Anda di halaman 1dari 21

PERNIKAHAN

Makalah

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Oleh
Efryana Wisnu Ajie NIM. 7011180031
Galih Pradipta Adhi NIM. 7011180111
Helly Dewi Akhiroh NIM. 7011180215

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2018
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-


Nya bagi kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Bab
Pernikahan ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Gigin Ginanjar, S.Pd.I., M.Pd, selaku dosen pembimbing


mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah membimbing
penulis dalam penyelesaian makalah ini.
2. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman
yang telah banyak membantu dan mendukung dalam penyelesaian
makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini.


Oleh Karena itu kami sangat berterima kasih apabila ada kritik atau saran
yang membangun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan nantinya
dapat bermanfaat bagi penyusun serta kalangan pembaca pada
umumnya.

Ciamis, Desember 2018

Penyusun

i
Daftar Isi

Halaman judul
Kata Pengantar ..................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................ ii

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................... 2

Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan ..................... 3
2.2 Rukun dan Syarat Pernikahan .......................................... 5
2.3 Persiapan Pernikahan dan Khitbah ................................... 7
2.4 Perempuan yang Haram Dinikahi ...................................... 8
2.5 Talak dan Iddah ................................................................. 10
2.6 Hikmah Pernikahan ........................................................... 14

Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan........................................................................ 18
3.2 Saran................................................................................. 18

ii
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk


melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses
dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki menyatukan
hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang
sakral, mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa di lakukan
secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi
sebuah perbuatan zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam
harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah
agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di


dibahas sedikit tentang:
1. Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
3. Persiapan Pernikahan dan Khitbah
4. Perempuan yang Haram Dinikahi
5. Talak dan Iddah
6. Hikmah Pernikahan

1
1.3 Tujuan
1. Memahami Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan
2. Mengetahui Rukun dan Syarat Pernikahan
3. Mengetahui Hukum Persiapan Pernikahan dan Khitbah
4. Mengetahui Siapa Saja Perempuan yang Haram Dinikahi
5. Memahami Talak dan Iddah
6. Memahami Hikmah Pernikahan

2
Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian, Hukum dan Tujuan Pernikahan

A. Pengertian Pernikahan

Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa adalah


terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti
akad nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang
diucapkan oleh kata-kata, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh
Islam. Kata zawaj digunakan dalam Al-Quran artinya adalah
pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan
sebagai pernikahan, Allah SWT menjadikan manusia itu saling
berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan
zina.

B. Hukum Pernikahan

Berdasarkan syariat Islam dan tuntunan cara pernikahan


yang benar maka hukum pernikahan dapat digolongkan dalam
lima kategori yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Hukum pernikahan tersebut dikategorikan berdasarkan keadaan
dan kemampuan seseorang untuk menikah. Sebagaimana
dijabarkan dalam penjelasan berikut ini

1. Wajib

Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang


memiliki kemampuan untuk membangun rumah tangga atau
menikah serta ia tidak dapat menahan dirinya dari hal-hal
yang dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang
tersebut wajib hukumnya untuk melaksanakan pernikahan
karena dikhawatirkan jika tidak menikah ia bisa melakukan
perbuatan zina yang dilarang dalam Islam (baca zina dalam
Islam). Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyebutkan
bahwa

3
“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain,
maka sesuatu yang lain itu pun wajib”

2. Sunnah

Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan hukumnya


sunnah jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah
atau sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi
ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu
menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain,
seseorang hukumnya sunnah untuk menikah jika ia tidak
dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak menikah.
Meskipun demikian, agama Islam selalu menganjurkan
umatnya untuk menikah jika sudah memiliki kemampuan dan
melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah.

3. Haram

Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan


oleh orang yang tidak memiliki kemampuan atau tanggung
jawab untuk memulai suatu kehidupan rumah tangga dan jika
menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya. Selain
itu, pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau
menyakiti seseorang juga haram hukumnya dalam Islam atau
bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak menikah
dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan atau
tidak mengurus pasangannya tersebut.

Beberapa jenis pernikahan juga diharamkan dalam Islam


misalnya pernikahan dengan mahram (baca muhrim dalam
Islam dan pengertian mahram) atau wanita yang haram
dinikahi atau pernikahan sedarah, atau pernikahan beda
agama antara wanita muslim dengan pria nonmuslim ataupun
seorang pria muslim dengan wanita non-muslim selain ahli
kitab.

4. Makruh

Pernikahan makruh hukumnya jika dilaksanakan oleh orang


yang memiliki cukup kemampuan atau tanggung jawab untuk
berumahtangga serta ia dapat menahan dirinya dari perbuatan
zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir
dalam perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena

4
meskipun ia memiliki keinginan untuk menikah tetapi tidak
memiliki keinginan atau tekad yang kuat untuk memenuhi
kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri
terhadap suami.

5. Mubah

Suatu pernikahan hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan


jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah namun ia
dapat tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak
melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah
hanya untuk memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan
untuk membina rumah tangga sesuai syariat Islam namun ia
juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.

C. Tujuan Pernikahan

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.


2. Memenuhi hasrat manusia untuk menyalurkan syahwatnya
dan menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama (ibadah), memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan (maksiat).
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh
untuk mencari dan memperoleh harta kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk mendapatkan kehidupan
yang tenteram atas dasar kasih sayang (sakinah mawaddah
wa rahmah).

2.2 Rukun dan Syarat Pernikahan

A. Rukun Nikah

Rukun – rukun nikah yaitu terdiri atas :

1. Calon suami ( Mempelai laki – laki )


2. Calon istri ( Mempelai wanita )
3. Wali
4. Dua orang saksi

5
5. Ijab qabul ( akad nikah )

B. Syarat Sah Nikah

 Syarat Bagi Mempelai Laki – laki :


1. Beragama Islam
2. Tidak dalam tekanan / paksaan
3. Tidak memiliki empat atau lebih istri
4. Tidak dalam mahram istri
5. Mengetahui bahwa calon istrinya adalah syah untuk
dinikahi atau bukan mahramnya
6. Tidak dalam ibadah ihram haji / umrah
 Syarat Bagi Mempelai Wanita :
1. Beragama Islam
2. Bukan mahram dari calon suami
3. Mengizinkan walinya untuk menikahkannya dengan
calon suaminya
4. Tidak dalam masa iddah
5. Bukan istri orang
6. Tidak dalam ibadah ihram haji dan umrah
 Syarat Bagi Wali :
1. Laki – laki yang beragama Islam
2. Tidak fasik
3. Memiliki hak untuk menjadi wali
4. Tidak ada halangan atas perwaliannya
5. Merdeka
6. Tidak dipaksa atau dengan kemauan sendiri
7. Tidak dalam keadaan ihram haji/ umrah
 Syarat – syarat bagi saksi :
1. Laki – laki yang beragama Islam
2. Baligh ( dewasa )

6
3. Jumlahnya sekurang-kurangnya adalah 2
4. Hadir langsung dalam acara akad nikah
5. Memahami tentang akad nikah
6. Dapat mendengar, melihat dan dapat berucap ( tidak buta,
tuli dan bisu )
7. Adil
8. Tidak dalam keadaan ihram haji/ umrah

2.3 Persiapan Pernikahan dan Khitbah

A. Pengertian Khitbah (Peminangan)

Pengertian Khitbah (peminangan) secara Etimologis adalah


meminta seorang wanita untuk dijadikan istri.

Khitbah merupakan pengantar dan sebuah pendahuluan untuk


menuju ke pernikahan. Khitbah ini juga merupakan persetujuan
dari pihak yang dipinang untuk dijadikan pasangan yang
meminang.

Khitbah pada umumnya di lakukan oleh laki-laki. Maka yang


memulai disebut “khoothoban” (yang meminang) sedang yang
lain disebut “makhthuuban” (yang dipinang).

B. Syarat-syarat Khitbah

Syarat seorang perempuan yang boleh dipinang :

1. Khitbah dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang


masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahnya.
2. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum
putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
3. Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan
tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-
diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan
wanita yang dipinang.

7
C. Cara Menyampaikan Khitbah

Khitbah dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1. Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang seperti


ucapan: “saya berkeinginan untuk menikahimu”
2. Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang
seperti ucapan: “tidak ada orang yang tidak senang
kepadamu”.

D. Akibat Hukum Suatu Khitbah

Ketika masih berada dalam masa khitbah, antara laki-laki dan


perempuan itu masih merupakan orang asing sehingga masih
belum berlaku kewajiban dan hak antara keduanya.

Pinangan atau khitbah tersebut belum menimbulkan akibat


hukum dan kedua belah pihak bebas untuk memutuskan
hubungan khitbah

Kebebasan untuk memutuskan hubungan khitbah dilakukan


dengan cara yang baik yang sesuai dengan tuntunan agama dan
juga kebiasaan di daerah setempat, sehingga dapat tetap terjalin
kerukunan dan saling menghargai.

2.4 Perempuan yang Haram Dinikahi

Berbicara tentang halal, tidak semua perempuan dapat


dinikahi oleh laki-laki sekalipun keduanya beragama Islam.
Sebelum menikahi seorang perempuan, hendaknya laki-laki harus
dapat menelusuri apakah perempuan tersebut halal untuk dinikahi
atau tidak.

Karena, jika laki-laki menikahi perempuan yang haram untuk


dinikahi maka pernikahannya tidak sah atau batal. Jika terus
dilanjutkan dan sampai melakukan hubungan intim maka hukumnya
adalah zina. Na‟udzubillaahi min dzaalik.

Agama Islam telah menetapkan wanita yang haram dinikahi


oleh laki-laki dikarenakan beberapa alasan, diantaranya yaitu:

8
 Karena ada hubungan nasab (qoroobah):

1. Ibu dan ibunya ibu (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya
sampai ke atas;

2. Anak dan cucu dan seterusnya sampai ke bawah;

3. Saudara perempuan kandung (seibu sebapak), sebapak saja


atau seibu saja;

4. Saudara perempuan dari ayah (bibi dari pihak ayah


(„aammah));

5. Saudara perempuan dari ibu (bibi dari pihak ibu (khoolah));

6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan) dan


seterusnya;

7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan) dan


seterusnya.

 Karena ada hubungan perkawinan (mushooharoh):

1. Ibu dari istri (mertua);

2. Anak perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri,
termasuk anak-anak mereka ke bawah;

3. Istri anak (menantu) atau istri cucu dan seterusnya;

4. Istri ayah (ibu tiri).

 Karena hubungan susuan (rodhoo’ah):

1. Perempuan yang menyusui (ibu susu);

2. Ibu dari perempuan yang menyusui (nenek susu);

3. Ibu dari suami perempuan yang menyusui;

4. Saudara perempuan dari perempuan yang menyusui;

5. Saudara perempuan dari suami perempuan yang menyusui;

6. Anak dan cucu perempuan dari perempuan yang menyusui;

9
7. Saudara perempuan , baik saudara kandung, seayah atau
seibu.

 Larangan menikah untuk sementara (muaqqat)


Yaitu larangan untuk menikahi perempuan-perempuan yang
masih dalam kondisi tertentu atau keadaan tertentu. Maka
apabila kondisi tersebut hilang, hilang pulalah larangan tersebut
sehingga perempuan tersebut halal untuk dinikahi. Mereka itu
diantaranya:

1. Menggabungkan untuk menikahi dua perempuan yang


bersaudara;

2. Menggabungkan untuk menikahi seorang perempuan dan


bibinya;

3. Menikahi lebih dari empat perempuan;

4. Perempuan musyrik;

5. Perempuan yang bersuami;

6. Perempuan yang masih dalam masa „iddah (menunggu);

7. Perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga. Maka bagi yang


menalak tiga istrinya, haram untuk dinikahi kembali kecuali
sudah ada yang menyelanya.

2.5 Talak dan Iddah

A. Talak

1. Definisi Talak

Talak secara bahasa bermakna melepaskan,


membebaskan, mengacuhkan, meletakkan, memutuskan dan
memisahkan.

Talak secara istilah berarti berpisahnya istri dari


suaminya dalam pernikahan daim (selamanya) dengan
terucapnya akad dan terpenuhinya syarat-syarat khusus secara
syar'i. Talak merupakan salah satu jenis I'qaat (hak sepihak)

10
bukan U'qud (hak kedua bela pihak), sehingga (sudah menjadi
sah) ketika diucapkan oleh pihak laki-laki.

Talak dalam Islam merupakan amalan yang halal namun


sangat dibenci oleh Allah swt, terdapat sekitar 1.200 hadis yang
membahas tentang masalah talak dalam berbagai kitab fikih.

2. Rukun Talak

 Suami (selain suami tidak boleh menjatuhkan talak)


 Istri yang diikat dengan pernikahan yang sah.
 Shighat Talak (kata-kata ucapan dari suami kepada istri
yang menunjukkan talak)
 Disengaja

3. Macam-Macam Talak

1) Talak Raj‟i

Talak raj‟i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali


kepada bekas istrinya dengan tidak perlu melakukan
perkawinan baru dan masih dalam masa iddah sang istri,
seperti talak satu dan talak dua yang tidak disertai dengan
uang (iwad) dari pihak istri.

2) Talak Ba‟in

Talak ba‟in adalah talak yang tidak boleh dirujuki kembali


oleh seorang suami kepada bekas istrinya, kecuali dengan
akad nikah baru.

a) Talak ba‟in kecil

Talak ba‟in kecil adalah talak satu dan talak dua yang
disertai dengan uang (iwad) yang diberikan oleh pihak
istri kepada suami. Selain itu, suami yang menjatuhkan
talak kepada istrinya yang belum dicampuri, juga
termasuk talak ba‟in kecil.

Jika talak ba‟in kecil ini telah terjadi dan ingin rujuk
kembali, maka harus menikah dengan akad nikah yang
baru.

11
b) Talak ba‟in besar

Talak ba‟in besar adalah talak tiga. Suami yang


menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, tidak boleh rujuk
kembali dengan bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu
telah menikah dengan laki-laki lain, serta telah
bersetubuh, bercerai dan telah habis masa iddahnya.

B. Iddah

1. Definisi Iddah

Iddah (Arab: ‫" ;عدة‬waktu menunggu") di dalam agama


Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan
yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan
karena suaminya mati atau karena dicerai ketika
suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari
menikahi laki-laki lain.

Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah


disebut mu‟taddah. Iddah sendiri menjadi 2, yaitu
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa
„anha) dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh
suaminya (ghair mutawaffa „anha).

2. Hikmah Iddah

 Menjaga nasab dan keturunan, sehingga keteraturan


kehidupan manusia menjadi terpelihara.
 Penegasan apakah wanita yang dicerai itu hamil atau
tidak.
 Memberi kesempatan dan peluang kepada suami dan
istri yang telah bercerai untuk rujuk kembali dan
memperbaiki hubungan.
 Kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya dengan
menyadari bahwa selama masa menunggu itu orang
akan sadar betapa nikmat hidup beristri / bersuami dan
betapa malangnya hidup sendirian.

12
 Menghormati almarhum suami yang meninggal, bila
iddahnya di tinggal oleh suami.

3. Macam – Macam Iddah

 Iddah wanita yang ditalak, sedang dia dalam keadaan


hamil, maka waktunya adalah sampai dia melahirkan
sesuai firman Allah SWT.
“Dan perempuan – perempuan hamil, masa iddah
mereka ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (Q.S. Ath – Thalaq: 4)
 Iddah wanita yang ditalak sedang dia tidak hamil,
waktunya adalah 3 kali haidh atau suci. Allah berfirman
dalam surat Al – Baqarah [2] ayat 228 yang artinya,
“Wanita – wanita yang ditalak hedaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟.”
 Iddah wanita yang ditinggal oleh suaminya sedang dia
tidak dalam keadaan hamil masanya adalah 4 bulan 10
hari. Panduan ini terdapat dalam firman Allah, “Orang –
orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan istri – istri (hendaklah para istri itu)
menagguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah Maha
Mengetahui apa yang kmu perbuat.” (Q.S. Al – Baqarah:
234)
 Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
sedangkan dia dalam keadaan hamil. Tentang hal ini
terdapat dua pendapat, yaitu :
Pertama, para sahabat dan ulama yang mengikuti
pendapat Abdullah bin Abbas r.a., mereka berpendapat

13
bahwa masa iddahnya adalah masa yang terpanjang
antara menunggu sampai melahirkan atau ketentuan 4
bulan 10 hari.
Kedua, para sahabat dan ulama yang mengikuti
pendapat Abdullah bin Mas‟ud yang menyatakan bahwa
masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
 Iddah Wanita Mustahadhah
Bagi wanita mustahadhah (penderitaan keputihan), maka
masa iddahnya berdasarkan pengalamannya haidhnya,
yaitu memerhatikan masa haidhya dan berapa lama
masa sucinya. Jikalau terasa sudah melewati 3 kali
haidh yang biasa dia alami, maka berarti iddahnya sudah
habis. Sedangkan wanita mustahadhah yang tidak
mengalami haidh lagi maka masa iddahnya adalah 3
bulan.
 Iddah Wanita yang Belum Sempat Disetubuhi
Bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya, dan belum
sempat disetubuhi (jima‟), maka baginya tidak ada masa
iddah walau sehari pun. Hal ini sesuai firman Allah Swt.
dalam surat Al – Ahzab [33] ayat 40, ”Hai orang – orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan –
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali –
kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut‟ah dan lepaskanlah meeka itu dengan cara yang
sebaik – baiknya.”

2.6 Hikmah Pernikahan

Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan


wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan
berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan

14
kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi
syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan
umat manusia pada umumnya.

Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu


yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang
memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang
disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.

Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan,


antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman
hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan,
terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.

a. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan


ketentraman

Manusia sebagai makhluk yang mempunyai


kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan
ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah
perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat
perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung
kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan
merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan.
Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina
ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.

Allah berfirman:

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia


meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)

b. Pernikahan Dapat Melahirkan Keturunan yang Baik

Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan


shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua.
Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan
selalu mendoakan orang tuanya.

15
Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda:


“Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya
kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR.
Muslim)

c. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara

Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan


rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama
dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur.
Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada
istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah
menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan
agamnya. Beliau bersabda:

Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda:


“Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka
sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka
hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-
Thabrani)

d. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang


Wanita

Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu


tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan
dengan sebaik-baiknya.

Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan


wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya
harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara
baik dan terhormat pula.

Firman Allah dalam Al-Qur‟an:

Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut.


(QS. An-Nisa/4:19)

Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan


berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina

16
dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai
piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)

e. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan

Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah


memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran
dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui
pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan
tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar
aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan
atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.

Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina


itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk. (QS. Al-Isra/17:32)

Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:

 Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.


 Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat kaum
wanita.
 Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan
terhormat.
 Dengan nikah agama akan terpelihara.
 Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu
memakmuram bumi.

17
Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang


sakral, mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa di lakukan
secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi
sebuah perbuatan zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam
harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah
agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.

Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan,


antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman
hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan,
terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain

3.2 Saran

Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta


kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan
kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang
kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

18

Anda mungkin juga menyukai