KOMUNIKASI
DALAM KONTEKS
GLOBAL
Pokok Bahasan
1. Komunikasi Konteks Global
2. Komunikasi Multi Kultural
13
Ilmu Komunikasi Public Relations 42008 Dr. Inge Hutagalung, M.Si
Abstrak Kompetensi
Modul ini menjelaskan tentang Mampu memahami konteks komunikasi
komunikasi dalam konteks global dalam konteks global dengan
dan multi kultural pendekatan multi kultural
Pembahasan
Kemajuan yang dicapai dalam bidang teknologi distribusi dan pertumbuhan ekonomi
baru telah mempercepat laju globalisasi. Sebagaimana bidang yang lain, media massa
sebagai objek dan agen proses globalisasi juga terkena pengaruh dari fenomena globalisasi.
Salah satu pengaruh yang dirasakan oleh media massa adalah adanya kemajuan dalam
bidang teknlologi distribusi, dimana dengan teknologi ini media masa tidak lagi mengenal
hambatan wilayah dan waktu. Contoh dari kemajuan teknologi distribusi dapat dilihat dari
penemuan internet. Melalui internet situasi dunia dapat diketahui dalam waktu yang singkat
tanpa harus pergi ketempat dimana peristiwa terjadi.
Tercatat bahwa berita merupakan produk pertama yang diperjual belikan melalui
kantor berita internasional yang menjadi penyedia berbagai macam jenis berita.
Pertumbuhan kantor berita internasional pada abad ke 20 banyak dipengaruhi
perkembangan teknologi dan didorong oleh timbulnya perang, perdagangan, dan ekspansi
imperialisme dan industri. Kantor berita utama pada era pasca Perang Dunia II antara lain
adalah North American (UPI dan Associated Press), British (Reuters), French (APP) dan
Russian (Tass).
Selain Amerika, Eropa telah menjadi penghasil dan konsumen terbesar berita-berita
luar negeri. Lebih lanjut Peterson (1998) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga buah
kantor berita televisi yang mengawali pemberitaan secara internasional yaitu Reuters, WTN
(World Television News), APTV (Associated Press Television News). Dengan adanya kantor
berita secara global mengakibatkan terjadinya kesamaan pada sistem media, penyebaran
informasi berita, maupun produksi siaran hiburan diseluruh dunia, baik melalui televisi, surat
kabar, film, buku maupun radio. Disisi lain, adanya kesamaan sistem menyebabkan
audience dapat melakukan pilihan terhadap media dari negara lain.
Terkait dengan adanya pengaruh globalisasi pada media massa (informasi dan
hiburan), maka perlu diperhatikan mengenai sejauh mana isi dari informasi dan hiburan
yang masuk dari luar sebuah negara dapat dikontrol. Mekanisme utama dalam pengawasan
tidak selalu berbentuk kebijakan atau hukum, ataupun kebijaksanaan ekonomi terkait
masalah import, akan tetapi pengawasan dapat dilakukan melalui pen-dubbing-an suara
ataupun terjemahan dalam bahasa sendiri. Disisi lain, pengawasan perlu diperhatikan
karena globalisasi dalam media disadari atau tidak, juga membawa dampak akan timbulnya
budaya yang homogen dan kebarat-baratan. Selain itu globalisasi juga berpotensi untuk
Pada umumnya proposisi yang muncul dari masalah imperialisme media cenderung
mengkonstruksikan komunikasi massa global sebagai proses cause and effect (penyebab
dan akibat), dimana media mentransmisikan ide-ide, makna, dan format budaya dari suatu
tempat ke tempat lain, dari pengirim ke penerima.
Tidak dapat dibantah bahwa media dapat membantu proses pertumbuhan budaya,
difusi, penemuan dan kreativitas, yang dapat melemahkan budaya yang sudah ada. Namun
berbagai teori modern mengemukakan pandangannya bahwa invasi media-budaya dapat
ditangkal atau didefinisi ulang berdasarkan budaya dan pengalaman lokal. Adalah Lull dan
Wallis yang menggunakan istilah transkulturalisasi untuk menjelaskan proses mediasi
interaksi budaya, di mana musik-musik Vietnam mampu melakukan tekanan pada warga
Amerika Utara dan menghasilkan budaya baru hybrid. Di samping daya tarik budaya media
global, perbedaan bahasa juga merupakan kendala nyata bagi subversi budaya.
Cara lain untuk menahan intervensi globalisasi media massa terkait dengan budaya
adalah melalui proses sirkulasi media, yaitu jika suatu content semakin difilter melalui sistem
media nasional maka semakin besar content dapat diseleksi dan diadaptasikan dengan
budaya nasional, sehingga intervensi budaya dapat diminimalisasi.
Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dalam media global agar tidak menimbulkan
intervensi budaya maupun ketergantungan teknologi pada negara maju. Adapun organisasi
dunia yang berperan terkait pengaturan sistem dalam media global adalah:
- UNESCO, cabang UN yang berdiri pada tahun 1945 memiliki kompetensi besar pada
persoalan-persoalan budaya dan pendidikan, namun tidak memiliki kekuatan yang
besar dan fungsi media yang jelas.
- World Intellectual Property Organization (WIPO), berdiri pada tahun 1893, memiliki
tujuan untuk mengharmonikan legislasi dan prosedur relevan dan mengatasi
percekcokan antara pemilik kuasa, penulis, dan pengguna.
Cara pandang alternatif atas komunikasi yaitu komunikasi dalam model „ritual‟:
komunikasi sebagai proses simbolik dimana realita diciptakan, dipelihara, diperbaiki, dan
diubah. Artinya, komunikasi adalah proses yang melaluinya kita menerima dan menafsirkan
realitas lalu membangun pandangan kita atas realitas dan dunia. Dengan demikian, budaya
dibangun, dipelihara dan dikembangkan, dan dipelihara melalui komunikasi. Tanpa
komunikasi budaya tidak akan berkembang dan runtuh. Komunikasi adalah jantung dari
budaya.Budaya sendiri, selain mempunyai komunikasi sebagai unsur yang paling umum dan
esensial, juga mempunyai atribut-atribut seperti: kolektif dan dimiliki bersama, memiliki
bentuk-bentuk ekspresi simbolik, memiliki tatanan, terpola secara sistematis, selalu bergerak
(dinamis) dan berubah.
Untuk mempelajari budaya, secara esensial kita bisa menemukan dan mengenali
budaya dari tiga tempat: dalam manusia (sebagai produsen dan pembaca teks-teks), dalam
benda-benda (yang berisi teks-teks seperti film, buku, dll), dan dalam perilaku-perilaku
manusia yang terpola (misalnya pola perilaku pekerja media atau penguna media).
Kualitas. Munculnya kultur media telah merangsang adanya pemikiran ulang atas
budaya populer (pop culture). Disini muncul distingsi (pembedaan) antara budaya
populer vs budaya tinggi yang mana budaya populer sering dianggap tak bernilai/tak
Gender dan subkultur. Subkultur yang berdasarkan orientasi seksual atau peran
gender menyediakan sejumlah contoh bagi kita..
Munculnya teori-teori kritis yang lebih radikal (dan populis) seperti hasil kerja Richard
Hoggart, Raymond Williams dan Stuart Hall telah mewakili suatu perhatian yang kritis dan
berbasis sosial atas munculnya budaya massa. Tujuan utama dari para pengkritik ini
mulanya adalah menyerang akar komersial dari penurunan kultural dan membela kelas
pekerja dari kemungkinan mereka dipersalahkan atas turunnya ‟kualitas‟ budaya. Di Amerika
Utara, pada masa yang bersamaan, muncul perdebatan yang membicarakan betapa
dangkalnya budaya massa. Denga demikian, para kritikus ini juga telah menyelamatkan
Istilah teori kritis, merujuk pada sekelompok pemikir neo-Marxis yang ada di
Frankfurt yang disebut Mahzab Frankfurt dengan tokoh-tokohnya seperti Adorno,
Horkheimer, Marcuse dan Benjamin. Pemikiran neo-Marxis, yang berkembang pada masa
pasca perang telah menyediakan seperangkat ide-ide bagi kita untuk lebih meluaskan
perkembangan ide-ide mengenai komunikasi massa dan karakter budaya massa.
Kelompok ini pada mulanya didirikan untuk menguji mengapa perubahan sosial
revolusioner seperti yang pernah diramalkan Karl Marx tidak pernah terjadi. Dalam
penjelasan atas kegagalan ini, mereka melihat kapasitas superstruktur untuk mampu
menumbangkan kekuatan-kekuatan/tenaga-tenaga perubahan ekonomi. Sejarah menjadi
meleset (tidak seperti yang diramalkan Marx) karena ideologi dari kelompok dominan telah
berhasil mengkondisikan basis ekonomi dengan menanamkan kesadaran palsu pada massa
kelas pekerja. Komoditi adalah instrumen utama dalam proses ini. Media menjadikan semua
produk kultural mereka sebagai komoditi yang bisa dibeli konsumer demi kepuasan
psikologis, hiburan dan dugaan-dugaan ilutif yang mengaburkan seperti apa struktur sosial
sesungguhnya dan subordinasi kita didalamnya.
Teori kultural media telah meluas dengan baik melebihi perhatiannya utama pada
dominasi ideologi, sekalipun studi atas ideologi tetap berperan sentral. Begitu juga
signifikansi budaya media terhadap pengalaman hidup kelompok-kelompok seperti pemuda,
kelas pekerja dan kelompok termarjinal lainnya. Adalah Mahzab Birmingham yang
mempelopori riset-riset dan teori dalam topik-topik ini yang tokoh utamanya adalah Stuart
Hall. Kelompok ini telah mempelopori pendekatan kajian budaya (cultural studies).
Stuart Hall menulis: beroposisi dengan cara memformulasikan hubungan antara ide-
ide dan tenaga-tenaga material yang berpola basis-suprastruktur yang mana basis diartikan
sebagai determinasi ekonomi dalam arti yang sederhana, pendekatan kajian budaya
Penebusan atas yang populer sangat bergantung pada teori decoding dari Hall yang
mengatakan bahwa satu produk budaya yang sama bisa dibaca/dimaknai dengan berbagai
cara dan artian sekalipun pemaknaan yang dominan atasnya tetap ada. Fiske mengartikan
teks media sebagai hasil dari pembacaan dan kenikmatan yang dilakukan khalayak. Fiske
mengartikan pluralitas pemaknaan dari satu teks sebagai poliseminya. Istilah
intertekstualitas sebagian merujuk pada salingketerhubungan pemaknaan-pemaknaan
melewati artefak-artefak media yang berbeda tetapi juga merujuk pada salingketerhubungan
pemaknaan-pemaknaan melewati media dan pengalaman-pengalaman budaya lainnya.
Jadi, bagi Fiske, budaya populer adalah apa yang populer. Diketahui dan diikuti oleh
orang banyak dan bergantung pada “kekuatan orang banyak” itu. Pada intinya, walaupun
orang-orang dalam satu kelas adalah telah disubordinasikan, mereka tetap mempunyai
kekuatan semiotik untuk membuat pemakanaan-pemaknaan sesuai keinginan mereka.
Terdapat persoalan kualitas dalam budaya populer, kualitas tidak lagi diartikan
sebagai suatu tingkat kenyamanan atas budaya tradisional melainkan bisa diartikan juga
sebagai kreatifitas, orijinalitas, atau keberagaman identitas budaya dan prinsip-prinsip moral
serta etis, tergantung sudut pandang mana yang dipilih. Sekalipun, bisa saja muncul
argumen bahwa kualitas dari suatu hal dapat dinilai dari seberapa laku ia dalam pasar yakni
bisa memuaskan dan menyenangkan orang.
Dampak globalisasi media massa tidak hanya berpengaruh pada budaya bangsa
Indonesia, tetapi juga berdampak pada meningkatkan kekerasan dikalangan generasi muda
bangsa sebagai akibat dari peniruan adegan yang ditayangkan melalui program tertentu,
seperti yang terjadi pada program tayangan „Smack Down‟, ataupun film „Superman‟.
Indonesia, dengan populasi penduduknya berkisar pada angka 250 juta jiwa,
merupakan pangsa pasar „empuk‟ bagi pemasaran produk hardware maupun software
negara produsen. Hal mana tidak saja menimbulkan ketergantungan bangsa Indonesia
terhadap negara produsen, tetapi juga merangsang timbulnya pola hidup konsumtif
dikalangan masyarakat, seiring dengan keinginan untuk terus „mengejar‟ kemajuan teknologi
mutahir dari suatu produk tertentu, ataupun karena „keharusan‟ untuk mengikuti trend
teknologi jika tidak ingin kehilangan akses informasi dan hiburan. Contoh: saat sistem
penyiaran televisi memasuki era digitalisasi pada sekitar tahun 2017, maka mau tidak mau