Anda di halaman 1dari 4

RESUME BUKU "PENGETAHUAN FILM DOKUMENTER"

Pengarang : Apip
Tahun Terbit : Januari 2012
Penerbit : Prodi Televisi dan Film STSI Bandung

Buku Pengetahuan Film Dokumenter karya Apip
yang terdiri dari 7 Bab ini dibuat didasari desakan
sejumlah mahasiswa demi pemenuahan materi
pembelajaran film dokumenter di Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Bandung, serta dorongan dari
Kaprodi Televisi dan Film STSI Bandung, bapak
Arthur S. Nalan.
Pada bab pertama buku ini, membahas
bagaimana Film Sebagai Media Tutur. Penulis
mengutip istilah yang terdapat pada buku How To
Do Media and Culture Studies karya Jane Stokes
yang mengatakan bahwa pondasi budaya yang
tertua sebagian besar disampaikan dalam bentuk
kisah (2007:72). Seperti kita tahu, segala bentuk
ajaran yg terdapat dalam agama, mitos, dongeng,
balada, dan lain-lain berisi satu pesan khusus yang
dikemas dalam bentuk kisah. Kisah bisa dituturkan
dalam bentuk lisan maupun tulisan dan dituangkan
dalam suatu media tertentu untuk disampaikan
kepada khalayak ramai/umum. Hal tersebut bisa
kita temukan dalam suatu artefak yang selama ini
sudah sering ditemukan. Film merupakan salah
satu bagian dari media, dikarenakan film
bersisikan tayangan yang disampaikan kepada
penonton/audience. Oleh sebab itu film bisa
dikatakan sebagai suatu artefak media modern
yang dibuat untuk ditonton melalui media gambar
dan suara.
Selain itu pada bab ini penulis juga
mengelompokan film berdasarkan gaya, bentuk
dan isi. Terdapat dua genre kategori film, yakni
film cerita (fiksi) dan film non cerita (non fiksi).
Dalam perkembangannya, dua genre tersebut
dikatakan saling mempengaruhi sehingga mampu
melahirkan banyak genre baru.

Bab kedua buku ini bertajuk Film
Dokumenter, dalam bab ini berisikan mengenai
penjelasan istilah film dokumenter dari berbagai
sumber maupun perkembangan wacana akan
istilah film dokumenter itu sendiri dari masa ke
masa. Misalnnya dijelaskan bahwa penulis
mengambil istilah dokumenter dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang berarti dokumentasi
(2002:272). Sedangkan tokoh-tokoh film dunia
semisal Jhon Grierson yang mengkritisi film
dokumenter pertama karya Robert Flatherty
berjudul Moana pada tahun 1926 mengatakan
karya film dokumenter merupakan sebuah
laporan aktual yang kreatif. Istilah tersebut
kemudian berkembang dan ditambahkan oleh
Rosalind C. Morris yang mengatakan film
dokumenter berdasar pada nilai kebenaran dan
faktualitasnya. Bagi Morris film dokumenter
berbeda dengan film cerita, karena pada film
dokumenter tidak membutuhkan bumbu-bumbu
ketegangan agar dipercaya sebagai kebenaran.
Istilah-istilah tersebut kini menjadi acuan dalam
triminologi film dunia.
Pada bab tiga, penulis mengambil judul
Sejarah Film Dokumenter. Dijelaskan bahwa
sejarah mencatat film dokumenter pertama di
dunia adalah film yang dibuat oleh Lumiere
Bersaudara, yaitu Aguste Marie Louise Lumiere
(1862-1954) dan Louise Jean Lumiere (1864-1948).
Film karya Lumiere bersaudara merekam peristiwa
sehari-hari disekitarnya dengan bentuk sederhana
(one shot), seperti buruh yang meninggalkan
pabrik, kereta api memasuki stasiun, buruh
bangunan yang bekerja, dan lain-lain. Film karya
Lumiere Bersaudara tersebut merupakan tonggak
pertunjukan film yang bisa dilihat secara masal
pada masa itu. Karena film tersebut ditampilkan
lewat proyektor ciptaan mereka sendiri.
Selain Lumiere Bersaudara, diceritakan pula
sosok Robert Joseph Flaherty. Robert Joseph
Flaherty sendiri merupakan seorang peneliti
tambang biji besi di teluk Hudson. Bermula dari
meneliti para pekerja tambang pada tahun 1916,
Robert Joseph Flaherty tanpa sadar telah merekam
kegiatan keseharian pekerja tambang tersebut
selama 17 jam menggunakan kamera Bell&Howell
miliknnya. Rekaman ini kemudian menjadi film
dokumenter pertama yang dipertontokan kepada
publik di Universitas Harvard. Sejak saat itu Robert
joseph Flaherty mulai membuat karya documenter
lainnya seperti Moana: A romance of the Golden
Age (1926), The Twenty-four Dollar Island (1927),
dan lain-lain. Sejak saat itu, lahir lah beberapa
tokoh film documenter lainnya seperti Jhon
Grierson dengan karyanya yang berjudul Drifters
(1929), dan Dziga Vertov dengan tiga karya
kompilasinnya, Anniversary of the Revolution
(1919), The Battle of Tsarytsyn (1920), dan History
of The Civil War (1922).
Dari kedua tokoh tersebut, saya tertarik
dengan sejarah karya-karya dari sosok Dziga
Vertov. Di sini saya akan sedikit mengulas apa yang
penulis ceritakan tentang sosok Dziga Vertov.
Vertov adalah seorang dokumentaris
berkebangsaan Rusia yang lahir pada tanggal 2
Januari 1896. Vertov kini dikenal sebagai pelopor
pembuatan film berita dan film feature, karena
Vertov memiliki presepsi menarik tentang sebuah
film. Menurutnya kamera menyatakan mata film,
dan film dokumenter bukan menceritakan suatu
realitas objektif, melainkan suatu realitas
berdasarkan pada apa yang terlihat dan terekam
oleh kamera sebagai mata film. Persepsi inilah
yang banyak dijadikan acuan oleh para sineas film
dokumenter hingga saat ini. Karena keyakinan
penonton akan suatu realitas film dokumenter,
berdasar dari apa yang terekam oleh kamera
secara nyata dan apa adanya.
Pada tahun 2004 teori Vertov ini sukses
diterapkan oleh sineas Amerika Serikat, Michael
Moore yang berjudul Fahrenheit 9/11 yang menuai
box office sejak kemunculannya. Pada filmnya,
Moore menampilkan data-data berupa ratusan
video footage, dan arsip fakta-fakta kebusukan
pemerintahan Amerika pada saat itu yang dipimpin
JW. Bush, serta hubungannya dengan klan Saudi
Bin Laden. Dari data demi data yang Moore
kumpulkan, ia berhasil merangkai dan
mengaitkannya dengan tragedi 11 September,
sehingga mampu menciptakan opini baru kepada
masyarakat dunia tentang prespektif peristiwa 11
September.
Dari beberapa tokoh sineas dokumenter, terdapat
tiga tokoh yang memiliki cara berbeda dalam
penekanan konten dalam pembuatan film
dokumenter. Robert Josph Flaherty menekankan
pentingnya kreasi sinematografi pada saat shooting
berlangsung, Grierson lebih menekankan pada
skenario sebelum produksi dilakukan, sedangkan
Vertov lebih percaya keunggulan film dokumenter
terletak pada proses akhir/editing.

Bab 4 dijelaskan mengenai Jenis dan Karakter
Film Dokumenter, yangmana subject matter film
dokumenter berkaintan dengan data-data visual
maupun audio seperti:
Visual:
1. Data visual langsung dari subject matter pada
saat peristiwa terjadi (Observasionalisme Reaktif)
2. Melalui data pengamatan sebelumnya
(Observasionalisme Proaktif)
3. Dengan pendekatan penggambaran secara
langsung tentang apa yang dikatakan oleh narrator
(Mode Ilustratif)
4. Arti simbolik yang terkandung dalam informasi
harfiah subject matter (Mode Asosiatif)
Audio:
1. Pembicaraan langsung yang terkesan tidak
disengaja dari dua sumber atau lebih (Overhead
Exchange)
2. Kesaksian pendapat yang diungkapkan secara
jujur oleh saksi mata
3. Berbicara langsung dengan kamera yang seakan
penonton menerima informasi secara eksklusif
(Eksposisi)
Dijelaskan pula ciri-ciri film dokumenter yang
merupakan bentuk sinematik yang bersifat solid,
terdiri dari unsur visual maupun audio.
Visual
1. Kronologi peristiwa dengan suasana nyata
2. Arsip, artikel, atau microfilm
3. Kesaksian/pernyataan narasumber
4. Narrator dan pewawancara
5. Still foto
6. Perbincangan para aktor social
7. Silhouette untuk memberikan tekanan pada
audio atau merahasiakan narasumber
Audio
1. Narasi yang berisi voice over tanpa
menghadirkan naratornya kedalam layar.
2. Suara asli dari peristiwa yang disatukan dengan
gambar yang di relay (Synchronous)
3. Sound effect
4. Music ilustrasi
5. Hening, ketika memberi tekanan pada
visualnnya.

Selanjutnya, pada Bab 5 dalam buku
Pengetauan Film Dokumenter ini, penulis
memberi judul yang menurut saya akan sangat
menarik untuk dibaca, yaitu Dokumentasi vs Film
Dokumenter. Akan tetapi apa yang penulis coba
tuangkan tidak sesuai dengan apa yang Saya
harapkan. Karena di dalamnya tidak dijelaskan
perbandingan secara detail tentang pertarungan
sebuah dokumentasi melawan film dokumenter.
Istilah vs merupakan serapan bahasa Ingris dari
kata versus yang jika diartikan dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti lawan, melawan,
atau dibandingkan dengan (google translate:
2012). Berarti, kata vs yang digunakan penulis,
seharusnya berisikan komparasi atau perbandingan
antara dokumentasi dan film dokumenter, mungkin
bisa saja secara teknik penggarapan, perbedaan
konten yang lebih signifikan, pengambilan gambar,
karakter, syarat, dan lain-lain yang Saya sendiri
blm memahami disiplin ilmu akan hal itu. Namun
Saya akan mencoba menjelaskan isi yang terdapat
dalam bab ini
Dijelaskan arti dokumentasi itu sendiri yaitu
rekaman dari suatu peristiwa yang dibuat ketika
kejadiannya berlangsung. Dokumenter selalu
bersinggungan dengan dokumentasi, namun
dokumentasi bukanlah film dokumenter. Dengan
kata lain film dokumenter berisikan data-data
hasil dokumentasi. Perbedaan antara film
dokumenter dengan film dokumentasi adalah
tersaji bukan sebagai cerminan pasif realitas.
Dokumenter diproduksi setelah proses penafsiran
atas realitas yang menjadi subject matternya.
Kemudian dua bab terakhir penulis mengangkat
tema Film Dokumenter Indonesia pada bab 6,
dan Membuat Film Dokumenter pada bab 7. Saya
akan mencoba menjelaskan bab 6 terlebih dahulu.
Film dokumenter Indonesia kini telah menjadi
media yang demokratis dalam menawarkan
realitas masyarakat yang beragam di Indonesia.
Tidak seperti saat masa Orde Baru. Pada masa itu
film dokumenter dibuat untuk menciptakan opini
kepada masyarakat mengenai perjalanan bangsa
dengan mengetengahkan isu perubahan sosial,
kekuatan ekonomi, politik, ideologi, dan
sebagainya. Melalui film dokumenter, penonton
dalam hal ini masyarakat Indonesia, diarahkan
kepada prespektif tertentu yang berguna sebagai
pendukung kebijakan pemerintah pada saat itu.
Karena karya-karya film dokumenter harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dan
diinstruksikan oleh penguasa saat itu.
Seiring perkembangannya, film dokumenter
Indonesia belum mendapat perhatian yang
sebanding dengan film fiksi/cerita. Salah satu
buktinya adalah termarjinalkannya film
documenter dari penyelenggaraan Festival Film
Indonesia (FFI). Namun sambutan hangat terhadap
film documenter justru diberikan oleh stasiun tv
swasta Indonesia, salah satunya Metro TV yang
telah memiliki program Eagle Award sejak tahun
2005. Selain beberapa televise swasta Indonesia,
apresiasi juga dating dari In-Docs. In-Docs
merupakan distributor bagi karya-karya film
dokumenter anak bangsa, dan juga sebagai
mediator antara pembuat film dengan donatur
atau stasiun tv. Didalam bab ini dijabarkan 8 film
yang berhasil didistribusikan In-Docs dari tahun
2005-2007. Namun selain In-Docs, masih banyak
lagi film-film yang dibuat dan didistribusikan baik
secara perseorangan ataupun komunitas penggiat
film dokumenter.

Bab terakhir yaitu bab 7, penulis mengangkat
judul Membuat Film Dokumenter. Pada bab ini
dijelaskan tahapan cara membuat film
dokumenter, yaitu:
1. Menggali Ide
Ide bisa bersumber dari pengalaman atau peristiwa
yang terjadi. Ide bisa muncul dimana saja, dan
kapan saja tergantung kepekaan kita dalam
membaca peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
kita sehari-hari
2. Riset dan Produksi
Riset/penelitian dalam membuat film documenter
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Studi Pustaka (subject matter berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan orang lain)
b. Seliminary Research (memastikan keberadaan
subject matter serta unsur yang terkait)
3. Produksi
Produksi disini adalah teknik mengumpulkan data
lapangan dalam penelitian dengan menggunakan
kamera video untuk merekam data-data audio dan
visual. Teknik pengumpulan data ini bisa berupa
wawancara dan pengamatan.
4. Pasca Produksi

Merupakan tahap terakhir dalam proses
pembuatan film, yang lebih kita kenal editing.
Data-data yang terkumpul kemudian diperiksa,
dipilah, untuk kemudian disusun sebagai ringkasan
data. Hasil ringkasan tersebut kemudian dianalisis
untuk dikristalisasi membentuk moral atau nilai
yang akan disampaikan kepada penonton. Pada
proses ini film documenter akan dibuat secara
lebih dramatik agar lebih menarik sebagai sajian
film yang utuh.
Kesimpulan yang saya dapat setelah membaca
buku Pengetahuan Film Dokumenter yang ditulis
oleh Bpk. Apip selaku dosen Prodi Film dan Televisi
STSI Bandung yaitu, buku ini merupakan bentuk
usaha mulia akan pemenuhan materi perkuliahan
film dokumenter umumnya di Indonesia, khususnya
di STSI Bandung. Seperti kita tahu, keterbatasan
akan materi film dokumenter yang ada pada saat
ini telah menghambat berkembangnya wawasan
masyarakat akan film documenter. Hal tersebut
berimbas pada minimnya tingkat produksi film
dokumenter hasil karya anak bangsa Indonesia saat
ini.
Saya pribadi sangat mengapresiasi tinggi
hadirnya buku ini. Dengan membaca buku ini
wawasan Saya akan sejarah, jenis, karakter, dan
cara membuat film dokumenter semakin terbuka
lebar. Dengan demikian diharapkan kepada seluruh
pembaca, khususnya Saya pribadi, mampu berbuat
banyak terhadap perkembangan industri film
dokumenter di Indonesia. Namun masih ada
beberapa kekurangan selama Saya membaca dan
mempelajari buku ini. Penggunaan istilah vs
pada judul bab 5 tidak tepat. Hal tersebut
berdasar kepada arti vs itu sendiri yang sudah
saya jelaskan sebelumnya. Mungkin penulis bisa
menggantinya dengan judul keterkaitan
dokumentasi pada film dokumenter atau judul
lain yang menjelaskan keterkaitan maupun
perbedaan antara dokumentasi dengan film
dokumenter. Selain itu, banyaknya kutipan dan
istilah yang digunakan, sedikit mengganggu
prespektif Saya akan pengertian dasar film
dokumenter. Mungkin penulis mencoba
memberikan banyak wacana dari tokoh-tokoh
sejarah film, namun penulis seolah lupa
mengkerucutkan pemahaman akan arti
dokumenter itu sendiri secara lebih spesifik,
dikarenakan banyaknya ide ataupun wawasan yang
coba dibangun penulis bagi pembaca. Tapi Saya
rasa pendapat saya ini mungkin akan berbeda
dengan pembaca yang lain. Hal tersebut wajar
adanya dikarenakan sudut pandang manusia
arbiter dan terbatas.


Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata,
dan kekurangan hanya milik kita manusia.
Akantetapi ayahanda Saya pernah mengatakan,
tidak ada salahnya mencoba untuk menjadi
sempurna meski dengan cacian dan koreksian,
daripada selalu merasa tidak sempurna dan
menjadi seorang pengecut karna takut akan
cacian.


-Terima Kasih-

Adrian Gahinsah
Bandung & Cimahi, 22-24 September 2012
adrian.gahinsah@blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai