-hari
tentunya tidak lepas dari adanya proses konvergensi. (Staiger & Hake : 2009)

Jika dilihat secara khusus dalam proses konvergensi, sejarah dari media tersebut pada
dasarnya dihubungkan dengan adanya isu-isu yang lebih besar berkaitan dengan konvergensi
media. Fenomena konvergensi media tersebut membahas mengenai adanya teknologi baru,
adanya penekanan dalam film yang diciptakan dalam berbagai bentuk platform, adanya
perubahan dalam kebudayaan media itu sendiri, serta terjadinya globalisasi media. Adanya
peninjauan konvergensi ditilik dari sudut pandang sejarah memaksa kita untuk mengeksplorasi
secara lebih jauh sejarah media itu sendiri secara relasional atau ditinjau dari hubungan dan
perkembangannya dari masa ke masa. Konvergensi media itu sendiri pada dasarnya
membicarakan mengenai hubungan atau koneksi dari masa ke masa media-media kontemporer
secara kontekstual. Maka dari itu, kita perlu berfikir bahwa adanya media-media seperti
beberapa mefia cetak, media film, radio, ataupun televisi, serta berbagai media baru yang ada
saat ini harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dilihat sebagai fenomena
sejarah yang saling terpisah. (Staiger & Hake : 2009)
Permasalahan yang ada jika kita mengkaji mengenai konvergensi media jika dilihat dari
perspektif sejarah adalah cukup kabur atau bias. Dalam buku ini, penjelasan perspektif jelas
cenderung kurang begitu jelas. Meskipun dari sudut penulis sendiri masih berpendapat bahwa
dalam hal ini, ia belum akan memetakan sejarah dari media itu sendiri.

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Selanjutnya, penulis dalam buku ini cenderung berfokus pada kajian media terutama pada
film. Mereka melupakan aspek dari konvergensi. Kebanyakan penulis dalam buku ini, lebih
berfokus pada kajian-kajian mengenai budaya saja dan beberapa pemikiran kritis di dalamnya.
Namun, hal tersebut pada akhirnya justru berimplikasi pada tidak adanya substansi dari proses
konvergensi media itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi telah memberikan dampak yang begitu besar terhadap masyarakat di seluruh penjuru
dunia. Adanya perubahan tersebut tentu saja dapat dipahami melalui sejarah yang ada. kita
ambil contoh, jika saat ini kita telah mengalami kemudahan dalam pencarian informasi melalui
internet kita tentu kita akan bertanya-tanya bagaimana kondisi saat dulu sebelum teknologi
internet tersebut ditemukan. Tentu saja, hal ini sudah semestinya dipelajari melalui konvergensi
media dalam perspektif sejarah. (Staiger & Hake : 2009)
Adapun adanya berbagai perkembangan dalam teknologi ini juga berpengaruh dalam
dunia komunikasi, seperti pada konten-konten yang ada di dalamnya. Jika kita telusuri saat ini
dunia media massa tidak terpaku pada bidang-bidang tertentu saja seperti dahulu namun sudah
mulai berkembang pada bidang-bidang yang lain. Masing-masing bidang tersebut tentunya
mengandung muatan informasi bagi khalayak luas. Adakalanya, kita tidak menyadari bahwa
adanya perkembangan ini merupakan bagian dari rangkaian sejarah penemuan teknologi
informasi di masa lalu. Sejarah perkembangan teknologi komunikasi demikian kompleks hingga
mencapai titik era konvergensi seperti yang sudah ada sekarang. Kebanyakan masyarakat lebih
sering memberikan perhatian pada adanya konvergensi dalam media-media tertentu, misalnya ;
intenet, televisi, atau radio. hal tersebut tentunya merupakan anggapan yang salah, bahwasannya
konvergensi tidak hanya terjadi pada media-media tersebut. (Staiger & Hake : 2009)

Konvergensi media itu sendiri jika dilihat dari sisi sejarah telah mampu memberikan
banyak perubahan pada dunia industri media. Perubahan tersebut mencakup adanya proses
digitalisasi media. Perkembangan film menjadi bahasan dalam pengkajian konvergemsi media
dalam perspektif sejarah ini. Namun tidak hanya itu, pembahasan mengenai perspektif sejarah
dalam konvergensi juga mencakup berbagai jenis media yang dipergunakan sampai pada
penggunaan computer dalam kehidupan sehari-hari. Kesemuanya tersebut tentu saja tidak dapat
dilepaskan dari konvergensi media. (Staiger & Hake : 2009)

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Sejarah media secara spesifik berhubungan dengan berbagai isu-isu yang sifatnya lebih
besar. Perspektif ini membahas mengenai berbagai teknologi baru dalam media, adanya
penekanan terhadap produksi film dalam berbagai platform, adanya berbagai dinamika
perubahan pada budaya dalam industry media, serta munculnya globalisasi dari media itu sendiri.
konvergensi dalam perspektif sejarah memerlukan pemikiran yang saling berhubungan secara
runut. Konvergensi dalam perspektif sejarah mempelajari bagaimana sebuah media berkembang
dari masa ke masa. Berbagai media yang sekarang tidk seharusnya dipelajari secara terpisah jika
dilihat dari perspektif sejarahnya. (Staiger & Hake : 2009)

Adanya pendekatan konvergensi media baru yang kemudian berimplikasi pada


pendekatan tradisional dari sejarah media itu sendiri, pendekatan alternative pada proses
produksi maupun proses distribusi dalam industry perfilman, sekaligus adanya perubahan dalam
hubungan antara penonton (audience) yang berperan sebagai produsen hingga konsumen dalam
globalisasi media. Berbagai perspektif tersebut mengubah berbagai sejarah media itu sendiri.
pada perspektif sejarah yang dijelaskan dalam berbagai tulisan pada buku ini, tidak berusaha
untuk memetakan bagaimana sejarah dari perkembangan media dari masa ke masa. Namun, lebih
ditekankan pada eksplorasi mengenai bagaimana media yang sifatnya masih konvensional
bertemu atau bersinggungan dengan proses konvergensi media. Seperti penjelasan mengenai
bagaimana film Hollywood memanfaatkan teknologi digital serta proses komputerisasi dalam
pembuatan film mereka, sehingga mereka dapat memproduksi film dalam kemasan atau bentuk
yang baru.

Jadi dari contoh tersebut jelas terlihat bahwa sebenarnya film juga memiliki peran yang
cukup penting dalam rangka pembahasan mengenai sejarah dari media. Perkembangan sejarah
media dalam film tentu saja lebih bersifat spesifik. Pembahasan sejarah sesungguhnya lebih luas
lagi serta seharusnya mencakup berbagai aspek.

Jika akan mengkaji konvergensi media dilihat dari perspektif sejarah maka dalam
bukunya, Janet & Hake (2009) yang berjudul “Convergence Media History” menjelaskan adanya
beberapa metode, subjek, serta berbagai pendekatan baru di dalam konvergensi. Tulisan tersebut

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


berdasarkan pada beberapa tulisan yang dibuat oleh beberapa orang atau ahli yang memiliki
perhatian lebih terhadap proses konvergensi media.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konvergensi media dari
perspektif sejarah tersebut dapat mempengaruhi industry perfilman dunia hingga Indonesia.
sejauh mana perkembangan film di Indonesia dari masa ke masa terutama saat mendapatkan
pengaruh perkembangan teknologi dari luar. Apakah secara signifikan perfilman di Indonesia
tersebut berkembang seiring dengan munculnya pola konvergensi dalam proses produksi,
distribusi, hingga eksibisi.
C. KAJIAN LITERATUR
Dalam mempelajari sejarah ada tiga pembabakan guna mempermudah untuk
mempelajarinya. Adapun pembabakan tersebut terbagi dalam : metode baru, subjek baru, dan
pendekatan baru.
Pertama adalah metode baru, terdapat lima studi kasus yang menjelaskan model-
model baru untuk dilakukan dalam mengkaji sejarah media termasuk film di dalamnya. Metode
yang pertama dijelaskan oleh Hamid Naficy. Dalam konsepnya, ia menjelaskan bagaimana
proses sebuah film berkembang hingga ia tumbuh secara vertical maupun tumbuh secara
horizontal. Film iru sendiri merupakan sebuah media yang berkembang secara cepat dan
mendalam. Mc Luhan (1964,23) menjelaskan bahwa media lama tetap akan bertahan yang
kemudian akan menjadi isi dari media baru itu sendiri. artinya bahwa media itu tidak akan
pernah mati oleh adanya kemunculan dari media yang lain. Media lama tersebut akan tetap
bertahan, karena ia akan menjadi bagian dari media baru.
Dalam hal ini, Naficy bahwa ada konsep yang dikenal dengan sebutan multiplisitas
dalam film. Multiplisitas ini diakibatkan oleh adanya penyebaran manusia di seluruh dunia yang
kemudian dicerminkan dalam berbagai dialog dalam berbagai bahasa dalam film dengan
karakter yang tentunya bersifat multicultural. Adapun contoh dari film multipleks adalah film
yang berjudul “ Babel “. Film ini dibuat dalam tiga bahasa yaitu Prancis, Meksiko, serta
Amerika Serikat serta diproduksi dan disebarkan dalam format DVD, TV, serta dalam format
teatrikal. (Staiger & Hake : 2009)
Multiplisitas dalam bentuk lain misalnya dapat kita pahami melalui internet. Adanya
kelahiran internet memunculkan sebuah budaya yang dikenal dengan ‘do it yourself’ ini
memberikan peluang kepada setiap orang untuk menjadi pengisi konten selain sebagai
pengguna. Lalu, implikasinya adalah adanya konsep “copyleft”. Copy left merupakan sebuah

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


konsep yang mempersilahkan masyarakat untuk memakai konten yang telah dibuat sebelumnya
sejauh konten tersebut tidak dipakai untuk tujuan ekonomi atau tujuan komersil. (Staiger &
Hake : 2009)
Selanjutnya, metode yang berdasarkan pada sebuah tulisan yang diberi judul Marvel,
X-Men, & the Negotiated Process of Expansion. Tulisan ini dibuat oleh Derek Johnson. Ia
memakai praktik dalam mempergunakan media untuk mendukung proses dalam dunia industry.
Dunia industry tersebut mencakup proses antar industry serta proses intra industry. Adapun
contohnya yang dianggap berhasil menerapkan konsep konvergensi media adalah Marvel dan
X-Men. Marvel Publishing Inc. merupakan sebuah nama perusahaan yang berasal dari Amerika
Serikat. Perusahaan ini bergerak pada bidang produksi buku-buku komik serta media yang
berkaitan dengannya. X-Men tersebut telah diproduksi dalam berbagai bentuk media. Misalnya
dalam bentuk televisi, komik, video game, dan sebagainya. X-Men berhasil memperluas
jaringannya dalam bisnis waralabanya. (Staiger & Hake : 2009)
Metode berikutnya adalah didasarkan pada sebuah pemikiran dari Bourdieu. Ia
mempertemukan pemikiran secara ideology dengan industry. Hal tersebut mengacu dengan apa
yang telah dikemukakan oleh Chris Cagle. Media itu sendiri bukan saja sebuah lembaga
ataupun sekedar lingkungan ekonomi, akan tetapi juga ada interaksi dengan adanya lingkungan
sosial-masyarakat. Pemikiran dari Bourdieu berisikan konsep habitus yang menempatkan
internalisasi, yaitu sebuah penyamaan dari keadaan objektif serta pengalaman yang sifatnya
subjektif. Ia menganggap bahwa selama ini masalah yang dihadirkan dalam film tersebut
diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan untuk mempertimbangkan adanya sebab dan akibat
dalam kehidupan sosial yang sesungguhnya. Maka dari itu ia berpendapat bahwa diperlukan
adanyasebuah kemampuan untuk membedakan segala kondisi secara objektif dibandingkan
dengan sebatas membandingkan secara subjektif saja. (Staiger & Hake : 2009)
Selanjutnya adalah metode terakhir yang dikenalkan oleh Marsha Cassidy. Ia
menjelaskan sebuah kategori synaesthesia serta memori yang dipergunakan untuk mempelajari
berbagai sejarah perkembangan media yang mempertimbangkan adanya daya tarik jasmani
dalam menentukan bagaimana sejarah media berlangsung. Dalam televisi sendiri dalam
tayangan televisi sendiri, masyarakat diperlihatkan dengan beragam iklan. Melalui tulisan ini,
Cassidy berusaha untuk menunjukkan perkembangan sejarah yang dapat dievaluasi terlepas dari
pertimbangan aspek audio dan aspek visual. Adanya teori synaesthesia serta memori yang
diungkapkan oleh Laura Marks menjelaskan bahwa semua indra manusia memungkinkan untuk,

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


sekaligus memerlukan adanya mediasi dalam memori serta dia dapat menujukkan bahwa jika
manusia melihat sebuah gambar menggunakan mata maka hal ini dapat mengaktifkan sirkuit
secara penuh dalam memori akal yang meliputi taktik, kinestetik atau gerak, serta fungsi dari
proprioseptif. Adanya penayangan iklan dalam televisi secara berulang dapat berpotensi untuk
memberikan pengaruh secara signifikan dalam pencitraan visual. (Staiger & Hake : 2009)
Pembabakan selanjutnya adalah Subjek Baru. Adanya subjek baru ini berguna untuk
memindahkan topic ke dalam sejarah media serta film yang selama ini belum sepenuhnya
mendapatkan perhatian dari para pengamat serta masyarakat. Dalam kaitannya dengan kajian
tersebut, Kathryn Fuller-Seeley mencoba untuk mengkaji relasi antara bioskop lama dan
modernitas province yang kemudian memunculkan adanya pandangan baru tentang adanya
urbanisme dan model bioskop yang dominan. Seperti yang kita tahu, pada masa lampau orang-
orang dengan kulit putih digambarkan menjadi tokoh yang protagonist dalam film, sedangkan
tokoh yang berkulit hitam digambarkan dalam tokoh yang bersifat antagonis. orang-orang yang
berkulit hitam lebih digambarkan sebagai tokoh yang suka melakukan tipu daya terhadapa pihak
lain. (Staiger & Hake : 2009)
Tentu hal ini berbeda dengan kenyataan yang saat itu sedang terjadi. Jika kita telusuri
bersama orang-orang non kulit putih waktu itu tidak saja termarjinalkan dalam sejarahnya saja
namun juga termarjinalkan dalam banyak bidang kehidupan yang lain. Misalnya saja dalam
ketersediaan sarana penunjang kehidupan, tempat tinggal, hingga masalah transportasi. Namun
kemudian seiring perkembangan zaman dimana segala sesuatunya telah banyak berubah, kaum
yang termarginalkan tersebut semakin mampu mengangkat dirinya setara dengan yang lain
hingga sekarang. (Staiger & Hake : 2009)
Selanjutnya penelitian yang sama dalam bidang film juga melakukan kajian pada
dunia perfilman yang ada di Meksiko. Dalam tulisannya, ia menjelaskan mengenai fenomena
hegemoni film internasional memberikan dampak atau pengaruh yang sedemikian rupa terhadap
industry perfilman di Meksiko itu sendiri. Pada masanya, film Hollywood berhasil menjadi film
nomer satu di Meksiko. (Staiger & Hake : 2009)
Lalu, kajian selanjutnya dilakukan oleh Kyle Barnett. Kyle Barnett mengkaji dan
menganalisis beberapa profesi tertentu seperti jurnalis, konsumen, dan musisi pada masa
industry rekaman masa lalu. Kajian mengenai sejarah industry media itu sendiri biasanya lebih
menekankan mengenai perfilman. Selain perfilman juga difokuskan pada radio dan televisi.
Namun, dunia rekaman mungkin hanya sebagian kecil orang yang mengkajinya. Kemudian,

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


kajian tersebut disempurnakan oleh Anderson. Ia berupaya untuk menyatukan berbagai aspek
praktis yang sifatnya komersil, aspek estetis dari konsumen, serta adanya teknologi dari industry
budaya dengan anggapan bahwa industry budaya merupakan sebuah industry yang sifatnya
dinamis. (Staiger & Hake : 2009)
Lalu peneliti selanjutnya adalah Richard Butsch. Ia merupakan seorang tokoh yang
meneliti adanya konstruksi sosial. Kajian tersebut dilakukan melalui undang-undang federal
serta berbagai peraturan penyiaran yang ada pada tahun 1920 hingga 1940. Ia beranggapan
bahwa kajiannya tersebut dapat digunakan untuk menciptakan adanya ruang yang sifatnya
public lebih bersifat deliberative serta membuat adanya masyarakat yang tanggap informasi.
(Staiger & Hake : 2009)
Berbagai peraturan serta wacananya pada waktu itu menjadikan radio menjadi sebuah
media yang menjadi kepercayaan masyarakat serta radio sendiri menjadi media informasi. Sifat
dari radio sendiri sebagai ruang bagi public lebih tertanam dalam masyarakat daripada media-
media yang lain pada abad dua puluh. Adanya film lebih jarang dipahami oleh masyarakat.
Begitu juga dengan televisi, dimana televisi tersebut mendapat sambutan yang kurang baik pada
awalnya di kalangan masyarakat. (Staiger & Hake : 2009)
Pembabakan terakhir adalah pendekatan baru. Beberapa pendekatan baru telah dikaji
oleh beberapa penulis dan pengamat. Salah satunya adalah Sue Collins. Ia menciptakan
perspektif baru mengenai dunia perfilman. Adanya perspektif baru tersebut digunakan untuk
mempelajari berbagai karakter dari seorang actor film. Dalam memahami karakter tersebut ia
menekankan adanya spek liveness dalam rangka menciptakan karakter seorang bintang serta
otoritas dari seorang selebriti. Pada zaman dahuku, pemerintah seringkali melibatkan selebriti
dengan otoritas yang dimilikinya dalam rangka menunjang adanya propaganda tertentu,
misalnya untuk menggerakkan masyarakat dalam rangka sebuah perang. Pada masa itu,
masyarakat akan datang secara langsung karena tertarik untuk dapat menyaksikan bintang film
yang ada tersebut. Adanya selebriti yang langsung tampil tersebut tentu saja “dipergunakan”
agar dapat menarik simpati serta mengubah persepsi masyarakat tentang perang dan kaitannya
dengan nasionalisme. Adanya keberhasilan dari pemerintah melalui kampanye yang dilakukan
dengan mendatangkan selebriti tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk menunjang
tujuan dari kebijakan-kebijakannya. (Staiger & Hake : 2009)
Selanjutnya, Ken Feil dalam tulisannya mengkaji kelompok marginal dalam
kaitannya dengan budaya mainstream. Adapun kelompok marginal yang menjadi focus

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


kajiannya tersebut adalah kelompok orang yang dianggap orang lain kebanyakan memiliki
perbedaan. Perbedaan tersebut memperoleh label gay, atau memiliki selera yang buruk lainnya.
Pada umumnya, orang-orang yang demikian ini ruang lingkup atau ruang gerak hidupnya
cenderung terbatas karena dibatasi. (Staiger & Hake : 2009)
Sampai pada tulisan dari Leopard. Ia mengkaji dan membuat tulisan mengenai mitos
tentang praktek seni yang sifatnya otonom serta konsep binary dalam film Stan Brakhage &
Andy Warhol. Ia mencoba untuk mengkaji dan menelusuri diskursif serta adanya kelembagaan
permutasi dari film tersebut. Adanya pemisahan karya seni dan praktis secara relative dapat
mengubah ide masyarakat itu sendiri bahwa karya seni merupakan sesuatu yang sifatnya
independen dalam masyarakat. (Staiger & Hake : 2009)
Selanjutnya, Alisa Peren dalam tulisannya mencoba untuki meneliti kembali
mengenai kompleksitas dari sejarah televisi. Ia berfokus pada film popular mingguan, lalui ia
mengkaji relasi dari film tersebut dengan budaya yang bersifat spesifik dan budaya yang bersifat
jaringan. (Staiger & Hake : 2009)
Pada tahun 1991, seorang penulis yang bernama Gary Edgerton menulis tentang
adanya pendapat mengenai perkembangan televisi dan film. Studi ini berfokus pada fasilitas
dalam rangka memberikan penilaian bagaimana televisi serta kelembagaan yang ada memiliki
peran dalam rangka adanya perubahan dari masa jaringan yang masih bersifat tradisional
menuju pada jaringan yang sifatnya sudah digital. Analisis ini juga membuktikan sejauh mana
MFTs menjadi warna atau genre telah memiliki hubungan yang cukup spesifik dengan
perubahan budaya. Saat ini saja MFTs sudah diproduksi secara terspesifikasi berdasarkan pada
kelompok-kelompok tertentu. Misalnya berdasarkan lokasi geografis, usia, gender, dan
sebagainya. (Staiger & Hake : 2009)

D. METODE PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam makalah ini ialah metode deskriptif dan studi
kepustakaan. Metode deskriptif ialah suatu metode yang berusaha untuk menjelaskan sesuatu,
memaparkan fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode deskriptif bertujuan untuk menelaskan,
mendeskripsikan, tentang sesuatu. Sedangkan studi kepustakaan adalah suatu metode pengambilan
data menggunakan berbagai referensi kepustakaan dari berbagai sumber.

E. ANALISIS & PEMBAHASAN

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


• Gambaran Sejarah Perfilman Dunia dan Indonesia Secara Umum

Terlebih dahulu akan kita bahas sejarah perfilman secara umum sebelum membahas sisi
konvergensinya dari perkembangan film tersebut. Jika dilihat dari pembahasan sejarah
konvergensi, sejarah perkembangan film tidak dapat dipisahkan dalam menunjang pembahasan
sejarah. Dalam hal konvergensi, film menjadi salah satu titik balik dari munculnya konvergensi.
Sebelum membahas lebih jauh, berikut akan terlebih dahulu mengenai kondisi perfilman di luar
dan di Indonesia secara umum dari masa ke masa.

Film menjadi satu dari sekian banyak media komunikasi yang dipergunakan oleh manusia
dalam rangka mengekspresikan ide-ide mereka. Makna secara bahasa dari film tersebut adalah
sebuah gambar hidup. Secara kolektif, film tersebut dapat disebut sebagai sinema.

Adapun perkembangan film sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Film tersebut pertama
kali diluncurkan untuk masyarakat luas adalah di Grand Café Bolulevard, tepatnya di kota Paris.
Peluncuran tersebut dilaksanakan pada tanggal 28 Desember tahun 1895. Pada saat inilah,
momen yang menjadi titik tolak perkembangan bioskop di dunia pada masa yang akan datang.

Bioskop sebagai tempat distribusi film lahir secara bersamaan. Walaupun usaha untuk
menciptakan adanya gambar yang bergerak atau film ini sudah jauh terpikirkan oleh manusia
sebelum tahun 1985. Namun, meskipun begitu, film yang berhasil dikeluarkan di kota Paris
tersebut disebut-sebut sebagai film yang menjadi film pertama yang berhasil diciptakan oleh
manusia.

Film ini tentunya masih dibuat secara sederhana, dengan teknologi yang serba sederhana.
Adapun orang yang menjadi pelopor dari embuatan film ini adalah Lumiere Louis dan Auguste.
Mereka adalah dua bersaudara. Setelah dimunculkannya film ini maka mulailah muncul bioskop-
bioskop di berbagai negara lain. Seperti di Inggris, Korea, dan di Jepang, serta di negara yang
lainnya.

Adapun di Indonesia, pada tahun 1900 sudah mulai diperkenalkan film yang pertama kali
dengan konsep yang masih sangat sederhana. Film yang diperkenalkan masih sebatas film
documenter tanpa suara yang diberi judul Gambar Idoep. Pertunjukkan film tersebut

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


dilaksanakan di Tanah Abang. Ceritanya mengenai sebuah perjalanan dari seorang Ratu dan Raja
dari Belanda.

Selanjutnya, film Impor yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia adalah film yang
didatangkan dari Amerika. Tepatnya pada tahun 1905. Film Impor tersebut diterjemahkan ke
bahasa Melayu. Film inilah yang kemudian mendorong munculnya berbagai bioskop di
Indonesia.

Adapun film yang sifatnya mengandung cerita muncul pertama kali pada tahun 1926. Tentu
saja masih menggunakan teknologi yang sedrhana. Namun, materi filmnya sudah mulai
menceritakan sebuah peristiwa atau kisah. Jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi
di negara-negara yang lain, perkembangan film di Indonesia masih lambat. Pada saat yang
bersamaan tersebut, di belahan dunia yang lain sudah mulai memproduksi film-film yang
bersuara.

Adanya perubahan dalam dunia industry perfilman, tentu nampak pada teknologi apa yang
digunakan. Pada awalnya, film masih berkutat pada film yang berwarna hitam dan putih.
Filmnya masih bersifat bisu, serta cepat. Lalu, seiring berkalannya waktu dan semakin banyak
ditemukan teknologi baru yang sesuai dengan kebutuhan manusia maka film pun mulai
berkembang. Gambar mulai disesuaikan dengan sistem mata manusia bekerja. Mulai berwarna,
serta diberikan efek-efek yang dapat menciptakan kondisi seperti nyata pada film.

Bentuk distribusi dari film mulai menyebar ke banyak media. Misalnya melalui televisi
hingga bioskop. Selain itu juga mulai didistribusikan melalui VCD serta DVD. Film sudah mulai
dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dengan kualitas yang hampir sama. Kualitas gambar
hingga kualitas dari suaranya. Lalu, mulai berkembang teknologi intern et dan website yang
kemudian semakin menunjang produksi sekaligus distribusi dari film.

Selanjutnya,perfilman di Indonesia tentunya memiliki berbagai lika-liku sejarah yang


panjang sekaligus mampu menjadi raja dalam negeri sendiri. kejayaan tersebut terjadi pada tahun
1980-an, pada waktu itu film Indonesia dapat kita temui di berbagai bioskop di banyak tempat.
Adapun film yang cukup terkenal waktu itu, diantaranya Catatan Si Boy serta banyak film
lainnya.

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Pada waktu sebuah ajang penghargaan yang dikenal dengan sebutan festival film Indonesia
sering diadakan setiap tahunnya guna menganugrahkan berbagai penghargaan kepada para
pekerja film. Namun, pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1990-an dunia
perfilman Indonesia mulai mengalami penurunan. Pada masa ini perfilman Indonesia diwarnai
dengan berbagai tema dewasa dalam materi filmnya. Inilah yang kemudian tidak menjadikan
Indonesia sebagai tuan dalam negeri sendiri seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Mulailah
masuk film-film Hollywood serta film-film Hongkong sekaligus mulai menguasai pasar
perfilman Indonesia.

Perkembangan yang didominasi oleh film-film Hollywood dan Hongkong tersebut mulai
berkurang setelah kemunculan dari film, yang cukup terkenal yaitu Petualangan Sherina. Sebuah
film yang diproduksi oleh Riri Riza beserta Mira Lesmana. Film ini menjadi titik balik kemajuan
film Indonesia setelah sekian lama mengalami penurunan. Setelah film tersebut berhasil
dikeluarkan di pasar, film-film lain ikut bermunculan. Meskipun segmentasi pasarnya berbeda-
beda. Sebut saja film yang bejudul Jaelangkung yang menjadi titik dimana film horror di
Indonesia mulai diproduksi.

Berbagai perkembangan film komersl dan non komersil mulai mewarnai dunia perfilman
pada masa itu. Trend film komersil yang diproduksi waktu itu diikuti juga dengan
berkembangnya film-film yang sifatnya komersil. Kalau film komersil misalnya, film “Ada Apa
Dengan Cinta”, jika film non komersil kita ambil contoh “Pasir Berbisik”. Sutradara yang cukup
terkenl dengan karyanya yang tidak semata ditujukan untuk tujuan komersil adalah Garin
Nugroho.

Jika bicara dunia perfilman pada masa sekarang, dunia perfilman di Indonesia sendiri tidak
banyak tertinggal dan telah mengalami kemajuan yang cukup pesat terutama dari sisi produksi,
distribusi, dan konsumsi. Meskipun jika kita lihat teknologi yang digunakan maupun warna
materi film belum beragam seperti Hollywood tapi mungkin suatu saat perfilman Indonesia dapat
menyamai kemajuan film-film Amerika.

Jika kita lihat saat ini teknologi yang digunakan untuk membuat film sudah cukup
berkembang secara pesat sampai di Indonesia. saat ini, tidak hanya penggunaan teknologi dua
dimensi (2D) namun sudah mulai berkembang teknologi tiga dimensi (3D) dalam pembuatan

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


film. Terutama penggunaan teknologi tersebut dilakukan oleh perusahaan besar dunia yang
merilis film cukup terkenal, seperti Stars Wars hingga film Avatar. Artikel “You see them WITH
glasses!”… A Short History of 3D Movies (John Hayes, Widescreen Movies Magazine, 14
Januari 2011)

Adanya perkembangan teknologi yang sifatnya tiga dimensi tidak dapat dilepaskan dari
adanya perkembangan dari computer animasi. Animasi tersebut merupakan sebuah seni yang
digunakan untuk membuat gambar yang dapat bergerak seperti nyata. Ini tentu membutuhkan
sebuah teknologi yang cukup mumpuni. Aplikasi yang dapat dipergunakan misalnya adalah CGI
(Computer Generated Imagery). Artikel “You see them WITH glasses!”… A Short History of 3D
Movies (John Hayes, Widescreen Movies Magazine, 14 Januari 2011)

Berikut adalah beberapa software pendukungnya :

1. Adobe After Effects 7.0

Fungsi dari softwate ini adalh untuk menciptakan efek pada gambar.

2. Adobe Photoshop 9.0

Dipergunakan untuk menghasilkan gambar yang terang dan jelas.

3. 3D Studio Max 7.0

Software ini berfungsi untuk menyatukan graphic vector dan raster image. Tujuannya
adalah untuk menghasilkan efek virtual reality atau dapat mendekati kenyataan yang
sesungguhnya.

4. Adobe Premiere Pro 2.0

software ini merupakan seri yang terbaru dari aplikasi Adobe Premiere. Software ini
merupakan sebuah software yang sering dipergunakan dalam melakukan editing. Selain untuk
editing, software ini juga dipergunakan sebagai perangkat pembuat animasi digital.

Adanya teknologi tiga dimensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Kehadirannya sudah
ada bersamaan dengan munculnya fotografi yang pertama. Di tahun 1856, ada seseorang yang
bernama JC d’Almeida yang memberikan sebuah demonstrasi di sebuah perguruan tinggi di

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Prancis mengenai gambar-gambar stereoscopic. Stereoscopic adalah sebuah gambar yang sama
namun perspektifnya sedikit berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun jarak dari kedua
gambar tersebut adalah sebanyak dua setengah inci. Proyeksinya dengan cara bergantian yang
durasinya cukup cepat melalui slide yang ada. Artikel Art of Digital 3D Stereoscopic Film (Mike
Seymour, fxguide, 25 Maret 2008)

Pada sekitar tahun 1890, seseorang yang bernama Ducos du Hauron mematenkan beberapa
temuannya yang berupa sistem anglyph. Anaglyph adalah lembaran film positif yang berisi dua.
Ketika lembaran tersebut diproyeksikan maka para penonton dapat menyaksikan efek yang
sifatnya tiga dimensi. Namun, untuk dapat melihatnya harus memakai kacamata analglyph, yaitu
kacamata yang menggunakan lensa merah dan lensa biru pada dua sisinya. Sementara pada tahun
1897, C. Grivolas melakukan adaptasi terhadap anaglyph yang digunakan untuk membuat film
yang dapat bergerak. Namun, penggunaan tiga dimensi ini baru berhasil diaplikasikan pada tahun
1922 dalam film yang berjudul The Power Of Love. Film ini tidak hanya menggunakan
anaglyph, namun juga menggunakan dual film strip projection. Bahwasannya, akan
membutuhkan dua film yang akan diputar dengan bersamaan menggunakan dua buah proyektor
film yang sifatnya parallel atau sejajar. Artikel The History of 3D Movie Tech, From the earliest
stereoscopic projectors to the digital IMAX used in Avatar (Jesse Scheeden, IGN Asia Pacific,
23 April 2010)

• Perkembangan Film Indonesia dan Dunia Sebagai Bentuk Impikasi Konvergensi

Di Indonesia, dapat kita temui bagaimana pola konvergensi teknologi berpengaruh dalam
dunia perfilman. Seperti yang telah dijelaskan dalam essay Hamid Naficy, bagaimana film
memiliki andil dalam menyumbang perkembangan konvergensi. Bagaimana sebelumnya film
yang masih beraksen berkembang menjadi film yang sifatnya multipleks. (Staiger & Hake :
2009)

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Film pertama yang diproduksi di Indonesia ialah film yang berjudul Loetoeng Kasaroeng.
Kisah ini berkisah tentang sebuah perjalanan Sanghyang Guruminda yang berasal dari
Kahyangan. Waktu itu, ia diturunkan ke bumi melalui wujudnya berupa wujud seekor lutung
yang buruk rupa. Dalam perjalanannya di bumi, ia bertemu dengan seorang putri yang bernama
putri Purbasari Ayuwangi. film ini disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp. Mereka
berkebangsaan Belanda. Film Loetoeng Kasaroeng ini merupakan film yang merupakan film
bisu. Pada waktu film ini dibuat, negara Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda.
Namun actor dan pendukung film ini berasal dari Indonesia sendiri atau menggunakan orang-
orang lokal. Perusahaan yang membuat Film ini adalah Jawa NV yang bermarkas di Bandung.
Film ini dimunculkan pertama pada tahun 1926, tepatnya pada tangga 31 Desember di teater
Elite & Majestic. http://rumahfilm.org (diakses pada tanggal 19 Desember 2012)

Seiring perkembangan masa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya teknologi


perfilman di Indonesia mulai berkembang. Teknologi yang sebelumnya berkembang dan
digunakan hanya di negara-negara maju seperti industry perfilman Hollywood kini sudah mulai
berkembang di Indonesia. beberapa film yang diproduksi menggunakan teknologi tiga dimensi
adalah Petualangan Singa dan Jenderal Kancil.

Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana ruang lingkup sekaligus sifat dari industry
film yang ada di Indonesia. tidak beda dengan komoditas perdagangan lainnya yang mencakup
tiga unsure dalam sisitem industry. Film pun juga demikian, memerlukan sebuah sistem yang
mengarah pada tercapainya tujuan ekonomi. Adapun tiga unsure tersebut adalah produksi,
konsumsi, dan distribusi.

Produksi merupakan sebuah proses pembuatan film dalam industry. Jika dibandingkan
dengan masa lalu, perkembangan produksi lebih maju dan lebih kompleks. Jika dahulu sifatnya
masih accented cinema dalam pembuatannya saat ini sudah memasuki multiplex cinema. Dimana
satu film dapat diproduksi dalam beberapa adegan yang bersamaan. Kita ambil contoh di
Amerika pada sekitar tahun 1980, adanya teknologi baru sangat mempengaruhi proses produksi.
Misalnya, film Titanic yang dibuat menggunakan efek yang sedemikian rupa sehingga terlihat
seperti nyata. Namun, disatu sisi teknologi yang canggih memerlukan ongkos produksi yang
lebih banyak. namun implikasinya adalah pihak produsen semakin kreatif dalam memproduksi
sebuah film yang notabene membutuhkan pendanaan yang besar.

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Selanjutnya, setelah melewati tentu saja langkah selanjutnya adalah proses distribusi.
Dimana, proses distribusi inilah yang akan membawa sebuah produk menuju konsumennya. Saat
ini setelah kita melewati sebuah masa yang dikenal dengan masa konvergensi, proses distribusi
lebih mudah untuk dilaksanakan. Film yang diproduksi selain didistribusikan ke dalam bioskop
juga dapat didistribusikan melalui televisi, website, jaringan tv kabel, hingga melalui satelit
untuk kemudian sampai pada para pembuat kaset. Ruang lingkup dari bisnis distribusi ini
dipegang oleh mereka para pemilik perusahaan besar dalam bidang distribusi, seperti studio film.
Jikalau di Indonesia kita bisa ambil contoh studio 21. Tidak hanya itu perusahaan yang
mengambil alih distribusi juga ada yang mengatur promosi hingga peluncuran filmnya. Untuk
dapat mempromosikan sebuah film tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Misalnya,
biaya produksi dari film spiderman mencapai $350, adapun biaya promosi dan distribusinya
yang ditanggung oleh Sony Studio mencapai $500 juta. Adanya eknologi yang menunjang proses
konvergensi rupanya sangat mempermudah proses distribusi serta promosi melalui berbagai
media.

Selanjutnya adalah proses pemutaran atau yang dikenal dengan istilah eksebisi. Proses
pemutaran film memerlukan strategi bisnis yang juga harus mumpuni. Saat ini telah berkembang
bayak bioskop di Indonesia maupun di mancanegara. Sebut saja di Amerika Serikat, saat ini
sudah ada bioskop sejumlah 38.000 pada kurang lebih 6000 tempat. Studio merupakan pusat
usaha dari dunia perfilman sekaligus sebagai sebuah faktor untuk mengawasi beberapa
komponen dari sebuah sistem industry yang ada. adapun komponen tersebut adalah : perusahaan
independen, studio besar, serta studio yang sifatnya independen. Perusahaan yang bersifat
independen adalah sebuah perusahaan yang membuat film. Sedangkan studio besar merupakan
sebuah studio yang memperoleh keuntungan dari usaha mereka secara independen. Terakhir,
studio yang bersifat independen yaitu sebuah studio yang membuat film mereka sendiri dengan
biaya yang tentunya tidak besar.

• Konvergensi Dalam Pembuatan Film Dari Masa ke Masa

Adanya studio film yang berukuran besar serta jaringannya luas adalah bagian dari sebuah
bentuk konglomerasi. Misalnya Disney yang berada di bawah perusahaan Sony. Adanya akuisisi
membuat industry blockbuster mampu menguasai atau mendominasi pasar. Adanya
konglomerasi ini merupakan implikasi dari adanya proses konvergensi

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Selanjutnya adalah mengenai konsep film. Konsep film yang mengacu pada multiplisitas,
dapat membuat film tersebut mampu diterima oleh masyarakat secara internasional. Materi film
didasarkan pada kenaekaragaman bahasa serta letak pengambilan peristiwa. Misalnya adalah
film Ketika Cinta Bertasbih. Selain itu film yang diambil dalam beberapa tempat adalah film
Babel yang cukup terkenal.

Untuk menghasilkan sebuah film yang dapat diterima masyarakat tentu saja harus melalui
riset yang panjang. Riset tentu saja diperuntukkan guna menemukan selera apa yang diinginkan
oleh masyarakat, sehingga industry film mampu menciptakan film yang sesuai. Harapannya
dapat menciptakan keuntungan yang besar bagi industry. Selain dalam era konvergensi saat ini,
strategi dalam memproduksi hingga menyebarkan film juga perlu dipertimbangkan.

Adanya pola sekuel dalam pembuatan film yang berkelanjutan juga menjadi salah satu
strategi dalam memnciptakan sebuah produk film yang dapat diterima olelh masyarakat secara
luas. Misalnya adalah film James Bond atau film Harry Potter yang dibuat dalam beberapa
sekuel. Selain itu ada juga pembuatan film yang diulang dari pembuatan film sebelumnya.
Misalnya, Willie Wonka & Chocolate Factor.

Strategi selanjutnya adalah proses waralaba. Waralaba ini banyak diterapkan untuk
memperluas area produksi dalam label yang sama. Misalnya kalau di Indonesia adalah Film Ada
Apa Dengan Cinta. Film tersebut diproduksi secara berkelanjutan. Tujuannya adalah menarik
perhatian masyarakat terhadap film tersebut. Waralaba tersebut bisa juga diproduksi dalam
bentuk media lain seperti; videogame, komik, website. Tidak hanya itu para podusen juga
menciptakan benda-benda atau merchandise.

Adanya proses konvergensi telah mampu merombak ulang bisnis dari film tersebut. Dahulu
sebelum adanyan proses konvergensi, pembuatan film masih bersifat analog. Selain itu
pendistribusian film tersebut juga masih terbatas. Namun kini tidak hanya proses produksi yang
dipermudah namun juga proses ditribusipun dapat dilakukan melalui berbagai media.

F. KESIMPULAN
Konvergensi media pada perspektif sejarah sebaiknya mengkaji dan mendalami
bagaimana sebuah media yang sifatnya masih konvensional memperoleh pengaruh dari adanya

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


proses konvergensi. Seperti misalnya, jika kita melihat bagaimana gadget Ipad berkembang
maka masyarakat sekarang dapat membaca buku atau media massa lainnya yang sebelumnya
dibaca dalam bentuk buku saat ini sudah dapat dibaca secara digital. Bahkan yang lebih
menakjubkan lagi adalah adanya teknologi yang memungkinkan adanya streaming dari siaran
televisi ataupun radio melalui peralatan tersebut. Harapannya, tulisan mengenai konvergensi
media dilihat dari perspektif konvergensi berisikan penjelasan secara konsep yang relevan yaitu
konvergensi media, tidak saja adanya penjelasan mengenai perkembangan film dan sejarah yang
mengikutinya secara global.
Era Konvergensi memberikan dampak baru bagi dunia industry perfilman. Jika
kita melihat masa lalu, teknologi yang digunakan masih cukup konvensional. Namun seiring
berjalannya waktu, teknologi yang digunakan semakin berkembang serta lebih efisien. Inilah
yang kemudian membuat berbagai industry semakin gencar melakukan terobosan baru dalam
rangka mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi tertinggi.
Apa yang ada saat ini merupakan hasil revolusi dari masa ke masa. Hasil dari berbagai
penemuan manusia terhadap teknologi. Dimulai dari yang paling sederhana hingga teknologi
yang paling kompleks. Adanya berbagai penemuan tersebut tentunya semakin mempermudah
manusia untuk meningkatkan kualitas.
G. SARAN
Adanya proses konvergensi yang semakin berkembang tersebut berpengaruh juga di
Indonesia. Saat ini Indonesia telah memiliki beragam teknologi dalam rangka memproduksi film.
Banyak perusahaan besar yang melakukan konvergensi produksi, distribusi, hingga eksibisi
untuk mencapai efisiensi. Hal tersebut hendaknya diikuti dengan Sumber Daya yang yang
mendukung sehingga penggunaannya semakin maksimal.
kata kunci : konvergensi, sejarah, perfilman, perspektif

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


REFERENSI
Staiger, J. & Hake, S. (2009). Convergence Media History, NY: Routledge.

Link Terkait :
Artikel “You see them WITH glasses!”… A Short History of 3D Movies (John Hayes,
Widescreen Movies Magazine, 14 Januari 2011)

Artikel The History of 3D Movie Tech, From the earliest stereoscopic projectors to the digital
IMAX used in Avatar (Jesse Scheeden, IGN Asia Pacific, 23 April 2010)

http://rumahfilm.org

Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014


Sejarah konvergensi ..., Selfi Ratna Furi, FISIP UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai