Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL TESIS

REPRESENTASI KEHIDUPAN MASYARAKAT


TERPENCIL KANGEAN DI ERA KONTEMPORER INDONESIA:
ANALISIS DENGAN DAN TERHADAP FILM DOKUMENTER
"IRONI PULAU KANGEAN"

AFRIZAL NUR
071514853015

PEMINATAN STUDI MEDIA


PROGRAM MASGITER MEDIA DAN KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam suatu

pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu

pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu

kejadian tertentu Menurut John Grierson sinema bukanlah seni atau hiburan,

melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara

berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula Oleh karena itu, dokumenter pun

termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam

istilah Grierson disebut perlakuan kreatif atas keaktualitasan (creative treatment of

actuality).

Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari aktualitas, potongan

rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di

dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa

media perantara. Walaupun terkadang menjadi bahan ramuan utama dalam

pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan

film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah

kembali, dan ditata struktur penyajiannya.

Bill Nichols menulis ada enam gaya filem dokumenter, yaitu; 1) Poetic

Mode, dengan bangunan struktur sinematik dan estetik yang sangat ketat. Filem

dengan gaya ini memainkan irama dan emosi penonton dalam kemasan

naratifnya; 2) Expository Mode, yang lebih menitik beratkan distribusi informasi

objektif, seperti berita; 3) Observatorial Mode, sering juga disebut dokumenter

keterlibatan, dimana pembuatnya mengikuti kehidupan sehari-hari subjek-nya


dalam jangka waktu tertentu; 4) Participatory Mode, menempatan keterlibatan

secara penuh pembuat dengan subjeknya dimana posisi keterlibatan subjek

menjadi sangat penting; 5) Reflexive Mode, membangun kesadaran tentang

tentang membahasakan realitas melalui filem. Gaya ini sering dipakai dalam

filem-filem eksperimental yang menjadikan kenyataan sebagai subjeknya; 6) dan

Performative Mode, menghadirkan pembuat sebagai bagian dari dokumenter,

dalam gaya ini Nichols memasukan reality show sebagai bagian dari gaya

Performative Mode (Bill Nichols: 2010, 31-32. ed-2).

Dokumenter selain menyajikan suatu fakta yang non-fiksi yang berusaha

untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa.

Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu

aktivitas. (The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 103). Selain itu

dalam buku (Directing The Documentary, Third Edition, Michael Rabiger, Focal

Press, singapore, 1998. hal 3-6) Film dokumenter juga berfungsi untuk

Dokumenter untuk menggugah sebuah kesadaran Salah satu fungsi ini adalah

ketika penonton merasa adanya pertentangan batin untuk direnungkan. Seperti

misalnya film dokumenter tentang pendidikan kedinasan tertentu. Di satu sisi

penonton merasa penting untuk mendidik para calon praja dengan disiplin tinggi,

di satu sisi ada rasa kemanusiaan yang kadang terusik karena yang tampak seolah

hanya kekerasan semata. Dokumenter sebagai sebuah bentuk seni sosial.

Tujuannya adalah untuk mengarahkan kepada penonton, pengalaman-

pengalaman pembuatnya dalam perjuanganya untuk memahami setiap kejadian

khusus yang tengah terjadi. Film biasanya dibuat oleh suatu kelompok, sehingga

kesadaran ini akan muncul dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya.
Film dokementer juga berfungsi untuk menangani masalah-masalah sosial

perhatian pada kualitas dan keadilan kehidupan masyarakat, biasanya membawa

film dokumenter melampaui sekedar fakta-fakta, menuju kepada dimensi moral

dan etika, yang akan meneliti kembali penataan kehidupan masyarakat dan lebih

jauh lagi mengenai kesadaran manusia.

Sebuah era keterbukaan telah hadir, ada banyak produksi filem

dokumenter yang lahir pasca Reformasi, dengan berbagai isu yang diangkat. Yang

paling menonjol adalah mengangkat trauma-trauma Orde Baru seperti yang

dilakukan Lexy Rambadeta dan beberapa aktivis lainnya. Tema kemiskinan dan

orang-orang tertindas menjadi tema utama filem-filem dokumenter pada masa ini.

Yang paling menarik adalah meski pada tahun 1999, telah lahir inisiatif dari

Komunitas Film Independen (Konfiden) yang menghadirkan Festival Film Pendek

Indonesia, namun hampir seluruh karya-karya yang hadir adalah fiksi. Komunitas-

komunitas filem di kampus-kampus, kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,

telah melahirkan generasi baru dunia perfileman Indonesia.. Muncul berbagai

program dokumenter, seperti Anak Seribu Pulau (ada banyak sutradara yang

terlibat untuk program ini seperti; Garin Nugroho, Abduh Azis, Yudhi Datau yang

juga seorang juru kamera, Nan Achnas, Wisnu Adi, dan lain-lain) dan berbagai

program peliputan ala jurnalistik televisi. Mayoritas produksi dokumenter televisi

dengan gambar-gambar cantik ini, dikuasai oleh alumni Institut Kesenian Jakarta.

Hingga sekarang, ada beberapa stasiun televisi yang menghadirkan program

dokumenter/reality show tentang petualanganyang sering juga dianggap

dokumenter yang edukatif bagi beberapa kalangan, seperti Si Bolang, Jejak

Petualang dan sebagainya. Di sisi lain, ada banyak sutradara luar (internasional)
yang mulai masuk ke Indonesia dalam memproduksi filem dokumenter. Sebut

saja seperti Leonard Retel Helmrich, Curtis Levy, Robert Lemelson, Karel Doing,

dan banyak lagi lainnya yang menjadikan isu-isu di Indonesia sebagai makanan

lezat karya filem mereka. Jakarta International Film Festival (Jiffest), juga

memberi andil dalam memunculkan pembuat-pembuat dokumenter dengan

program kompetisi script writing-nya yang disponsori Jan Vrijman Foundation

IDFA. Selain Jiffest, di Yogyakarta hadir Festival Film Dokumenter, yang secara

khusus menghadirkan filem dokumenter. Lalu, Festival Film Indonesia (FFI) yang

memasukkan sesi filem dokumenter sebagai salah satu penjuriannya. Yang paling

heboh tentu kompetisi Eagle Award yang diadakan oleh Metro TV. Pada masa

sepuluh tahun terakhir, muncul juga kelompok/organisasi seperti In-Docs,

Offstream, Forum Lenteng, Ragam, dan Komunitas Film Dokumenter, yang

semuanya mendorong dan fokus pada pengembangan dokumenter di Indonesia

(Makalah Seminar Dokumenter Indonesia: Sejarah, Pasca Orde Baru, Festival

Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta, 8 Desember 2011.)

Selain itu perkembangan film dokumenter didunia internasional telah jauh

melampaui kita di Indonesia, yang lebih menitikberatkan pada masalah-masalah

sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat, dan sebagai bentuk kritik terhadap

kehidupan sosial yang ada, seperti karya-karya berikut:

1. The New Rulers of The World

Film besutan sutradara John Pilgers ini mengisahkan tentang sebuah

negara yang seharusnya tidak miskin. Negara itu memang kaya raya, penuh

sumber daya alam, baik pertanian, peternakan maupun hasil tambang. Namun
sayang kekayaan itu tidak terdistribusi dengan baik dan hanya bisa dinikmat

segelintir orang saja. Orang-orang yang berkuasa di negeri itu lebih memilih

untuk bermitra dengan pihak-pihak asing untuk mengeruk kekayaan alamnya

daripada menggunakan kekayaan itu untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara

itu tidak lain dan tidak bukan negara kita sendiri, yaitu Indonesia. Dijelaskan

bagaimana sebuah celana pendek dijual berkali lipat lebih mahal daripada upah

buruh pembuatnya. Seorang pemain golf terkenal dibayar jauh lebih mahal untuk

mempromosikan sebuah sepatu olah raga daripada seluruh upah buruh yang

membuat sepatu itu. Dalam film ini, Pilgers juga melakukan investigasi terhadap

badan-badan keuangan dunia yang seringkali memberikan pinjaman-pinjaman

pada negara berkembang. Dijelaskan pula bagaimana peran rezim Orde Baru

dalam memuluskan jalan bagi organisasi-organisasi tersebut untuk memasuki

Indonesia, yang oleh Presiden AS kala itu, Nixon, disebut sebagai The Greatest

Prize in Asia. Menurut Pilgers, globalisasi yang terjadi saat ini sebenarnya

hanyalah pengulangan kolonialisme bangsa-bangsa Eropa pada abad ke 15.

2. Enjoy Poverty

Film dokumter ini bercerita tentang kemiskinan di di Kongo, negara di

Afrika Tengah, Martens merekam segala peristiwa dan persoalan-persoalan yang

membelit masyarakat. Soal perang akibat gesekan politik tingkat penguasa,

kemiskinan, kelaparan, hingga eksploitasi masyarakat sipil serta sumber daya oleh

entitas kapital global, pahitnya hidup di daerah konflik dengan kemiskinan yang

membelit. Kematian yang bisa menghampiri kapan saja, entah karena kemiskinan

itu sendiri, atau perang. Maka Martens memulai kampanyenya dengan membawa

neon sign bertuliskan Enjoy the Poverty, dan dipasangnya secara marathon di
sejumlah kantung-kantung kemiskinan, membawanya dengan rakit melewati

sungai untuk menembus kantung-kantung kemiskinan lainnya. Satir pahit yang

harus ditelan oleh masyarakat, dan hanya jadi 'kudapan' ringan bagi publik di luar

Kongo.

3. The End of Poverty?

Aforisma orang miskin selalu bersama kita sudah ada sejak zaman

dahulu, namun walau frase itu seakan masih berlaku hingga abad ke 21 ini, sedikit

yang bisa menjelaksan mengapa kemiskinan begitu tersebar luas di dunia ini.

Seorang aktivis dan pembuat film Philippe Diaz menyelidiki sejarah dan dampak

kesenjangan ekonomi di dunia ketiga dalam film ini. Diaz pun membuat

argumentasi yang meyakinkan bahwa kemiskinan bukanlah kecelakaan atau

kesialan yang menyebabkan bertumbuhnya kelas sosial bawah di seluruh dunia.

Diaz melacak pertumbuhan kemiskinan global sejak zaman kolonialisme abad ke

15.

Film ini juga menampilkan beberapa wawancara dengan sejumlah ahli

ekonomi, ahli sosiologi dan ahli sejarah yang menjelaskan bagaimana kemiskinan

adalah konsekwensi alamiah dari kebijakan ekonomi pasar bebas. Kebijakan itu

menyebabkan negara-negara adidaya mengeksploitasi negara-negara yang lebih

miskin untuk menggerakkan asset mereka dan membuat uang hanya beredar di

tangan-tangan orang kaya dan tidak terdistribusi secara lebih merata ke tangan

orang-orang yang sesungguhnya membantu mereka menjadi kaya. Diaz juga

mengeksplorasi bagaimana negara-negara kaya (terutama Amerika Serikat)

mendapatkan dengan paksa bagian yang tidak proporsional dari sumber daya alam
dunia dan bagaimana ketidakseimbangan ini memiliki dampak yang mengerikan

bagi lingkungan dan ekonomi.

4. Food Inc.

Film dokumenter yang diproduksi tahun 2008 ini menyingkap kejahatan

kemanusiaan dan kebinatangan yang dilakukan industri makanan berskala

internasional. Disutradarai oleh pemenang Emmy Award Robert Kenner, film ini

menimbulkan dampak yang luar biasa bagi industri makanan berskala besar.

Mereka berusaha melakukan bantahan-bantahan melalui berbagai program public

relations-nya dan menolak untuk diwawancarai, termasuk menolak untuk

memberi akses pada pabrik-pabrik pengolahan milik mereka. Film ini

menampilkan Michael Pollan dan Eric Schlosser sebagai narator, dua kritikus

model pertanian ala pabrik.

Film ini mengungkap praktik pembuatan daging dan sayur mayur yang

dilakukan banyak perusahaan-perusahaan makanan berskala besar. Restoran-

restoran fast food, yang selama ini dituding sebagai salah satu perusak kesehatan

terbesar, juga tidak lolos dari film ini. Monopoli kedelai oleh perusaahaan

kontroversial, Monsanto, juga tidak lepas dari pembahasan filim berdurasi sekitar

satu setengah jam ini. Singkat cerita, film ini membongkar habis kekejian

perusahaan makanan dalam menguasai konsumen dan mengeruk keuntungan.

Tidak ketinggalan, bagaimana perusaahaan-perusahaan itu bersekongkol dengan

penguasa negara adidaya yang ingin menguasai dunai serta menggunakan

makanan sebagai senjatanya.


Dalam hal ini film dokumenter bukan hanya sebagai fakta sosial dan sebuah

seni visual namun sebagai medium untuk menyampaikan masalah-masalah sosial

dalam kehidupan masyarakat, film dokumenter dijadikan medium untuk

menangani masalah-masalah sosial perhatian pada keadilan kehidupan

masyarakat,ekploitasi kemiskinan, film dokumenter sudah melampaui sekedar

fakta-fakta sosial,tapi sudah menuju kepada dimensi moral dan etika,keadila

sosial, yang akan meneliti kembali penataan kehidupan masyarakat dan lebih jauh

lagi mengenai kesadaran manusia.

Fenomena fenomena dan fakta sosial semacam diatas penulis temukan

pada masyarakat kepulauan kangean (pulau paliat dan sadulang) yang merupakan

tempat lahir dan tumbuhnya penulis di kepulauan tersebut, sebelum penulis

menjelaskan tentang fenomena tersebut, berikut kehidupan masyarakat kepulauan

kangean secara garis besar. Masyarakat kepulauan kangean dalam sejarahnya

adalah masyarakat yang terkenal ramah, sopan, dan beragama, menjunjung tinggi

nilai-nilai budaya, norma dan etika yang dianut dalam masyarakat, Selain itu,

masyarakatnya memiliki bahasa dan tutur kata (dialek) yang beraneka ragam antar

daerah. Orang Kangean seluruhnya beragama Islam1. Ajaran Islam diinterpretasi

dan diaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan Kangean sehingga terjadi

varian. Peran guru ngaji (kyae morok) menjadi sangat penting karena belajar

Alquran merupakan hal yang pertama dan utama bagi masyarakat Kangean. Anak

mampu mengaji Alquran diajarkan pertama kali oleh guru ngaji. Perkembangan

anak dari tidak mampu menjadi mampu mengaji menjadi bermakna bagi orang

tua, sebagaimana ungkapan mengaji Alquran sebagai modal akhirat (ngaji reya

1
Badan Pusat Statistik Sumenep, Sumenep dalam Angka l999. (Sumenep: BPS, 1999), 15-17.
bende akherat). Lokasi perkampungan yang terpencar di pesisir (paseser), antara

dua bukit (lembe) dan dera (perbukitan) menjadikan pengaruh guru mengaji itu

sangat kuat di wilayah masing masing itu. Di ketiga wilayah pemukiman itu

terdapat guru ngaji yang memiliki multiperan. Multiperan guru ngaji adalah

mengajarkan cara mengaji Alquran, menyembuhkan penyakit, memecahkan

masalah, dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hukum

Islam. Guru ngaji juga merupakan pemimpin ritual yang menguasai magis religius

(pot eka) sehingga sering diidentikkan dengan dukun dan elit agama desa. Guru

ngaji tidak memungut bayaran secara formal atas jasa yang dilakukannya.

Jenis tradisi dan budaya dalam masyarakat kangean bermacam-macam

mulai dari gendeng dumik ,kokocoran, larung sesaji, ludruk, dan beberapa macam

kegiatan lainnya meliputi tradisi keagaamaan seperti takbir keliling,

tadarus,kompolon ngaji, dan ngaji ketab. Untuk kalangan anak usia muda

biasanya setiap selesai pulang sekolah melakukan beberapa permainan tradisional

seperti geseng, lajur, errem-erremen dan lajengan, ini yang biasanya yang

sering dilakukan oleh masyarakat kangean dan kalangan anak muda kangean

lainnya. Tradisi dan berbagai macam permainan yang ada didalam masyarakat

sangat kental pada masa itu, tahun 1980 s.d 2000an.

Pada tahun 2000an teknologi televisi dan telephone mulai merambaah

kepulauan kangean, masyarakat yang mempunya televisi dan telephone genngam

pada waktu itu sangat sedikit sekali, dari sekian 500 penduduk yang mempunyai

televisi dan telepon hanya 2 s.d 3 orang. Kehadiran teknologi ini (televisi dan

telephone) pada masyarakat kepulauam kangean merupaka suatu yang istimewa,

masyarakat desa yang baru mengenal teknologi berbondong-bondong untuk


menonton televisi dengan jarak tempuh yang jauh, melewati hutan dan pesisir

pantai dengan bermodalkan obor dan senter hanya sekedar untuk menonton

kerumah yang mempunya televisi dikepulaun tersebut, pada masa itu untuk

menonton televisi harus mengantri dan membayar karcis sekitar Rp.500 (tahun

2000), tontonan masyarakat kepulauan kangean pada waktu itu biasanya adalah

genre film film serial angling dharma, mak lampir dan lain sebagainya yang se

satu rumpun genre dengan film serial tersebut. Seiring berjalannya waktu dan

berkembangnya peradaban serta teknologi. dalam beberapa kurun waktu yang

tidak terlalu lama, beberapa orang sudah semakin banyak memiliki televisi

sendiri,sampai pada tahun 2003 sebagain besar masyarakat kangean sudah

memiliki televisi dan telepon.

Kepimilikan televisi dan telepone di kepulauan kangean semakin besar

dan semakin banyak dirumah rumah, yang awalnya orang untuk menonton sebuah

tayangan / hiburan ditelevisi harus menumpang dan membayar dan untuk

menelpon saudara jauh harus meminjam (telepon), pada akhir 2015an sudah mulai

berkurang drastis, walaupun beberapa masih ada, berkembangnya teknologi

(televisi dan telepon) ini ternyata selain membawa membawa sesuatu yang positif

seperti memepermudah dalam komunikasi (telepone) dan mempermudah dalam

mendapatkan informasi, berita dan tayangan (televisi) ternyata lambat laun

menggiring kepada sesuatu yang negatif, disfungsi, dan mulai mempengaruhi

kehidupan sosial di masyarakat di kepulauan kangean, mulai dari kebudayaan dan

gaya hidup,dan konsumerisme, adanya pergeseran realita sosial, nilai-nilai budaya

dan tradisi yang ada. Hal yang paling terasa dan terlihat adalah gaya hidup yang

mulai berubah pada masyarakat kangean, seperti cara berpakain, cara


bersolek,konsomtifisme dan pergesaran permainan-permainan budaya yang

sebgaian besar mulai hilang. Perubahan yang terjadi seperti gaya berpakain atau

bersolek yang terjadi diantaranya, banyaknya ditemukan gaya berpakain yang

menyerupai apa yang mereka lihat di televisi, seperti gaya berpakaian mirip

bintang sinetron boy (sinetron boy anak jalanan- RCTI) , soimah, dan ramzi

(Dangdut akademi : Indosiar) yang semuanya itu mereka lihat dari televisi,

masalahnya bukan berhenti disitu saja, bagaimana mereka menggunakan pakaian

dan bersolek,namun masyarakat ini lebih cenderung membeli sesuatu yang

mereka lihat ditelevisi tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan pokok seperti

sembako, rumah yang ideal atau pendidikan misalnya, mereka lebih cenderung

mementingkan keinginan-keingan untuk membeli barang/baju yang mereka lihat

ditelevisi tersebut walaupun dengan harga yang sangat mahal, dan mereka tidak

mampu secara ekonomi untuk membeli barang tersebut, namun hal itu mereka

beli dengan cara berhutan dan dicicil, walaupun hutang yang mereka sudah

menumpuk banyak. Secara tidak sadar mereka digiring kepada budaya konsumtif

terhadap suatu barang yang mereka informasi tersebut mereka peroleh dari

televisi.

Selain itu juga ditemukan banyaknya masyarakat yang membeli

smartphone, 2 s.d 3 smartphone yang notabene masyarakat disana tidak terlalu

membutuhkah hal tersebut, karena smartphone yang mereka gunakan juga secara

fungsional lebih banyak digunakan kepada hal hal yang bersifat keinginan,

seperti bermain game- foto foto yang kadang mereka tunjukkan hanya sebagai

bentuk gaya hidup, takut dibilang tidak mengikuti jaman, hal ini mereka gunakan

lebih banyak bukan pada fungsi yang ada, perlu diketahui bahwa di kepulauan
kangean untuk signal telepone sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan sulit jika

telepone tersebut kita letakkan didalam rumah,jadi secara logika hal ini untuk apa

mereka beli. Karena kebutuhan untuk bukan sesuatu hal yang prioritas, masih

banyak kepentingan pokok yang lain perlu diutamakan.

Untuk kalangan anak muda dan anak-anak mulai jarang ditemukan

permainan-permainan yang tradisional seperti gasing, petak umpet, lajur dan

benteng-bentengan (semacam permainan strategi mempertahankan sebuah

kerajaan dengan menggunakan garis pasir sebagai pembatas) yang terjadi adalah

mereka lebih cenderung mempermainkan permainan modern yang ada didalam

smartphone yang mereka gunakan, seperti PoU, angry Bird, COC, dan lain

sebagainya, yang menurut hemat penulis hal ini akan mengarah kepada

menguburkan nilai permainan budaya yang ada, bukannnya dalam hal ini penulis

anti dan tidak setuju dalam hal tersebut, namun jika hal itu terjadi dan semakin

marak, maka budaya budaya yang ada akan semakin terkikis dan tergantikan

oleh budaya budaya yang dibawa oleh teknologi tersebut dan tanpa sadar hal

tersebut hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada diluar sana

(pemilik modal).

Hal inilah yang menjadi fenomena pada masyarkat dikepulauan kangean,

yang secara tidak sadar fenomena ini akan menggiring kepada masyarakat dengan

gaya hidup yang konsumtif, instan dan tidak terlalu mementingkan hal-hal yang

pokok. Apa yang digambarkan dalam sebuah televisi,mereka juga berupaya

menggarkan itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Padahal disisi lain mereka

kurang memiliki kemampuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, baik

dari segi finansial maupun ketahanan secara moral dalam menghadapi berbagai
rangsangan melalui berbagai hiburan sinetron dan dangdut Akademi ditelevisi,

pada akhirnya terkadang juga mereka friustasi karena kuatnya hasrat untuk

memenuhi keinganan yang mereka saksikan melalui seinetron-sinetron ditelevisi,

dan yang terjadi adalah mengalahkan kebutuhan kebutuhan membeli yang

utama/pokok seperti memperbaiki rumah yang bocor atau menabung untuk

pendidikan anak. Namun Mereka lebih rela membeli barang-barang / pakaian-

pakain yang mereka lihat ditelevisi daripada kebutuhan yang seharusnya

walaupun itu dengan cara hutang/kredit.

Kondisi atau hal semacam ini dapat memicu munculnya perilaku

menyimpang pada sebagian besar masyarakat yang miskin ataupun yang

menengah pada masyarakat kepulauan kangean, jika melihat tingkat pengahasilan

pada masyarakat kepulauan kangean mayoritas menunjukkan bahwa masyarakat

di kepulauan kangean mempunyai penghasilan yang rendah, hal tersebut tentu saja

memicu perilaku-perilaku yang tidak baik dikalangan masyarakat, hal ini

dimungkinkan jika dihubungkan dengan seringnya menyaksikan gaya hidup

mewah melalui tayangan sinetron-sinetron televisi. Terlebih lagi jika ada desakan

hasrat yang kuat untuk segera memilki berbagai macam kebutuhan yang

sebenarnya mereka tidak perlu miliki, jika hal tersebut untuk mendapatkan

barang-barang yang mereka lihat dan mereka inginkan tidak berhasil diperoleh

maka bisa saja menimbulkan rasa malu dan rendah diri pada masyarakat

disekelilingnya tak pade pade ben oreng dan hal tersebut bisa memicu

munculnya gangguan batin, iri dan dengki. Keadaan seperti ini sangat mudah

memicu terjadinya perilaku yang melanggar norma, dan bisa saja terkadang

mengarah pada perilaku yang melanggar hukum demi memenuhi keinginan


tersebut atau meniru hal tersebut dan ini bukan sebuah kebaikan dan kebenaran

pada kehidupan masyarakat untuk mencapai masyarakat yang maju namun

menjadi sebuah masalah sosial yang terjadi pada masyarakat kepualaun kangean.

2. Rumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian ini

adalah :

1. Bagaimanakah masyarakat terpencil kepualuan Kangean memaknai hidup di

tengah arus perubahan masyarakat kontemporer di wilayahnya?

2. Bagaimanakah praktek-praktek kehidupan yang dinegosiasikan oleh

masyarakat kepulauan kangean dengan tradisi dan kehidupan modern yang

tidak terelakan?

3. Bagaimana filem dokumenter Ironi di Pulau kangean menggambarkan

praktek-praktek sosial budaya pada Masyarakat di kepualaun Kangean?

Rumusan masalah akan dijawab melalu produksi film dokumenter dan

eksegesis tesis ini.

3. Tujuan Penelitian/ Pembuatan Karya

Berdasarkan rumusan penelitian diatas, tujuan penelitian pembuatan karya

creatif media project ini adalah untuk menggambarkan masalah masalah sosial

budaya Masyarakat di kepualaun Kangean karena adanya sebuah pengaruh

perkembangan teknologi (televisi dan smartphone)

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki harapan pemanfaatan bagi lingkungan

akademisi ilmu sosial dan masyarakat. Manfaat yang diharapkan peneliti dapat

dijelaskan sebagai berikut:


4.1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi ilmiah bagi pembuatan

karya creative media project selanjutnya, khususnya dalam pembuatan film

dokumenter. Juga dapat sebagai referensi dalam menggambarkan masalah-

masalah sosial yang ada didalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi dan

faktor lainnya.

4.2. Manfaat Sosial

Pembuatan karya film semi dokumenter ini diharapkan dapat memberikan

wawasan bagi masyarakat tentang masalah masalah sosial karena adanya fungsi

dan disfungsi teknologi , dan bagaimana pengaruhnya, adanya kepentingan-

kepentingan dari pengolah media.teknologi,dapat menunjukkan bahwa media

televesi sebagai pisau bermata dua, yang memberikan efek positif dan negatif

4.3. Manfaat Praktis

Pembuatan karya ini diharapkan memberi memberikan gambaran fakta

masalah sosial masyarakat yang ada saat ini, memahami dan menggambarkan

tentang fenomena pengaruh teknoogi, media televesi, smartphone terhadap

perubahan sosial budaya masyarakat di kepulaun kangean.sehinggga dengan

adanya gambaran tentang masalah masalah sosial tersebut mampu memberikan

pandangan pada masyarakat tentang hal itu.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI

1. Penelitian Terdahulu

Penelitian pertama ditemukan pada tesis Representasi tragedi 1965

dalam film (antropologi media dan film-film bertema tragedi 1965) yang ditulis

oleh purwantari mahasiswa Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Tesis ini menceiritakan tentang Perubahan politik pada tahun 1998, Film

ini membentuk narasi baru yang menengahi rekonstruksi direpresi kenangan.

Rekonstruksi ini telah menjadi pusat untuk memahami kelompok politik,

ekonomi, dan budaya masa lalu. Ini memberikan penting untuk mengetahui

tragedi 1965/1966. tingkat kekerasan dan dampak yang mendalam terhadap

kehidupan ratusan ribu orang yang dituduhmKomunis. Di sisi lain, rekonstruksi

ini telah jelas menjadi proses penyembuhan untuk selamat dari tragedi ini serta

diberikan perspektif sejarah baru bagi muda generasi, Perbincangan tentang

peristiwa 1965 mencapai fase baru ketika terjadi perubahan politik di negeri ini

pada 1998. Narasi tentang peristiwa 1965 tidak lagi tunggal. Muncul narasi baru

yang direpresentasikan oleh film tentang tragedi 1965. Fase baru ini ditunjukkan

dalam tesis ini yaitu peristiwa-peristiwa filmis tentang bangsa ini yang sedang

mencoba berdamai dengan salah satu masa lalunya yang traumatik, berikut

kutipan dari tesis ini : These films form new narrative which mediating a

reconstruction of repressed memories. This reconstruction has become central to

understand a groups politics, economic, and cultural past. It gives important to

know the tragedy of 1965/1966: the level of violence and the deep impact to the

life of hundred thousands of people accused communist. On the other side, this
reconstruction has clearly become a healing process for survivors of this tragedy

as well as given new historical perspective for the younger generation.

Penelitian kedua ditemukan pada jurnal Jurnal Pembangunan Pendidikan:

Fondasi dan Aplikasi Volume 2, Nomor 1, 2014 oleh Muhamad Ngafifi tentang

kemajuan teknologi dan pola hidup manusia dalam perspektif sosial budaya,

pembahasan dalam jurnal ini adalah tentang kemajuan teknologi terus

berkembang sangat pesat dan melahirkan masyarakat digital, terjadi perubahan

pola hidup manusia akibat kemajuan teknologi sehingga menjadi lebih pragmatis,

hedonis, sekuler, dan melahirkan generasi instan namun juga mengedepankan

efektifitas dan efsiensi dalam tingkah laku dan tindakannya;, kemajuan teknologi

berwajah ganda karena menimbulkan pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan

manusia, upaya untuk menekan dan mengatasi dampak negatif dari kemajuan

teknologi dapat dilakukan dengan mensinergiskan peran keluarga, pendidikan,

masyarakat, dan negara.dalam jurnal ini Meskipun teknologi memberikan ba-

nyak manfaat bagi manusia, namun di sisi lain kemajuan teknologi akan

berpengaruh negatif pada aspek sosial budaya: Seperti Kemerosotan moral di

kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar.

Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan

berbagai ke-inginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat

menjadi kaya dalam materi tetapi miskin dalam rohani. Kenakalan dan tindak

menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat semakin lemahnya

kewibawaan tradisitradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan

tolong-menolong telah melemahkan kekuatan kekuatan sentripetal yang berperan

pen-ting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat lanjut bisa dilihat bersama,
kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar semakin

meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian, seksualitas dan

pelanggaran pelanggaran norma yang lain.

Penelitian ketiga dari tesis Raditya Margi Saputro mahasiswa fakultas ilmu

pengetahuan dan budaya program studi filsafat Universitas Indonesia tentang

determinisme teknologi: kajian filsafat mengenai pengaruh teknologi terhadap

perkembangan masyarakat. Tesis ini memfokuskan pembahasan pada kekuatan

yang dimiliki oleh teknologi dalam menentukan arah perkembangan kebudayaan

manusia. Teknologi sebagai sebuah sistem terdiri dari manusia sebagai factor

didalamnya, dan sebagai factor tersebut manusia tidak memiliki kekuasaan untuk

secara menyeluruh mengontrol keseluruhan sistem teknologi sehingga teknologi

kemudian berkembang secara otonom. Ketika manusia tidak memiliki control

terhadap teknologi maka teknologi pun kemudian berkembang secara otonom,

lalu implikasi dari perkembangan teknologi yang otonom tersebut kemudian

membuat teknologi menjadi penggerak arah peradaban manusia karena

kebudayaan manusia sangat bergantung terhadap teknologi untuk berkembang,

dalam sisi lain teknologi teknologi sebagai faktor yang membawa perkembangan

dalam kehidupan manusia melalui inovasi inovasi dibidang informasi, industri dan

pertanian yang kemudian itu merubah cara mereka dalam melakukan sesuatu hal.

Lantas, dalam kedekatan yang seperti itu apakah manusia memiliki kontrol atas

teknologi? Perubahan yang saling terkait dengan pengembangan teknologi ini

membawa pada pemahaman bahwa masyarakat adalah terdeterminasi oleh

perkembangan teknologi yang ada. Terlebih dengan definisi yang menjelaskan

teknologi sebagai sebuah sistem yang mana manusia merupakan variabel yang
berada di dalamnya. Sebagai variabel yang membangun teknologi maka

implikasinya adalah manusia tidak memiliki kontrol terhadap teknologi tersebut

karena harus berbagi relasi dengan variabel lain.

Teknologi bergerak secara otonom Akibat dari perkembangan teknologi yang

otonom ini manusia yang menjadi konsumennya dan memiliki dependensi yang

tinggi terhadap teknologi kemudian perkembangannya mau tidak mau mengikuti

arah dari teknologi tersebut. Dari kondisi tersebut maka muncul pemikiran

mengenai determinisme teknologi dimana teknologi perkembangannya

mengarahkan gerak perkembangan manusia. teknologi pada akhirnya menjadi

kekuatan yang mengarahkan gerak manusia dan sikap manusia terhadap hal

tersebut.

Penelitian keempat dari jurnal komunikasi No.3. Mei 2015 yang ditulis oleh

Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde. Msi, tentang Televisi dan masyarakat pluralistik,

salah satu bahasan dalam penelitian ini adalah televisi dan konsumerisme, bahwa

kita hidup sangat diwarnai oleh konsumerisme, adanya sekolompok masyarakat

yang dimana sebagian warganya merumuskan tujuan hidupnya dengan barang-

barang yang sebetulnya tidak mereka butuhkan, khususnya dalam memenuhi

kehidupan dasar mereka. Namun secara sadar atau tidak sadar mereka terjerat

dalam proses akuisisi belanjanya. Misal dengan cara membeli barang-barang

dengan tujuan menambah apa yang sebenarnya mereka sudah miliki. Sebagai

suatu identitas mereka yang mereka pamerkan dimasyarakat sebagai suatu

kebanggaan tersendiri.

Konsumerisme ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh kreasi para

produsen untuk memodifikasi dan mengubah berbagai barang produk konsumsi


agar tidak terlihat ketinggalan jaman. Kondisi ini biasanya diperkuat dengan

pengiklanan dilayar televisi yang secara terus menerus sengaja menciptakan

berbagai kebutuhan yang sifatnya artifisial baru kepada pemirsanya.

Hasil analistik yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan ada hubungan antaa

menonton televisi seperti iklan, sinetron dan tayangan-tayangan lainnya untuk

kencenderungan meniru berbagai produk yang diiklankan, selanjutnya hasil

wawancara terhadap responden dilokasi penelitian menunjukkan bahwa

perubaham yang paling mencolok yang dialami oleh masayarkat miskin

dimakassar sebagai akibat dari menyaksikan tayangan iklan di televisi dapat

dilihat dari cara mereka bersolek, berndandan, berpakain dan model rambut yang

ditiru mereka juga gemar meniru cara berpakaian dari orang-orang yang sering

mereka saksikan layar ditelevisi.

Namun diisisi lain mereka kurang memiliki kemampuan untuk mendapatkan

apa yang mereka inginkan. Baik dari segi finansial ataupun ketahanan secara

moral dalam menghadapi berbagai rangsangan melalui berbagai siaran iklah

ditelevisi. Pada akhirnya terkadang mereka menjadi frustasi, karean kuatnya

desakan hasrat untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana yang mereka saksikan

nelalaui sinetro dan iklan ditelevisi. Kondisi yang semakin lemah dapat memicu

munculnya perilaku menyimpang pada sebagain besar masyarakat kota makassar,

jika melihat tingkat penghasilan dari sejumlah responden yang diteliti, data

menujukkan bahwa sebagain besar dari mereka mempunyai penghasilan yang

cukup rendah, kencenderungan tersebut tentu saja dapat memicu munculnya

perilaku menyimpang dikalangan mereka. Hal ini memungkinan jika dihubungkan

dengan seringnya menyaksikan gaya hidup mewah dan siaran di iklan televisi.
Terlebih lagi jika ada desakan yang kuta untuk memiliki berbagai macam

kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu mereka miliki, karena bukan merupakan

kebutuhan dasar untuk hidup.

Peneltian kelima dari jurnal ilmiah Universitas Bakrie Vol 3, No 02 (2015):

Mei 2015 Publisher: Universitas Bakrie yang ditulis oleh Yudistira Achmad

Nugroho,berjudul Film Senyap Sebagai Media Counter Hegemony Bagi

Rekonsiliasi Korban G30S, jurnal ini membahasa bagaimaimana film digunakan

sebagai alat komunikasi massa yang bertujuan untuk hal yang kita inginkan,

seperti digunakan untuk menyampaikan pemikiran dan ideologi untuk

mempengaruhi seseorang ataupun kelompok masyarakat, menyampaikan

perlawanan terhadap suatu hal dan banyak yang lainya. Senyap merupakan salah

satu film yang digunakan untuk menyampaikan pemikiran atau ideologi tersebut.

Film ini menganggakat isu sensitif, yaitu peristiwa G30S. Film ini menjadi

menarik untuk diteliti karena menampilkan sisi lain mengenai peristiwa tersebut,

dari sudut pandang korban. Di mana Senyap mencoba membongkar sejarah dan

fakta yang coba ditutupi dan dibelokkan mengenai peristiwa G30S. Film ini juga

digunakan sebagai suatu media perlawanan atau counter hegemony, dalam

melawan ideologi dominan yang selama ini disebarkan mengenai peristiwa G30S,

yaitu ideologi Anti-Komunis. Tujuan penelitian ini adalah ingin mencari

pemikiran atau ideologi yang terkandung dalam upaya rekonsiliasi korban G30S

dalam senyap yang dimunculkan oleh sutradara Senyap, melalui adegan-adegan

dalam filmnya. Sehingga lewat rekonsiliasi yang digambarkan tersebut dapat

ditarik kesimpulan pemikiran atau ideologi tandingan seperti apa yang coba

ditampilkan untuk melawan ideologi yang selama ini ada dan di anggap keliru.
Penelitian keenam ditemukan pada tesis media komunikasi, Universitas

Airlanga Surabaya berjudul Dekonstruksi Konsep Perceraian Dalam Sebuah

Institusi Gereja Pada Produksi Film Semi Dokumenter Berjudul Pisau Putih

ditulis oleh Intan Tetty Parsaulian Siringoringo, pembahasan dalam tesis ini

adalah tentang film pendek semi dokumenter berjudul Pisau Putih,berdasar atas

kisah nyata, lengkap dengan eksegesisnya sebagai sebuah produksi proyek kreatif

media, karya mahasiswa paska sarjana program studi Media dan Komunikasi,

Universitas Airlangga, Surabaya. Film 30 menit ini mengandung tanda, makna,

simbol dan bahasa narasi yang merefleksikan sebuah kisah nyata

tentangkehidupan seorang pendeta yang diceraikan oleh isterinya yang

berselingkuh. Akibat kelakuan isterinya yang kedapatan berzina dengan beberapa

pria itu, sang pendeta langsung mendapatkan sanksi disiplin berupa pemecatan

dari jabatannya sebagai pendeta, oleh institusi sinode yang mentahbiskannya

menjadi pendeta.

Dalam penelitian yang keempat ini penulis tidak memfokuskan tentang

bagaimana dekontruksi melalui film ini. Tapi bagaimana mendokuntruksi pesan

dan makna tersebut dibaca melalui elemen-elemen visual dimana film dokumenter

dijadikaa medianya untuk menyampaikan itu. Penelitian dilakukan dengan

pendekatan estetika metode visual dengan teknik analisis naratif unsur

pembentuk film, yang berkaitan dengan aspek non-verbal berupa tanda-tanda

elemen visual dan angle dalam pengambilan gambar. Elemen-elemen tersebut

dikonstruksi dalam bentuk film dokumenter sebagai medium menyampaikan

pesannya atas point tata tertib penceraain pada gereja.

2. Kajian Pustaka
2.1 Film Dokumenter

Film adalah medium untuk untuk memperkokoh citra dan kepercayaan di

depan penonton. Setiap makna yang dibawa oleh film berasal dari rangkaian

tanda- tanda yang disusun sehingga membentuk sebuah makna. Film tidak lepas

dari kerangka berfikir dari para pembuatnya. Selain membentuk konstruksi

masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas

layar (Sobur, 2006).

John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam suatu

pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu

pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu

kejadian tertentu Menurut John Grierson sinema bukanlah seni atau hiburan,

melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara

berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula Oleh karena itu, dokumenter pun

termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam

istilah Grierson disebut perlakuan kreatif atas keaktualitasan (creative treatment of

actuality).

Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari aktualitas, potongan

rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di

dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa

media perantara. Walaupun terkadang menjadi bahan ramuan utama dalam

pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan

film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah
kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Berikut beberapa pengertian film

dokumenter menurut beberapa ahli

1. Paul Rotha

Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun

dokumenter adalah sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film

berbeda dari film cerita. Bukan karena tidak dipedulikannya aspek kriya /

kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya, tetapi dengan sengaja justru

memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan.

2. Paul Wells

Teks Non-Fiksi yang menggunakan footagefootage yang aktual, di mana

termasuk di dalamnya perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan

materi-materi riset yang berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil

wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini biasanya disuguhkan dari sudut

pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isu-isu sosial tertentu

yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya.

3. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier

Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu

situasi yang benar-benar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema. (The

Film Studies Dictionary, halaman 73)

4. Frank Beaver

Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi

nyata, tidak menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek

subyek seperti sejarah, ilmu pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan

dasarnya adalah untuk memberi pencerahan, member informasi, pendidikan,


melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali.

(Dictionary of Film Terms, halaman 119)

5. Louis Giannetti

Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan

fakta-fakta, seperti manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para

pembuat film dokumenter percaya mereka menciptakan ;dunia di dalam filmnya

seperti apa adanya. (Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339)

6. Timothy Corrigan

Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali

mengabaikan struktur naratif yang tradisional. (A Short Guide to Writing About

Film, Edisi Ke-4, halaman 206).

7. Michael Rabinger

Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita

saja. Film dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu

8. Ralph S. Singleton and James A. Conrad

Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut

didokumentasikan dengan menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor.

(Filmmakers Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94)

9. Edmund F. Penney

Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar

belakang yang nyata. Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk

memperlihatkan aspek realistiknya dibandingkan pada film-film cerita

konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit karena seringkali hanya
menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari kehidupan

nyata. (Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73)

10. James Monaco

Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk

merujuk pada film atau program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat

menyajikan alam. (The Dictionary of New Media, halaman 94)

11. Ira Konigsberg

Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang

berusaha untuk menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang

direkayasa. Film-film seperti ini peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu

tempat atau suatu aktivitas. (The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman

103).

12. Gerald Mast dan Bruce F. Kawin

Sebuah film non-fiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya,

dengan tujuan tertentu. (A Short History of the Movies, Edisi Ke-7, halaman 64).

13. David Bordwell dan Kristin Thompson

Justru yang menarik adalah apa yang dikatakan oleh David Bordwell dan

Kristin Thompson dalam Film Art: An Introduction, Edisi Ke-5. Menurutnya

bahwa inti dari film dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual

tentang dunia di luar film itu sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam

pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya (manusia), ruang (tempat),

waktu dan juga peristiwanya.

14. Misbach Yusabiran


Misbach Yusabiran melalui Penulis Skenario, Armantono pernah mengatakan

bahwa dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan

bertujuan untuk mempengaruhi (mem-persuasi) penontonnya. Dengan definisi ini,

film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang

bernuansa propaganda.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari

dokumenter adalah suatu usaha eksplorasi dari orang orang, pelaku-pelaku yang

nyata dan situasi yang sungguh nyata. Jadi suatu usaha kita untuk menampilkan

kembali situasi nyata dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (Directing The

Documentary, Third Edition, Michael Rabiger, Focal Press, Singapore, 1998. hal

3) . Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari aktualitas, potongan

rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di

dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa

media perantara. Walaupun kadang menjadi bahan ramuan utama dalam

pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan

film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah

kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Sebelum pengambilan gambar,

berbagai pilihan harus diambil oleh pembuat film dokumenter untuk menentukan

sudut pandang (angle), ukuran shot (type of shot), pencahayaan, dan lain-lain,

agar dapat mencapai hasil akhir yang mereka inginkan. Bill Nichols, seorang

pengamat dan pengajar film dokumenter, dalam bukunya yang berjudul

Representing Reality, merumuskan secara sederhana dalam memberikan

pemahaman yang hakiki mengenai definisi film dokumenter, yaitu bahwa film
dokumenter adalah upaya menceritakan kembali sebuah kejadian atau realitas,

menggunakan fakta dan data (dalam Tanzil, Nichols 1991: 111).

Ada tiga hal yang perlu digaris bawahi dalam penjelasan Michael

Rabiger dan Nichols diatas. Pertama adalah kejadian atau realitas. Kejadian

dalam hal ini dipahami sebagai apa yang terlihat oleh sutradara atau pembuat film.

Sesuatu yang mengganggu atau menggelitik rasionalitasnya. Sesuatu yang akan

memunculkan pertanyaan jauh lebih dalam benaknya. Apa? Kenapa?

Bagaimana? Dan seterusnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,

pembuat film perlu melakukan sejumlah penggalian data dan berdasarkan fakta

yang ada. Kedua, seberapa jauh penggalian data dilakukan oleh pembuat film?

Tentu saja sampai sutradara merasa sudah jelas dari hasil pencarian datanya dan

memiliki opini mengenai hal itu. Ketiga, berdasarkian fakta yang ada. Artinya,

sutradara akan membuat film dokumenter berdasarkan fakta yang ada dan

dituntut untuk setia pada fakta tersebut.

Beberapa fungsi dalam dokumenter (Directing The Documentary, Third

Edition, Michael Rabiger, Focal Press, singapore, 1998. hal 3-6)

1. Dokumenter dan waktu.

Biasanya film dokumenter menampilkan masa lalu atau masa kini.Namun

dapat juga digunakan untuk meramalkan masa depan. Seperti pada film The War

Game (1965) Oleh Peter Watkins, pengetahuan pada peristiwa pengeboman kota

Dresden, Hiroshima dan Nagasaki, untuk mecuatkan dugaan akan serangan nuklir

ke London.

2. Dokumenter sebagai penanganan


kreatif atas realitas Mencakup semua bentuk non fiksi seperti, alam, ilmu

pengetahuan, cerita tentang perjalanan, industri, pendidikan, dan bahkan film

untuk kepentingan promosi.

3. Dokumenter untuk menangani masalah sosial

Perhatian pada kualitas dan keadilan kehidupan masyarakat, biasanya

membawa film dokumenter melampaui sekedar fakta-fakta, menuju kepada

dimensi moral dan etika, yang akan meneliti kembali penataan kehidupan

masyarkat dan lebih jauh lagi mengenai kesadaran manusia.

4. Dokumenter, individualitas dan cara pandang

Emile Zola, seorang saastrawan Perancis terkemuka, menyatakan bahawa

sebuah pekerjaan seni adalah sudut Alam yang dilihat melalui sebuah watak

tertentu. Maka setiap dokumenter akan menghadirkan keterlibatan kondisi

manusia yang segar, unik, dan memikat.

1. Dokumenter sebagai sebuah cerita yang terorganisasi

Film dokumenter yang sukses, seperti layakya film fiksi, memerlukan

cerita yang bagus dengan karakter yang menarik, penekanan-penekanan melalui

narasi, dan sudut pandang yang lengkap.

2. Rentang bentuk dokumenter

Sebuah film dokumenter dapat terkontrol dan melalui perenungan, spontan

dan tak dapat diduga, puitis dan mengesankan, sangat observatif, memuat

komentar atau bahkan tidak ada narasi sama sekali, menginterogasi subyek,

bahkan menyergap atau menangkap basah subyek. Dapat memaksa atau meminta,

menggunakan kata-kata, gambar, musik, atau perilaku manusia. Bisa


menggunakan literatur, seni teater, tradisi lisan dan bantuan musik, lukisan, lagu,

essay, atau koreografi.

3. Ketelitian untuk melihat situasi yang ada berhadapan dengan kenyataan yang

seungguhnya.

Film dokumenter tidak memiliki batasan, tetapi film dokumenter selalu

memantulkan daya tarik dan rasa hormat pada aktualitas. Aktualitas adalah

sesuatu yang obyektif, yang dapat dilihat, diukur, dan kita setujui bersama.

4. Dokumenter untuk menggugah sebuah kesadaran

Salah satu fungsi ini adalah ketika penonton merasa adanya pertentangan

batin untuk direnungkan. Seperti misalnya film dokumenter tentang pendidikan

kedinasan tertentu. Di satu sisi penonton merasa penting untuk mendidik para

calon praja dengan disiplin tinggi, di satu sisi ada rasa kemanusiaan yang kadang

terusik karena yang tampak seolah hanya kekerasan semata.

5. Dokumenter sebagai sebuah bentuk seni sosial.

Tujuannya adalah untuk mengarahkan kepada penonton, pengalaman-

pengalaman pembuatnya dalam perjuanganya untuk memahami setiap kejadian

khusus yang tengah terjadi. Film biasanya dibuat oleh suatu kelompok, sehingga

kesadaran ini akan muncul dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Unsur-unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter (An

Introduction to Film Studies third edition Oleh Jill Nelmes (ed), Routledge,

London, 2003. hal 189-190)

a. Unsur Visual:

Observasionalisme reaktif; pembuatan film dokumenter dengan bahan yang

sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini
berhubungan dengan ketepatan pengamatan oleh pengarah kamera atau

sutradara.

Observasionalisme proaktif; pembuatan film dokumenter dengan memilih

materi film secara khusus sehubungan dengan pengamatan sebelumnya

oleh pengarah kamera atau sutradara.

Mode ilustratif; pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha

menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator

(yang direkam suaranya sebagai voice over).

Mode asosiatif; pendekatan dalam film dokumenter yang berusaha

menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan

demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi

harafiah dalam film itu, dapat terwakili.

b. Unsur Verbal:

Overheard exchange; rekaman pembicaraan antara dua sumber atau

lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung.

Kesaksian; rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang

diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang

berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan

utama dari wawancara.

Eksposisi; penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan

dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima

informasi dan argumen-argumennya.

2.2 Film Dokumenter Etnografi


Film etnografi merupakan hasil pengolahan kreatif atas realitas dan dibuat

menggunakan format dokumenter. Film etnografi berisi tayangan sarat filosofi

makna hidup yang menggunakan bahasa tutur. Format dokumenter etnografi di

televisi berupa feature, essay berita, magazine, dan serial. Film etnografi

diperkenalkan oleh Jean Rouch, seorang antropolog dan juga salah satu peletak

dasar New Wave dalam sinema Perancis berjudul Les Maitres Fuos (Tuan-Tuan

Gila) di tahun 1954. Film tersebut mengisahkan perilaku orang-orang kesurupan

dan membandingkan ritual upacara kepercayaan Hauku dengan upacara militer

Perancis penjajah Nigeria pada masa itu.

Dalam banyak karyanya, Rouch banyak mengangkat nasib masyarakat di

negara-negara bekas jajahan Perancis, serta bagaimana mereka menjadi imigran di

Eropa. Rouch begitu piawai mengamati habit (kebiasaan) suku tertentu yang

membentuk kebudayaan mereka. Usahanya memasukkan unsur fiksi, membuat

film-film etnografinya disisipi gambar-gambar surealisme, impian, sehingga batas

antara diksi dan non fiksi menjasi kabur. Perkembangan di Indonesia, film

etnografi banyak digarap oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

membawa misi advokasi. Kemudian TVRI menjadi rajin membuat film

dokumenter dengan mengikuti perkembangan yang banyak dihasilkan oleh

Discovery Channel, History Channel maupun National Geographic. Di era

sekarang marak berseliweran tayangan sejenis oleh berbagai televisi swasta,

misalnya Horison, Potret (SCTV), Jelajah (Trans TV), Jejak Petualang (Trans7),

Metro Files (Metro TV), dan Gapura (RCTI). Kecenderungan film-film etnografi

saat ini menggunakan pendekatan ekspedisi.


Film etnografi di Indonesia belum banyak berkembang seperti di Eropa.

Budaya dokumenter yang sangat penting untuk merekam jejak kehidupan

masyarakat belum memasyarakat. Padahal secara filosofis, negara yang maju pasti

memiliki budaya dokumenter yang sudah tinggi. Salah satu film etnografi

Indonesia adalah Rangsa Ni Tonun. Film ini mendiskripsikan secara sakral

penciptaan tenun. Bagaimana teknik tenun ulos Batak dari kapas menjadi benang,

sampai menjadi kain yang indah. Dokumenter ini dibalut dengan Bahasa visual

artistik yang menyiratkan hubungan ulos dengan alam mythology dan kosmologi

Batak. Rangsa merupakan sebuah genre puisi sastra lisan Batak. Rangsa ni Tonun

ditulis oleh Guru Sinangga ni Adji (1872) atas perintah misionaris Jerman.

Naskah ini lebih seabad lamanya tergeletak dan terlupakan dalam arsip Eropa.

Etnografi Rangsa Ni Tonun pernah diputar pada Festival Film Internasional di

Marrakech Biennale, Maroko, 2014 lalu.

Film dokumenter etnografi mempunyai prinsip objektivitas yang

membiarkan spontanitas objek yang difilmkan bukan direkayasa semacam film

lainnya. Stutradaranya hanya sebatas pengarah yang tidak memiliki skenario tetap.

film/ Foto etnografi juga memiliki prinsip yang tidak berbeda, dimana karya-karya

yang dihasilkan merupakan potret kehidupan atau perilaku manusia baik dianggap

bersifat tradisional maupun modern. Sifatnya, foto tersebut memuat segudang

makna perilaku yang bisa diinterpretatifkan sehingga sebuah film/foto etnografi

akan bisa membaca luas dan dalamnya kehidupan atau perilaku manusia. Karena

itu foto dan film etnografi harus meletakan manusia sebagai subjek foto/ film,

dimana manusia tersebut memiliki kebebasan, bergerak alami, tanpa rekayasa

berlebihan. Perlu juga dipahami bahwa film dokumenter etnografi dan foto
etnografi bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya kalangan pegiat antropologi,

tetapi juga semua orang dari berbagai latar belakang, dan sudah harus

ditumbuhkembangkan dalam rangka memperkuat budaya dokumenter yang lemah

dinegara ini, sebagaimana yang dikemukakan diatas bahwa kesadaran budaya

visual sangat berkaitan dengan pembentukan sejarah, demokrasi dan identitas.

2.3 Visual Antropologi

Visual antropologi merupakan sub-bagian dari disiplin ilmu antropologi,

penggunaan dan studi visual antropologi menitikberatkan perhatian terhadap

penggunaan sistem visual dan budaya visual dalam aplikatif lapangan penelitian

antropologi. Secara garis terdapat dua fokus perhatian dari visual antropologi,

yaitu : penggunaan materi visual dalam penelitian antropologi, kedua, visual

antropologi merupakan studi mengenai sistem visual dan budaya yang terlihat

(kasat mata) serta memproduksi dan menggunakan hasil dari visual antropologi

(Morphy, 1999:1-2), memperjelas hal tersebut Ruby Jay mengatakan bahwa studi

visual antropologi merupakan suatu usaha menganalisa dari berbagai kelengkapan

dari sistem-sistem visual, menentukan kelengkapan dari sistemsistem visual

dan berbagai kondisi, meliputi: intepretasi yang terdapat didalamnya dan

menghubungkan sistem-sistem tertentu kepada berbagai kerumitan dari berbagai

proses sosial maupun budaya politis dimana sistem-sistem tersebut menjadi

bagian didalamnya, kedua, studi visual adalah menguraikan berbagai

tujuan/makna visual terhadap penyebarluasan (disseminasi) pengetahuan

antropologi itu sendiri (Jay dalam Morphy 1999:2), sejalan dengan hal tersebut

penelitian ini menggunakan video etnografi yang merupakan bagian dari studi

visual antropologi dengan tujuan untuk melihat Gordang Sambilan secara utuh
dan menyeluruh melalui sudut pandang visual antropologi serta sebagai

perkembangan ilmu antropologi dalam penggunaan sistem visual dalam studi

antropologi.Penggunaan visual antropologi memiliki konsekuensi metodologi,

yaitu merekam hal yang terlihat atau fenomena yang terlihat yang memiliki data

visual, dengan konsekuensi metodologi tersebut terdapat dua bagian data penting

dalam visual antropologi yaitu merekam (visual recording) dan produk material

dari kebudayaan (visible culture). Visual antropologi sebagai suatu jalan

memberikan bentuk data lapangan secara visual, dengan maksud semakin

memperkokoh kedudukan data dalam penelitian serta sebagai cara untuk

memberikan gambaran lapangan penelitian secara kasat mata kepada khalayak

ramai, hal ini sejalan dengan pendapat Ruby Jay yang mengatakan bahwa :

Visual anthropology logically proceeds from the belief that culture is manifested

through visible symbols embedded in gestures, ceremonies, rituals, and artifacts

situated in constructed and natural environments (Ruby Jay, 1996:1345). Ilmu

antropologi visual yang secara logika berasal dari kepercayaan bahwa budaya

dinyatakan melalui simbol yang kelihatan ditempelkan di isyarat, upacara, upacara

agama, dan artefak yangdiposisikan di lingkungan dibangun dan alami.

Secara umum ada dua fokus antropologi visual: di satu sisi ia konsen pada

penggunaan bahan-bahan visual di dalam penelitian antropologi. Di sisi lain, ia

dipahami sebagai kajian terhadap sistem-sistem visual dan budaya visibel. Namun

pada praktiknya, sejauh ini apa yang disebut sebagai antropologi visual itu

terbatas dan lebih banyak pada yang pertama, yaitu sebagai suatu bentuk

representasi seorang (atau lebih) antropolog terhadap suatu komunitas dengan

menggunakan perangkat (teknologi) visual, terutama foto dan film, untuk


kepentingan eksplorasi (exploration) maupun sebagai perekaman data (recording

data). Sementara yang kedua, bagaimana antropologi visual menjadi suatu studi

terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, masih banyak terabaikan.

Antropologi visual sangat didominasi oleh foto dan film. Sejak Margaret Mead

dan Gregory Bateson melakukan penelitian tentang Bali pada tahun 1930-an,

fotografi hampir selalu menjadi mitra penting antropolog dalam melakukan

penelitian. Selain untuk kepentingan eksplorasi, analisis data lebih lanjut, foto

juga menjadi bukti kehadiran sang antropolog dalam observasipartisipatori

(being there). Kadang, foto di sana hadir dengan kepentingan yang simpel saja,

yakni sebagai ilustrasi. Karena itulah, menurut Ira Jackins (via Marcus Banks &

Howard Morphy, hlm. 4), pada dasarnya setiap antropolog mengerjakan

antropologi visual (namun) tanpa mengakui atau menyadarinya.

Film juga mendominasi bidang antropologi visual melalui apa yang

disebut sebagai film etnografi. Menurut Marcus Banks & Howard Morphy, ada

alasan-alasan praktis-pragmatis mengapa film begitu mendominasi sub-disiplin

ini. Pertama, menyusul pengabaian yang panjang dan luar biasa terhadap media

perekaman visual sebagai perangkat metodologis, pemakaian film dalam

penelitian antropologi lalu sedemikian ditekankan. Kedua, film mampu menyedot

audiens yang luas yang mungkin bisa melampaui peminat antropologi sendiri.

Ketiga, perangkat teknologi film yang sudah praktis dan murah. Terakhir, film

adalah media yang seksi, yang sangat dekat dengan dunia glamour sinema dan

televisi. Mungkin karena itulah, pendekatan etnografi film ini dicurigai banyak

menggiring mahasiswa memproduksi film untuk kepentingan sendiri. Singkatnya,


tanpa sumbangan teoritis terhadap sub-disiplin ini, dominasi film di bidang ini

hanya dicurigai sebagai batu loncatan untuk masuk ke dunia media (film).

Namun, jelas antropologi visual bukan hanya film dan fotografi. Ia juga

menyangkut studi terhadap seni dan budaya materi (material culture), investigasi

gestur, ekspresi muka, dan aspek-aspek tingkah laku dan interaksi yang spasial.

Dalam hal meningkatnya akhir-akhir ini apa yang disebut sebagai indigenous

media, antropologi visual menjadi sangat penting, terutama dalam perspektif

yang kedua: suatu studi terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas. Studi

terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, pada tahapan berikutnya erat

dengan studi materi budaya, yakni studi terhadap produk materi anggota suatu

budaya. Di sini dipelajari cara memandang (ways of seeing) di dalam maupun

antar masyarakat, dan bagaimana pengaruhnya dalam tindakan dan

konseptualisasi terhadap dunia.

Kadang, dan sering, perhatian diberikan pada transformasi budaya materi

ini dari suatu konteks ke konteks lain. Budaya materi suatu komunitas ketika

dipindahkan dari konteks produksinya bisa menjadi suatu objek seni barat, dengan

nilainya yang sangat berbeda dari konteks budaya aslinya. Misalnya, Rumah Seni

Cemeti (RSC) pernah memamerkan kain-kain Biboki dari Nusa Tenggara Timur.

Di tempat asalnya, kain Biboki jelas mempunyai nilai sosial dan spiritualnya,

namun di RSC ia menjadi objek seni; bahwa sesuatu yang bukan objek seni,

berubah menjadi seni karena pengkerangkaannya di ruang pameran. Ditonton,

dinikmati, dan diapresiasi. Sementara, dalan kaitan produk seni ini, interaksi dunia

yang makin intensif sekarang ini, jelas memantulkan pengaruhnya yang kuat.
Mungkin dalam hal produk seni, hampir semua seniman sekarang berwatak

posmodernis. Artinya, karya-karya mereka baik menyangkut ide, bentuk, dan

bahan mengundang diskusi tentang orisinilitas, identitas, dan hibriditas. Dalam

hal inilah, antropologi visual penting juga memasukkan antropologi seni, budaya

materi, dan bentuk-bentuk ritual sebagai mitra-nya.

Dalam tulisannya, Collectivity and Nationality in the Anthropology of

Art (dalam Marcus Banks & Howard Morphy), Nicholas Thomas menegaskan

bahwa antropologi visual harus memasukkan antropologi seni. Tetapi

sebelumnya, menurut dia, antropologi seni itu mesti direformulasikan kembali.

Nicholas berpendapat bahwa antropologi seni yang ada dan diajarkan selama ini

secara khusus (atau terbatas) hanya mengkaji seni non-Barat.[6] Dengan itu,

seni kontemporer, yang hakikat maupun bentuknya bersifat barat sedikit banyak

terabaikan, terutama dalam hal ini apa yang dimaksud sebagai visual art. Ini,

menurutnya, karena memang antropologi seni dirumuskan awalnya secara

langsung dari studi seni masyarakat primitif (study of primitive of art).

Bagi Nicholas, antropologi seni seperti ini sudah tidak cocok lagi.

Pertama, tentu karena sifatnya lalu sangat terbatas. Kedua, pada praktiknya media-

media baru di dalam seni sering berkait dengan ikonografi tradisional. Wilayah

seni seperti seni visual atau performance art itu sering menjadi lahan

transformasi dan eksplorasi baru para seniman tradisi. Ketiga, sebagai

konsekuensinya, seni sekarang ini selalu bersifat hibrid, hasil dari interaksi dan

dialog global. Tentu tidak bisa lagi ditarik garis hitam putih ini seni barat dan ini

seni (tradisi) timur. Studi terhadap budaya visual di jurusan antropologi (seperti
tentang komik, pakaian, tato dll.) terus berlangsung. Dan bukankah juga sekarang

telah berkembang apa yang disebut sebagai studi budaya visual, yang bahkan

hendak dikembangkan sebagai disiplin tersendiri. Wataknya sangat eklektik,

inter dan multi-disipliner, termasuk di dalamnya antropologi. Di sini visual

culture dipahami sebagai artefak-artefak material, bangunan dan citra, media

dan pertunjukan yang berbasis waktu (plus time-bases), yang diproduksi untuk

tujuan estetika, simbolik, ritual, politik ideologis, atau pun tujuan-tujuan praktis

lainnya, yang signifikansinya dialamatkan pada penglihatan atau perupaan.

2.4 Media Antropologi & Antropologi Media

2.3.1 Media Antropologi

Antropologi adalah disiplin ilmu yang menjadikan manusia dengan segala

aspek yang melingkupinya atau dapat difokuskan pada unsur-unsur kebudayaan

yang di dalamnya memuat seni, bahasa, teknologi, mata pencaharian dan

seterunya. Dalam mendatangi objek tentu diperlukan media sebagai perantara

penghubungnya. Media Antropologi dalam hal ini kami simbolkan sebagai

mediator antara antropologi dan objeknya, dan mediator itu adalah metode ilmiah.

Objek antropologi dapat dikaji lebih dalam dengan metode ilmiah kualitatif

Antropologi. Metode terpenting antropologi adalah penelitian lapangan.

(Koentjaraningrat, 1990:42) Dalam penelitian di lapangan, peneliti datang sendiri

dan menceburkan diri dalam suatu masyarakat untuk mendapat keterangan tentang

gejala kehidupan manusia dalam masyarakat itu. Menurut pengalaman kami

sebagai tindakan awal untuk pengumpulan fakta biasanya peneliti melakukan

observasi terlebih dahulu baru dilanjutkan dengan wawancara kepada informan

sehingga hasil wawancara menjadi field notes yang kemudian diolah agar menjadi
suatu data yang dapat diverifikasi. Unsur-unsur kebudayaan juga dapat digunakan

sebagi media Antropologi. Lewat bentuk konkret tesebut objek akan lebih mudah

dikaji. Selain sebagai objek unsur-unsur kebudayaan juga bisa memegang peran

sebagai media, jadi unsur-unsur tersebut mwmpunyai dwifungsi sekaligus.

Dengan bahasa, seni, IPTEK, mata pencaharian, orsos atau religi fenomena-

fenomena dan gejala budaya pada manusia dapat dikupas lebih dalam. Sehingga

dari suatu permasalahan yang dicari dapat ditemukan jawaban yang relevan.

2.3.2 Antropologi Media

Sejarah antropologi media dalam jurnal Antropologi Media Mihai Coman

Journal of Media Anthropology, University of Bucharest, Romania. Sejak lama

media massa dianggap tabu dalam Antropologi, Faye Ginsburg (2003)

mengungkapkan bahwa para antropolog beranggapan bahwa media massa kurang

menggambarkan fakta-fakta sosial atau fenomena budaya secara akurat. Hal ini

karena keterbatasan media massa sebagai alat penyampaian informasi. Namun

pada perkembangan selanjutnya, para antropolog mulai membuka diri. Mereka

meyakini bahwa media massa memiliki andil besar pada perkembangan

kebudayaan. Kajian Antropologi yang semula bersifat konvensional & tradisional,

perlahan mulai mengkaji hal-hal yang bersifat modern. Perubahan zaman

membuat Antropologi perlu menyesuaikan diri agar ilmu yang holistik itu dapat

sesuai dengan kekinian. Proses penyesuaian inilah yang kemudian mendorong

lahirnya antropologi media.Nama Antropologi Media muncul atas dasar konsep,

teori, dan metode yang digunakan dalam kajian antropologi budaya, khususnya

dalam mengkaji kasus yang berhubungan dengan media. Berkaitan dengan hal itu,

Eislein & Topper (1976) berpendapat bahwa kajian Antropologi media memiliki
pengetahuan dasar tentang berbagai aspek dalam antropologi sekaligus seluk

beluk media. Mereka menambahkan bahwa fenomena budaya dan media bukanlah

kajian baru, karena pada dasarnya baik budaya maupun media mengkaji tentang

interpretasi simbol-simbol.Coman & Rothenbuhler (2005) mengungkapkan bahwa

point of view dari kajian antropologi media antara lain: 1. Antropologi media

berkembang dari masyarakat modern. 2. Budaya berubah menjadi kajian media

(media studies). Jadi, kajian Antropologi Media pada dasarnya membahas tentang

konstruksi simbol-simbol budaya dalam kehidupan sehari-hari yang dipertukarkan

oleh media massa.

Konsep antropologi media Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa

konsep Antropologi Media telah melalui perdebatan yang sangat panjang diantara

para pakar antropologi, karena bertentangan dengan tradisi antropologi. Namun

setelah perdebatan yang panjang itu, melalui sebuah riset, akhirnya para

Antropolog sepakat bahwa media massa memiliki peran dalam keberlangsungan

Antropologi.

Aktor-aktor antropologi media seperti yang telah kita ketahui bahwa fokus

dari Antropologi Media adalah budaya. Kaitannya dengan Antropologi Media

adalah produksi dan konsumsi budaya.Bagaimana pesan-pesan budaya

diproduksi? Siapa aktornya? Bagaimana pesan-pesan budaya dikonsumsi? Siapa

aktornya? Banyak riset menunjukkan bahwa perkembangan budaya dunia

berbanding lurus dengan produksi dan konsumsi budaya itu sendiri.

Perkembangan budaya sangat tergantung pada aktor-aktor produksi dan konsumsi

budaya.Ruang lingkup antropologi media Pada dasarnya, ruang lingkup kajian

Antropologi Media berasal dari paduan Antropologi budaya dan praktek


jurnalistik, antara lain: 1. Kajian mengenai pengaruh media, terutama media

audio-visual dan internet yang berkaitan dengan konsumsi media atau isi media. 2.

Kajian mengenai proses menciptakan produk budaya menjadi produk industri

media massa. 3. Kajian mengenai proses pemaknaan produk budaya massa oleh

berbagai tipe khalayak. 4. Kajian mengenai analisis isi media.

Kajian Antropologi Media pada dasarnya membahas tentang konstruksi

simbol-simbol budaya dalam kehidupan sehari-hari yang dipertukarkan oleh

media massa. Kajian Antropologi Media berkembang menjadi dua kelompok,

antara lain: Kajian mengenai produksi dan konsumsi media, yaitu berkaitan

dengan sistem media, bisnis, dan industri hiburan. Kajian mengenai ritual, mitos,

religi, dan simbol-simbol, yang biasanya dibahas dalam ilmu Antropologi.

Pendekatan yang digunakan Antropologi media adalah pendekatan media massa

yang berkaitan dengan budaya, seperti akulturasi, difusi, dan globalisasi.

Difusi Kebudayaan, Difusi, yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan

secara luas hingga melewati batas tempat budaya tersebut timbul. Unsur-unsur

budaya tersebut disesuaikan dengan sistem sosialnya. Dalam difusi, tidak semua

unsur-unsur budaya asing diterima oleh suatu kelompok. Biasanya hanya unsur-

unsur budaya yang ada manfaatnya saja yang diterima. Proses difusi budaya akan

berjalan terus selama manusia berinteraksi. Semakin sering suatu kelompok

bersentuhan dengan budaya lain, semakin besar peluang kelompok tersebut

melakukan difusi.Media massa dan teknologi komunikasi memiliki andil yang

cukup besar terhadap terjadinya difusi.

Akulturasi, Akulturasi, yaitu proses pertukaran atau saling mempengaruhi

antar budaya hingga pada akhirnya budaya tersebut menjadi budaya sendiri.
Dalam proses akulturasi, biasanya ada orang-orang yang menjadi agen akulturasi.

Orang-orang inilah yang membawa budaya asing masuk ke kelompok. Para agen

akulturasi tidak hanya datang ke kelompok, tapi juga menggunakan saluran-

saluran tertentu, mulai dari media massa, pemerintah, sampai selebriti. Kemiripan

budaya asing dan budaya pribumi merupakan faktor terpenting yang menunjang

potensi akulturasi. Budaya asing yang dipertukarkan umumnya berupa simbol dan

bahasa. Simbol dan bahasa Simbol dapat diartikan suatu gerakan atau gambaran

tertentu yang diberikan arti melalui kesepakatan bersama. Bahasa dapat diartikan

sebagai suatu rangkaian kata yang menimbulkan arti dan dapat dipahami oleh

semua orang. Bahasa merupakan salah satu simbol yang memiliki pengaruh yang

cukup besar dalam akulturasi, karena bahasa sebagai perantara untuk

mengekspresikan budaya. Dalam konteks Antropologi Media, simbol dan bahasa

digunakan media massa untuk menjelaskan fenomena atau realitas yang sedang

berlangsung.

2.4 Representasi

Representasi bekerja melalui sistem representasi. Sistem representasi ini

terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua

komponen ini saling berelasi. Konsep dari sesuatu hal yang kita miliki dalam

pikiran kita, membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut. Namun, makna

tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh sederhana, kita

mengenal konsep gelas dan mengetahui maknanya. Kita tidak akan dapat

mengkomunikasikan makna dari gelas (misalnya, benda yang digunakan orang

untuk minum) jika kita tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh orang lain.


Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi ini pun adalah

bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah

kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama

sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. Menurut

Stuart Hall, Member of the same culture must share concepts, images, and ideas

which enable them to think and feel about the world in roughly similar ways. They

must share, broadly speaking, the same cultural codes. In this sense, thinking

and feeling are themselves system of representations.

Berpikir dan merasa menurut Hall juga merupakan sistem representasi.

Sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk

memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal tersebut,

diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan

ide (cultural codes). Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam

budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing

budaya atau kelompok masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam

memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang

pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat

memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain. Makna tidak

lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas

sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna

dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah

yang membuat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok budaya yang sama

mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses

konvensi secara sosial. Misalnya, ketika kita memikirkan rumah, maka kita
menggunakan kata rumah untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita

ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karena kata rumah merupakan kode yang

telah disepakati dalam masyarakat kita untuk memaknai suatu konsep mengenai

rumah yang ada di pikiran kita (tempat berlindung atau berkumpul dengan

keluarga). Kode, dengan demikian, membangun korelasi antara sistem konseptual

yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan.

Teori representasi seperti ini memakai pendekatan konstruksionis, yang

berargumen bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa. Menurut Stuart Hall

dalam artikelnya, things dont mean: we construct meaning, using

representational systems-concepts and signs. Oleh karena itu, konsep (dalam

pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses

konstruksi atau produksi makna.

Judy Giles dan Tim Middleton dalam buku Studying Culture: A Practical

Introduction, terdapat tiga definisi dari kata to represent, yakni:

1. To stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu negara,

yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut

menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut.

2. To speak or act on behalf of. Contoh kasusnya adalah Paus menjadi orang

yang berbicara dan bertindak atas nama umat Katolik.

3. To re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat

menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu. Dalam prakteknya,

ketiga makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih. Oleh karena

itu, untuk mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa makna dari
representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya,

teori Hall akan sangat membantu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk

memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita. Proses produksi makna

tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi. Namun, proses

pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman

suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki

pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris

sama.
BAB III
METEDO PENELITIAN

1. Metode Visual

2. Metode Etnografi Film

3. Metode Produksi Film

4. Setting Penelitian

5. Teknik Pengumpulan Data

6. Informan Untuk Pembuatan Film


BAB IV
PRODUKSI SENI KREATIF MEDIA

1. Sinopsis Film
2. Realitas Sosial Budaya Masyarakat Kangean
3. Tahap Pra Produksi
3.1 Persiapan Perlengkapan
3.2 Persiapan Sumber Daya Manusia
4. Tahap Produksi
4.1 Susunan Pembuatan Film
4.2 Susunan Informan
4.3 Peralatan yang digunakan
5. Narasi/Script Film Dokumenter Pulauku
6. Teknik Pengambilan Gambar
Daftar Pustaka

Abduh Azis: Tentang Sejarah, Filem, Dokumenter, Video Komunitas dan Cita-Cita
Perfileman, Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net), 2010.
Directing The Documentary, Third Edition, Michael Rabiger, Focal Press, singapore,
1998. hal 3-6
How Do We Can Define Documentary Film?, Bill Nichols, Introduction to Documentary,
2nd Edition, Indiana University Press, 2010.
Majalah Star News, yaitu; No. XV Tahun 1953. Halaman 10-14 No. XVI Tahun 1953,
halaman 13, 16, 20 & 21.
Herzog, Landscape and Documentary, Eric Ames, Cinema Journal 48, No. 2
Winter2009, p. 69.
Teori dan Estetika Film, diktat kuliah Akademi Sinematografi LPKJ, 1970. Diterbitkan
kembali dalam buku FILM/MEDIA/SENI, D.A. Peransi, editor Marseli Sumarno, FFTV-
IKJ Press, 2005.
[1] Wawasan ini terutama saya ambil dari Marcus Banks & Howard Morphy, Introduction:
rethinking visual anthropology, dalam Rethinking Visual Anthropology,
......Marcus Banks & Howard Morphy (ed.), Yale University Press, 1999.
[2] Dalam paradigma evolusi, foto dan film dengan pahit hanya menjadi pelanjut untuk
menghadirkan yang visibel dan riil dari tubuh manusia dunia ketiga, yang
......sebelumnya hadir secara fisik di dalam pameran-pameran, sirkus-sirkus, dan hiburan
lainnya, kini lebih praktis dan murah, dalam bentuk foto dan film, demikian
......David MacDougall. Foto-foto realis, yang indah dan eksotik, kemudian juga hadir dalam
brosur-brosur wisata dan kartu pos.
[3] Sarah Pink, Doing Visual Ethnography, Sage Publications, 2001, hlm. 23. Perdebatan
paradigma teoritis yang membentang dari evolusionisme hingga reaslime
......naf dalam etnofotografi ini terdapat dalam bagian-bagian awal buku ini.
[4] Mengenai contoh-contoh etnografi film ini, lihatlah Karl G. Heider, Seeing
Anthropology: Cultural Anthropology Through Film, Allyn and Bacon, 1996, yang
......menghimpun sejumlah topik film etnografi disertai CD-nya. Yang menarik, seluruh film
etnografi ini memiliki dukungan etnografi tertulisnya.
......[Tambahan redaksional Ahmad Nashih Luthfi] Di sini yang visual menjadi
pendukung yang tertulis, ataukah sebaliknya, yang tertulis mendukung yang visual?
......Dalam contoh Indonesia baru-baru ini, terdapat buku/ CDfilm oleh Yunita T. Winarno
(ed.), Bisa Dwk, Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu,
......(Jakarta: Gramata Publishing, 2011)
[5] Terjemahan istilah ini dalam bahasa Indonesia jelas problematis, karena bisa disalah-
mengertikan semacam budaya konsumsi, materialis, dll.
[6] Tentu saja, ini turunan langsung dari watak ilmu antropologi sendiri yang sebelumnya
dan sejauh ini dianggap sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat timur
......dan karena itu sering dipertautkan dengan (kepentingan) kolonialisme saat itu.
[7] Nicholas mengkaji bagaimana seni yang bekerja dalam konteks yang luas bisa
dipahami untuk mencitrakan kolektivitaskesatuan sosial, nasionalitas dan etnisitas.
......Ia mengkaji praktik ritual Melanesia dan karya-karya lukis kontemporer para seniman
imigran kulit putih maupun Polinesia (Maori), di Selandia Baru.
......Pengalaman saya di Majalah Gong juga mengalami pengkerangkaan serupa. Semula
majalah kami tidak memberikan tempat untuk seni visual, dengan alasan itu
......bukan seni pertunjukan dan sekaligus bukan seni tradisi. Baru belakangan inilah,
sedikit-sedikit Gong melaporkan kegiatan seni visual, terutama yang intim dengan
......gagasan tradisi atau dalam prosesnya terbentuk dari interaksi global itu.
[8] Lihat: John A. Walker & Sarah Chaplin, Visual Culture: An Introduction, Manchester
University Press, 1997.
Banks, Marcus, and Howard Morphy. Introduction: Rethinking Visual Antropology . Yale
University Press (1999).
2 Ruby, Jay. Visual anthropology//Encyclopedia of cultural anthropology. New York:
Henry Holt and Company 4 (1996).
3Lihat Pink, Sarah. The future of visual anthropology: Engaging the senses. Taylor & Francis
US, 2006, hlm. 3.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Judy Giles dan Tim Middleton. Studying Culture: A Practical Introduction. Oxford:
Blackwell Publishers, 1999. Hal 56-57.
Stuart Hall. The Work of Representation.Representation: Cultural
Representation and Signifying Practices. Ed. Stuart Hall. London: Sage
Publication, 2003. Hal 17.

Anda mungkin juga menyukai