world) seolah tanpa batas; atau meminjam istilahnya McLuhan sebagai global
village (Fakih, 2006; McLuhan, 1994).
Salah satu pemaknaan terhadap globalisasi dikatakan bahwa globalisasi
merupakan both a journey and destination: it signifies abd historical process of
becoming, as well as an economic and cultural result; that is arrival at the
globalized state (suatu perjalanan sekaligus juga tujuan: ia menentukan sejarah
proses menjadi serta hasil ekonomi dan budaya; yakni sampai pada keadaan yang
mengglobal (Ferguson, 2002: 239).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan
nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang
kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang
peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari
belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa
berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media
tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku.
Peran Media Massa
Sebelum masuk mengenai pembahasan globalisasi media, akan coba kita
tilik bersama mengenai peran media massa yang mengafirmasi kecenderungan
akan adanya kondisi global tersebut. Sebagaimana diketahui, peran media massa
dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada yang
menyangkal, menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories
(2000: 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media. Pertama, melihat
media massa sebagai window on event and experience. Media dipandang
sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang
terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk
mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society
and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada
di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para
pengelola media sering merasa tidak bersalah jika isi media penuh dengan
alat cetak), integrasi antara komputer dan satelit kemudian diikuti dengan
penggunaan internet secara luas dan juga telepon seluler. Perkembangan dalam
dunia media massa ini ternyata memfasilitasi proses-proses globalisasi
sebagaimana yang telah dikemukakan.
Dengan internet atau telepon genggam yang memiliki fasilitas internet,
misalnya, akses untuk informasi (nyaris mengenai apa saja) dan hiburan juga
nyaris bentuk dan genre apa saja) dari dunia luar begitu mudah diperoleh. Pada
saat yang sama sajian media massa lain seperti televisi, radio, suratkabar, majalah,
buku-buku domestik, setidaknya untuk banyak hal, lebih bersifat copy-an dari
produk budaya global. Karena berkembangnya kecenderuangan demikian maka
dapat dikatakan bahwa corak budaya di banyak aspek yang berkembang di
masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia, notabenenya adalah hasil penetrasi
globalisasi yang diusung atau difasilitasi oleh media massa.
Marshall McLuhan pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg
Galaxy: The Making of Typographic Man yang menjadi dasar munculnya
technological determination theory. Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan
yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi (yang kebanyakan
dipengaruhi media massa) akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.
Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam
masyarakat. Dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk
bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi lain. McLuhan menegaskan,
Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi dan peralatan untuk
berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi
kehidupan kita sendiri (Nurudin, 2007: 184-185). Setidaknya gambaran dari
McLuhan juga telah mengamplifikasi hal-hal mengenai pengaruh perkembangan
media massa tersebut.
Di satu sisi memang globalisasi memberikan keuntungan dalam arti
konteks
interaksi
global
yang
memudahkan
segenap
orang
menjalani
kehidupannya dalam ranah global village. Namun perlu diingat bahwa suatu
perkembangan zaman layaknya pisau bermata dua.
konsensus
global
yang
memungkinkan
masuknya
produk-produk
modernitas Barat dimana juga bisa merupakan suatu proyek kekuasaan, dominasi,
dan manipulasi lokal. Kesemuanya itu melibatkan proyek-proyek kekuasaan yang
jejak historisnya terbentang dari era penaklukan dunia ketiga (termasuk
Indonesia), penyebaran imperialisme, dan dominasi kapitalisme Barat, hingga
upaya-upaya kontemporer ke arah homogenisasi dan pencapaian konsensus global
terhadap berbagai ide dan etika produk modernitas Barat (Hidayat, 1992).
Salah satu wujud imperialisme adalah dalam konteks budaya. Dengan
globalisasi ada semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari
budaya yang berbeda. Ditambah dengan diilhami berkembangnya teknologi
komunikasi maka tak terelakan semakin sepat pula munculnya suatu
perkembangan globalisasi kebudayaan.
Kembali pada konteks media massa sebagai saluran utama dari prosesproses globalisasi dimana dalam konteks global, notabene dikontrol oleh
perusahaan-perusahaan raksasa yang berbasis di negara maju terutama Amerika
dan Inggris. Terdapat setidaknya lima perusahaan raksasa yang menguasai media
global yakni News Corp., Disney/CapCities, Time Warner, Viacom dan TCI.
Perusahaan-perusahaan ini memiliki anak dan cucu perusahaan sehingga benarbenar menggurita. News Corp., misalnya, memiliki berbagai suratkabar, stasiun
televisi dan sistem satelit penyiaran di seluruh dunia termasuk Star TV dan Sky
TV; dan Time Warners adalah pemilik Turner Broadcasting yang tak lain adalah
pendiri dan pemilik CNN. Kenyataan demikian sudah agak beberapa lama
menimbulkan keprihatinan luas dan juga wacana mengenai imperialisme budaya
(cultural imperialism), termasuk kajian mengenai imperialisme budaya sebagai
imperialisme media (cultural imperialism as media imperialism) (lebih jelas,
baca, misalnya, Tomlinsonm 2002: 223-226).
Mengenai imperialisme budaya (cultural imperialism) ini bukanlah isapan
jempol belaka. Sebelum abad ke-21, jarang sekali televisi Indonesia yang
menayangkan program-program dari negara-negara lain selain dari AS. Tapi, saat
ini di layar kaca, dapat kita temukan banyak sekali tayangan non-Amerika. Sebut
saja dari India, Jepang, Korea, Cina, Taiwan, Meksiko dan lain-lain. Dunia
menjadi lebih terintegrasi berdasarkan pasar dalam lingkaran pasar kapitalisme.
Semakin banyak negara yang berlomba-lomba untuk memasarkan
program televisinya. Televisi Indonesia menjadi semakin lebih berwarna dengan
kehadiran tayangan dari negara lain. Sebut saja serial TV dari Jepang dan Korea,
Telenovela dari Amerika Latin dan film dari India. Apakah hal ini negatif atau
poisitif? Seperti sekeping mata uang, semua hal ada positif dan negatifnya. Sisi
positifnya, kita bisa mengenal kebudayaan lain dan membuat wawasan kita
bertambah, sedangkan sisi negatifnya kebudayaan lokal kita semakin luntur akibat
tergembur kebudayaan asing. Inilah praktik, imperialisme budaya tersebut
ditambah hal itu, bisa saja terjadi karena kita kurang menghargai budaya kita
sendiri.
Dalam konteks dunia ketiga, sangatlah dipahami jika sampai saat ini
inferioritas ini masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan
selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang
berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di
seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat,
perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap superior
masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam televisi, orang-orang
yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser,
sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya
mengejar keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun
menayangkan program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang
dianggap superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan
menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa
mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan nyata
untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Melihat semua ini, haruskah kita salahkan generasi muda kita yang
mungkin akan lebih bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah
kita salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing,
wayang, tarian tradisional, dan lain-lain? Haruskah kita salahkan mereka yang
lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall, sembari
makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar
negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik
modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing
lewat media?
Memang pada masa sekarang ini, globalisasi lebih terasa daripada
amerikanisasi, karena aliran informasi dan media tidak lagi dimonopoli Amerika
Serikat. Saat ini, semua negara di dunia dapat berpartisipasi dalam memasarkan
informasi. Walaupun pada kenyataannya Amerika Serikat dan negara barat lainnya
tetap mendominasi aliran informasi. Globalisasi kepemilikan media yang muncul
jelas memperlihatkan praktik imperialisme budaya yang tinggi pula (Morley,
2006; Straubhaar, et. al, 2009).
Tak terbantahkan kini budaya di Indonesia juga telah terkontaminasi
budaya global dari Amerika. Walhasil ada ketegangan-ketegangan karena
terjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budaya
lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahk an kedaerahan, tapi juga
yang berkesan tradisional. Yang perlu dicatat adalah bahwa kekhawatiran atau
penolakan globalisasi yang juga sering disebut dengan Amerikanisasi ini muncul
tidak hanya di negara berkembang ataupun negara dunia ketiga.
Dengan
munculnya
wacana
cultural
imperialism
sebagaimana
kapitalisme
global. Artinya
proses-proses
globalisasi
pada
Solusi Alternatif
Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya
mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing,
diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual yang
harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum inteletual
tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut
(Gramsci dalam Bocock, 2007: 39-40).
Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika
kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu
membuat produk saingan untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar,
agar lebih menarik para generasi muda jika mereka tidak memiliki modal yang
cukup kuat? Menurut pengamatan saya selama ini, kaum intelektual organik ini
jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi
penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak
bijaksana.
Setidaknya jalan alternatif yakni perlu untuk segera disosialisasikan dan
direalisasikan gerakan media literacy (melek media) untuk dapat menangkal
pengaruh buruk globalisasi media. James Potter mendefinisikan media literacy
sebagai: A perspective that we actively use when explosing ourselves to the
media in order to interpret the meaning of the messages when we counter. We
build our perspective from knowledge structure. To build our knowledge
structures, we need tools and raw material. The tools are our skills. The raw
material is information from the media and the real world. Active use means we
are aware of the messages and are consciuously with them (Potter, 2001).
Hal ini penting karena akan mendorong individu untuk secara aktif
menafsirkan pesan dan menguatkan individu dalam menghadapi atau mengakses
media. Positif atau negatif dampak dari globalisasi salah satunya ditentukan
oleh sikap kita dalam menggunakan media tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan
yang namanya melek media, agar kita dapat melihat mana yang baik dan
mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga kita tidak terseret
dalam arus globalisasi.
Dampak negatif :
1. Pola Hidup Konsumtif : semakin banyak penyedia kebutuhan makin
banyak pula kebutukan manusia. karena kebutukan itu harus terpenuhi
maka mau tidak mau kita harus memenuhi kebutuhan tersebut. sedangkan
masyarakat indonesia sukanya yang instan-instan, jadi mereka cukup
membelisan tidak mau repot.
2. Sikap Individualistik : sikap seperti ini biasanya ditemukan pada
masyarakat kota yang setiap harinya sibuk dengan aktivitasnya di luar
rumah yang jarang pulang dan mereka pun jarang pula berinteraksi dengan
masyarakat sekitar.
3. Gaya Hidup Kebarat-baratan : manusia seperti ini lebih membanggakan
negara yang lebih modern dan menjadikan kita tidak nasionalis.
4. Menjadi sarana kejahatan seperti penipuan dan pembajakan suatu karya
ciptaan.
5. Menjadii penyebab rusaknya moral suatu individu terutama bagi anakanak dibawah umur yang dengan mudah mereka mendapatkan suatu situssitus porno.
6. Masyarakat menjadi suatu individu yang konsumtif.
7. Terjadinya polusi informasi.
8. Rasa social terhadap lingkungan menjadi acuh.
KESIMPULAN
Maka dari itu kita sebagai masyarakat Indonesia yang berpendidikan,
hendaklah berfikir kritis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. kita memang
tidak bisa dipisahkan dari media karena untuk mengetahui informasi apapun
pastilah kita membutuhkan media. Namun kita harus melek media dengan melihat
media dalam beberapa sisi. Apabila hal-hal yang disampaikan dapat member
manfaat, maka ikutilah tapi jika hal-hal yang disampaikan melalui media
membawa dampak yang buruk, jauilah. Jangan sampai kita menjadi korban media
khususnya di era globalisasi seperti sekarang dimana banyak budaya asing yang
masuk mempengaruhi budaya asli Indonesia. Semoga informasi dari kita bisa
bermanfaat untuk kalian semua, Communication Seekers.
Daftar Pustaka
.
Briggs, Asa dan Peter Burke. 2006. A Social History of the Media. Terj. A.
Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
DeFleur, Melvin L. and Sandra J. Ball-Rokeach. 1989. Theories of Mass
Communication, Fifth Edition. New York: Longman.
McLuhan, Marshall. 1994. Understanding Media: The Extension of Man. London:
The MIT Press.
Morley, David. 2006. Globalisation and Cultural Imperialism Reconsidered: Old
Question in New Guide dalam James Curran and David Morley (ed.).
Media and Cultural Theory. New York: Routledge.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pawito. 2010. Media Massa, Globalisasi dan Identitas Nasional. Pidato
Pengukuhan Guru Besar disampaikan di Surakarta 7 Januari 2010. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta.