Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN FILM PADA MASA KOLONIAL BELANDA

Diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Film, Pers, dan Sastra di Indonesia

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Sulasman, M. Hum

Dina Marliana, M.Ag.

Disusun oleh :

Kelompok 5

Kelas 5-B

Elsa Putri Aeni Susanto ( 1215010048 )

Iman Khoeruddin ( 1215010083 )

Jeihan Fauziah ( 1215010090 )

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023/2024

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................................... 2

2.1. Pengertian Film .......................................................................................................... 2

2.2. Jenis-Jenis Film .......................................................................................................... 3

2.3. Unsur-Unsur Film ........................................................................................................ 6

2.4. Fungsi dan Manfaat Film .......................................................................................... 13

2.5. Sejarah Film Secara Umum ...................................................................................... 14

2.6. Sejarah Perkembangan Film di Indonesia Masa Kolonial Belanda ........................... 23

2.7. Dampak Positif dan Negatif Film Bagi Masyarakat Indonesia ................................... 47

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................... 50

3.1. Kesimpulan............................................................................................................... 50

3.2. Saran........................................................................................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 51

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memproduksi film, walaupun
perkembangan industri film di Indonesia tidak sehebat di negara lain. Hal ini menjadi
pertanyaan atas ketertinggalannya perkembangan tersebut, dan pasti hal tersebut memiliki
jawabannya. Penting untuk menengok ke belakang, belajar dari sejarah bagaimana industri
perfilman mulai muncul hingga perkembangannya pada saat ini. Tanpa trayektori yang jelas,
sulit untuk mengungkap apa yang terjadi dengan industri film nasional. Tanpa pemikiran kritis
atas sejarah perkembangannya, film bisa menjadi alat untuk memanipulasi massa bahkan
proses pembodohan secara kolektif.

Sejarah menunjukkan film tumbuh sebagai kebutuhan kaum urban yang terbentuk dari
kolonialisme dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Film di satu sisi, merupakan
fenomena internasionalisasi dan perluasan wawasan, namun di sisi lain, dalam rangka
pencarian identitas-etnis-politis-religius film dianggap sebagai sebuah ancaman (Sugiharto,
B. dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).

Sejarah film di Indonesia pertama kali muncul saat masa kolonial Belanda. Belanda
disebut sebagai pemicu hadirnya dunia film di Indonesia dan telah mempelopori dunia
perfilman Indonesia, karena media visual belum ditemukan di Indonesia sebelum kehadiran
mereka ketanah air. Oleh karenanya, masa kolonial Belanda menjadi masa yang berpengaruh
dalam sejarah perkembangan film di Indonesia. Demikian, untuk memahami secara runut
sejarah perfilman di Indonesia maka pada pembahasan awal berikut ini akan diuraikan
perkembangan film Indonesia pada tahap pertama yaitu masa awal kolonial Belanda.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Film

Gambar 1. Pengertian film :


https://sitiaminahsmkn3tahuna.blogspot.com/2017/03/pengertian-film-jenis-jenis-film.html

Definisi film dalam KBBI diartikan sebagai selaput tipis terbuat dari seluloid, berfungsi
sebagai tempat gambar negatif dan gambar positif. Film diartikan juga sebagai gambar hidup.
Adapun secara harfiah, film adalah cinematographie. Diambil dari kata cinema (gerak), Tho
atau phytos yang artinya cahaya dan grhap (tulisan, gambar). Jadi, film diartikan sebagai
melukis sebuah gerak dengan menggunakan cahaya. Film adalah sebuah tayangan melalui
media audio-visual yang tidak hanya untuk di tonton tetapi mampu menarik minat masyarakat
untuk menikmati dan menyentuh emosional.

Pengertian film menurut para ahli, sebagai berikut :

1. Effendi (1986)
Film adalah sebuah hasil budaya serta suatu alat ekspresi kesenian yang di
tampilkan melalui audio atau visual. Film dijadikan sebagai alat komunikasi massa
yang menjadi gabungan dari berbagai teknologi. Diantaranya terdapat fotografi,
rekaman suara dan kesenian, yaitu seni rupa, seni teater, sastra, arsitektur serta seni
musik. Jadi film merupakan sebuah gambar yang bergerak sebagai sebuah uwjud dari
adanya kebudayaan.

2
2. Michael Rabiger (2009)
Film merupakan media yang berbentuk video serta dihasilkan melalui ide
nyata, harus memiliki unsur hiburan dan makna. Artinya, unsur hiburan bisa berbentuk
dalam film komedi, unsur makna terdapat dalam film sejarah.
3. Himawan Pratista (2008)
Film bermakna sebuah media audio visual yang menyatukan antara unsur
naratif dan sinematik. Didalam unsur naratif berhubungan dengan tema dan unsur
sinematik adalah alur atau jalan serita yang bersambung secara terurut.
4. Palapah dan Syamsudin (1986)
Film adalah media hiburan, yaitu gabungan dari jalan cerita, gambar bergerak
dan suara dalam satu bingkai kesenian. Hal ini membuat film seringkali digunakan
sebagai unsur media pembelajaran.
Dari berbagai penjelasan definisi film di atas, jadi film adalah media yang
berbentuk audio visual, menjadi sebuah sarana hiburan yang bisa di akses atau dilihat
oleh masyarakat di berbagai kalangan. Film merupakan gabungan antara video, suara
serta gambar yang seluruhnya memiliki keterkaitan satu sama lain.

2.2. Jenis-jenis Film

Secara umum, film dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu dokumenter, fiksi dan
eksperimental. Ketiga jenis tersebut, dibedakan berdasarkan naratif (cerita) dan non-naratif
(non cerita). Artinya, film dokumenter dan film eksperimental bersifat non-naratif, sedangkan
film fiksi strukturnya naratif.

Dokumenter Fiksi Eksperimental

(nyata) (rekaan) (abstrak)

1) Film Dokumenter
Ciri khas dari film dokumenter adalah konsep realismenya, yaitu menyajikan
fakta. Adapun menurut Nichols, film dokumenter adalah upaya menceritakan kembali
sebuah kejadian dengan memanfaatkan data dan fakta. Film dokumenter merupakan
sebuah sajian film yang diproduksi berdasarkan data dan fakta sebagai sarana untuk
menyampaikan informasi. Film dokumenter selalu \berhubungan dengan tokoh,
sebuah momen, objek, peristiwa yang terjadi. Sedangkan istilah documenter,

3
digunakan pertama kali dalam sebuah resensi yang terdapat pada film Moana tahun
1926.
Dalam proses pembuatannya, film dokumenter merekam peristiwa yang benar-
benar terjadi sehingga film dokumenter tidak memerlukan plot dan hanya dibuat
berdasarkan argumen pembuatnya. Film dokumenter memiliki struktur yang
sederhana bertujuan untuk memudahan penonoton untuk memahami dan percaya
terhadap fakta yang disajikan. Tujuan dari pembuatan film dokumenter bukanlah untuk
menciptakan sebuah peristiwa melainkan untuk memvisualisasi sebuah peristiwa
yang benar-benar terjadi. Diantaranya, film dokumenter dibuat dengan bentuk yang
lebih sederhana tanpa harus menggunakan efek visual yang khusus. Lalu, film
dokumenter menggunakan beberapa metode untuk menyajikan fakta dalam bentuk
visual , film dokumenter juga memiliki kemampuan untuk merekam langsung suatu
peristiwa secara langsung. Film dokumenter dapat merekonstruksi ulang sebuah
peristiwa yang pernah terjadi.
2) Film Fiksi
Film fiksi adalah sebuah film cerita yang diproduksi berdasarkan karangan
cerita yang sengaja dibuat. Film fiksi disajikan dengan plot yang telah disiapkan,
sturktur ceritanya pun sesuai dengan hukum sebab-akibat. Adegan aktor dan aktris
yang memainkan film fiksi ini harus disesuaikan dengan konsep yang telah dibuat.
Didalamnya biasanya terdapat karakter antagonis, protagonis, masalah dan konflik,
penutup dan memiliki pola pengembangan cerita yang jelas
Film fiksi memiliki dua kutub, yaitu kutub nyata dan kutub abstrak. Terkadang
cenderung pada salah satu kutub baik secara naratif atau sinematik. Jadi terkadang
film fiksi diangkat dari kisah nyata. Film fiksi terkadang juga memiliki latar abstrak
sebagai pendukung sebuah adegan mimpi atau halusinasi.
3) Film Eksperimental
Film eksperimental merupakan jenis film yang tidak memerlukan plot tapi
memiliki struktur, berbeda dari film dokumenter dan film fiksi, struktur dari film
eksperimental sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti ide, gagasan,
emosi, serta pengalaman batin. Film eksperimental biasanya berbentuk abstrak
sehingga sulit untuk di pahami.

Ada beberapa jenis film lainnya. Beberapa jenis film tersebut masing-msing mempunyai
tjuan dan fungsi yang berebeda, seperti :

1) Film Cerita Panjang


Film cerita panjang merupakan film yang diputar di gedung bioskop, film ini
merupakan film konsumsi masyarakat yang berfungsi sebagai hiburan atau tontonan

4
umum. Film- film jenis ini mempunyai durasi 60 menit ke atas, umumnya berdurasi
sekitar 100-120 menit. Film-film produksi Amerika merupakan jenis film ini. Bahkan
film-film tertentu atau film kolosal durasinya biasanya mencapai lebih kurang 180 menit
seperti film produksi India yang kaya dengan nyayiannya.
2) Film Profil Perusahaan
Film jenis ini diproduksi untuk keperluan tertentu misalnya mem- perkenalkan
suatu perusahaan tertentu untuk disebar luaskan ke publik. Misalkan tayangan “Usaha
Anda” yang disiarkan oleh SCTV. Selain itu film- film jenis ini sering dipakai sebagai
sarana pendukung dalam suatu presentasi perusahaan atau kelompok tententu.
3) Film Iklan Televisi

Gambar 2. Contoh Iklan Televisi :


https://www.ideabox.co.id/contoh-iklan-televisi/
Film jenis ini diproduksi dengan fungsi untuk kepentingan penyebaran infor-
masi, baik tentang suatu produk (Iklan Produk) maupun layanan masyarakat (Iklan
Layanan Masyarakat). Iklan produk biasanya menampilkan suatu produk yang dii-
klankan secara eksplisit, artinya ada stimulus audio visual yang menjelaskan dari
produk tersebut secara langsung. Sedangkan iklan layanan masyarakat, menginfor-
masikan kepe- dulian produsen terhadap kejadian fenomena sosial yang diangkat se-
bagai topik iklan, sehingga tampilan produk tersirat secara implisit.

5
4) Film Program Televisi

Gambar 3. Contoh program berita televisi :


https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-suluttenggomalut/baca-berita/19232/Pekan-
Kekayaan-Negara-Kanwil-DJKN-Suluttenggomalut-Lakukan-Kunjungan-Media-ke-Stasiun-
TVRI-Sulawesi-Utara.html
Film jenis ini merupakan konsumsi acara program televisi dan biasanya di-
produksi oleh stasiun televisi sendiri atau kerjasama dengan PH. Secara umum pro-
gram televisi dibagi menjadi dua jenis yaitu film cerita dan film non cerita. Jenis cerita
terbagi menjadi cerita fiksi dan cerita non fiksi. Kelompok cerita fiksi memproduksi film
serial (sinetron dan FTV) sedangkan kelompok cerita non fiksi memproduksi film doku-
menter, pendidikan, profile, Quiz dan seje- nisnya serta berita.
5) Film Vidio Clip
Film Video Clip merupakan jenis film yang digunakan oleh para produser musik
untuk memasarkan produknya lewat medium televisi. Jenis ini biasanya durasinya
singkat berdasarkan panjang lagunya. Jenis ini dipopulerkan pertama kali oleh MTV
pada tahun 1981. Di Indonesia film jenis ini berkembang secara cepat dan mempunyai
aliran tersendiri seiring dengan bertambahnya stasiun televisi. Bahkan ada rumah
produksi yang telah berkonsentrasi khusus menggarap jenis film ini.

2.3. Unsur-Unsur Film

Pembuatan sebuah film meru- pakan hasil kerja kolaboratif, artinya dalam proses
produksi sebuah film melibatkan sejumlah tenaga ahli kreatif yang menguasai sentuhan
teknologi dalam keahliannya, semua unsur ini saling menyatu, bersinergis serta saling
mengisi satu sama yang lainnya sehingga menghasilkan karya yang utuh. Perpaduan dan
kerjasama yang baik antar elemen-elemen yang ada didalamnya akan menghasilkan sebua

6
karya yang menarik dan enak ditonton. Orang-orang yang terlibat langsung dalam suatu
proses produksi sebuah film, masing-masing mem- punyai keahlian yang dapat mem- berikan
kontribusi tentang bagaimana menciptakan teknik visual yang menarik dalam setiap proses
produksi. Mereka itu adalah orang-orang inti dalam memproduksi sebuah film diantaranya
adalah: Produser, Sutradara, Penulis Skenario, Penata Fotografi, Penata Artistik, Penata
Suara Penata Musik, Penyunting atau Editing dan Pemeran atau aktor.

1. Produser
Predikat produser adalah orang atau sekelompok tertentu yang mengepalai
departemen produksi. Ada beberapa jabatan yang ada dalam kelompok produser, di-
antaranya Executive Producer, dimana pada kelom- pok ini merupakan seseorang
atau kelompok yang menjadi inisiator sebuah produksi film. Mereka yang bertangung
jawab dalam proses pembuatan proposal dan penggalangan dana untuk memproduksi
sebuah film. Pada kasus tertentu sebuah film bisa saja didanai tidak hanya satu orang
melainkan sekelom- pok institusi, dimana masing-masing mempunyai wakilnya untuk
menjabat dalam posisi ini. Sedangkan untuk jabatan produser merupakan orang yang
mempimpin dalam suatu proses pembuatan film, bukan yang membiayai produksi film.
Tugas dari produser adalah memimpin seluruh tim produksi sesuai dengan keputusan
yang ditetapkan secara bersama, baik aspek kreatif maupun manejemen produksi
sesuai dengan anggaran yang ditetapka oleh executive producer. Sedangkan Line
producer merupakan supervisor, tugasnya hanya membantu memberikan masukan
alternatif pada departemen produksi sebatas manajemen tentang anggaran. Line pro-
ducer tidak mempunyai kewenangan mencampuri untuk menentukan pemain atau
mengubah sekenario suatu film.
2. Sutradara
Posisi sutradara dalam sebuah produksi film merupakan jabatan yang paling
tinggi diantara yang lainnya. Ia merupakan pemimpin dalam proses produksi sebuah
film dilapangan. Seorang sutradara harus mampu menterjemahkan dan
mengintepretasikan sebuah skenario dalam bahasa gambar yang menarik dan lebih
hidup. Seorang sutradara mempunyai kewe- nangan untuk menentukan bagaimana
seharusnya gambar itu nampak ke dalam penonton. Ia bertanggung jawab atas aspek
kreatif, baik dari segi intepretasi maupun dari segi teknis. Selain menentukan aktor
untuk berakting didepan kamera, juga mentukan posisi kamera, suara serta hal-hal
lain yang menyangkut dalam pengambilan gambar yang terbaik.
Baik buruknya proses pembuatan sebuah film tergantung dari kemampuan
seorang sutradara. Karena dialah yang berhak mengendalikan dalam proses pengam-
bilan gambar, oleh karena itu, film yang menjadi arahanya akan mendapat cap atau

7
gaya pribadinya di masyarakat. Seorang sutradara biasanya erat hubunganya dengan
penata fotografi atau penata kamera, dia harus menguasai berbagai macam teknik
kamera baik itu single camera maupun multi camera. Seorang sutradara yang
berkualifikasi tinggi, harus mempunyai kepekaan yang tinggi dalam menjalankan ru-
mus (5 - C), yakni Close-up (teknik pengambilan gambar jarak dekat), Camera angle
(sudut pengambilan gambar), Com- potition (komposisi gambar), Cutting (pergantian
gambar) dan Continuity (persambungan gambar satu dengan yang lainnya). Dari ke
lima unsur itulah bagaimana kemampuan seorang sutradara meramu unsur tersebut
secara baik. Seorang sutradara harus mampu menyatukan segala unsur- unsur yang
terkait sehingga mengha- silkan karya yang menarik.
3. Penulis Skenario
Penulis skenario dalam film sering disebut screen play atau scrip writer, istilah
ini diibaratkan blue printnya seorang arsitek. Skenario adalah kerangka sebuah film.
Dia merupakan kumpulam adegan adegan yang dirancang secara khusus mengikuti
diskripsi diskripsi visual . Sebuah film merupaka bahasa gambar, maka dialog-dialog
akan menentukan jika bahasa gambar tak mampu lagi menyampaikan pesan dari film
tersbut. Sebelum skenario dibuat, Sinopsis sebuah film harus dibuat dahulu, kemudian
diterjemahkan mendekati teknik pengambilan gambar kasar yang disebut treatment.
Sebuah treatment yang baik harus diterjemahkan dalam suatu cerita perbabak secara
jelas menurut kejadian-kejadian yang akan direnca- nakan. Dari treatment kemudian
dikem- bangkan menjadi suatu skenario yang menjadi pegangan sutradara dalam
memvisualisasikan adegan tersebut menjadi bahasa gambar yang menarik dan enak
ditonton.
4. Penata Fotografi
Penata fotografi sering juga disebut panata kamera, dan ini merupakan tangan
kanan dari seorang sutradara dalam merekam obyek dilapangan. Ia harus mampu
menjalin hubungan yang baik dengan sutadara dan bersinergis serta terintegrasi da-
lam menentukan pengambilan gambar per babak. Seorang penata fotogafi tahu betul
teknik-teknik kamera serta jenisjenis kamera beserta peralatannya, serta pandai mem-
pergunakan alat tersebut pada saat yang tepat. Dialah yang menentukan jenis-jenis
lensa yang akan dipergunakan dalam shot, apakah lensa normal, tele dan zoom ter-
masuk dalam mentukan bukaan diafragma dan filter yang dipakai serta tata cahaya
yang menyinari dari obyek bidikannya. Penata fotografi harus mengusahakan peran
utama dalam gerak yang menarik penonton. Selain itu dia arus selalu menjaga dalam
setiap bidikannya tidak ada gerakan yang serupa pada bingkai yang mencuri gerakan
yang mengaburkan makna dari peran utama dari para pemain peran pembantu. Jadi
baik buruknya suatu pengambilan gambar tergantung kerjasama yang baik antara

8
seorang sutradara denga penata fotografi. Seorang penata fotografi harus dekat
dengan sutradara dan diperlukan kerjasama yang baik. Seorang penata fotografi ha-
rus tahu selera sutrada sehingga hasil bidikannya pas sesuai yang diinginkan.
5. Penata Artistik
Penata artistik merupakan pekerjaan yang rumit, dia harus merumuskan
segala sesuatu yang berkaitan dengan latar belakang sebuah cerita film, yakni yang
berkaitan dengan setting yang menceritakan tempat dan berlang- sungnya suatu cerita
dalam film. Oleh karena sumbangan dari kaum penata artistik sangat berarti dalam
menyajikan gambar yang menarik pada penonton, maka seorang penata artistik harus
tahu betul tentang estetika dan dia harus mampu mem- baca situasi baik secara in-
strumental maupun secara filosofinya.
Segala setting yang dia ciptakan harus memberikan informasi yang jelas ten-
tang waktu berlangsungnya cerita film tersebut, apakah masa lalu, sekarang atau akan
datang demikian juga tempatnya di dalam ruangan atau diluar ruangan segala atribut
yang ada didalamnya harus benar-benar men- cerminkan sesuai yang diharapkan
oleh seorang sutradara. Misalkan film Conan yang mengambil konsep filosofinya di
jaman pertengahan (jaman kegelapan), maka segala unsur instrument yang ada be-
bar-benar mencerminkan situasi pada waktu itu, diantarannya pakaian, rumah serta
teknologi yang ada pada waktu itu serba manual. Dan bandingkan dengan film James
Bond yang memakai konsep jaman modern, maka segala situasinya benar-benar
mencerminkan jaman modern diantaranya peralatan yang dipakai oleh sang aktor
adalah peralatan teknologi canggih abad 21 dengan segala efek yang ditimbulkannya.
Semua itu merupakan peran sentuan dari penata artistik yang dibantu dengan
crewnya untuk menciptakan trik-trik tipuan kamera serta memberikannya efek yang
spektakuler dalam setiap adegan.
Sebuah film yang berorientasi pada filosofi zaman modern, maka segala artis-
tiknya disesuaikan dengan berbagai macam teknik kamera serta memakai efek-efek
tertentu guna mendapatkan karakter film
6. Penata Suara
Penata suara adalah mem- berikan suara pada adegan khususnya ketika para
pemain telah berakting, sehingga gambar yang direkam mempunyai suara seperti
adegan yang sebenarnya. Proses pengolahan suara berarti proses memadukan un-
sur- unsur suara (mixing) yang bersumber pada adegan dialog dan narasi serta efek-
efek suara khusus. Seorang penata suara bertanggung jawab atas pemberian suara
pada setiap adegan dari seluruh babak yang ada dalam sebuah skenario.
Perpaduan segala unsur suara ini nantinya menjadi jalur suara, yang letaknya
berdampingan dengan gambar ketika film itu diproses didalam suatu laboraturium dan

9
menjadi film siap edar. Didalam proses pemberian suara produksi sebuah film terdapat
beberapa teknik, diantaranya Sistem rekaman langsung (direct recording). Sistem ini
merupakan teknik pengambilan secara langsung, ketika pengambilan gambar dilapan-
gan dilaksanakan.
Jika dilaksanakan secara baik dan cermat, sistem ini sangat menguntungkan
karena suara dari pemain terekam secara wajar dan realistis. Kelemahan sistem ini
adalah tidak boleh terganggu oleh suara-suara yang tidak diperlukan. Berbeda dengan
sistem rekaman belakangan/studio (after recording). Pada sistem ini teknik pemberian
suara dilakukan di dalam studio. Pemberian suaranya bisa diganti dengan orang lain.
Kelemahan dari sitem rekaman studio ini adalah sangat teliti dan rumit, serta mutu
suaranya yang menyertai gambar terkadang kurang tepat dan kaku. Sistem play back
merupakan sistem yang sering dipaki untuk jenis film musikal, dimana dalam alur cerita
diselingi dengan lagu-lagu, misalnya film Rhoma irama yang sering menampilkan lagu-
lagunya dalam setiap filmnya.
Untuk kwalitas tata suara dewasa ini dunia perfilm sudah mengalami kema-
juan, dibanding beberapa tahun sebelumnya. Didalam perfilman kwalitas suara terdiri
dari mono, dolby stereo, dan digital. Suara film mono merupakan sistem suara yang
kuno, sistem ini mempunyai sumber suara tunggal terpaku di satu tempat. Sistem
dolby stereo memungkinkan suara menyebar mengelilingi penonton. Sistem yang
spektakuler adalah sistem digital, dimana sistem ini memanfaatkan kecanggihan
teknologi komputer dalam pembuatannya. Sistem digital memmungkinkan suara efek
khusus terdengar jelas dan jernih. Sistem ini banyak mengalami perbaikan dis-
esuaikan dengan perkem- bangan teknologi diantaranya THX, Dolby Digital dan yang
paling modern adalah DTS (digital Theatre Sound). Sistem Pemberian digital ter- baru
DTS memberikan efek yang spektakuler, seolah-olah suara itu berada ditengah-ten-
gah kita pada waktu kita menyaksukan film.
7. Penata Musik
Penata musik dalam produksi sebuah film merupakan proses pemberian suara
pada adegan-adegan khusus sehingga menimbulkan kesan yang romantis, dramatis,
mengerikan, menakutkan bahkan kekacauan. Seorang penata musik biasanya bekerja
pada waktu gambar-gambar hasil shot digabungkan atau pada waktu proses editing
dilaksanakan. musik-musik yang ditampilkan biasanya berupa lagu dan bisa juga
musik instrumental. Fungsi musik dalam film adalah menutupi adegan-adegan yang
diang- gap kurang baik, juga berfungsi mempertegas suasana yang terjadi, misalnya
untuk film horor pada adegan tertentu dipakai musik yang mencekam atau
menakutkan tujuannya agar penonton terbawa arus sugesti terhadap film yang di-
tontonnya.

10
Pada adegan pertengkaran atau kejar-kejaran diberi musik yang cepat atau
musik cadas agar suasana terlihat lebih meriah dan dinamis. Seorang penata musik
harus peka terhadap gambar- gambar film yang akan dipegangnya, dan tahu betul alur
cerita dan karakter dari cerita tersebut sehingga musik yang ditampilkan tidak se-
baliknya yang menyebabkan film tersebut terlihat dingin dan monotun. Seorang penata
musik sedang bekerja di studio dengan menggunakan teknogi Mixing yang
menghasilkan suara yang jernih dan jelas.
8. Penyunting atau Editing
Hasil dari pengambilan gambar yang telah selesai kemudian dipadukan sari
shot yang satu dengan shot yang lainnya itulah yang dinamakan proses editing atau
orang film menyebutnya pasca produksi (post production). Orang yang melakukan ini
disebut sebagai editor, yang bertugas menyusun hasil pengambilan gambar dilapan-
gan, kemudian diolah di dalam studio editing sehingga menjadi sebuah pengertian
cerita. Seorang editor dalam menjalankan tugasnya selalu berkonsultasi dengan su-
tradara. Ia mempunyai kewenangan untuk me- motong, penyempurnaan dan pem-
bentukan kembali untuk mendapatkan suatu isi yang yang konstruktif serta ritme da-
lam setiap babak, sehingga terjadi suatu kesatuan yang utuh ber- dasarkan skenario
yang telah diputuskan bersama sutradara. Secara umum proses editing sebuah film
dibedakan continuity cutting yaitu metode penyuntingan film yang berisi penyambun-
gan dari dua adegan yang mempunyai kesinambungan sedangakan dynamic cutting
yaitu metode penyuntingan film yang berisi penyambungan dari dua buah adegan
yang tidak mempunyai kesinam- bungan.
Di dalam editing film terdapat empat teknik diantaranya parallel editing, cross
editing, contras editing serta intellectual editing. Didalam parallel editing terdapat dua
adegan yang mempunyai persamaan waktu. Berbeda dengan cross editing beberapa
adegan tidak mempunyai kesamaan waktu, sedang- kan contras editing merupakan
pengga- bungan yang saling berlawanan sehingga menimbulkan suatu kekontrasan.
Teknik yang baru adalah intellectual editing yaitu menciptakan simbol-simbol dalam
menggabungkan antara adegan yang satu dengan yang lainnya.
9. Pemeran atau Aktor
Para pemeran biasa diartikan melakukan gerakan akting di depan kamera ber-
dasarkan dialog didalam skenario film, melalui arahan sutra- dara. Proses penokohan
akan menggerakkan seseorang untuk menyajikan penampilan yang tepat dari segi
emosi ekspresi, gerak serta gaya bicara yang mencerminkan karakter dari tuntutan
skenario film. Seorang pemeran harus memiliki kecerdasan yang menguasai diri ter-
masuk menguasai ritme pemain dan jenisjenis film yang diikuti.

11
Perwatakan tokoh atau menciptakan karakter pemeran yang mencerminkan
tokoh ,tidak secara detil tertulis di dalam skenario film, maka dari itu seorang pemeran
harus sering berlatih dan mengamati film-film lain sebagai bahan referensi latihan. Da-
lam sebuah film cerita terdapat beberapa pemain diantaranya pemeran utama pria,
pemeran utama wanita, pemeran pembantu pria, pemeran pembantu wanita.
Disamping hal itu diperlukan juga pemeran pendukung lainya diantaranya ada-
lah figuran. Figuran jumlahnya tak terbatas, tergantung dari kebutuhan yang tetulis
dalam skenario film. Film jenis kolosal yang paling banyak melibatkan para figuran,
sehingga pengaturannyapun tidak segampang film biasa, diperlukan sutradara yang
bebar-benar menguasai lapangan dan sutradara ini mahir dalam mengomandoi multi
camera.
Selain itu diperlukan stand in yang bertugas menggantikan pemain asli pada
waktu pengambilan gambar misalnya mengatur jarak fokus mengukur cahaya dan se-
bagainya, sedangkan stunt man bertugas meng- gantikan para pemain asli terhadap
adegan yang berbahaya, misalnya loncat dari mobil, menabrakkan mobil ke pohon
dan loncat dari gedung serta yang lainnya. Pemeran ini tidak sembarang orang, diper-
lukan keahlian khusus atau ketrampilan khusus sesuai dengan tuntutan cerita.
10. Apresiasi Film
Dalam mengaprsiasi sebuah film kita dapat memahami pesan- pesan yang
disampaikan oleh film tersebut dan mencernahnya serta mengambil manfaat apa yang
di dapat setelah melihat film tersebut. Sebuah film diproduksi tentunya disebarluaskan
kepada masyarakat untuk ditonton.
Sebuah film merupakan rangkaian cerita yang dikarang seseorang, ada-
kalahnya nyata dan ada kalanya fiktif. Masing-masing mem- punyai alasan yang ber-
beda. Tetapi secara garis besar, sebuah film mengadung arti atau misi tertentu yang
akan disampaikan kepada penonton. Sebuah film dapat menghibur, mendidik, me-
rangsan pemikiran orang serta memberikan pengalaman serta nilai-nilai kemanusian.
Nilai hiburan dalam sebuah film merupakan unsur penting dalam proses pembu-
atannya.
Bisa dibayangkan kalau dalam sebuah film tersebut tidak ada unsur hi-
burannya dalam adegan film maka penonton akan merasa bosan. Kalau seandainya
nilai hiburan ditonjolkan dalam sebuah film, maka terkesan film rendahan. Film yang
hanya lari dari kenyataan hidup dan terkesan konyol tak berarti. Ini banyak terjadi, film
yang beredar dimasyarakat terutama di televisi (sinetron) hanya menimbulkan unsur
hiburan semata, membuat orang tertawa, tegang, bergairah dengan sensasi gambar
yang fulgar dengan tujuan mengikuti kemauan masyarakat.

12
Lalu dibalik itu semua apa yang didapat dari misi dari film tersebut. Nilai pen-
didikan sebuah film bermakna semacam penyampaian pesan moral dari isi cerita film
tersebut. Kalau seandainya nilai pendi- dikannya ini dikerjakan secara halus menurut
etik-etika yang ada dan karakter pembawaannya halus, maka pesan yang ter-
sampaikan ke masya- rakat akan mudah dicerna dan masyarakat tidak merasa digurui
oleh pembuat film. Hampir semua film merasa mengajari tentang tentang perilaku atau
memberitahu sesuatu, walaupun maksud yang disampaikan tidak ada manfaatnya
yang perlu ditiru, karena orientasinya bersandar pada mimpi-mimpi. Konsep cerita
yang tidak tepat akan menjerumuskan masyarakat luas, hal inilah yang perlu dipelajari
oleh orang-orang film.
Bagaimana caranya nilai pendidikan yang memacu orang untuk berbuat lebih
baik dapat tercermin dalam proses pembuatan film ini, sehingga film tersebut tidak
hanya enak ditonton melainkan sebagai “pence- rahan” hidup masyarakat. Nilai artistik
sebuah film akan terwujud jika penggarapanya dari seluruh unsur menyatu. Nilai artis-
tik sebuah film merupakan kajian estetika yang mencerminkan keindahan dalam ba-
hasa gambar pada setiap adegan- adegan dalam setiap shotnya.
Bagaimana semua unsur pembuat film menyatatukan visinya untuk
mengintepretasikan arti artistik ke dalam gambar yang indah. Pada Kenyataannya
karya karya anak bangsa Indonesia hanya berorientasi pada pola hidup yang tak jauh
dari bahasa tubuh. Karya-karya yang melibatkan teknologi cangih masih jauh dari sen-
tuhan, akibatnya hasilnya hanya ituitu itu saja sehingga terkesan menjemukan. Se-
buah film yang dikerjakan dengan konsep yang matang dengan melibatkan sentuhan
teknologi akan memacu masyarakat untuk berpikir secara rasional.

2.4. Fungsi dan Manfaat Film

Film sebagai sebuah media hiburan yang bisa dilihat oleh masyarakat juga memiliki
fungsi serta manfaat tersendiri, berikut diantaranya fungsi dan manfaat film :

1. Informatif, edukatif bahkan persuasif


Sebuah film dapat memuat unsur informatif jika digarap dengan data dan fakta
yang sesuai, sehingga film tersebut dapat memperoleh informasi yang bermakna serta
memberikan pemahaman yang bermutu. Selain itu, Informasi yang didapatkan dari
sebuah film, dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai
lingkungan, kekayaan alam dan budaya. Contohnya film yang bergenre cerita rakyat.
Makna dari edukatif, yaitu memberikan sebuah pembelajaran, baik dalam
memberikan dampak positif bagi pribadi masing-masing ataupun dalam

13
pembangunan karakter diri. Sejatinya, pembelajaran bisa didapatkan dengan cara
apapun dan dari manapun. Termasuk dengan menonton film yang mengandung unsur
edukatif, sehingga bisa menambah pengetahuan dan khazanah tentang hal apapun
yang bermanfaat.
Persuasif bermakna sebagai sebuah ajakan bagi masyarakat yang menonton
film agar menyadari pentingnya menjaga kekayaan alam dan budaya. Biasanya film
persuasif ini dipergunakan oleh pemerintah atau lembaga pemerintah sebagai upaya
mengajak masyarakat untuk mengikuti atau bahikan menaati apa yang disajikan
dalam adegan film tersebut.
2. Media ekspresi dan pengembangan seni
Dalam sebuah film, aktor atau aktris sebagai seorang pemeran dilatih untuk
bisa menghayati perannya. Dari sinilah seni dan artistik manusia diolah sebaik
mungkin sehingga menghasilkan karya-karya yang mengandung makna dan memilii
kualitas yang tinggi.
3. Pemberdayaan sumber daya manusia
Dengan lahirnya seni dalam berperan atau seniman pembuat film, dapat
menjadi motivasi dalam berdedikasi untuk penciptaan karya semacam cerita rakyat.
Selain itu, akan tercipta juga pemberdayaan sumber daya manusia sebagai aktor yang
berperan dalam pembuatan film.
4. Peningkatan kualitas industri perfilman
Tidak bisa dipungkiri, insudtri perfilman menjadi salah satu insudtri yang
memiliki nilai kreatif dan memiliki nilai jual yang tinggi sesuai perkembangan
zamannya. Pembuatan film dengan menggunakan kualitas film yang tinggi dapat
menambah pendapatan negara, termasuk dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

2.5. Sejarah Munculnya Film di Dunia

Proses kreatif sebagai sarana menuangkan ide telah terbentuk sejak awal peradaban
manusia ketika mema- suki jaman es tepatnya jaman diluvium atau jaman glasical. Manusia
pada waktu itu dalam melangsungkan kehidupannya, dengan melakukan komunikasi antar
sesamanya menggunakan bahasa isyarat yang mereka ciptakan dengan menciptakan
bentuk-bentuk tertentu melalui gerakan tangan menyerupai hewan-hewan buruannya. Selain
itu mereka telah menciptakan lukisan-lukisan di dinding gua dengan melakukan coretan-
coretan yang ekspresif menyerupai hewan buruannya, kemudian diberi warna dengan tum-
bukan dari batu alam yang menghasilkan warna merah, oker, hitam dan putih.

14
Gambar 4. Potret lukisan manusia purba di dalam gua :
http://mitchtempparch.blogspot.com/2010/06/lascaux-discovered-1940.html

Selain lukisan mereka juga membuat motif-motif berupa ukiran dengan gaya yang
sama. Hal tersebut telah mereka lakukan selama bertahun diperkirakan 16.000 tahun SM.
Lukisan manusia purba hasil ekspresi manusia ketika itu. Yang mereka tunjukan dengan
menggambar menyerupai hewan. Diperkirkan lebih dari 16.000 tahun SM.

Evolusi peradaban manusia mengalami perubahan yang berarti, ketika kebudayaan


Mesir Kuno (3000 tahun SM) yelah melahirkan Pyctograph sebagai simbol–simbol yang
meng- gambarkan sebuah obyek tertentu. Cara berkomunikasi dengan meng- gunakan
gambar berkembang dari Pyctograph hingga Ideograph, berupa simbol-simbol yang
mempresentasikan gagasan yang lebih kompleks serta abstrak yang lain. Perkembangan
bahasa tulis menjadi sempurna ketika bangsa Romawi menciptakan Alfabert dengan 22 huruf
yang disempurnakan dari huruf punesia dan merubah cara penulisannya dari kiri ke kanan
dimana sebelumnya merupakan kebalikan dari cara tersebut.

Pengekspresian moment estetis semakin sempurna ketika bangsa Yunani mampu


menciptakan gambar- gambar yang realistis seperti aslinya baik secara 2 dimensi maupun 3
dimensi. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya pernyataan seorang filosof Yunani yang
bernama Plato bahwa karya seni merupakan tiruan dari alam yang terkenal dengan sebutan
Mimesis. Dari sinilah perkembangan seni rupa mengalami perubahan yang dramatis, selama
berabad-abad eksplorasi karya seni mengalami perubahan dari gaya yang satu ke gaya yang
lain, dimulai dari jaman Klasik, Peralihan (Bizantium – Basilika), Pertengahan (Romaneska –
Gothic), Renaisance, Baroque, Rokoko, sampai lahirnya seni rupa modern yang berkembang
di kota Paris hingga menghasilkan berbagai macam aliran dalam seni rupa. Sebuah aliran

15
seni rupa modern Naturalisme yang berkembang di kota Paris, Perancis abad ke 19
merupakan bentuk ekspresi dalam bahasa gambar yang diilham oleh pemikiran plato tentang
seni “mimesis”.

Teknik menciptakan gambar semakin sempurna, dimana hasilnya meyerupai obyek


yang sebenarnya ketika teknik fotografi ditemukan. Memasuki abad ke 20 masa modernisme
berkembang, berbagai macam kamera fotografi telah beredar, membuat banyak orang
melakukan eksplorasi untuk menciptakan karya- karya yang mutahir dari yang mencerminkan
kesan romantis, dramatis, mengerikan, manakutkan sam- pai ke hal yang menggelikan
dengan berbagai macam eksperimentasi teknik merekam obyek.

Suatu transformasi budaya yang menajubkan ketika dua bersaudara yang bernama
August dan Lois Lumiere menggemparkan pengunjung Grand Café yang terletak di Boulevard
de Capucines pada 28 Desember 1895 saat film bisu “Worker Leaving The Lumiere Factory”
diputar. Sambutan masyarakat yang hadir disitu demikian hangat dan sensasional,
masyarakat perancis begitu heboh dan tertegun melihat tayangan yang diputar hanya
beberapa menit itu memperlihatkan segerombolan pekerja pabrik foto Lumiere pulang dari
tempat kerjanya. Mereka seakan-akan tak percaya, mana mungkin gerakan serta tingkah laku
manusia dapat terekam secara tepat oleh barang aneh yang bernama pita silluloid. Dari sinilah
film itu lahir, maka berita itu telah menjadi buah bibir masyarakat dunia. Berangkat dari sini
Lumiere memper- kenalkan hasil temuannya itu ke beberapa Negara diantaranya masya-
rakat Inggris, Belgia, Belanda dan Jerman.

Pada awal sejarah film, para sineas semacam Lumiere film yang dibuatnya hanya
berkonsep merekam kenyataan yang ada, seperti para pekerja pabrik yang meninggalkan
aktifitasnya, suatu peristiwa yang dire- kamnya tanpa menceritakan kisa apapun atau suatu
cerita yang telah direncanakan. Tetapi beberapa tahun kemudian oleh George Milles mengu-
bah kenyataan yang naïf itu menjadi suatu kisah yang dibumbui oleh fantasi yang menarik.
Hasil dari olahan Milles dari kenyataan menjdi suatu tontonan yang penuh dengan dunia
impian. Seiring dengan perkembangan populernya aliran “Surealisme”, yaitu sebuah aliran
dalam dunia keseni- rupaan yang berkonsep pada takbir mimpi dengan dipenuhi oleh daya
fantasi itu, maka perkembangan film tak lepas dari pengaruhnya, Berbagai macam konsep
cerita yang berbau fantasi tercipta hingga Amerika dibawah sentuhan pemikiran dan tangan
Edwin. S terlahir teknologi editing sejajar (parallel editing) dan teknologi penciptaan gambar
bergerak semakin sempurna ketika D.W.Grith di tahun 1903 menciptakan teknik pengambilan
gambar melalui kamera dengan nama Close Up, Tracking dan Planning sehingga hasil
gambar yang terbidik menjadi semakain dinamis. Aliran Surialisme yang berkonsep menguak

16
takbir mimpi kedalam bentuk-bentuk fantasi telah mempengaruhi konsep pembuatan film
fantasi.

Perkembangan film di abad 21 mengalami perubahan yang spektakuler, ketika unsur


teknologi menjadi bagian penting dalam proses produksi sebuah film. Seiring dengan perkem-
bangan komputer mengarah pada digitalisasi, maka program-program yang mendukung
dalam proses produksi film telah tercipta seperti program editing, Animasi, Audio, bahkan
special efek yang meng- hasilkan efek-efek gambar yang manajubkanpun tersedia, maka film
yang akan terciptapun hasilnya luar biasa. Kwalitas gambar semakin jernih ketika teknik digital
kamera meng- ambil alih teknik manual, dengan hadirnya kamera yang berbasis 3 CCD
sehingga output gambar per frame hasil rekaman menjadi lebih besar diantaranya 720 X 480
pixel sebuah frame film berkwalitas digital meng- geser tekniklogi sebelumnya yang mampu
menghasilkan frame film 320 X 240 Pixel.

Kemunculan film dan dunia perfilman di dunia sebanarnya tidak bisa dipastikan
dengan jelas asal usulnya, sebab kita harus menentukan dulu mengenai teknologi yg menjadi
patokannya. Penemuan film sebagai gambar bergerak tentu tidak bisa terpisahkan dari
perkembangan dunia gambar atau tepatnya fotografi itu sendiri. Inspirasi fotograpi sendiri
telah berasal dari jauh hari, bahkan kitab dan ajaran agama pun ada yang menjadi
inspirasinya. Perkembangan ini terus berlangsung dan salah satu puncaknya adalah
penemuan kamera obscura oleh saintis islam terkenal ibnu al-Haytam (Alhazen) pada abad
ke 11 M. Semenjak itu perkembangan dunia optik dan fotograpi semakin maju seiring zaman
(Rick Doble, 2013: 3)

17
Gambar 5. Ilustrasi konsep kamera Obscura (Wikipedia

Teknologi Film sebagai pembuat ilusi gambar bergerak mungkin mulai bermula pada
abad ke 15 M. Muncul sebuah penemuan alat yang berhubungan dengan film yaitu Lentera
Ajaib (Magic Latern), yang dikenal sebagai proyektor gambar pertama di dunia. Walau belum
bisa membuat ilusi bergerak dari foto realistik. Dari ini jugalah nanti berkembang berbagai
teknologi lain yang berhubungan dengan film.

Memasuki abad ke 19 M, berbagai perkembngan teknologi film semakin berkembang


pesat. Terjadi lagi penemuan penting teknologi mengenai alat gambar bergerak (motion
picture) yaitu ketika Thomas A. Edison menemukan kamera Kinestoskop (Brian Marley, 2011:
2). Menggunakan alat ini, kita bisa melihat 'ilusi' gambar bergerak dari lubang kecil yang ada
di atasnya. Inilah penting yang berperan besar dalam semangat penemuan teknologi kamera
gambar bergerak selanjutnya. Penemuan paling terkenal adalah dari Auguste dan Louis
Lumiere yang berhasil menemukan alat Sinematografis, alt gabungan dari kamera, proyektor
yang menjadi cikal bakal dari bioskop hari ini (Brian Manley, 2011: 6).

18
Gambar 6 dan 7 - Gambar Alat KInetoskop dan Sinematograpis (Wikipedia)

Pada 28 Desember 1895, untuk pertama kalinya pemutaran film untuk kebutuhan
komersial berlangsung. Pemutaran film tersebut dilakukan di Grand Cafe, Paris, Prancis. Film
yang diputar tersebut merupakan buatan kakak beradik Louis dan Auguste Lumiere.
Keduanya mengembangkan proyektor kamera yang disebut Cinematographe. Lumiere
bersaudara meluncurkan penemuan mereka ke publik pada Maret 1895 dengan sebuah fi
Film tersebut kemudian diputar secara berbayar pada 28 Desember 1895. Hal inilah yang
menjadi pelopor bioskop yang kita kenal saat ini.

19
Gambar 8. Auguste Lumiere (kiri) dan Louis Lumiere (kanan) :
https://voi.id/memori/118350/karya-lumiere-bersaudara-adalah-film-komersial-pertama-yang-diputar-
dan-jadi-cikal-bakal-bioskop-dalam-sejarah-hari-ini-28-desember-1869

Kedua kakak adik tersebut kemudian membuka teater atau yang lebih dikenal sebagai
bioskop pada 1896 untuk menunjukkan karya mereka. Mereka juga memiliki kru juru kamera
dan mengirimnya ke seluruh dunia untuk memutar film dan merekam materi baru.

Gambar 9. cumplikan film buatan Lumiere Bersaudara berjudul La Sortie de l’Usine


Lumiere a lyon : https://voi.id/memori/118350/karya-lumiere-bersaudara-adalah-film-komersial-
pertama-yang-diputar-dan-jadi-cikal-bakal-bioskop-dalam-sejarah-hari-ini-28-desember-1869

20
Film yang dianggap sebagai film pertama yang debut ke publik adalah film berjudul
“La Sortie de l’Usine Lumière à Lyon” (“Workers Leaving the Lumière Factory” atau "Para
Pekerja yang meninggalkan Pabrik Lumière) yang diproduksi oleh Lumiere bersaudara pada
tahun 1895 (Brian Marley, 2011: 7).

Gambar 10. Cuplikan film La Sortie de l’Usine Lumiere a lyon :


https://fr.wikipedia.org/wiki/La_Sortie_de_l%27usine_Lumi%C3%A8re_%C3%A0_Lyon

Di sisi lain juga ada beberapa film yang dianggap sebagai film pertama yang dibuat
di dunia, seperti Horse in a Motion (1878) karya Muybridge, Roundhay Garden Scene (1888)

Gambar 11. Cuplikan film The Horse in Motion :


https://en.wikipedia.org/wiki/The_Horse_in_Motion

21
Gambar 12. Cuplikan film Roundhay Garden Scene :
https://en.wikipedia.org/wiki/Roundhay_Garden_Scene

Louis Le Prince ataupun film a Trip to the Moon (1902) karya Melies (Chris Heckman, 2022).
Munculnya berbagai pendapat ini disebabkan perbedaan alat yang digunakan, sebab saat
itu masih dalam proses penemuan alat pembuat filmnya.

Gambar 13. Potret Louis Aime Augustin Le Prince :


https://id.wikipedia.org/wiki/Louis_Le_Prince

22
Gambar 14. Cuplikan film A Trip to The Moon :
https://en.wikipedia.org/wiki/A_Trip_to_the_Moon

2.6. Sejarah Perkembangan Film di Indonesia Masa Kolonial Belanda

2.6.1. Sejarah awal film di masa Belanda

Indonesia yang dikenal sebagai Hindia Belanda adalah negara jajahan yang menjadi
tujuan berbagai negara kolonial pada periode 1500-an. Pembangunan jaringan transportasi
kereta api di Jawa sekitar tahun 1850 sejalan dengan dinamika industri dan turisme yang
tumbuh di dunia, mempermudah digelarnya berbagai seni pertunjukan tradisional seperti
ludruk, wayang orang, dan komedie stamboel.

23
Gambar 15. Ilustrasi potret komedie stamboel :
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/10/31/komedi-stambul-hiburan-populer-masyarakat-
pada-zaman-kolonial

Komedie Stamboel adalah suatu bentuk seni pertunjukan teater sandiwara keliling,
berupa Pentas Gaya Istanbul, yang pada saat itu lahir untuk memenuhi hiburan bagi rakyat di
Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Keberadaan kereta api yang mendorong pertumbuhan
Komedi Stamboel untuk bisa berkeliling di Jawa (Isaac Cohen, 2006)

24
Gambar 16. Iklan poster pertunjukkan Komedie Stamboel di koran Bintang Barat, 1892
: https://tempodoeloe.com/2011/08/18/hebohnya-komedie-stamboel/

Pada mulanya Komedie Stamboel ini muncul dalam bentuk teater keliling yang mirip
dengan apa yang ada di Eropa saat itu, sama halnya seperti pertunjukan sirkus. Komedie
Stamboel pertama kali muncul di kota pelabuhan, Surabaya, pada 1891. Pelopornya adalah
seorang Indo bernama August Mahieu. Lantas dari mana nama stambul? Kisahnya begini,
anggota kelompok Mahieu senang mengenakan topi warna merah, topi tradisional Turki,
dengan semacam kucir di bagian atas.

Orang di Hindia Belanda mengucapkan ibu kota Turki, Istanbul, sebagai Stambul,
maka jadilah kelompok komedi Mahieu disebut Komedie Stamboel. Mahieu mengambil pola
pertunjukan Abdul Muluk di Semenanjung Malaka. Abdul Muluk sendiri meniru pertunjukan
dari Iran. Maka dari itu, pementasan 1001 Malam pun jadi begitu beken. Selain 1001 Malam,
kisah Hamlet, karya Multatuli De Bruide daar Booven pun ikut dipentaskan. Komedie
Stamboel ini menaklukkan hati masyarakat seantero Hindia Belanda bahkan hingga ke tanah
Singapura. Rombongan pertunjukan panggung pun bertumbuhan. Tren pementasan
Stamboel pun jadi patokan. Sebut saja Genoveva, Aladin dan Lampu Ajaib, dan karya-karya
Shakespear seperti The Merchant of Venesia dan Hamlet. Dalam buku yang dibaca rekan

25
saya, seperti tersebut di atas, The Komedie Stamboel: The Popular Theater in Colonial
Indonesia 1891-1903 yang ternyata karya seorang pria beristrikan perempuan Jawa,
disebutkan bahwa tur rombongan Mahieu tak hanya ke Singapura, tetapi juga ke Aceh,
Medan, Deli, Padang, dan daerah-daerah lain di Sumatera. Setelah pembatalan tur Sumatera
karena kondisi cuaca, rombongan Stamboel kembali ke Batavia dan menyewa sebuah rumah
sebagai penampungan para pemain.

Matthew Isaac Cohen, sang penulis, menyebutkan bahwa rumah itu ada di Gang
Pinang di area bernama Pesayuran, dan mendapat izin untuk tampil selama dua bulan di
Manggabesar. Dalam periode 30 Maret - 24 Mei 1894, Komedie Stamboel menangguk untung
besar, sebuah sukses mengantongi pemasukan bersih sebesar 10.000 gulden. Meskipun lagi-
lagi kondisi cuaca yang buruk, hujan mendera membuat beberapa repertoar batal ditampilkan,
tahun 1894 itu bagi Mahieu dan rombongan merupakan tahun sukses.

Mereka juga mementaskan Badarel Dunia atau The World Star. Cohen tak lupa
mencatat kejadian saat Komedie Stamboel manggung, khususnya di Mangga Besar.
Demikian kira-kira Cohen menulis, “Khalayak ramai sungguh tersedot oleh Komedie
Stamboel, alhasil kerumunan itu jadi sulit diatur. Warga Belanda menggoda paksa seorang
istri dari pria Tionghoa. Perkelahian pun pecah saat rombongan Mahieu memainkan Sahir
Zaman. Polisi sampai harus turun tangan menggeret pria Tionghoa, memanggil andong,
kereta pengangkut untuk membawa pria tadi pulang ke rumah. Di ujung lain, seorang sinyo
yang beken di antara pengendara andong/sado memulai perkelahian. Pekerja seks bersama
bos mereka berkumpul di dekat tenda panggung. Sementara itu, serdadu mabuk nan
sombong diikat di sado yang ada di luar teater. Itu sebagai lelucon, jelas saja penonton malah
jadi khawatir."

Rupanya sejak abad lalu, kerusuhan seperti itu sudah ada. Kini bahkan dunia
olahraga, khususnya sepak bola, tak pernah lepas dari kelakuan bonek yang hanya berani
jika beramai-ramai, berani saat dipengaruhi pil atau minuman keras. Berani merusak, berani
mati, tapi tidak berani bertanggung jawab. Sebuah masalah sosial yang perlu segera
ditangani. Pertunjukan panggung ini pada akhirnya melahirkan beberapa rombongan lain
yang punya nama pada tahun 1920-an, termasuk Komedie Stamboel Dardanela, Miss Tjitjih,
Tjahaja Timoer, hingga Srimulat setelah Indonesia merdeka.

Perkembangan Komedie Stamboel ini melahirkan perkumpulan-perkumpulan lain


seperti Opera Srie Pertama, Opera Bangsawan, dan Indra Bangsawan. Sejarah seni
pertunjukan Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah pertemuan muktikultur yang
dipengaruhi oleh beragam prospektif.

26
Sebelum muncul film bisu di tanah air, bentuk seni yang muncul secara tradisional
mula-mula di tanah Jawa adalah wayang kulit, bahkan ketika film bisu mulai hadir pertama
kali musik pengiring di bioskop dari wayang kulit tetap dipentaskan. Pada akhir abad ke-19
wayang orang mulai dipertontonkan di luar istana. Adalah seorang patron seni Tionghoa
bernama Gam Kan di Surakarta yang memiliki hubungan dekat dengan Mangku Negara V.
Pada saat itu (1885) raja memberikan izin pertunjukan Wayang Wong di luar istana pada
1885. Gam Kan menunjukkan sejarah kewirausahaan etnis Tionghoa di tengah perubahan
yang melahirkan peluang baru dalam hal industrialisasi seni. Hal ini muncul bersamaan
dengan internasionalisasi yang datang membawa banyak bentuk seni pertunjukan baru
berikut cara menontonnya, mendistribusikan, menuturkan, serta teknologinya (Nugroho, G.,
dan Herlina, D., 2015).

Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada tanggal 5 Desember 1900 di


Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “gambar idoep”. Pertunjukkan film pertama
digelar di Tanah Abang, sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan
Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya
dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri
Film Indonesia 70 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat
penonton. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari
Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup
laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini
ternyata mengagumkan.

2.5.2. Perkembangan film di masa Belanda

Awalnhya masyarakat Hinda Belanda pada tahun 1900 tepatnya di Batavia (Jakarta)
baru mengenal film yang pada saat itu masih berupa “gambar idoep”. Istilah gambar idoep
mulai dikenal saat surat kabar Bintang Betawi memuat iklan tentang pertunjukan itu. Iklan dari
De Nederlandsche Bioscope Maatschappij di surat kabar Bintang Betawi menyatakan :
“...bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar
idoep dari banyak hal...” (Bintang Betawi, 1900)

Selanjutnya pada tanggal 4 Desember surat kabar itu kembali mengeluarkan iklan
yang berbunyi : “...besok hari rabo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Jang Pertama di dalam
satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem...”

Film yang dipertontonkan saat itu merupakan film dokumenter yang menceritakan
tentang perkembangan terakhir pembangunan di Belanda dan Afrika Selatan. Film ini juga

27
menampilkan profil keluarga kerajaan Belanda. Tahun 1910 sendiri tercatat sebagai tahun
kegiatan pembuatan film yang bersifat pendokumentasian tentang Hindia Belanda agar ada
pengenalan lebih “akrab” antara negeri induk (Belanda) dengan daerah jajahan. (Gunawan,
1990 : 21)

Pemutaran film pertama tersebut lebih jelasnya menceritakan tentang perjalanan Ratu
Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag, Belanda. Sayangnya pemutaran film
pertama ini masih terbilang tidak sukses, karena sedikitnya penonton yang hadir dikarenakan
mahalnya harga tiket untuk menontonnya. Dengan melihat kesalahan yang terjadi pada 5
Desember 1900, pada tanggal 1 Januari 1901 diadakan kembali pemutaran film yang sama.
Pada pemutaran kedua ini, harga karcis telah dipotong hingga 75% dari harga semula. Hal ini
dilakukan untuk merangsang para penduduk sekitar untuk menonton film dokumenter
tersebut.

Adapun film pertama yang dikerjakan di Indonesia adalah film bisu berjudul “Loetoeng
Kasaroeng”, dengan sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Aktor maupun aktris
yang dimainkan dalam film tersebut adalah artis lokal, dan diproduksi oleh Perusahaan Film
Jawa di Bandung. Hal ini dikarenakan produksi film tersebut dibiayai oleh Bupati Bandung
saat itu, Wiranatakusumah V. Untuk penayangan perdana dilaksanakan pada tanggal 31
Desember 1926 hinggal 6 Januari 1927, di teater Elite and Majestic (Oriental Bioscoop).

Film Loetoeng Kasaroeng merupakan film cerita pertama di Indoensia yang


menampilkan cerita rakyat daerah Priangan (Jawa Barat). Film tersebut diproduksi dengan
menggunakan peralatan seadanya saja dan ceritanya dibuat dengan sederhana. Sambutan
masyarakat terhadap film ini sangat luar biasa, sampai-sampai dioputar 6 hari beturut-turut
dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. (Widjaya, 2007 : 93)

Pada masa film cerita pertama ini dibuat, diketahui bahwa pemasukan bioskop pada
waktu itu hampir 80% berasal dari kantong pribumi dan golongan Cina. Jadi, jika ada film
cerita yang dibuat di dalam negeri pasti akan mempunyai pasar yang bagus. Akan tetapi, pada
waktu itu bioskop-bioskop yang ada sudah terbiasa memutar film-film Eropa, Amerika, dan
Cina. Maka, penonton sudah bisa menyaksikan film-film dengan kualitas film dengan biaya
tinggi dan dengan teknologi yang mutakhir. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia perfilman di
Indonesia pada wkatu itu agar dapat bersaing dengan film-film impor. (Biran, 1982 : 4)

Para orang Cina dan keturunan Cina yang dari awal sudah terlibat dalam dunia
perfilman, ikut masuk ke dalam bisnis pembuatan film cerita. Mereka terlibat sebagai
sutradara, produser, pemilik bioskop maupun pemilik perusahaan film. Pada tahun 1928,

28
Wong Bersaudara (Nelson, Joshua, dan Othnil) membuat perusahaan film bernama Hlimun
Film dan berhasil membuat film Lily van Java. Ketika film pertamanya sukses, perusahaan
film tersebut kemudian pindah ke Batavia dan berganti nama menjadi Batavia Motion Picture.
Film produksi Halimun Film atau Batavia Motion Picture, yaitu Melatie van Java (1928),
Indonesie Malaise (1931), Si Pitung (1932), Zuster Maria (1932), dan Si Conat (1929).
(Kristanto, 2007 : 1)

Setahun setelah berdirinya Halimun Film, berdiri Tan’s Film di Batavia. Tan’s Film
didirikan oleh Tan Khoen Hian. Film hasil produksi perusahaan ini, antara lain : Njai Dasima
(1926), Melatie van Agam (1930), Siti Akbari (1937), Fatima (1937), Rukihati (1938), dan
Gagak Hitam (1939). Pada tahun 1930 seorang Cina peranakan lainnya bernama The Teng
Chun mendirikan Cino Motion Pictures Corporation. Setelah besar kemudian nama
perusahaan itu berubah menjadi The Java Industrial Film Company. Film Produksinya yaitu
San Pek Eng Tay (1930), Bunga Roos dari Tjikembang (1930), Delapan Wanita Jelita (1932),
dan Delapan Jago Pedang (1933). (Majalah Doenia Film, 1929 : 18)

Pada tahun 1940 jumlah perusahaan film semakin bertambah banyak, antara lain :
Oriental Film, Union Film, Populer Film, Majestic Film Coy dan The Film Coy. Oriental Film
memproduksi film Keris Mataram (1941), Zubaedah, dan Pancawarna, Union Film membuat
film Kedok Ketawa, The Film Coy menggarap film Asmara Murni, Populer Film memproduksi
film Mustika dari Jenar, Bunga Semboja, dan 1001 Malam (1942).

Pada era Hindia Belanda sebagian besar produser memang etnis Tionghoa, hanya
Krugers saja yang merupakan orang Eropa. Beberapa nama produser Tionghoa tersebut,
antara lain : Tan Koen Yauw, Wong Bersaudara, Jo Eng Sek, The Teng Chun, Tjho Seng
Han, dan Jo Kim Tjan.

Bintang-bintang film yang terkenal pada masa Hindia Belanda adalah Tan Tjeng Bok,
Fifi Young, Rd. Mochtar, Roekiah, Moch. Mochtar, Wolly Sutinah, Kartolo, dan Mas Sardi. Fifi
Young pernah bermain dalam film berujudul Pancawarna (1941) yang merupakan film musikal
pertama di Indonesia. Wolly Sutinah lebih sering dikenal Mak Wok dan merupakan tokoh tiga
zaman. Rd. Mochtar membintangi film Pareh (1934) arahan sutradara Mannus Franken. Film
ini banyak dibicarakan orang pada waktu itu karena film ini sangat memperhatikan segi artistik
dalam film. Masa kehadiran film sebagai unsur daya tarik sebuah film secara meyakinkan
sesungguhnya terjadi ketika seorang biduanita, glamour girl populer, pemain sandiwara
terkenal Miss Roekiah tampil membintangi film Terang Boelan (1937) yang disutradarai Albert
Balink. Film ini menampilkan Roekiah seperti Dorothy Lamour (bintang film terkenal
Hollywood saat itu).

29
Bersamaan dengan berkembangnya industri perusahan film, dunia perfilman
Indonesia juga tentu mengalami pertumbuhan. Sebelum muncul berkembangnya perusahaan
industri film, nyatanya telah terdapat ruang atau tempat untuk masyarakat yang ingin
menonton film dengan nyaman. Bermula dari rumah Tuan Schwarz (nantinya akan menjadi
The Rojal Bioscope) difungsi gandakan menjadi sebuah pertunjukkan. Gedung pertunjukkan
semacam ini kemudian dikenal dengan nama bioskop. Sejak dibukanya gedung bioskop
pertama ini, maka dalam waktu beberapa tahun kemudian bermunculan gedung-gedung
bioskop baru di daerah Batavia dan Surabaya. Akan tetapi, orang cepat bosan dengan apa
yang dipertunjukkan karena mereka meluhat bahwa pertunjukkan itu hanya berisi rangkaian
gambar yang tidak mengandung cerita. Padahal waktu itu untuk melihat pertunjukkan itu harus
membayar. Harga tanda masuk kelas f2, kelas dua f1, dan kelas tiga f0,50. (Gunawan, 1990
: 21)

Gambar 17. Potret ilustrasi keadaan masyarakat di bioskop masa kolonial :


https://wawasansejarah.com/bioskop-pada-masa-kolonial/

Pada awal perkembangan, bioskop kurang mendapatkan penonton karena untuk


biaya masuk diatas tidak semua orang dapat membayar, hanya beberapa orang pribumi saja
dan yang pasti bisa hanya orang-orang Tionghoa dan Eropa. Maka untuk mensiasati hal
tersebut, The Rojal Bioscope kemudian membuat iklan. Harga tiket masuk loge f2, kelas satu
f1, kelas dua f 0,50, dan kelas tiga (untuk orang Islam dan Jawa saja) f 0,25. (Jauhari, 1992 :
5) Secara otomatis bioskop kelas dua keatas hanya dapat dimasuki oleh orang Timur Asing
dan Eropa.

30
Gambar 18. Contoh potret tiket zaman dulu :
https://id.pinterest.com/pin/424605071094419785/

Pemerintah kolonial setuju dengan hal itu karena mencerminkan susunan masyarakat
saat itu. Dalam waktu singkat bioskop telah menjadi sarana hiburan masyarakat dan menjadi
salah satu kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Hal inilah yang mendasari para pedagang
Cina yang ada di Hindia Belanda sampai dengan tahun 1927 adalah milik para pengusaha
keturunan Cina. Selain orang Cina, orang India dan Amerika juga ikut mendirikan bioskop.
Biograph Compagnij (India) mendirikan bioskop di Tanah Lapang Mangga Dua dan American
Animatograph mendirikan bioskop di Gedung Kapitein Tan Boen Koei di Kongsi Besar.
(Jauhari, 1992 : 7-8)

Teknologi perfilman Indonesia mulai canggih, tahun 1931 mulai dengan pembuatan
film bersuara. Film pertama bersuara tersebut berjudul “Nyai Dasima”, dan mulai ditayangkan
tahun 1932. Film bersuara tersebut masih berwarna hitam dan putih. Selanjutnya diproduksi
pula film bersuara dan mencoba untuk memasukkan unsur musik ke dalam film tersebut. Film
tersebut berjudul “Terpaksa Menikah”. Kemudian sekitar tahun 1937, sudah diproduksi film
musikal seperti halnya film-film musikal yang marak ditahun 2009. Film musikal ternyata telah
berkembang sejak lama. Film musikal yang diproduksi ini berjudul “Terang Boelan”. Film ini
menjadi sangat populer ketika itu, karena jenis baru film yang pernah dikerjaan di Indonesia.
Setelah itu produksi film makin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas. Hingga
akhirnya menuju puncak kejayaan pertama ditahun 1941. Selanjutnya film Indonesia mulai
untuk melakukan perbaikan tidak hanya dalam peran, namun juga dalam teknologi produksi
sebuah film. Memasuki 1942, keadaan perfilman Indonesia mulai menurun. Hal ini terjadi

31
ketika Belanda menyerahkan Indonesia kepada Jepang. Jepang mengambil alih semua
kekuasaan Belanda dan merubah sebagian besar kebijakan perfilman yang terjadi ketika
masa penjajahan Belanda. Akhirnya pada masa-masa ini perfilman menjadi menurun dari segi
kuantitas. Hingga berdampak pada teknologi film yang digunakan juga memiliki keterbatasan
yang sangat memperihatinkan bila dibanding dengan kebijakan semasa penjajahan Belanda.

Pada masa Hindia Belanda, perfilman Indonesia sepenuhnya dikuasai oleh bangsa
asing, Eropa dan Cina. Bnayaknya produser dan sutradara yang berasal dari etnis Tionghoa
menjadikan film hanya sebatas produk dagang. Sampai tahun 1930 film yang diproduksi
masih berupa film bisu. Baru pada tahun 1931 diproduksi film bicara pertama, yakni Atma de
Visher, arahan sutradara G. Krugers. Pemain film Indonesia pertama adalah N. Noerhani
dalam film Njai Dasima (1928). Sedangkan sutradara pertama Indonesia adalah R. Ariffien
melalui film Harta Berdarah (1940). (Kristanto, 2007 : 90)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa pada tahun 1937 muncul film Terang Boelan.
Film ini dapat dikatakan film yang menjadi sebuah awalan baru dalam dunia film di Hindia
Belanda. Sang Sutradara, Albert Balink, bekerja sama dengan Wong Bersaudara dalam
menggarap film ini, sedang skenarionya ditulis oleh Saeroen. (Said, 1982 : 24) Saeroen
merupakan orang yang dekat dunia sandiwara pribumi dan Cina peranakan. Ia kenal pol yang
digunakan oleh rombongan sandiwara tersebut demi menarik perhatian khlayak ramai. Ia
kemudian memasukkan pola tersebut ke dalam film Terang Boelan, seperti lagu keroncong,
tipe nyanyian kesukaan rakyat jelata. Film ini sangat digemari dan menghasilkan keuntungan
yang luar biasa, bahkan film ini sampai diputar di Malaya dan Singapura. Maka setelah film
tersbeut, banyak perusahaan-perusahaan film yang meniru resep film tersebut. Banyak para
pemain film baru yang ditarik dari dunia sandiwara, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd.
Ismail, Astaman, dan Ratna Asmara. Bahkan para orang panggung pun ditarik ke dalam dunia
film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.

Produksi meningkat dari tahun ke tahun, 1937 (2 buah), 1938 (3 buah), 1939 (5 buah),
1940 (14 buah), dan 1941 (30 buah), dunia film didominasi oleh orang panggung. Sedangkan
di pihak lain, film Terang Boelajn “menggelapkan” dunia sandiwara. Naiknya, jumlah produksi
tersebut, sayangnya harus terhenti pada tahun 1942. Hal itu disebabkan karena Belanda
menyerahkan kekuasaan Hindia Bleanda ke tangan pemerintah Jepang. Jepang kemudian
menurup semua perusahaan film yang dulunya buka berasal dari atas panggung.

Jika diruntut berdasarkan periode maka perkembangan dunia film Indonesia pada
masa kolonial Belanda berentang dari tahun 1900-1942. Dan dapat disimpulkan bahwa era
awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5

32
Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang
menayangkan berbagai film bisu. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia
adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara
Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh
Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31
Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Film kedua ialah Eulis Atjih (1927) yang diproduksi oleh perusahaan yang sama.
Setelah itu, muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung, Lily
Van Java, dan Central Java Film Coy di Semarang. Selanjutnya, pada tahun 1931, industri
film lokal baru bisa membuat film bersuara. Film ini berjudul ‘Atma de Vischer’. Dalam kurun
waktu enam tahun (1926-1931) ada 21 film yang telah diproduksi. Pada tahun 1936, salah
satu majalah yaitu Filmrueve, mencatat ada 227 bioskop.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong


bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang
dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian
kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen
Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama
antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari
Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu
antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesia Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah
terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong
Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda,
Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang
Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh
menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya
tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat
gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF
(Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara)
dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama
Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil
menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton
kelas bawah.

33
Dunia perfilman Indonesia memiliki perkembangan, namun dalam perkembangannya
tersebut pertumbuhan yang terjadi tidak seperti yang dibayangkan, sebab pada masa itu
situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk pengerjaan sebuah film, sebab saat itu
rakyat Indonesia sedang berjuang untuk melawan penajajah saat itu, yaitu Jepang dan
Belanda. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1926-1931 terdapat 21 judul film,
baik film bisu maupun film bersuara, dan hingga tahun 1936 tercatat 227 bioskop, menurut
majalah film Filmrueve.

2.6.3. Kebijakan film di masa Belanda

Pada masa Hindia Belanda, masuknya film telah membuat Pemerintah Hindia Belanda
melakukan 1 penyensoran melalui ”Ordonansi Biooscoope 1916”. Penyensoran terhadap film
dilakukan karena Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir atas pengaruh film seks dan
kekerasan yang dapat mengurangi kewibawaan bangsa Barat di mata rakyat pribumi. Karena
setelah tahun 1910 tepatnya saat film dokumenter masuk ke Indonesia namun film-film
tersebut didominasi oleh film impor Eropa dan Ameraka. Menyadari adanya pengaruh buruk
dari film dan bioskop, terutama yang dapat menyerang kewibawaan pemerintah kolonial
Belanda, maka dikeluarkanlah Ordinantie Bioscope tahun 1916 untuk mengawasi film-film
yang dipertunjukkan dan pada tahun 1916 pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan
berbagai perubahan sebagaimana tertera dalam Lembaga Negara (Staatsblad) Nomor 37 dan
nomor 742 tahun 1919 serta Nomor 688 1922 dan diperkuat lagi dengan Lembaran Negara
Nomor 507 tahun 1940.

Hal yang perlu diperhatikan pada awal perkembangan film Indonesia adalah belum
ada film cerita yang dibuat di Indonesia dan para penonton pribumi pada waktu itu belum
dapat menikmati pertunjukkan film dengan cerita yang utuh. Film-film yang ditampilkan di
bioskop-bioskop yang dapat dimasuki kalangan pribumi merupakan kumpulan berbagai
macam potongan film yang disambung menjadi satu. Hasil guntingan sensor Komisi Sensor
Film berhasil dikuasai para pedagang Cina yang memiliki bioskop dan dijadikan “film aneka
rupa” untuk menarik keuntungan dari masyarakat. Para pedagang Cina pemilik bioskop ini
hanya menjadikan film sebagai barang dagangan saja. (Ryadi, 1990 : 20)

Lebih jauh lagi, di Negeri Belanda sendiri sejak semula memang tidak pernah bersibuk
dengan film cerita, sebab film-film Hollywood dan Eropa senantiasa memenuhi gedung-
gedung bioskop di Negeri Belanda. Kekurangan pengalaman itu turut menunjang
didominasinya pembuatan film di Hindia Belanda oleh orang-orang Tionghoa (Said, 1976: 7).
Namun demikian, kepedulian itu muncul juga ketika upaya para pengusaha bioskop
memberlakukan sistem pembagian kelas yang bersifat rasial di dalam pertunjukan film.

34
Ketentuan baru seperti yang tampak pada iklan di surat kabar Bintang Betawi tahun 1903
yang menjelaskan adanya penambahan kelas, mulai dari loge (f 2), kelas 1 (f 1), kelas 2 (f
0,50), kelas 3 (hanya untuk orang Islam dan Jawa, F 0,25).

Bagi pihak pengusaha bioskop, kebijakan itu semata-mata didorong oleh motif
ekonomi. Dengan adanya penunjukan kelas 3 khusus untuk orang Islam, Jawa, dan pribumi
secara keseluruhan, diharapkan kelas 2 dan 1 tidak akan kosong. Orang Eropa, Cina, dan
India dengan berlakunya ketentuan itu harus membeli karcis kelas 2 ke atas. Dengan begitu,
orang yang status sosialnya dan penghasilannya lebih tinggi akan membeli karcis yang lebih
mahal. Sedangkan bagi Pemerintah Hindia Belanda, kebijakan itu sejalan dengan politik
kolonial Belanda. Sejak dicanangkannya ”politik pemerintahan tidak langsung”, pemerintah
kolonial berusaha menghidupkan kembali feodalisme dengan menempatkan para bupati ke
tempatnya semula. Kekuasaan tradisional para bupati diperkuat dengan memberikan simbol-
simbol status dan atribut-atribut kebesaran, seperti gelar kepangkatan tradisional, tanda-
tanda jasa, dan lain-lain. (Hardjasaputra, 1985:11)

Selain itu juga, untuk lebih menegaskan stratifikasi sosial pemerintah kolonial pun
memberlakukan hukum kependudukan yang membedakan penduduk ke dalam tiga golongan,
yaitu tempat teratas ditempati oleh orang Eropa, tempat kedua oleh orang Timur asing, dan
tempat terbawah oleh pribumi (Paulus, 1979: 73-90).

Penciptaan iklim rasialisme ini menyebabkan adanya jurang pemisah antara pihak
penjajah dan yang dijajah atau antara kulit putih dengan kulit coklat. Masing-masing
merupakan lapisan dalam masyarakat yang benarbenar terpisah oleh undang-undang tertulis
(Kartodirdjo,1990:223). Demikianlah bioskop mulai berperan sebagai instrumen rasialisme.
Semangat dan jiwa rasialisme yang kental pada saat itu menyebabkan bioskop berkembang,
karena dana yang masuk semakin meningkat. Orang menonton bukan semata-mata tertarik
oleh film yang diputar, tetapi lebih untuk menunjukkan kedudukan dan status sosialnya.

Pemerintah kolonial merasa cukup dengan memberikan dukungan saja terhadap


perkembangan bioskop di Hindia Belanda yang dianggapnya dapat dijadikan sarana
penegasan perbedaan kelas. Baru kemudian kepeduliannya bertambah dengan adanya
usaha pembuatan film dokumenter tentang Hindia Belanda oleh Jerman. Merasa kecolongan
dan untuk menutupi rasa malu, pemerintah kolonial melalui keputusan Raja No. 40 tahun 1925
membentuk NV atau “Nederlandsch Indische Film Maatschapij‟ yang bertugas untuk
membuat film-film dokumenter. Film-film ini melahirkan kesadaran kalau media film dapat
berperan sebagai media ilmu pengetahuan.

35
Kepedulian itu terusik kembali ketika bioskop-bioskop memutar film-film yang dapat
berpengaruh buruk terhadap kewibawaan orang-orang kulit putih di mata orang pribumi.
Pemerintah kolonial merasa khawatir, para penonton dari kalangan pribumi yang sebagian
besar masih buta huruf salah menginterpretasi film-film yang ditontonnya. Film, seperti juga
kebanyakan cerita yang dipublikasikan, senantiasa menampilkan pertentangan antara hal-hal
yang baik dan buruk. Cerita yang positif biasanya sampai pada kesimpulan, kebaikan pasti
menang melawan kejahatan. Namun, yang dilihat penonton pribumi adalah gambaran
mengenai kekerasan, perceraian yang merupakan kelaziman, dan perilaku lain yang
menggugah penilaian mereka terhadap budaya sendiri. Mereka tidak begitu paham bahwa
film yang mereka tonton itu hendak menyatakan perceraian, ganti-ganti pasangan, dan
kekerasan adalah suatu hal yang buruk dan patut dihindari. Mereka tidak paham bahwa
gambaran buruk di film yang mereka tonton adalah deskripsi kejatuhan moral Barat yang
disajikan secara satir, tidak dengan kebanggaan (Jauhari, 1992:16)

Sejalan dengan kekhawatiran/ ketakutan bahwa keberadaan dan supermasi orang


Eropa itu tereliminir oleh kesan film, maka mereka mendorong pemerintah membentuk badan
sensor film. Pada tahun 1916, pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang yang
mengatur masalah film dan bioskop melalui ”Ordonansi Bioscoope 1916”. Ordonansi itu
memberi hak pemeriksaan film oleh komisi-komisi regional yang ditunjuk oleh gubernur
jenderal. Badan sensor film itu namanya adalah Komisi Sensor Film (KSF) yang didirikan di 4
kota, yaitu: di Batavia, Medan, Surabaya, dan Semarang. Pemerintah memiliki hak untuk
mengangkat anggotaanggota komisi dan menetapkan ketuanya (Staatsblad van
Nederlandsch Indies/ STVI, 1916, No. 227). Bila diperhatikan secara seksama, pembentukan
KSF di empat kota itu memperlihatkan dua fenomena. Pertama, kurang dilihatnya film ketika
itu, sebagai sesuatu yang patut dikhawatirkan bagi kehidupan dan eksistensi kolonial di Hindia
Belanda. Kedua, dengan adanya KSF di empat kota itu memperlihatkan kuatnya pemerintah
daerah (di keempat kota itu) untuk menetapkan calon-calon anggota KSF. Pemerintah daerah
berwenang pula untuk menetapkan kebijakan pemerintah untuk melarang diputarnya satu film
tertentu. Namun demikian, bisa saja dengan alasan tertentu diputar di kota/daerah lain. Hal
itulah yang memperlihatkan kuatnya pemerintah daerah/kota yang ada KSFnya (STVI No.
276, pasal 2 ayat 2).

Ordonansi ini ternyata secara prinsip hanya bersifat pengawasan pada mekanisme
perizinan sebelum sebuah film ditayangkan. Sedangkan mengenai film yang bagaimana yang
harus diterima atau ditolak tidak diatur secara jelas, tidak ada batasan yang jelas. Selain itu,
setiap anggota KSF tidak mendapatkan gaji karena tidak ada kerja profesional, maka
pemerintah juga tidak dapat memaksa mereka siap menyelesaikan pemeriksaan di waktu

36
tertentu. Akibat selanjutnya, kerja menyensor adalah kerja sambilan, dapat dibawa pulang
dan diperiksa sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Ironisnya kemudian, hasil guntingan
masing-masing anggota KSF itu berbeda satu dengan yang lainnya. Akibatnya, guntingan
yang paling dianggap menguntungkan pemilik film mungkin itu yang diputar. Selain itu, ada
juga hal yang ironi, yaitu setiap hasil pengguntingan sensor harus dikembalikan kepada
pemiliknya, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya pada masa itu tidak ada
sensor sama sekali.

Secara tegas dikatakan oleh M. Syarief Arief (Republika, 30 Maret 1996) bahwa
dengan tidak adanya batasan waktu pemeriksaan sensor serta tidak adanya gaji maka amat
memungkinkan terjadinya korupsi dan kolusi yang dilakukan anggota KSF dengan pemilik
film. Sedangkan sanksi tertulis hanya berupa denda sebesar F. 100 atau kurungan delapan
hari penjara saja bagi mereka yang memutar film tanpa disensor.

Celah-celah inilah yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha bioskop, sehingga


ordonansi ini tetap memberi peluang bagi bioskop untuk berkembang dan mengimpor film-
film yang disukainya. Dengan demikian, Ordonansi Bioskop 1916 tidak membatasi gerak
perbioskopan tetapi justru merangsang perkembangannya. Film-film yang ditayangkan lebih
beragam dan juga lebih cepat sekali pun dibandingkan dengan kondisi perbioskopan di Negeri
Belanda. Hampir setiap pekan ada film baru dan calon-calon penonton baru pun berdatangan,
bioskop semakin semarak. Kelonggaran yang terdapat di dalam Ordonansi Bioscoope 1916,
menimbulkan persepsi pada banyak orang bahwa pemerintah kolonial tidak bermaksud untuk
mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh film tetapi lebih berkepentingan dengan
cukai impor dan pajak tontonan.

Isu tersebut mendorong pemerintah kolonial, yang secara psikologis terserang


kewibawaannya, untuk mengadakan revisi atas Ordonansi Bioscoope 1916 lewat serangkaian
pembaharuan yang tertera dalam Lembaran Negara tahun 1919 No. 337, tahun 1919 No. 742,
dan tahun 1922 No. 688. Akan tetapi, masalah ketentuan-ketentuan akan batasan film yang
diterima atau ditolak tetap tidak tercantum. Dalam STVI tahun 1919 memuat adanya
penambahan kuota keberadaan KSF dan setahun kemudian, KSF tidak lagi hanya ditentukan
di kota-kota tertentu, namun diizinkan berdiri di kota mana saja, selama dipandang memang
patut didirikan oleh penguasa setempat (STVI 1920, No. 356). Dengan adanya aturan itu,
maka di daerah-daerah yang merasa dirinya potensial untuk mendirikan KSF maka berdirilah
KSF itu. KSF di setiap daerah memiliki otoritas sendiri untuk memutuskan apakah daerah itu
menerima atau menolak sebuah film. Bisa saja di satu daerah sebuah film dinyatakan lulus
sensor namun di daerah lain ditolak karena dianggap tidak relevan dengan daerah itu (STVI

37
1919 No. 577, pasal 3, ayat 2). Adapun kriteria sensor yang digariskan dalam STVI 1919 No.
577, pasal 4, ayat 2 adalah lolos sensor, tidak lolos sensor, dan lolos sementara. Akan tetapi,
untuk menentukan ke dalam ketiga kategori itu tidak diatur secara rinci sehingga tergantung
kepada otoritas dan penafsiran setiap anggota KSF di daerahnya masing-masing.

Kebijakan pemerintah kolonial di dalam hal masuknya film-film impor yang tercermin
dalam tindakan KSF dirasakan oleh para importir film dan pengusaha bioskop di seluruh
Hindia Belanda sangat merugikan. Mereka pun mulai bereaksi. Pada tahun 1924, dibentuklah
Persatuan Gabungan Sejarah Sensor Film di Indonesia. Importir dan Pemilik Gedung Bioskop
Hindia Belanda (Universal Nieuws, 1 Mei 1924). Kemudian, mereka juga mengadakan
pertemuan pada tanggal 24 Maret 1924. Pertemuan itu menghasilkan 10 usulan yang
diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adapun 10 usulan itu ialah: waktu sensor
hanya 14 hari, pemeriksaan sensor dilakukan oleh seluruh anggota KSF, anggota KSF harus
digaji oleh pemerintah agar profesional, KSF diharapkan menjadi lembaga formal negara, dan
para pemilik film yang filmnya tidak lolos sensor diharapkan diberitahu dan kemudian
diundang untuk diperlihatkan sebab-sebab filmnya tidak lolos sensor (Universal Nieuws, 1 Mei
1924).

Upaya para importir dan pengusaha bioskop itu tidak hanya berhenti sampai di situ
saja. Untuk menekan pemerintah, mereka meminta Konsul Jenderal USA di Batavia untuk
mewakili mereka untuk menghadap kepada gubernur jenderal dan menggolkan usulan
mereka. Usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Pemerintah kolonial akhirnya menerima usulan
mereka meskipun anggota Volksraad, Schumetzer dan ketua KSF Batavia, Vrient melakukan
protes (Universal Nieuws, 1 Agustus 1924). Masalah itu baru teratasi dengan dikeluarkannya
Ordonansi Film tahun 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Jelas bagi kita
bahwa campur tangan USA juga yang mendorong pemerintah kolonial mengeluarkan
peraturan itu. Kepentingan Hollywood dan USA secara keseluruhan tidaklah dapat ditolak
oleh pemerintah kolonial.

Dalam ordonansi (STVI 1925, No. 466) itu komisi film yang bersifat regional diubah
menjadi terpusat (sentral) bagi seluruh Hindia Belanda (hanya ada di Batavia) dan
ditempatkan di bawah Departemen Binnelands Bestuur. Komisi beranggotakan 9 orang
dengan seorang ketua dan seorang sekretaris. Kesembilan orang itu semuanya wanita (4
wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 wanita Timur asing). Para sinology dan japanlog secara
khusus bertugas memeriksa film Cina dan Jepang. Adapun hak pengangkatan komisi ini
berada di tangan direktur pemerintah dalam negeri. Selain itu, film yang masuk pun harus
melalui kantor bea cukai Tanjung Priok untuk diperiksa dan disensor oleh komisi. Film yang

38
ditolak dikembalikan ke bea cukai untuk dipulangkan ke negara asal. Hanya yang lolos sensor
yang diserahkan ke importir untuk diedarkan (lihat Lembaran Negara tahun 1925).

Agar anggota KSF dapat bekerja profesional, pemerintah kolonial pada tahun 1925
menyediakan anggaran sebesar F. 10.560, setiap tahun anggaran bertambah sehingga pada
tahun 1933 anggaran yang disediakan sebesar F. 49.280. Gaji yang diterima seorang Ketua
KSF sebesar F. 150 sebulannya, adapun gaji sekretaris sebesar F. 100 per bulannya.
Mengenai honor pemeriksaan film adalah sebesar G. 2.50/film.

Melihat anggaran yang disediakan oleh pemerintah kolonial jumlahnya cukup besar,
dapatlah dikatakan bahwa kedudukan dunia perfilman di Hindia Belanda cukup kuat. Tidaklah
mengherankan apabila pemerintah kolonial melakukan perubahan yang cukup radikal di
bidang perfilman di dekade kedua abad ke-20 itu. Perubahan kebijakan yang radikal itu juga
dapat dilihat dengan diberlakukannya pengawasan terhadap penonton film. Kepada penonton
film diberlakukan batasan usia penonton, yaitu usia 17 tahun ke atas dan 17 tahun ke bawah.
Begitu juga dengan ancaman hukuman lebih diperkeras lagi. Bagi mereka yang sengaja
memutar film tanpa sensor dikenakan sanksi berupa denda sebesar F. 500 atau ancaman
kurungan selama 3 bulan. Begitu juga dengan guntingan hasil sensor. Bila sebelumnya hasil
guntingan sensor dikembalikan kepada si pemilik film, maka setelah dikeluarkannya STVI
1925, guntingan sensor itu harus dimusnahkan.

Adapun ordonansi yang lebih tegas memberikan batasan mengenai apa yang
dimaksud dengan film, pertunjukan film, mekanisme sensor dan sanksi pidananya dimuat
dalam Lembaran Negara No. 507 tahun 1940. Dasar tindakan komisi dalam menyensor film,
antara lain, film-film yang oleh komisi dianggap bertentangan dengan keamanan umum dan
susila atau alasan-alasan lain yang bagi mereka berumur di atas 17 tahun dinilai dapat
menimbulkan pengaruh yang menentang dan merusak.

2.6.4. Contoh film di masa Belanda

1. Film Loetoeng Kasaroeng (1926)

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun
1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger
dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan
Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember,
1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

39
Gambar 19. Poster film Loetoeng Kasaroeng tahun 1926 :
https://id.wikipedia.org/wiki/Loetoeng_Kasaroeng

Dalam film ini menceritakan kisah Purbasari dan Purbararang adalah kakak-
beradik yang saling berkompetisi. Purbararang, sang kakak, mengejek Purbasari
karena mempunyai kekasih seekor lutung bernama Guru Minda. Sementara,
Purbararang sendiri mempunyai kekasih seorang manusia bernama Indrajaya, yang
sangat ia banggakan. Pada akhirnya, terungkap bahwa Guru Minda adalah seorang
pangeran tampan titisan dewi Sunan Ambu.

Loetoeng Kasaroeng menjadi film fitur pertama yang diproduksi di dalam


negeri dan yang pertama menampilkan pemeran pribumi. Iklan-iklannya dimuat dalam
publikasi berbahasa Belanda dan Melayu. Film ini hanya ditayangkan selama
seminggu disertai pertunjukan gamelan Sunda secara langsung sebagai musiknya,
setelah itu Loetoeng Kasaroeng digantikan oleh film-film Hollywood. Pada tanggal 14
hingga 17 Februari 1927, film ini diputar di bioskop Mignon di Cirebon. Meskipun
kinerja box office-nya tidak tercatat, diperkirakan hasilnya buruk.

Sebuah ulasan oleh "Bandoenger" di majalah Panorama menilai film ini


memiliki kualitas teknis yang buruk dibandingkan dengan film impor, yang
menunjukkan bahwa produksi film ini kekurangan dana. Ulasan tersebut juga
menyatakan bahwa beberapa pemeran tidak dibayar atas penampilan mereka.

40
Seorang koresponden Buitenzorg dari Java-Bode melaporkan secara pribadi pada
gubernur jenderal mengenai film ini, ia menulis: "Gambar-gambarnya tidak fokus dan
keseluruhan film berkesan suram dan gelap. Penyutradaraan yang kikuk, set dan
kostum sederhana. Dari sekian banyak pemeran, tidak ada satu pun yang aktingnya
menarik perhatian."

Sejarawan film Indonesia, Misbach Yusa Biran menulis bahwa Loetoeng


Kasaroeng tidak akan diterima dengan baik di luar Jawa Barat, karena budaya dan
tarian Sunda tidak dianggap menarik bagi kelompok etnis lain, terutama orang
Jawa.[14] William van der Heide, seorang dosen studi film di Universitas Newcastle di
Australia, mencatat bahwa kecenderungan para pembuat film Eropa untuk
menggambarkan penduduk asli sebagai kaum primitif barangkali juga mempengaruhi
penjualan tiket yang buruk.

2. Film Njai Dasima (1926)


Njai Dasima adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1932 yang
disutradarai Bachtiar Effendi untuk Tan's Film. Ini adalah film kedua yang diadaptasi
dari novel karya G. Francis tahun 1896, Tjerita Njai Dasima, setelah versi film bisunya
dirilis tahun 1926. Film ini dibintangi Momo dan Oesman dan mengisahkan seorang
nyai muda Sunda yang dipancing agar menikahi seorang pria yang tidak mencintainya
dan akhirnya dibunuh dengan niat perampokan. Film suara pertama perusahaan ini
juga merupakan film pertama yang disutradarai oleh pribumi Indonesia. Karya yang
sekarang dianggap hilang ini disambut beragam tanggapan.

41
Gambar 20. Poster film Njai Dasima :
https://umilestari.com/bachtiar-effendi-meratjun-sukma-kegilaan/

3. Film Eulis Atjih (1927)

Gambar 21. Poster film Eulis Atjih tahun 1927 :


https://id.wikipedia.org/wiki/Eulis_Atjih

42
Eulis Atjih diproduksi oleh Java Film Co., produser film pertama di Hindia
Belanda, Loetoeng Kasaroeng, pada tahun 1926. Film sebelumnya meninggalkan
Java Film Coy dalam keadaan nyaris bangkrut setelah filmnya gagal di pasaran.
Karena itu, perusahaan ini mencari bantuan dana untuk pembuatan Eulis Atjih. Film
ini disutradarai G. Kruger dan ditulis oleh Yuhana. Film ini menampilkan aktor-aktor
pribumi Indonesia, termasuk Arsad dan Soekria. Eulis Atjih merupakan film bisu hitam
putih.

Eulis Atjih adalah film kedua yang melibatkan orang pribumi dalam pemeranan
tokohnya dan film fitur kedua yang diproduksi di negara ini.[5] Peran pribumi sangat
ditekankan dalam pemasaran film ini. Poster penayangan di Orient Theatre Surabaya
menulis bahwa kualitas pemeran pribumi di film ini setara dengan pemeran asal
Amerika atau Eropa. Film ini sudah memakai nama "Indonesia"; nama tersebut baru
dijadikan nama resmi kepulauan ini pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

4. Film Lily van Java (1928)


Lily van Java, juga dikenal dengan judul Melatie van Java, adalah film Hindia
Belanda tahun 1928 yang disutradarai Nelson Wong. Film ini rencananya diproduksi
South Sea Film dan direkam oleh sutradara berkebangsaan Amerika Serikat, tetapi
akhirnya diproduksi oleh Halimoen Film milik Wong Bersaudara. Alur film ini
menceritakan seorang wanita yang dipaksa menikahi pria yang tidak dicintainya.
Rincian pemeran dan kualitas peran mereka tidak jelas, tetapi film ini diakui sebagai
film pertama dari serangkaian film yang diproduksi Tionghoa Hindia Belanda. Film ini
bisa jadi hilang dari peredaran.

Gambar 22. Adegan yang menampilkan keluarga utama dalam film ini :
https://id.wikipedia.org/wiki/Lily_van_Java

43
5. Film Si Tjonat (1929)

Gambar 23. Si Tjonat diadaptasi dari Tjerita Si Tjonat (1900) :


https://id.wikipedia.org/wiki/Si_Tjonat
Si Tjonat (EYD: Si Conat) adalah film bandit Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) tahun 1929 yang disutradarai Nelson Wong dan diproduseri Wong dan Jo
Eng Sek. Diadaptasi dari novel karya F.D.J. Pangemanan, film ini mengisahkan
seorang pria pribumi yang kabur ke Batavia (sekarang Jakarta) setelah membunuh
temannya dan menjadi bandit. Film bisu yang lebih ditujukan pada penonton etnis
Tionghoa ini mendapat beragam tanggapan dan pendapatan yang tidak jelas.
Meski ditujukan sebagai film serial, sekuelnya tidak pernah dibuat; rumah
produksinya, Batavia Motion Picture, segera ditutup. Meskipun demikian, beberapa
film dengan genre yang sama dirilis setelah itu, termasuk Si Pitoeng, yang disutradarai
dan dibintangi oleh orang yang sama.
Tjonat dirilis tahun 1929. Meski merupakan karya fiksi, film ini dipasarkan
sebagai kisah nyata. Film ini satu dari beberapa film domestik yang ditargetkan pada
penonton etnis Tionghoa, setelah Lily van Java dan Setangan Berloemoer Darah (both
1928). Sejarawan film Misbach Yusa Biran menulis bahwa ini dapat dilihat dari
dominasi etnis Tionghoa pada tim produksi dan pemerannya. Penonton pribumi juga

44
menikmati film ini, terutama adegan-adegan aksinya. Kritikus film Indonesia Salim
Said menulis bahwa film ini berorientasi komersial.
Jumlah penjualan tidak jelas. Said mengatakan film ini sukses di pasaran,
sementara Biran – mengetahui Batavia Motion Picture dibubarkan tidak lama setelah
Si Tjonat dirilis – berpendapat film ini gagal. Ulasannya juga beragam. Pada umumnya,
pers mengkritik penekanan alur pembunuhan dan kejahatan. Sementara itu, di
majalah Panorama, Kwee Tek Hoay menulis bahwa film ini "lumayan juga", berfokus
pada akting Sim, terutama kemampuan bela dirinya.
Meski awalnya Si Tjonat direncanakan menjadi film serial, produksi film kedua
terhambat setelah Batavia Motion Picture ditutup.[10] Jo Eng Sek menarik diri dari
industri perfilman, lalu kembali tahun 1935 untuk memproduksi Poei Sie Giok Pa Loei
Tay. Wong tetap aktif di industri ini bersama saudara-saudaranya, Joshua dan Othniel.
Dengan nama Halimoen Film, mereka melibatkan lagi Sim dalam film Si Pitoeng
(1931). Baik Lie A. Tjip maupun Ku Fung May tidak lagi terlibat di film lain. Beberapa
film bercerita tentang bandit, termasuk Si Ronda (1929) besutan Lie Tek Swie dan Si
Pitoeng besutan Wong Bersaudara dan Rampok Preanger (1929) langsung dirilis
setelah Si Tjonat.
Si Tjonat bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl
G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak
diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang
disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek
Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di
Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

45
Gambar 24. Ilustrasi potret adegan dalam film Tjonat :
https://historia.id/urban/articles/bandit-bandit-kakap-di-batavia-PzjY8

Alur cerita dari film ini menceritakan Tjonat seorang pribumi, membunuh
temannya dan kabur ke Batavia (sekarang Jakarta), ibu kota Hindia Belanda, lalu
bekerja untuk seorang pria Belanda. Tjonat lantas merampok pria tersebut dan merayu
nyainya. Tjonat meninggalkan rumah tersebut dan menjadi perampok. Saat meminta
Lie Gouw Nio (Ku Fung May), putri seorang petani Tionghoa-Indonesia, agar menjadi
kekasihnya, Lie menolaknya. Karena marah, Tjonat berusaha menculiknya namun
digagalkan oleh tunangan Lie, Thio Sing Sang (Herman Sim), yang sangat menguasai
bela diri.
6. Film San Pek Eng Tay (1930)
Sam Pek Eng Tay adalah sebuah film tahun 1931 yang disutradarai dan
diproduseri The Teng Chun dan dirilis di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Film ini
diadaptasi dari cerita Sampek Engtay yang mengisahkan tragedi cinta antara seorang
gadis kaya dan laki-laki jelata. Film ini sukses di pasaran dan menginspirasi The Teng
Chun untuk menyutradarai beberapa film lagi yang diadaptasi dari cerita rakyat
Tionghoa.
7. Film Bunga Roos dari Tjikembang (1930)
Boenga Roos dari Tjikembang adalah sebuah film drama Hindia Belanda tahun
1931 yang disutradarai, diproduksi, dan difilmkan oleh The Teng Chun. Diadaptasi dari

46
novel tahun 1927 berjudul sama, film ini mengisahkan suasana romantis yang rumit
yang dialami dua generasi etnis Tionghoa di Hindia Belanda. Film ini merupakan
contoh awal film suara dalam negeri. Film ini mengalami daur ulang pada tahun 1975
dengan judul Bunga Roos.
8. Film Ouw Peh Tjoa (1934)
Ouw Peh Tjoa, juga dikenal dengan judul Melayu Doea Siloeman Oeler Poeti
en Item (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam), adalah film Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) tahun 1934. Film ini disutradarai dan diproduseri The Teng Chun.
Diadaptasi dari Legenda Siluman Ular Putih, sebuah cerita rakyat Tiongkok, film ini
mengisahkan seekor ular ajaib yang hidup sebagai manusia tetapi akhirnya mati. Film
yang kemungkinan hilang ini memiliki satu sekuel, Anaknja Siloeman Oeler Poeti
(Anaknya Siluman Ular Putih), yang dirilis tahun 1936.

Gambar 25. Poster film Ouw Peh Tjuah :


https://id.wikipedia.org/wiki/Ouw_Peh_Tjoa

2.7. Dampak positif dan negatif film bagi masyarakat

Film hari ini telah menjelma menjadi salah satu media yang ikut mewarnai kehidupan
masyarakat di dunia. Penggabungan media visual, audio dan semua aspek seni didalamnya
membuat film ini mudah masuk dan diterima oleh berbagai kalangan di dunia. Jika kita tela’ah
mengenai pengaruh yang disebabkan oleh kehadiran film di tengah masyarakat, maka kita
bisa melihatnya dari berbagai aspek dan target kalangan yang menjadi targetnya.

47
Aspek positif dan negatif dari hadirnya film di tengah masyarakat sebenarnya
merupakan hal yang subjektif, tergantung orang yang menerimanya. Misalnya ketika ada
orang yang menonton film yang bermuatan hal kriminal. Setelah itu dia mengatakan film ini
tidak baik karena bisa dicontoh tidak baik oleh orang untuk melakukan kriminal. Itu benar, tapi
tidak sepenuhnya benar juga. Film itu bisa jadi berdampak positif bagi orang ketika
menjadikannya pelajaran agar tidak dicontohnya.

Secara target film sendiri, film memiliki berbagai dampak juga terhadap masyarakat.
Film bagi anak-anak dapat berpengaruh besar bagi tumbuh kembangnya. Karena itulah,
seringkali menjadi dilema bagi ornag tua untuk memilih apa yang boleh dilihat oleh anaknya.
Bahkan telah ada penelitian ilmiah yang meneliti hal ini, dan hasilnya menunjukan banyak
dampak negatif dari televisi, TV hingga video game. Beberapa potensi dampak negatifnya
adalah menjadi contoh tak baik seperti melawan, desensitisasi, ketakutan dan pesan negatif
(Jiya Mughal, 2020)

Kalangan Muda juga mendapatkan pengaruh besar dari kehadiran Film ini, karena
menjadi salah satu target utama konsumen film di publik. Tentu bukan saja dampak negatif
yang bisa didapatkan dari adanya film ini, kehadiran film untuk ditonton oleh anak muda
sendiri menjadi salah satu aktifitas menyenangkan. Lewat film juga, anak muda dibantu untuk
melatih imajinasinya dengan tontonan fiksi yang sering kali mereka tonton. Dan lewat film
juga, berbagai motivasi dan juga perilaku baik dapat mereka contoh. Ini semua tergantung
apa yang mereka pilih untuk ditonton, apakah film yang tepat atau tidak

Bagi masyarakat secara umum juga, film dapat menjadi media yang memberikan
dampak positif maupun negatif. Sudah banyak hari ini film yang mengangkat berbagai isu
sosial di masyarakat untuk lebih disoroti seperti diskriminasi, pelecehan dan lain lain. Ada juga
dalam aspek film yang lain seperti film bertema heroik yang banyak menganjarkan perilaku
baik bagi orang-orang. Di sisi lain, dampak negatif yang dibawa oleh kehadiran film tidak bisa
dianggap remeh. Tontonan kurang baik seperti mengonsumsi alkohol, rokok, hal-hal vulhar,
kata-kata kasar sudah tidak asing lagi. Ini seringkali menjadi contoh bagi masyarakat untuk
dilakukannya di dunia nyata (Jiya Mughal, 2020).

Dampak film secara khusus di zaman kolonial belanda sebenarnya tidak bisa dilihat
secara jelas. Di zaman belanda sendiri, film hanya menjadi saran hiburan tanpa ada maksud
lain di dalamnya. Kebanyakan peraturan mengenai sensor film serta kebijakan yang bertujuan
untuk menjadikannya salah satu sektor penghasil uang bagi pemerintah. Walau begitu, orang
Tionhoa lah yang banyak menguasai bisnis film dan bioskop ini (Heru Erwantoro, 2010: 3)

48
Akibat campur tangan kuat dari orang Tionghoa dalam industri film ini membuat
sebuah perbedaan harga untuk setiap kelas yang ingin menonton bioskop saat itu. Kelas 1
dengan harga 2 gulden, kelas 2 dengan harga 1 gulden serta kelas 3 dengan harga setengah
gulden. Ini mensiati agar hanya beberapa kalangan pribumi, orang tionghoa serta orang eropa
saja yang bisa menonton bioskop ini. Kebijakan ini juga didukung oleh pemerintah kolonial
untuk menekankan adanya susunan masyarakat saat itu (Handrini Ardiyanti, 2017: 166).

Dampak negatif dan kekurangan film antara lain :

1. Meningkatnya Agresifitas Anak

Tontonan kartun luar yang banyak menampilkan kekerasan, omongan yang


kasar, tampilan yang merendahkan orang lain dan tidak senonoh sangat berpengaruh
pada agresifitas anak. Sebut saja kartun Sinchan, Spongebob, Tom n Jerry dan
lainnya. Ingat tidak semua kartun baik untuk anak.

2. Konten Seks

Konten sek (Baik itu pornografi ataupun porno aksi) pada film sangat
berdampak negatif (pada perilaku dan mental) masyarakat. Terutama pada anak dan
remaja yang rasa ingin tahunya sangat tinggi.

3. Membutuhkan Waktu Khusus

Selain kelebihannya dalam menampilkan video dan audio, ini juga menjadi
faktor kekurangan dan berdampak negatif. Dibutuhkannya waktu khusus untuk
mengkonsumsi film. Dan ini juga berdampak negatif pada anak anak, dengan
banyaknya tayangan kartun pada televisi saat ini, sehingga berkurangnya waktu anak
belajar dan bermain bersama teman temannya.

4. Hilangnya Nilai Budaya local

Saat ini banyak film luar yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dan merubah pola
fikir masyarakat bahwa budaya yang luar yang mereka lihat/konsumsi (yang sama
sekali aneh atau justru salah) dianggap baik dan patut ditiru. Belum lagi film Indonesia
(film layar lebar,sinetron dan Ftv) yang “selalu” menyajikan budaya satu daerah,
sehingga mempengaruhi dan hilangnya nilai budaya pada masyarakat lokal.

49
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa dinamika perfilman Indonesia


mengalami ketidakpastian, hal ini bisa dilihat dari jumlah produksi film yang mengalami
pasang-surut. Dalam perfilman nasional, para pembuat film tidak memiliki kebebasan dalam
mengambangkan cerita yang membuat film Indonesia selalu dibuat dengan ide-ide cerita itu-
itu saja. Dalam hal ini, sehingga para pembuat film tidak dapat membuat cerita berdasarkan
realitas sosial yang ada dalam masyarakat.

Selain itu, film-film Indonesia tidak mengalami perkembangan dari segi cerita
dikarenakan kurangnya ruang untuk berkreasi membuat para pembuat film mengalami
kekangan dari rezim yang berkuasa. Dari ketidakmampuan berdaptasi dalam perkembangan
teknologi perfilman membuat kalah bersaingnya film-film Indonesia dengan film-film impor,
karena film-film Indonesia tidak mengadaptasi teknologi yang digunakan oleh film-film impor.
Selain itu, minat konsumen mengalami perubahan yang deisebabkan konsumen mengalami
perubahan pola pikir yang menuju kedawasaan sehingga konsum

3.2. Saran

Kurangnya kerarsipan dan dokumen mengenai sejarah perfilman Indonesia sehingga


dituntuk untuk lebih menggiatkan penelitian dan dokumentasi mengenai permasalahan
perfilman Indonesia. Karena minat untuk melakukan penelitian tentang perfilman tanah air
justru lebih banyak diambil dari penelitan terdahulu dengan mengambil penelitian dari peneliti
asing.

50
DAFTAR PUSTAKA

Rick, Doble. (2013). “A Brief History Of Light & Photography”

Heckman, Chris. (2022). “What Was The First Movie Ever Made.” Diambil Pada 17
September 2023 Dari Https://Www.Studiobinder.Com/Blog/What-Was-The-
First-Movie-Ever-Made

Manley, Brian. (2011) “Moving Pictures: The History Of Early Cinema.” Proquest
Mughal, Jiya. (2020). Impacts Of Movies In Different Aspects.
International, Grolier. 2002. Negara dan Bangsa. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi.

Erwantoro, Heru. (2010). “SEJARAH SENSOR FILM DI INDONESIA Masa Hindia


Belanda dan Pendudukan Jepang (1916 – 1945).” Patanjala Vol. 2(1), 1-17.
Romein. 1956. Aera Eropa : Peradaban Eropa Sebagai Penyimpangan Umum.
Bandung Jakarta-Amsterdam : Ganaco. Rick Doble. (2013). “A Brief History
Of Light & Photography”

Heckman, Chris. (2022). “What Was The First Movie Ever Made.” Diambil Pada 17
September 2023 Dari Https://Www.Studiobinder.Com/Blog/What-Was-The-
First-Movie-Ever-Made

Manley, Brian. (2011) “Moving Pictures: The History Of Early Cinema.” Proquest

Mughal, Jiya. (2020). Impacts Of Movies In Different Aspects.

Erwantoro, Heru. (2010). “SEJARAH SENSOR FILM DI INDONESIA Masa Hindia


Belanda dan Pendudukan Jepang (1916 – 1945).” Patanjala Vol. 2(1), 1-17.

Ardiyanti, Handrini. (2017). Perfilman Indonesia: Perkembangan Dan Kebijakan,


Sebuah Telaah Dari Perspektif Industri Budaya.

Biran, Misbach Y. 1982. Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia. Jakarta; Badan
Pelaksana FFI.

Biran, Misbach Y. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta:
Komunitas Banu.

Abdullah, Taufik, Misbach Yusa Biran, dan SM Ardan. 1993. Film Indonesia Bagian I
(1900-1950). Jakarta: Sinematek Indonesia.

51
Kristanto, JB. 2004. "Nonton Film, Nonton Indonesia." Jakarta: Penerbit Buku
Kompas .

Jauhari, Haris. 1992. Layar Perak: 90 tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Nugroho, Garin dan Herlina, Dyna. 2015, Krisis dan Paradoks Film Indonesia,
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Said, Salim. 1991. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama.

Tjasmadi, HM. Johan. 2008. 100 Tahun Sejarah Bioskop di Indonesia. Bandung:
Megindo Tunggal Sejahtera.

Gunawan, Ryadi. “Sejarah Perfilman Indonesia”. Majalah Prisma Juli 1990: 20 – 28

52

Anda mungkin juga menyukai